Author mau tanya nih, kalau bab selanjutnya di kunci koin berapa hari dan candy setelahnya bagaimana? boleh?
***
Malam semakin larut, sudah berada di tengah malam, namun Agam, masih belum bisa memejamkan matanya.
Karena hatinya yang gelisah, hingga membuat pikirannya melayang, berpetualang entah kemana.
Hanya di penuhi oleh pemikiran negatifnya, mengenai hubungan seksualnya yang tak bisa berjalan lancar. Sedang berbaring di samping istrinya yang sudah terlelap menatap sayang.
Sebelum memutuskan untuk beranjak bangun dari tidurnya, sesaat setelah mengecup dalam dahi istrinya meraih ponselnya yang ada di atas nakas.
Hendak mengayunkan langkahnya masuk ke dalam kamar mandi, ingin menghubungi sahabatnya Haikal.
Meskipun harus menahan rasa malunya, tapi tak apa, demi untuk mencari kete
ZzzzzzzzzrrrrrrrrsssssssssssZzzzzzzzzrrrrrrrrsssssssssssssSuara guyuran air shower di malam hari, tepat di pukul sebelas malam, menimpa tubuh polos Agam yang sedang berguyur di bawahnya.Setelah memastikan istrinya tertidur setelah menangis merasa bersalah, kini waktunya untuk dirinya menghilangkan denyutan di kepalanya.Memberi kepuasan kepada dirinya sendiri, berusaha untuk tak kecewa dengan kondisi Inez yang tak bisa melayaninya secara sempurna.Masih memejamkan matanya, sesaat setelah menuntaskan hasratnya. Kembali mengingat kondisi mahkota istrinya yang menolak.Dengan rasa sakit yang begitu sangat menyakiti Inez, hanya bisa menerka sendiri, namun masih belum bisa menemukan jawabannya.
Waktu semakin bergulir, melewati hari dan juga Minggu. Setelah tiga bulan pernikahan Inez dan Agam.Di lalui keduanya dengan perasaan bahagia dan kecewa. Inez yang merasa bersalah, dan juga Agam yang masih setia dengan kebingungannya.Masih belum bisa membobol pertahanan mahkota istri yang sangat di cintainya, masih merapat sangat kuat, bahkan kuat sekali.Sama sekali tak ingin memberikannya tempat, meskipun hanya sedikit cela untuk senjatanya yang telah bersiap tempur. Lagi lagi harus menuntaskan hasratnya tanpa p*netrasi.Di tambah dengan perasaan tak teganya, akibat rasa sakit yang dirasakan istrinya. Selalu saja membuatnya menyerah, tak ingin memaksakan kehendaknya, dan memaksanya untuk melepaskan keinginannya, dalam mencapai puncak dari rasa yang sungguh sempurna."Kenapa sih Yang, susah sekali untuk kamu nyaman dan relax?" lirih Agam suatu malam. Masih dengan pemikirannya s
"Nez," panggil Mama Ratih, sudah duduk di atas salah satu kursi di meja makan. Menikmati es teler buatannya mengalihkan pandangan Inez yang sedang duduk di sebelahnya."Kenapa Ma?" tanya Inez, sesaat setelah menelan minumannya."Mengenai calon cucu Mama? sudah ada tanda tanda belum?"Mempercepat degup jantung Inez, meletakkan spontan sendok yang di pegang nya perlahan. Sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Agam yang terdiam, duduk di seberangnya."Belum Ma," lirih Inez menundukkan kepala, "Maaf,""Lo, kenapa minta maaf? Mama hanya tanya Nez, belum pun juga nggak papa," sahut Mama Ratih, menegakkan kepala menantunya. "Momongan itu kan rejeki, tergantung sama yang Di Atas, jadi ya nggak papa, nggak perlu minta maaf begitu,"Beradu pandang dengan Inez yang terdiam, tak mampu menyembunyikan gurat kesedihannya yang semakin mendalam merasa bersalah. 
Semilirnya angin di sore hari, membelai dedaunan yang tumbuh dengan begitu suburnya di kediaman rumah Agam.Tepat setelah lima belas menit adzan ashar berkumandang, terlihat Inez, sudah tampak rapi dengan baju casualnya, bersiap untuk berangkat kerumah Dafa.Sedang menyisir rambutnya untuk di kuncir kuda. Sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Agam yang bersuara masuk ke dalam kamar."Mau kemana?" tanya Agam."Mau ke rumah Pak Dafa Yang, aku ada janji untuk ngelatih Aga, anaknya Pak Dafa taekwondo,"Mengerutkan kening Agam, sama sekali tak mengetahui aktifitas Inez di rumah Dafa melayangkan protesnya."Kok nggak bilang apa apa ke aku?""Ah... ya...," jawab Inez, mengusap tengkuknya perlahan, mengulaskan senyum kikuknya. "Aku lupa Yang,"Namun tak membuat Agam bersuara, hanya membisu menatapnya diam.
"Inez sakit? sakit apa?" tanya Dafa.Mempercepat degup jantung Agam, menatap tajam Dafa yang mengayunkan langkah mendekatinya."Inez sakit apa?""Inez sehat," dingin Agam."Tapi di telepon tadi,""Bukan urusan kamu! dan saya berharap, kamu bisa tahu sampai mana batasan kamu," segera mengayunkan langkahnya masuk ke dalam ruangan.Meninggalkan Dafa yang terdiam berselimutkan rasa keingintahuan memperhatikan punggungnya hingga hilang dari pandangan."Sudah selesai?" tanya Agam, mengulaskan senyum di bibirnya mengangsurkan segelas minuman ke depan Inez.Yang baru saja menyelesaikan latihan, mendekatinya. "Sudah," mengambil alih minuman dari tangan suaminya menenggaknya perlahan."Duduk sini, istirahat,""Sebentar Yang," jawab Inez, membalikkan badannya memanggil Aga yang terlihat
Mentari telah meninggi, tepat di atas kepala terasa begitu terik menunjukkan sinar panasnya.Terlihat Agam dan juga Inez, sudah duduk berseberangan di dalam sebuah kafe bernuansa biru muda.Tampak membisu saling diam, karena Inez, hanya memutar mutar sedotan di gelasnya tak kunjung menyeruput minumannya.Akibat pikirannya yang melayang, berusaha untuk mencerna tiap kata yang di ucapkan Dokter Diana. Lagi lagi, seolah menyalahkannya, mengaggap dirinya yang tak bisa relax dalam menjalani hubungan intim sama seperti perkiraannya sebelumnya."Untuk gairah Mbak Inez sendiri bagaimana? normal atau?" tanya Dokter Diana menggantung, sewaktu konseling beberapa saat lalu."Normal Dok, nggak ada masalah dengan gairah saya," jawab Inez. "Saya hanya tidak bisa tahan dengan rasa sakitnya Dok, sakit sekali."Hingga menciptakan seulas senyum tipis di bibir Dokter Diana, menu
Helaan nafas, terdengar beberapa kali dari Agam yang mendengus kesal. Akibat rancangan makan malamnya yang berantakan, tak bisa tertata indah sesuai dengan bayangan yang di milikinya sudah duduk di atas kursi di seberang Inez.Yang menahan senyum, ingin sekali tergelak melihat gurat wajah kesal suaminya mengalihkan pandangan Agam."Ketawa saja Yang, silahkan," sewot Agam."Hahahaha," tawa Inez akhirnya tergelak. Di bawah gemerlipnya bintang, di suasana malam dengan hiasan indah tanpa warna kesukaannya.Tapi cukup membuatnya bahagia, merasa tersentuh dengan niat baik suaminya dan meskipun tak sempurna di dalam realitanya."Terus saja ketawa,""Hahahaha, sudah lah Yang. Nggak usah marah marah,"Mencebikkan bibir Agam menggerutu sendiri. "Gimana nggak marah, kamu lihat ini!" menujuk tirai dan juga selimut di meja. "Pink! gila ya si Fahmi! ng
Suara deru motor Inez, melaju dengan kecepatan tinggi, menembus lenggangnya jalanan kota di pagi hari, di temani oleh buruknya suasana hati.Setelah lima belas menit yang lalu keluar dari pagar gedung apartemennya, dengan memakai jaket kulit hitam yang melindungi tubuh rampingnya. Dan tak lupa helm full face berwarna merah hitam.Sama sekali tak bisa mengendalikan rasa sesak yang terus saja menjalar. Menyeruak semakin dalam hingga membuatnya merasa begitu lemah tak berguna.Sebagai seorang istri yang mencintai, sebagai seorang istri yang harusnya bisa membahagiakan suami.Nyatanya dirinya tak bisa dan tak mampu. Karena kondisi pasti dari keadaannya yang sama sekali tak di ketahuinya, membuatnya begitu frustasi, sangat sulit untuk menerima segala hal yang terjadi.Hanya bisa membuatnya menangis, menangis sendiri di dalam helm yang melindungi, dan di tengah rasa yang semakin berkec
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda