Jalanan kota yang begitu lenggang, meskipun beberapa kali macet di beberapa titik. Sama sekali tak menganggu perasaan Agam yang terasa begitu senang.
Karena istrinya yang berubah pikiran, berusaha untuk mencari solusi bersama demi untuk kebahagian di rumah tangganya.
Sedang dalam perjalanan menuju rumah mertuanya, dengan harapannya yang begitu besar.
Sangat berharap bisa melewati ujian cintanya, segera mendapatkan jalan keluar untuk kesembuhan istri yang di cintainya, teman hidupnya.
"Jangan minta cerai lagi," kata Agam tadi pagi, sewaktu menikmati sarapan di meja makan bersama dengan Inez menghentikan kunyahan istrinya beradu pandang.
"Aku sangat nggak menyukainya." Lanjutnya lagi, dengan gurat wajah datarnya menikmati kopi buatan Inez.
"Kamu nggak menyesal nikahin aku?" tanya Inez.
"Aku akan lebih menyesal kalau menceraikanmu,"
&
Sore mulai menjelang, menunjukkan sinarnya sang Surya yg semakin bergeser hendak pulang ke peraduan. Terasa begitu hangat, tak lagi menyengat kulit.Masih di kediaman rumah Papa Raimon, terlihat Inez, sedang duduk di tepi kolam renang berukuran 4 x 8 meter dengan kedalaman 1,70 m.Dengan pandangan menerawangnya, beberapa kali menghela nafasnya pelan, berusaha untuk menerima kenyataan.Akan penyakit yang dideritanya, penyakit yang belum pernah didengarnya namun cukup membuatnya semakin tertekan setelah membaca mengenai vaginismus di layar ponselnya."Vaginismus... vaginismus...," mengulaskan senyum paksanya, terlihat begitu getir menundukkan kepala.Sembari mempermainkan kakinya yang tercelup ke dalam air, kembali mengingat kata demi kata di artikel yang dibacanya.Hingga membuatnya sangat yakin, meskipun dirinya masih besok pagi pergi ke Dokter, sesuai dengan
Kerlipnya bintang di malam hari, menambah keindahan langit yang telah menggelap sempurna, di temani oleh indahnya sinar dari sang rembulan yang berbentuk setengah lingkaran, menunjukkan sinarnya menyejukkan mata.Bersama dengan sepoinya angin di malam hari, masuk ke dalam jendela kamar Abian yang terbuka, hanya tertutup gorden bermotif garis berwarna hitam putih, menambahkan dinginnya suasana kamar yang telah di kuasai oleh dinginnya AC.Terlihat si empunya, Abian yang sedang duduk bersandar di sandaran ranjang, menselonjorkan kakinya ke depan, sembari membelai lembut puncak kepala Adiknya yang sedang berbaring di atas ranjang, menjadikan pahanya sebagai bantalan."Kenapa harus nunggu besok ke Dokternya? harusnya hari ini setelah Tante Vita memberikan informasi mengenai Dokter Rina," kata Abian.Sudah mengetahui kondisi adiknya dari cerita Mamanya sewaktu dirinya pulang bekerja, menggelengkan kepala
Rasa yang berkecamuk di dalam dada, di kuasai oleh rasa gugup yang berkepanjangan, membuat dada Inez berdebar begitu tak karuan.Setelah melakukan pemeriksaan di bagian organ kewanitaannya, membuatnya harus menahan rasa sakit, meskipun Dokter Rina melakukannya dengan penuh kehati hatian.Dan sekarang, sudah duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan Dokter Rina yang masih tersenyum, seolah semuanya baik baik saja.Sangat berbeda dengan kondisi tubuhnya yang gemetar, menanti penjelasan dari Dokter Rina, tak mampu mengendalikan letupan di dadanya menggenggam erat tangan suaminya yang sedari tadi menguatkannya."Bagaimana Dok?" berusaha untuk memberanikan diri bertanya, menyiapkan telinga dan juga hatinya."Derajat empat Bu,"Semakin mempercepat degup jantung Inez, "Empat Dok?" lirih Inez.Menganggukkan kepala Dokter Rina membenarkan.
"Yang," panggil Inez, sudah berbaring lelah, dengan deru nafasnya yang tersegal.Berbantalkan lengan Agam yang memeluknya, tak membuka mata, "Hem..,""Besok aku sudah mulai tindakan kan ya? tapi kita belum bilang ke Mama,"Membuka mata Agam beradu pandang, "Mama siapa?""Mamaku," jawab Inez, mempermainkan bibir suaminya, di tekan tekannya, sebelum di cubitnya gemas sendiri."Ah," rintih Agam, menarik kepalanya spontan, "Sakit Yang,"Hingga membuat istrinya itu terkekeh mengecup bibirnya singkat. "Maaf maaf, habisnya gemes aku tuh sama bibir kamu. Tebal,"Mencebikkan bibir Agam tersenyum tipis. "Besok saja, pagi pagi sebelum ke rumah sakit kita ke rumah Mama,"Dan berhasil menganggukkan kepala istrinya menyetujui.Sebelum mengalihkan pandangan keduanya kompak, mendengar suara dering ponsel Agam yang ada di atas nakas."Ponsel kamu bunyi Yang," kata Inez.
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk