Helaan nafas, terdengar beberapa kali dari Agam yang mendengus kesal. Akibat rancangan makan malamnya yang berantakan, tak bisa tertata indah sesuai dengan bayangan yang di milikinya sudah duduk di atas kursi di seberang Inez.
Yang menahan senyum, ingin sekali tergelak melihat gurat wajah kesal suaminya mengalihkan pandangan Agam.
"Ketawa saja Yang, silahkan," sewot Agam.
"Hahahaha," tawa Inez akhirnya tergelak. Di bawah gemerlipnya bintang, di suasana malam dengan hiasan indah tanpa warna kesukaannya.
Tapi cukup membuatnya bahagia, merasa tersentuh dengan niat baik suaminya dan meskipun tak sempurna di dalam realitanya.
"Terus saja ketawa,"
"Hahahaha, sudah lah Yang. Nggak usah marah marah,"
Mencebikkan bibir Agam menggerutu sendiri. "Gimana nggak marah, kamu lihat ini!" menujuk tirai dan juga selimut di meja. "Pink! gila ya si Fahmi! ng
Suara deru motor Inez, melaju dengan kecepatan tinggi, menembus lenggangnya jalanan kota di pagi hari, di temani oleh buruknya suasana hati.Setelah lima belas menit yang lalu keluar dari pagar gedung apartemennya, dengan memakai jaket kulit hitam yang melindungi tubuh rampingnya. Dan tak lupa helm full face berwarna merah hitam.Sama sekali tak bisa mengendalikan rasa sesak yang terus saja menjalar. Menyeruak semakin dalam hingga membuatnya merasa begitu lemah tak berguna.Sebagai seorang istri yang mencintai, sebagai seorang istri yang harusnya bisa membahagiakan suami.Nyatanya dirinya tak bisa dan tak mampu. Karena kondisi pasti dari keadaannya yang sama sekali tak di ketahuinya, membuatnya begitu frustasi, sangat sulit untuk menerima segala hal yang terjadi.Hanya bisa membuatnya menangis, menangis sendiri di dalam helm yang melindungi, dan di tengah rasa yang semakin berkec
Semilirnya angin di malam hari, semakin dingin menusuk kulit. Sama sekali tak mempengaruhi Agam yang sedang terdiam dan merenung sendirian.Di depan balkon kamar apartement, tak bisa melupakan permintaan cerai dari istri yang sangat di cintainya.Ya, benar. Istri yang sangat dicintainya, dengan harapannya yang begitu besar, untuk bisa menjalin hubungan rumah tangga yang bahagia. Saling melengkapi dan menutupi kekurangan sampai mati.Meskipun kenyataannya tak sempurna, akibat kekurangan Inez yang masih belum di ketahui pastinya kenapa? ada apa? dan bagaimana bisa?Pertanyaan yang setiap harinya terus saja berkecamuk di dalam kepalanya, berusaha untuk tak pernah di ambilnya pusing, sedikitpun tak mengurangi rasa cintanya terhadap istrinya.Hanya bisa berusaha semampunya, meskipun ingin sekali menceritakan perihal permasalahannya ini kepada orang lain. Bukan untuk membuka aib istri
Jalanan kota yang begitu lenggang, meskipun beberapa kali macet di beberapa titik. Sama sekali tak menganggu perasaan Agam yang terasa begitu senang.Karena istrinya yang berubah pikiran, berusaha untuk mencari solusi bersama demi untuk kebahagian di rumah tangganya.Sedang dalam perjalanan menuju rumah mertuanya, dengan harapannya yang begitu besar.Sangat berharap bisa melewati ujian cintanya, segera mendapatkan jalan keluar untuk kesembuhan istri yang di cintainya, teman hidupnya."Jangan minta cerai lagi," kata Agam tadi pagi, sewaktu menikmati sarapan di meja makan bersama dengan Inez menghentikan kunyahan istrinya beradu pandang."Aku sangat nggak menyukainya." Lanjutnya lagi, dengan gurat wajah datarnya menikmati kopi buatan Inez."Kamu nggak menyesal nikahin aku?" tanya Inez."Aku akan lebih menyesal kalau menceraikanmu,"&
Sore mulai menjelang, menunjukkan sinarnya sang Surya yg semakin bergeser hendak pulang ke peraduan. Terasa begitu hangat, tak lagi menyengat kulit.Masih di kediaman rumah Papa Raimon, terlihat Inez, sedang duduk di tepi kolam renang berukuran 4 x 8 meter dengan kedalaman 1,70 m.Dengan pandangan menerawangnya, beberapa kali menghela nafasnya pelan, berusaha untuk menerima kenyataan.Akan penyakit yang dideritanya, penyakit yang belum pernah didengarnya namun cukup membuatnya semakin tertekan setelah membaca mengenai vaginismus di layar ponselnya."Vaginismus... vaginismus...," mengulaskan senyum paksanya, terlihat begitu getir menundukkan kepala.Sembari mempermainkan kakinya yang tercelup ke dalam air, kembali mengingat kata demi kata di artikel yang dibacanya.Hingga membuatnya sangat yakin, meskipun dirinya masih besok pagi pergi ke Dokter, sesuai dengan
Kerlipnya bintang di malam hari, menambah keindahan langit yang telah menggelap sempurna, di temani oleh indahnya sinar dari sang rembulan yang berbentuk setengah lingkaran, menunjukkan sinarnya menyejukkan mata.Bersama dengan sepoinya angin di malam hari, masuk ke dalam jendela kamar Abian yang terbuka, hanya tertutup gorden bermotif garis berwarna hitam putih, menambahkan dinginnya suasana kamar yang telah di kuasai oleh dinginnya AC.Terlihat si empunya, Abian yang sedang duduk bersandar di sandaran ranjang, menselonjorkan kakinya ke depan, sembari membelai lembut puncak kepala Adiknya yang sedang berbaring di atas ranjang, menjadikan pahanya sebagai bantalan."Kenapa harus nunggu besok ke Dokternya? harusnya hari ini setelah Tante Vita memberikan informasi mengenai Dokter Rina," kata Abian.Sudah mengetahui kondisi adiknya dari cerita Mamanya sewaktu dirinya pulang bekerja, menggelengkan kepala
Rasa yang berkecamuk di dalam dada, di kuasai oleh rasa gugup yang berkepanjangan, membuat dada Inez berdebar begitu tak karuan.Setelah melakukan pemeriksaan di bagian organ kewanitaannya, membuatnya harus menahan rasa sakit, meskipun Dokter Rina melakukannya dengan penuh kehati hatian.Dan sekarang, sudah duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan Dokter Rina yang masih tersenyum, seolah semuanya baik baik saja.Sangat berbeda dengan kondisi tubuhnya yang gemetar, menanti penjelasan dari Dokter Rina, tak mampu mengendalikan letupan di dadanya menggenggam erat tangan suaminya yang sedari tadi menguatkannya."Bagaimana Dok?" berusaha untuk memberanikan diri bertanya, menyiapkan telinga dan juga hatinya."Derajat empat Bu,"Semakin mempercepat degup jantung Inez, "Empat Dok?" lirih Inez.Menganggukkan kepala Dokter Rina membenarkan.
"Yang," panggil Inez, sudah berbaring lelah, dengan deru nafasnya yang tersegal.Berbantalkan lengan Agam yang memeluknya, tak membuka mata, "Hem..,""Besok aku sudah mulai tindakan kan ya? tapi kita belum bilang ke Mama,"Membuka mata Agam beradu pandang, "Mama siapa?""Mamaku," jawab Inez, mempermainkan bibir suaminya, di tekan tekannya, sebelum di cubitnya gemas sendiri."Ah," rintih Agam, menarik kepalanya spontan, "Sakit Yang,"Hingga membuat istrinya itu terkekeh mengecup bibirnya singkat. "Maaf maaf, habisnya gemes aku tuh sama bibir kamu. Tebal,"Mencebikkan bibir Agam tersenyum tipis. "Besok saja, pagi pagi sebelum ke rumah sakit kita ke rumah Mama,"Dan berhasil menganggukkan kepala istrinya menyetujui.Sebelum mengalihkan pandangan keduanya kompak, mendengar suara dering ponsel Agam yang ada di atas nakas."Ponsel kamu bunyi Yang," kata Inez.
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda