"Hei, bangun." Ucap pria bermata ash menarik selimut yang menutupi tubuh gadis tanpa pakaian yang tampak lelap setelah apa yang mereka berdua lakukan beberapa jam lalu.
"Aku masih lelah, Seth," ucap Zizi menarik selimutnya lagi bahkan menutupi kepala.
"Tetangga depan rumah itu iparmu, bukan?" tanya Seth membuat jantung Zizi berdetak cepat.
Seketika keringat dingin keluar dari seluruh tubuh gadis yang langsung berlari ke kamar mandi. Membuat bule bermanik ash itu menatapnya heran saat zizi memuntahkan isi perutnya.
"Jangan bilang kau hamil," ucap Seth menyelimuti tubuh tanpa baju milik zizi yang wajahnya pucat pasi.
"Tenang saja, aku takkan hamil." Jawab Zizi begitu yakin.
"Baguslah, aku belum ingin terikat dengan siapa pun," ucap Seth membuat Zizi menatapnya lekat. "No hard feeling, Baby. It's just the way I live my life, tak berkomitmen pada siapa pun."
"Termasuk aku?" ucap Zizi membuat Seth mengangkat bahunya dingin.
"Ya, termasuk kamu." Jawab Seth lalu keluar dari kamar mandi dan kembali menatap keluar jendela melihat ambulan keluar dari pekarangan rumah seberang diikuti sebuah mobil yang dinaiki dua orang pria.
"Kamu, lihat apa?" tanya Zizi yang sudah keluar dengan melilitkan selimut ditubuh sinyalnya.
"Kau pernah bilang, itu rumah iparmu, bukan?" Tanya Seth menatap Zizi yang diam. Wajahnya masih pucat.
"Ke...kenapa?"
"Tidak. hanya saja ada ambulans yang baru keluar dari rumah itu," ucap Seth sekali lagi menatap keluar jendela.
"O- ohh," balas Zizi membuat Seth menatapi gadis yang tampak mengalihkan pandangannya cepat lalu meraih pakaian berserakan di atas lantai dan memakainya dibawah pengawasan Seth yang lebih tertarik menatap keluar.
"Kau, mau kesana?"
"Apa?"
"Ke rumah iparmu?" ucap Seth menatap bocah kecil yang menangis digendongan wanita yang memakai pakaian tertutup. Lalu berpikir apa nama pakaian yang sedang dikenakan wanita yang tampak berusaha menenangkan gadis kecil yang menangis dalam gendongannya itu.
"Tidak."
"What?" tanya Seth menoleh pada Zizi yang sedang memakai bra.
"Aku takkan ke rumah itu." Jawab Zizi membuat Seth menatapi gadis yang sudah memakai seluruh bajunya yang hanya tiga potong itu.
"I- ... I don't have a good relation with her. That's all," ucap Zizi lalu mengecup bibir Seth yang tak membalas, "Bisakah kau bukakan pintu rumahmu, please. Aku mau pulang." Pinta Zizi membuat Seth diam beberapa saat.
"Sure," jawab seth pada ahirnya setelah menatap wanita yang meski memandangnya, pikirannya seolah berada ditempat lain.
Send: ambulans datang kerumah istrimu, aku tak ingin terlibat dengan hal ini camkan itu. Z
Ping: bagaimana kau tau?
Send: pentingkah ibu? Jangan libatkan aku! aku muak dengan kalian. Z
Ping: kau sudah terlibat anak bodoh! jika tak ingin terlibat lebih, tutup mulutmu dan lupakan yang kau lihat!
"Kau tak perlu memberi tahuku, Ibu" ucap Zizi menginjak pedal gas. Menembus jalanan dini hari yang seakan tak mengenal kata lelah. Ia bahkan tak perduli melihat bi Lisa menenangkan Arimbi yang menangis.
*
Arimbi yang terus menangis ingin ikut Arum itu ahirnya tertidur dengan mata sembab dan hidung merah. Tangan kecilnya memeluk tas kertas berisi permen yang belum dibuka dari pembungkusnya.
Membuat wanita yang wajah kantuknya hilang itu sesekali menatap ponselnya sendiri yang bunyinya ia tunggu, ingin mendengar kabar tentang keadaan nyonya rumah tempatnya bekerja. Wanita baik dan lembut yang memperlakukannya tak seperti bawahan ataupun orang yang digaji karena tenaganya dibutuhkan.
"Ya Allah, berikanlah yang terbaik pada Mbak Arum dan keluarganya," do'a tulus yang terucap dari bibir Bi Lisa yang selesai menjalankan solat subuh itu terdengar begitu tulus, lalu menatapi gadis kecil yang tertidur lelap diatas kasur memeluk hadiah dari sang mama yang dibawa ke rumah sakit segera setelah ambulan datang.
Setelah melipat mukena dan membetulkan selimut untuk menutupi tubuh kecil yang matanya sembab, sedikit ragu wanita yang memutuskan keluar dari kamarnya itu membawa lap dan air dalam ember. ia membersihkan darah yang sudah mengering meski tak banyak, berharap nona kecilnya takkan pernah melihat.
Kring...kring...
Suara telepon yang ahirnya berbunyi membuat Bi Lisa berlari cepat menghampiri meja telepon dan mengangkat gagang telepon dengan nafas tersengal.
"Halo?"
"Bi, ini Ali."
"Ah! iya, Den, bagaimana nyonya- mbak Arum bagaimana?"
"...."
Tak ada jawaban selama beberapa lama membuat bi Lisa menggenggam gagang telepon ditangannya erat. Tak ingin berpikir buruk. "Den Ali, nyonya ma-
Suara bi Lisa langsung tercekat merasakan matanya memanas.
"Mama ya, Bi?" ucap Arimbi yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya lalu naik kebangku memencet tombol speaker.
"Mama... mama... ini Arim, Ma. kapan mama pulang? arim janji gak akan nangis lagi, kapan mama pulang, Ma?" ucap bocah yang tampak semangat tapi tak ada jawaban dari speaker yang seharusnya terdengar.
"Bibi, telponnya gak rusak 'kan?" tanya bocah yang matanya sembab itu membuat Bi Lisa menggeleng pelan. "Terus kok gak ada suara mama? mama hallo mama...." panggil bocah yang mendekatkan telinganya pada telepon.
"Mama masih sakit, ya?" tanya Arimbi pelan.
"Makanya mama dibawa mobil wiu-wiu, mama sakit apa? Aku mau ikut mama--" ucap bocah yang matanya mulai tergenang air lagi dengan suara bergetar.
"Halo, Sayang. Ini Om Ali."
"Kok, Om Ali? Mama mana? Mama sakit ya? Arim mau kesitu Om, mau ketemu Mama," pinta Arimbi menghapus mata basahnya cepat.
"Arim janji Arim gak akan nakal, gak akan nangis kayak tadi, beneran deh Arim gak akan nangis," ucap Arimbi membuat Bi Lisa menghapus air matanya cepat tak ingin bocah disampingnya melihat.
"Sayang, bisa Om bicara sama bibi dulu?"
"Tapi...,"
"Nanti, Om Ali jemput Arimbi buat ketemu Mama."
"Beneran?" ucap Arimbi yang jadi semangat seketika.
Tak ada jawaban selama beberapa saat, "... iya, beneran, Sayang."
"Janji?"
"Iya, sayang. Om janji. tapi Arim harus dengerin kata-kata bibi ya?"
"Ok!" jawab Arimbi cepat tak lagi ingin menangis.
"Janji?"
"Janji!" ucap arimbi lalu menata Bi Lisa yang mematikan tombol speaker.
Supaya suara Ali hanya terdengar dari gagang yang menempel ditelinganya. Dan bi Lisa hanya mengiyakan setiap ucapan Ali, sesekali menatap nona kecilnya yang menatapinya begitu berbinar karena bisa bertemu dengan Arum, sang mama yang pergi dibawa mobil wiu-wiu.
*
"Kenapa aku harus sekolah dulu sih, Bi~?" tanya bocah yang sedang disabuni oleh tangan terampil Bi Lisa.
"Biar pinter dan kalau dapat nilai A bisa ditunjukkan ke Mama."
"Hanya A? B atau C gak boleh?" tanya Arimbi polos tak urung membuat Bi Lisa tertawa melihat nona kecilnya memiringkan kepalanya lucu.
wajah serius Arimbi terlihat begitu menggemaskan.
"Tentu saja boleh, tapi nilai A lebih bagus dari B atau C, kan?"
"Ng... iya?" jawab Arimbi ragu lalu menutup matanya merasakan guyuran air dari shower yang diarahkan Bi lisa pada tubuh kecilnya.
"Sudah." ucap bi Lisa menghanduki bocah yang lalu digendongnya ke luar dari kamar mandi.
"Apa mama akan senang kalau aku dapat nilai A?"
"Tentu saja, bibi juga akan senang kalau nona kecil dapat nilai A." Jawab wanita yang mendapati tatapan menyelidik Arimbi yang memeluk lehernya.
"Tapi, papa tidak pernah suka aku dapat A," ucap gadis yang membuat sang bibi terdiam mengingat tuannya yang jarang dirumah.
