"Nez," panggil Mama Ratih, sudah duduk di atas salah satu kursi di meja makan. Menikmati es teler buatannya mengalihkan pandangan Inez yang sedang duduk di sebelahnya.
"Kenapa Ma?" tanya Inez, sesaat setelah menelan minumannya.
"Mengenai calon cucu Mama? sudah ada tanda tanda belum?"
Mempercepat degup jantung Inez, meletakkan spontan sendok yang di pegang nya perlahan. Sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Agam yang terdiam, duduk di seberangnya.
"Belum Ma," lirih Inez menundukkan kepala, "Maaf,"
"Lo, kenapa minta maaf? Mama hanya tanya Nez, belum pun juga nggak papa," sahut Mama Ratih, menegakkan kepala menantunya. "Momongan itu kan rejeki, tergantung sama yang Di Atas, jadi ya nggak papa, nggak perlu minta maaf begitu,"
Beradu pandang dengan Inez yang terdiam, tak mampu menyembunyikan gurat kesedihannya yang semakin mendalam merasa bersalah.
 
Semilirnya angin di sore hari, membelai dedaunan yang tumbuh dengan begitu suburnya di kediaman rumah Agam.Tepat setelah lima belas menit adzan ashar berkumandang, terlihat Inez, sudah tampak rapi dengan baju casualnya, bersiap untuk berangkat kerumah Dafa.Sedang menyisir rambutnya untuk di kuncir kuda. Sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Agam yang bersuara masuk ke dalam kamar."Mau kemana?" tanya Agam."Mau ke rumah Pak Dafa Yang, aku ada janji untuk ngelatih Aga, anaknya Pak Dafa taekwondo,"Mengerutkan kening Agam, sama sekali tak mengetahui aktifitas Inez di rumah Dafa melayangkan protesnya."Kok nggak bilang apa apa ke aku?""Ah... ya...," jawab Inez, mengusap tengkuknya perlahan, mengulaskan senyum kikuknya. "Aku lupa Yang,"Namun tak membuat Agam bersuara, hanya membisu menatapnya diam.
"Inez sakit? sakit apa?" tanya Dafa.Mempercepat degup jantung Agam, menatap tajam Dafa yang mengayunkan langkah mendekatinya."Inez sakit apa?""Inez sehat," dingin Agam."Tapi di telepon tadi,""Bukan urusan kamu! dan saya berharap, kamu bisa tahu sampai mana batasan kamu," segera mengayunkan langkahnya masuk ke dalam ruangan.Meninggalkan Dafa yang terdiam berselimutkan rasa keingintahuan memperhatikan punggungnya hingga hilang dari pandangan."Sudah selesai?" tanya Agam, mengulaskan senyum di bibirnya mengangsurkan segelas minuman ke depan Inez.Yang baru saja menyelesaikan latihan, mendekatinya. "Sudah," mengambil alih minuman dari tangan suaminya menenggaknya perlahan."Duduk sini, istirahat,""Sebentar Yang," jawab Inez, membalikkan badannya memanggil Aga yang terlihat
Mentari telah meninggi, tepat di atas kepala terasa begitu terik menunjukkan sinar panasnya.Terlihat Agam dan juga Inez, sudah duduk berseberangan di dalam sebuah kafe bernuansa biru muda.Tampak membisu saling diam, karena Inez, hanya memutar mutar sedotan di gelasnya tak kunjung menyeruput minumannya.Akibat pikirannya yang melayang, berusaha untuk mencerna tiap kata yang di ucapkan Dokter Diana. Lagi lagi, seolah menyalahkannya, mengaggap dirinya yang tak bisa relax dalam menjalani hubungan intim sama seperti perkiraannya sebelumnya."Untuk gairah Mbak Inez sendiri bagaimana? normal atau?" tanya Dokter Diana menggantung, sewaktu konseling beberapa saat lalu."Normal Dok, nggak ada masalah dengan gairah saya," jawab Inez. "Saya hanya tidak bisa tahan dengan rasa sakitnya Dok, sakit sekali."Hingga menciptakan seulas senyum tipis di bibir Dokter Diana, menu
Helaan nafas, terdengar beberapa kali dari Agam yang mendengus kesal. Akibat rancangan makan malamnya yang berantakan, tak bisa tertata indah sesuai dengan bayangan yang di milikinya sudah duduk di atas kursi di seberang Inez.Yang menahan senyum, ingin sekali tergelak melihat gurat wajah kesal suaminya mengalihkan pandangan Agam."Ketawa saja Yang, silahkan," sewot Agam."Hahahaha," tawa Inez akhirnya tergelak. Di bawah gemerlipnya bintang, di suasana malam dengan hiasan indah tanpa warna kesukaannya.Tapi cukup membuatnya bahagia, merasa tersentuh dengan niat baik suaminya dan meskipun tak sempurna di dalam realitanya."Terus saja ketawa,""Hahahaha, sudah lah Yang. Nggak usah marah marah,"Mencebikkan bibir Agam menggerutu sendiri. "Gimana nggak marah, kamu lihat ini!" menujuk tirai dan juga selimut di meja. "Pink! gila ya si Fahmi! ng
Suara deru motor Inez, melaju dengan kecepatan tinggi, menembus lenggangnya jalanan kota di pagi hari, di temani oleh buruknya suasana hati.Setelah lima belas menit yang lalu keluar dari pagar gedung apartemennya, dengan memakai jaket kulit hitam yang melindungi tubuh rampingnya. Dan tak lupa helm full face berwarna merah hitam.Sama sekali tak bisa mengendalikan rasa sesak yang terus saja menjalar. Menyeruak semakin dalam hingga membuatnya merasa begitu lemah tak berguna.Sebagai seorang istri yang mencintai, sebagai seorang istri yang harusnya bisa membahagiakan suami.Nyatanya dirinya tak bisa dan tak mampu. Karena kondisi pasti dari keadaannya yang sama sekali tak di ketahuinya, membuatnya begitu frustasi, sangat sulit untuk menerima segala hal yang terjadi.Hanya bisa membuatnya menangis, menangis sendiri di dalam helm yang melindungi, dan di tengah rasa yang semakin berkec
Semilirnya angin di malam hari, semakin dingin menusuk kulit. Sama sekali tak mempengaruhi Agam yang sedang terdiam dan merenung sendirian.Di depan balkon kamar apartement, tak bisa melupakan permintaan cerai dari istri yang sangat di cintainya.Ya, benar. Istri yang sangat dicintainya, dengan harapannya yang begitu besar, untuk bisa menjalin hubungan rumah tangga yang bahagia. Saling melengkapi dan menutupi kekurangan sampai mati.Meskipun kenyataannya tak sempurna, akibat kekurangan Inez yang masih belum di ketahui pastinya kenapa? ada apa? dan bagaimana bisa?Pertanyaan yang setiap harinya terus saja berkecamuk di dalam kepalanya, berusaha untuk tak pernah di ambilnya pusing, sedikitpun tak mengurangi rasa cintanya terhadap istrinya.Hanya bisa berusaha semampunya, meskipun ingin sekali menceritakan perihal permasalahannya ini kepada orang lain. Bukan untuk membuka aib istri
Jalanan kota yang begitu lenggang, meskipun beberapa kali macet di beberapa titik. Sama sekali tak menganggu perasaan Agam yang terasa begitu senang.Karena istrinya yang berubah pikiran, berusaha untuk mencari solusi bersama demi untuk kebahagian di rumah tangganya.Sedang dalam perjalanan menuju rumah mertuanya, dengan harapannya yang begitu besar.Sangat berharap bisa melewati ujian cintanya, segera mendapatkan jalan keluar untuk kesembuhan istri yang di cintainya, teman hidupnya."Jangan minta cerai lagi," kata Agam tadi pagi, sewaktu menikmati sarapan di meja makan bersama dengan Inez menghentikan kunyahan istrinya beradu pandang."Aku sangat nggak menyukainya." Lanjutnya lagi, dengan gurat wajah datarnya menikmati kopi buatan Inez."Kamu nggak menyesal nikahin aku?" tanya Inez."Aku akan lebih menyesal kalau menceraikanmu,"&
Sore mulai menjelang, menunjukkan sinarnya sang Surya yg semakin bergeser hendak pulang ke peraduan. Terasa begitu hangat, tak lagi menyengat kulit.Masih di kediaman rumah Papa Raimon, terlihat Inez, sedang duduk di tepi kolam renang berukuran 4 x 8 meter dengan kedalaman 1,70 m.Dengan pandangan menerawangnya, beberapa kali menghela nafasnya pelan, berusaha untuk menerima kenyataan.Akan penyakit yang dideritanya, penyakit yang belum pernah didengarnya namun cukup membuatnya semakin tertekan setelah membaca mengenai vaginismus di layar ponselnya."Vaginismus... vaginismus...," mengulaskan senyum paksanya, terlihat begitu getir menundukkan kepala.Sembari mempermainkan kakinya yang tercelup ke dalam air, kembali mengingat kata demi kata di artikel yang dibacanya.Hingga membuatnya sangat yakin, meskipun dirinya masih besok pagi pergi ke Dokter, sesuai dengan