Tok..tok..!
"Sebentar!" seru seorang pria berjalan cepat menghampiri pintu yang terus diketuk meski ada bell yang seharusnya bisa disentuh.
"Tidak sadarkah kamu ini jam berapa?" tanya pria itu membuka lebar pintu lalu menatapi tamunya yang datang tak tau waktu.
Namun, rasa kesal pria berwajah tampan tapi mengintimidasi yang dihiasi senyum itu berubah saat melihat penampilan Arum yang begitu muram dengan wajah sembab, hidung merah, pipi yang masih menyisakan bekas air mata, juga mata merah tergenangan air yang bisa jatuh kapan saja.
"Apa yang ter- " ucap pria yang jadi diam saat Arum memeluknya cepat dengan tangis yang kembali terdengar.
Isak Arum kembali pecah dan jadi tangis sepenuh hati saat tubuhnya direngkuh pria bertangan hangat dan kuat yang kesalnya berganti jadi kekhawatiran.
"Meski aku tak tau apa yang terjadi, menangislah sepuasmu. Tapi kamu harus cerita padaku setelah tangismu usai, mengerti? " ucap pria yang mengeratkan pelukannya pada tubuh Arum yang terlihat sangat butuh topangan.
Pria tampan yang tak perduli lagi pada semalam apa Arum datang itu hanya mendekap wanita yang menangis sepenuh hatinya dibelakang pintu yang menutup rapat dengan bunyi klik.
"Siapa, hon?" tanya suara berat yang hanya memakai celana panjang memamerkan otot perutnya lalu mengangguk. Melihat pria yang memeluk Arum menempelkan telunjuk dibibirnya yang tebal.
"Ok, aku akan buat minuman hangat untuk kita," ucap Ali menuju dapur setelah mencuci wajahnya di westafel.
Tangan Ali dengan cekatan meracik coklat panas bertabur bubuk kayu manis, sesekali matanya menatap kekasihnya yang sedang memeluk Arum. Wanita yang tangis sepenuh hatinya masih tak kunjung reda.
Satu dari beberapa orang yang biasa saja dengan bentuk cinta yang ia miliki bersama Marko.
"Siapa yang melukaimu sampai begini, Cinta?" tanya Ali menghapus sisa air mata Arum dan mengecup pipinya. Lalu menyerahkan kompres air dingin yang sudah ia siapkan untuk Arum gunakan pada matanya yang bengkak dan pasti perih.
"Aku mau bercerai." Ucapan Arum membuat Ali menatap Marko dan diam beberapa saat.
"Ok, tapi kenapa? Bukannya kamu bilang tak apa suamimu selalu sibuk."
"Apa ia berselingkuh?" tanya Marko yang mendapat tatapan tajam dari Ali seketika.
"Lebih parah, dia punya anak yang seumuran dengan Arimbi bersama cinta pertamanya." Jawaban Arum membuat dua pria disampingnya makin kaget.
"Cinta pertama? Maya? Bukannya cewek murah itu nikah sama kakek-kakek yang ngasih dia ferrary sama rumah?" ucap Ali menatap Arum yang bersandar pada bahu bidang Marko.
Arum menutup matanya yang seakan begitu lelah. Bagaimana tidak lelah? ia yang mendengar saja kaget. "Well, kalau itu sudah menjadi keputusanmu." Ucap Marko mengecup pucuk kepala Arum yang memangku kantong berisi es batu yang seharusnya ia kompreskan pada matanya yang merah dan bengkak.
"Tapi kamu yakin, Cinta? Single parent is not an easy thing to do," ucap Ali mengusap lengan Arum yang jemarinya terasa menguat di dalam tangannya.
Membuat Ali diam. Ia paham, sahabatnya ini sudah berpikir matang mengenai apa yang sudah terlontar dari mulut Arum barusan.
Wanita yang membuka matanya itu menarik nafasnya dalam, membiarkan rasa perih menyebar dalam diri karena sadar ia tak akan bisa mengenyahkan rasa itu.
"Itu lebih baik daripada punya ayah yang menyalahkan kehadirannya, putri kami... putriku, putri kesayanganku..." ucap Arum membuat Ali menarik nafas lalu memeluk arum yang suaranya bergetar.
"Apa aku perlu menghajar pria tak tau terimakasih itu?" ucap Marko penuh keseriusan.
"Menghajarnya hanya akan menambah masalah, Honey, dan aku tak ingin kamu terlibat masalah lagi." Ucap Ali dengan suara lembut membuat Marko menatap Arum yang masih berada di dalam dekapan Ali.
Dua orang pria yang kehadirannya lebih banyak dibandingkan Bagas, sesibuk apapun mereka dalam hidup arum dan Arimbi.
Dua orang pria yang tau kehidupan wanita yang matanya begitu sembab ini, bahkan lebih paham dari siapapun.
Apalagi, Arum bukanlah wanita yang akan sangat murah menunjukan airmatanya. Jadi bisa dipastikan sahabat mereka ini sudah sangat terluka dan tak lagi bisa menahan rasa.
"Jika keputusanmu sudah bulat lakukan saja. Toh, kamu tetap punya dua suami," ucap Marko serius tak urung membuat Arum tersenyum meski hatinya masih sakit.
"Terimakasih, aku tak tau apa yang akan kulakukan tanpa kalian."
"Oh ayolah, Cinta, kamu akan bertahan meski tanpa aku dan Marko," ucap Ali membuat senyum kembali tercipta di bibir wanita yang menggelengkan kepalanya tak setuju.
"Kami hanya peran pembantu yang selalu mendukungmu, Arum," tambah Marko mengusapi pipi Arum yang tatapannya jadi begitu yakin. Dibalik sembab dan merahnya. Lalu mengambil gelas berisi coklat panas yang sudah mendingin dari meja.
"Perlu kupanaskan lagi?"
"Tidak, Li, thanks. Aku harus pulang setelah ini," ucap Arum meminum habis coklat dinginnya yang beraroma kayu manis. Hatinya jadi sedikit lebih tenang juga jauh lebih baik berkat dua pria yang selalu ada untuknya juga Arimbi.
Gadis kecil yang mungkin akan bangun saat merasakan dekapan dan kecupan tak henti darinya saat ia sudah sampai rumah nanti.
'Mama kangen sekali padamu, Sayang.' Batin Arum ingin segera melihat wajah bulat nan tembem Arimbi juga menciumi pipinya yang kenyal juga memeluk putri kesayangannya itu yang jelas-jelas bukan kesalahan.
"Aku antar ya?" ucap Ali pada Arum yang menggeleng.
"Tidak perlu, Li. Besok kalian ada kerjaan, kan? sebagus-bagusnya mata kalian itu, pasti akan membuat penata rias mengomel."
"Itu sudah tugasnya, memastikan aku dan Ali terlihat sempurna didepan kamera," jawab Marko.
"Aku tau, tapi kalau diantar aku tau aku akan mengeluh panjang dan rasanya aku lebih butuh tidur panjang setelah ini."
"Thats good, Cinta. berendamlah jika perlu, air hangat akan membuat saraf-sarafmu lebih releks. Setelah itu tidurlah selama yang kamu mau. Kami bisa menjemput Arimbi untuk mengantarnya sekolah besok," ucap Marko membuat Arum menatapnya.
"Aku akan sangat menyukai itu, ko. Thanks"
"Selalu," ucap dua pria berbadan bagus itu bersamaan.
"Tidakkah ponselmu tau ini sudah terlalu malam untuk terus berbunyi?" ucap Ali membuat Arum menggeleng.
"Sayangnya tidak, tapi biarlah. Aku pulang dulu." Ucap Arum berdiri. Diikuti dua orang pria yang mengantarnya sampai mereka berdiri disamping mobil Arum yang meski sudah mendingin.
"Oh, apa ini?" ucap marko merasakan pelukan Arum yang terasa lain, begitu erat.
"Kamu tak sendiri, Cinta" ucap Ali mengusap kepala arum sedang Marko membalas pelukan wanita yang menghapus matanya yang kembali tergenang.
"Kalau sudah sampai rumah kasih kabar, dan tidurlah sedang tak seenak apapun rasamu, kamu sangat butuh itu. Urusan Arimbi serahkan pada kami," ucap Ali membuat Arum menatapnya begitu lekat. Sampai Ali merasa heran.
"Ya, aku titip Arimbi." Ucap Arum masuk ke dalam mobil lalu melambai pada dua pria yang terus menatapnya.
Ali dan Marko terus berdiri memperhatikan Arum melajukan mobil menjauhi apartemen dua model pria yang wajahnya menghiasi banyak majalah tak hanya di dalam negri.
"Arum dan Arimbi akan baik-baik saja, kan Ko?" tanya Ali bersender pada bahu Marko.
"They will, Li. Both of them have us." JAwaban Marko membuat Ali menatapnya lalu mengangguk.
"Ya, they have us. Arum dan Arimbi memiliki kita."
*
"Mas?" ucap bibir yang matanya masih terpejam menyusurkan tangannya putihnya pada permukaan kasur yang dingin. Tak menyisakan kehangatan Bagas sama sekali.
Maya yang ahirnya bangun tak mendapati pria yang menyentuhnya begitu lapar di atas ranjang berkali-kali sampai ia tak sadar sudah jatuh tertidur.
"Mas Bagas? Mas?" Mata wanita yang tak mendapati panggilannya dijawab itu langsung menatap pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Ia tau Bagas tak ada di sana.
"Son of a bitch!" Maya yang tak menggunakan sehelai benang pun itu langsung turun dengan merutuk tak perduli pada rasa yang timbul ditubuh bagian bawahnya.
"BRENGSEK!" seru maya membuka pintu kamarnya kasar setelah menggunakan bajunya cepat dan mendapati zizi yang keluar dari kamar Carmen.
"Bisakah lo pelanin suara lo, May? atau putri lo bakal bangun."
"Persetan dengan itu!" seru Maya menyambar kunci mobil ditangan zizi kasar.
"Lo bisa bilang permisi kek!" ucap zizi tak terima.
"Kalo lo gak terima, anterin gue ke rumah ipar sialan lo, ITU!" ucap Maya membuat Zizi memperhatikannya dari ujung rambut ke ujung kepala.
"Why? Bukannya masalah kalian udah selesai?"
"Kalau udah kelar gue gak akan uring-uringan kayak gini."
"Come on, Maya. Lo sama sekali gak luka walau gue berharap ketemu elo yang memar di sana-sini minimal ada bekas tamparan di pipi lo."
"Gue lagi gak mau bercanda, Zi!" seru Maya pada zizi yang hanya mengangkat bahu tak perduli..
"Setidaknya lo pantes dapet itu, Maya."
"Kalo lo masih mau bercanda gue pergi sendiri!"
"Wait. Gue gak akan ngizinin lo bawa mobil baru gue dengan emosi," ucap Zizi meminta kunci mobilnya kembali.
"Brengsek!" Maya melempar kunci mobil pada Zizi yang menarik nafasnya.
"Kita emang brengsek, May. Tapi gue tetep gak akan ngizinin lo nyetir mobil kesayangan gue." Zizi berjalan mengikuti Maya yang menutup pintu apartemenya kasar. Tak perduli jika putrinya yang sudah lelap terbangun.
BRAK!!
"Jangat buat gue nyesel udah dukung lo, May," ucap Zizi pelan dan membuka pintu yang ditutup di depan mukanya, lalu melangkah cepat mengikuti sahabatnya yang emosi itu. Wanita ayu yang terus merutuk diantara suara musik yang sengaja Zizi keraskan didalam mobil kesayangannya yang ia minta dari Arum.
"Aku benar-benar tidak mengerti kakakmu, Zi. Ini yang selalu kami harapkan dari dulu. Lepas dari Arum. Dan semudah apa Arum melepasnya. Tapi kakakmu malah pergi kerumah istri sialannya itu."
Mobil Arum berhenti di depan gerbang rumahnya yang sepi. Setelah merogoh tas dan mengambil kunci pagar ia turun dan membuka pagar besi yang menjulang tinggi.Bukan hal tak biasa bagi Arum membuka dan menutup pintu untuk dirinya sendiri seperti malam iniApalagi, sebelum pergi arum sudah berpesan agar tak usah ditunggu pada satu-satunya pekerja yang tinggal dirumah dan menyilahkannya tidur setelah putri kecilnya terlelap dan wanita yang usianya tak begitu jauh dari umur Arum itu mengangguk. Bahkan menyuruh Arum untuk berhati-hati kemanapun ia akan pergi.Dengan tangan memegangi pagar ditatapnya kamar sang putri yang lampunya menyala temaram dilantai dua. Mata Arum berair lagi dan seketika diusapnya lalu menarik nafas panjang yang terasa menyesakan."Cukup, aku sudah banyak menangis malam ini." Ucap Arum menghapus sisa air dari dalam matanya lalu menghembuskan nafasnya kuat-kuat."Mama pul
Marko sesekali menatap ponselnya yang tak kunjung berbunyi. Wajahnya tampak khawatir."Mungkin, Arum langsung tidur" ucap Ali yang keluar dari kamar mandi."Tapi perasaanku jadi tak enak sekali" ucap Marko menggeser tubuhnya ketengah dan menyambut tangan Ali yang naik ke tempat tidur."Pikirannya sedang suntuk ia pasti lupa" ucap Ali menepuk bantal disampingnya."Ya, mungkin juga" ucap Marko merebahkan kepalanya diatas bantal yang Ali tepuk."Kita taruh ponselmu disini" ucap Ali mengambil ponsel dari nakas dan meletakkannya diatas bantal. Membuat Marko menatapnya."Atau, biar kamu tenang aku telponkan Arum saja." Ucap Ali memenceti layar ponsel Marko tapi hanya ada nada sambung yang terdengar diikuti suara veronica.(Nomer yang anda tuju tidak menjawab. Silahkan hubungi sesaat lagi.)"Sekali lagi" ucap Ali menekan ponsel Marco lagi. Sama! hanya
"Hei, bangun." Ucap pria bermata ash menarik selimut yang menutupi tubuh gadis tanpa pakaian yang tampak lelap setelah apa yang mereka berdua lakukan beberapa jam lalu."Aku masih lelah, Seth," ucap Zizi menarik selimutnya lagi bahkan menutupi kepala."Tetangga depan rumah itu iparmu, bukan?" tanya Seth membuat jantung Zizi berdetak cepat.Seketika keringat dingin keluar dari seluruh tubuh gadis yang langsung berlari ke kamar mandi. Membuat bule bermanik ash itu menatapnya heran saat zizi memuntahkan isi perutnya."Jangan bilang kau hamil," ucap Seth menyelimuti tubuh tanpa baju milik zizi yang wajahnya pucat pasi."Tenang saja, aku takkan hamil." Jawab Zizi begitu yakin."Baguslah, aku belum ingin terikat dengan siapa pun," ucap Seth membuat Zizi menatapnya lekat. "No hard feeling, Baby. It's just the way I live my life, tak berkomitmen pada siapa pun.""Termasuk aku?" ucap Z
"Yang sekolah, kan, aku. Kenapa mama malah turun duluan!" seru Carmen dengan wajah cemberut menatapi Maya yang tak bisa menyelesaikan tanyanya."Galak- pemberani ya bu, Anaknya?" ucap Bi Lisa menatap bocah kecil yang memperhatikannya penuh selidik."Siapa, Ma?" tanya Carmen tanpa menoleh pada Maya."Saya, pengasuhnya neng Arimbi, Neng.""Arimbi?" ulang Carmen tampak tak suka, membuat Bi Lisa mengangguk meski heran melihat wajah cemberut Carmen makin bertambah masam."Arimbi?! Dimana? Mana, Arimbi?" tanya bocah lelaki lucu tapi nakal yang berlari cepat menyusul Carmen sambil celingukan kesegala arah."Apaan sih Rei, ganggu aja!" ucap Carmen menatap Rei tak senang."Aku nyari Arimbi tauk, bukan Carmen jelek." Balas Rei membuat wajah Carmen yang cemberut makin ditekuk."Mana Arimbinya, tante Arum?" tanya Rei mengira salah satu wanita disampingnya adala
Ali, yang membeli dua kaleng soda dingin dari fending machine menatap Marko berdiri menatap langit cerah tanpa awan sedikit pun. Sungguh berbanding terbalik dengan dua orang yang hatinya sedang kelabu itu.Puk!Tangan Ali menyentuh pundak marco yang menoleh dalam diam."Minum dulu biar dingin," ucap Ali menunjukkan senyum menenangkan, membuat Marko mengangguk dan membuka pengait kaleng yang menimbulkan suara berdesis.Cess..cesss..."Better?" tanya Ali melihat Marko menarik nafasnya setelah menengguk beberapa kali kaleng soda ditangannya itu."Aku, bener-bener gak tau apa yang harus aku lakukan tanpa kamu, Li," ucap pria yang membuat Ali tersenyum lalu menuntun tangan Marko agar duduk di kursi besi panjang di samping tembok rumah sakit yang aromanya begitu khas."Apa yang akan terjadi setelah ini?" tanya Ali membuat Marko menatapnya."Arum dan Arimbi mereka ha
Seth, pria berusia 22 tahun itu turun menyusuri tangga, hidungnya tergelitik saat mencium harum kue yang membuat perutnya berbunyi.Black forest dengan potongan stroberi yang sudah dilumuri lelehan coklat mengeras ditiap potongnya membuat Seth mengambil sepotong lagi untuk mengganjal perutnya yang lapar."Enakkan?" tanya wanita yang masuk dari arah taman mengejutkan Seth yang hampir saja tersedak."Kau beli dimana, Mom?" tanya seth pada wanita yang hanya terpaut usia 7 tahun dengannya. Panggilan itu terdengar hanya saat ia di rumah, saat diluar seth akan memanggilnya mira atau miranda."Aku beli dijalan pulang bersama Lisa," ucap Miranda meletakkan gelas berisi air putih di depan Seth yang berterimakasih."Teman baru?""Yups, my new friend's, dia tetangga depan rumah kita," ucap Miranda membuat Seth menatapnya dan berhenti mengunyah."Bukannya wanita cantik itu diba
"Anda baik-baik saja pak bagas?" tanya dokter yang masih gagah itu bertanya pada lelaki yang hanya diam membisu pada penjelasannya mengenai kondisi Arum, sampai Bagas menatapnya."Ya, Dok. Hanya saja saya jadi merindi- lupakan, Dok." ucap Bagas yang bulu halusnya berdiri membuat dokter Anggodo menatapnya."Hanya itu yang bisa saya sampaikan saat ini, saya harap Pak Bagas bersabar dan bisa menerimanya kondisi Bu Arum," ucap Dokter Anggodo membuat Bagas mengangguk.Meski jelas terlihat, ia tidak paham mengangguk untuk apa? atau kenapa ia mengangguk?Lalu menyalami dokter yang memberinya senyum simpati. Pamit.Bagas, menatap langit yang begitu terik dan menarik nafasnya panjang, ekspresi wajahnya sungguh tak bisa dibaca."Arum Wijaya, jika aku tak memilihmu, hidupmu pasti takkan berahir seperti ini," ucap Bagas menutup matanya lagi tapi langsung terbuka dengan cepat melihat sekelebat bayangan wanita yang menggelinding dari tangga begitu cepat tapi
"Kemari, Sayang."Arimbi masuk dengan menatapi orang-orang dewasa, tangannya masih memegang erat permen lolipop yang ingin ia berikan pada Carmen.Suasana nursery jadi sepi beberapa lama, apa lagi Maya diam dengan menutup rapat mulutnya menatap gadis kecil yang berjalan pelan dan menatap kepala yayasan yang tersenyum mengusap kepala Arimbi."Ayo, ucapkan yang mau Arim bilang sama Carmen," ucap wanita bertubuh tambun itu membuat Arimbi menatapnya lalu mengangguk dan mendekat pada ranjang nursery. Gadis kecil imut itu memiringkan kepalanya bingung lalu menoleh."Carmen tidur, Oma," ucap Arimbi memandang kepala yayasan. Membuat beberapa kepala tak percaya dengan panggilan yang diberikan Arimbi pada wanita bertubuh tambun itu."Tidak apa, Sayang. Kalau begitu ucapkan pada mamanya carmen saja, ok?" ucap kepala yayasan tak perduli pada perubahan sikap Maya saat gadis kecil itu menatapnya lalu mengangguk.
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu