Mentari telah meninggi, tepat di atas kepala terasa begitu terik menunjukkan sinar panasnya.
Terlihat Agam dan juga Inez, sudah duduk berseberangan di dalam sebuah kafe bernuansa biru muda.
Tampak membisu saling diam, karena Inez, hanya memutar mutar sedotan di gelasnya tak kunjung menyeruput minumannya.
Akibat pikirannya yang melayang, berusaha untuk mencerna tiap kata yang di ucapkan Dokter Diana. Lagi lagi, seolah menyalahkannya, mengaggap dirinya yang tak bisa relax dalam menjalani hubungan intim sama seperti perkiraannya sebelumnya.
"Untuk gairah Mbak Inez sendiri bagaimana? normal atau?" tanya Dokter Diana menggantung, sewaktu konseling beberapa saat lalu.
"Normal Dok, nggak ada masalah dengan gairah saya," jawab Inez. "Saya hanya tidak bisa tahan dengan rasa sakitnya Dok, sakit sekali."
Hingga menciptakan seulas senyum tipis di bibir Dokter Diana, menu
Helaan nafas, terdengar beberapa kali dari Agam yang mendengus kesal. Akibat rancangan makan malamnya yang berantakan, tak bisa tertata indah sesuai dengan bayangan yang di milikinya sudah duduk di atas kursi di seberang Inez.Yang menahan senyum, ingin sekali tergelak melihat gurat wajah kesal suaminya mengalihkan pandangan Agam."Ketawa saja Yang, silahkan," sewot Agam."Hahahaha," tawa Inez akhirnya tergelak. Di bawah gemerlipnya bintang, di suasana malam dengan hiasan indah tanpa warna kesukaannya.Tapi cukup membuatnya bahagia, merasa tersentuh dengan niat baik suaminya dan meskipun tak sempurna di dalam realitanya."Terus saja ketawa,""Hahahaha, sudah lah Yang. Nggak usah marah marah,"Mencebikkan bibir Agam menggerutu sendiri. "Gimana nggak marah, kamu lihat ini!" menujuk tirai dan juga selimut di meja. "Pink! gila ya si Fahmi! ng
Suara deru motor Inez, melaju dengan kecepatan tinggi, menembus lenggangnya jalanan kota di pagi hari, di temani oleh buruknya suasana hati.Setelah lima belas menit yang lalu keluar dari pagar gedung apartemennya, dengan memakai jaket kulit hitam yang melindungi tubuh rampingnya. Dan tak lupa helm full face berwarna merah hitam.Sama sekali tak bisa mengendalikan rasa sesak yang terus saja menjalar. Menyeruak semakin dalam hingga membuatnya merasa begitu lemah tak berguna.Sebagai seorang istri yang mencintai, sebagai seorang istri yang harusnya bisa membahagiakan suami.Nyatanya dirinya tak bisa dan tak mampu. Karena kondisi pasti dari keadaannya yang sama sekali tak di ketahuinya, membuatnya begitu frustasi, sangat sulit untuk menerima segala hal yang terjadi.Hanya bisa membuatnya menangis, menangis sendiri di dalam helm yang melindungi, dan di tengah rasa yang semakin berkec
Semilirnya angin di malam hari, semakin dingin menusuk kulit. Sama sekali tak mempengaruhi Agam yang sedang terdiam dan merenung sendirian.Di depan balkon kamar apartement, tak bisa melupakan permintaan cerai dari istri yang sangat di cintainya.Ya, benar. Istri yang sangat dicintainya, dengan harapannya yang begitu besar, untuk bisa menjalin hubungan rumah tangga yang bahagia. Saling melengkapi dan menutupi kekurangan sampai mati.Meskipun kenyataannya tak sempurna, akibat kekurangan Inez yang masih belum di ketahui pastinya kenapa? ada apa? dan bagaimana bisa?Pertanyaan yang setiap harinya terus saja berkecamuk di dalam kepalanya, berusaha untuk tak pernah di ambilnya pusing, sedikitpun tak mengurangi rasa cintanya terhadap istrinya.Hanya bisa berusaha semampunya, meskipun ingin sekali menceritakan perihal permasalahannya ini kepada orang lain. Bukan untuk membuka aib istri
Jalanan kota yang begitu lenggang, meskipun beberapa kali macet di beberapa titik. Sama sekali tak menganggu perasaan Agam yang terasa begitu senang.Karena istrinya yang berubah pikiran, berusaha untuk mencari solusi bersama demi untuk kebahagian di rumah tangganya.Sedang dalam perjalanan menuju rumah mertuanya, dengan harapannya yang begitu besar.Sangat berharap bisa melewati ujian cintanya, segera mendapatkan jalan keluar untuk kesembuhan istri yang di cintainya, teman hidupnya."Jangan minta cerai lagi," kata Agam tadi pagi, sewaktu menikmati sarapan di meja makan bersama dengan Inez menghentikan kunyahan istrinya beradu pandang."Aku sangat nggak menyukainya." Lanjutnya lagi, dengan gurat wajah datarnya menikmati kopi buatan Inez."Kamu nggak menyesal nikahin aku?" tanya Inez."Aku akan lebih menyesal kalau menceraikanmu,"&
Sore mulai menjelang, menunjukkan sinarnya sang Surya yg semakin bergeser hendak pulang ke peraduan. Terasa begitu hangat, tak lagi menyengat kulit.Masih di kediaman rumah Papa Raimon, terlihat Inez, sedang duduk di tepi kolam renang berukuran 4 x 8 meter dengan kedalaman 1,70 m.Dengan pandangan menerawangnya, beberapa kali menghela nafasnya pelan, berusaha untuk menerima kenyataan.Akan penyakit yang dideritanya, penyakit yang belum pernah didengarnya namun cukup membuatnya semakin tertekan setelah membaca mengenai vaginismus di layar ponselnya."Vaginismus... vaginismus...," mengulaskan senyum paksanya, terlihat begitu getir menundukkan kepala.Sembari mempermainkan kakinya yang tercelup ke dalam air, kembali mengingat kata demi kata di artikel yang dibacanya.Hingga membuatnya sangat yakin, meskipun dirinya masih besok pagi pergi ke Dokter, sesuai dengan
Kerlipnya bintang di malam hari, menambah keindahan langit yang telah menggelap sempurna, di temani oleh indahnya sinar dari sang rembulan yang berbentuk setengah lingkaran, menunjukkan sinarnya menyejukkan mata.Bersama dengan sepoinya angin di malam hari, masuk ke dalam jendela kamar Abian yang terbuka, hanya tertutup gorden bermotif garis berwarna hitam putih, menambahkan dinginnya suasana kamar yang telah di kuasai oleh dinginnya AC.Terlihat si empunya, Abian yang sedang duduk bersandar di sandaran ranjang, menselonjorkan kakinya ke depan, sembari membelai lembut puncak kepala Adiknya yang sedang berbaring di atas ranjang, menjadikan pahanya sebagai bantalan."Kenapa harus nunggu besok ke Dokternya? harusnya hari ini setelah Tante Vita memberikan informasi mengenai Dokter Rina," kata Abian.Sudah mengetahui kondisi adiknya dari cerita Mamanya sewaktu dirinya pulang bekerja, menggelengkan kepala
Rasa yang berkecamuk di dalam dada, di kuasai oleh rasa gugup yang berkepanjangan, membuat dada Inez berdebar begitu tak karuan.Setelah melakukan pemeriksaan di bagian organ kewanitaannya, membuatnya harus menahan rasa sakit, meskipun Dokter Rina melakukannya dengan penuh kehati hatian.Dan sekarang, sudah duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan Dokter Rina yang masih tersenyum, seolah semuanya baik baik saja.Sangat berbeda dengan kondisi tubuhnya yang gemetar, menanti penjelasan dari Dokter Rina, tak mampu mengendalikan letupan di dadanya menggenggam erat tangan suaminya yang sedari tadi menguatkannya."Bagaimana Dok?" berusaha untuk memberanikan diri bertanya, menyiapkan telinga dan juga hatinya."Derajat empat Bu,"Semakin mempercepat degup jantung Inez, "Empat Dok?" lirih Inez.Menganggukkan kepala Dokter Rina membenarkan.
"Yang," panggil Inez, sudah berbaring lelah, dengan deru nafasnya yang tersegal.Berbantalkan lengan Agam yang memeluknya, tak membuka mata, "Hem..,""Besok aku sudah mulai tindakan kan ya? tapi kita belum bilang ke Mama,"Membuka mata Agam beradu pandang, "Mama siapa?""Mamaku," jawab Inez, mempermainkan bibir suaminya, di tekan tekannya, sebelum di cubitnya gemas sendiri."Ah," rintih Agam, menarik kepalanya spontan, "Sakit Yang,"Hingga membuat istrinya itu terkekeh mengecup bibirnya singkat. "Maaf maaf, habisnya gemes aku tuh sama bibir kamu. Tebal,"Mencebikkan bibir Agam tersenyum tipis. "Besok saja, pagi pagi sebelum ke rumah sakit kita ke rumah Mama,"Dan berhasil menganggukkan kepala istrinya menyetujui.Sebelum mengalihkan pandangan keduanya kompak, mendengar suara dering ponsel Agam yang ada di atas nakas."Ponsel kamu bunyi Yang," kata Inez.