"Kenapa Neng Arim berpikir begitu? Papa pasti senang Neng Arim dapat nilai bagus." Ucap wanita yang meletakkan Arimbi di atas kasurnya yang empuk lalu mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Papa tidak seperti mama, Bi, yang akan memeluk dan mencium Arim terus bilang 'anak mama pinter' papa hanya akan melihat sebentar lalu kembali pada- pada korannya atau berdiri terus pergi. Beda sama papanya Rei yang akan bilang Rei anak pintar meski Rei dapet nilai B atau C sambil mengusap kepala Rei. Papa ng...." ucap Arimbi berpikir keras dengan otaknya yang masih berkembang itu.
"Papa beda?" tanya Bi Lisa pada Arimbi yang menatapnya lalu mengangguk.
"Iya, beda. Tidak seperti papa Rei yang akan tersenyum atau mengelus kepala Rei kayak gini nih," ucap bocah kecil yang belum memakai baju itu memperagakan ucapanya sambil mengusapi kepala Bi Lisa.
"Terus tatapan papa Rei beda lagi, Bi," ucap Arimbi yang tatapan mata bulatnya disipitkan dengan senyum membuat sang bibi yang merasa hatinya terusik dengan ucapan sang nona kecil.
"Masa tatapan papanya Rei begitu?"
"Iya, Bi. beneran terus kalo papa kayak gini," Arimbi melirik kemanan seolah memperagakan tatapan Bagas yang tak lerduli dengan gaya polosnya, "terus papa balik lagi baca koran. Papa kayak gini nih," ucap bocah yang tampak tak mau mengalah dan menurut dipakaikan minyak telon yang membuat badannya hangat.
"Bibi, apa aku harus terus pake minyak bayi ini?"
"Minyak bayi?"
"Iya, itukan minyak bayi. Nih lihat ada gambar bayinya."
"Tapi tubuh Neng Arim jadi hangat dan kita dijauhin nyamuk, lho."
"Emang nyamuk jadi takut kalo aku pake minyak bayi?" tanya bocah yang matanya membesar ini.
"Iya, bibi aja pakai."
"Beneran?"
"Beneran, dong," ucap Bi Lisa membuat Arimbi menghirupi badannya.
"Kok, Bibi gak bau wangi?"
"Bibikan belum mandi, Neng."
"Emang harus dipake habis mandi, ya Bi?" tanya Arimbi yang matanya membesar tiap kali mendengar hal-hal biasa yang membuatnya terkejut.
"Tidak juga, tapi bibi pake kalau mau tidur biar nyamuk jauh-jauh dan tubuh jadi hangat."
"Emang kamar bibi ada nyamuknya? Kamar Arim gak ada, terus kamar Mama juga gak ada."
Ocehan Arimbi berlanjut sampai gerbang sekolah lalu melambai sekali lagi pada Bi Lisa yang membalas lambaian gadis kecil yang berlari masuk ke dalam gedung ramai dengan suara-suara anak kecil. Meninggalkannya yang baru hari ini mengantarakan Arimbi ke sekolah karena wanita yang biasa mengantar jemput Arimbi masih berada di rumah sakit.
"Akh! Maaf" ucap Bi Lisa tak sengaja menabrak tubuh wanita yang berdiri dibelakangnya, meski sang bibi merasa sedikit heran apa yang dilakukan wanita yang wajahnya kaku itu berdiri begitu tepat di belakang tubuhnya padahal masih banyak tempat lain untuk wanita itu berdiri.
"Tidak apa, it- itu Arimbi 'kan? biasanya berangkat dengan mamanya?"
"Iya, Bu. tapi hari ini saya yang nganter."
"O- oh kenapa kalau bole-"
"Mama...! kenapa aku ditinggal?" ucap gadis kecil dengan pita pink dirambutnya, berlari turun dari dalam mobil dengan wajah cemberut.
"Yang sekolah kan aku. Kenapa malah mama yang jalan duluan!" sungut Carmen yang kesal pada wanita yang sengaja berdiri dibelakang tubuh Bu Lisa.
"Yang sekolah, kan, aku. Kenapa mama malah turun duluan!" seru Carmen dengan wajah cemberut menatapi Maya yang tak bisa menyelesaikan tanyanya."Galak- pemberani ya bu, Anaknya?" ucap Bi Lisa menatap bocah kecil yang memperhatikannya penuh selidik."Siapa, Ma?" tanya Carmen tanpa menoleh pada Maya."Saya, pengasuhnya neng Arimbi, Neng.""Arimbi?" ulang Carmen tampak tak suka, membuat Bi Lisa mengangguk meski heran melihat wajah cemberut Carmen makin bertambah masam."Arimbi?! Dimana? Mana, Arimbi?" tanya bocah lelaki lucu tapi nakal yang berlari cepat menyusul Carmen sambil celingukan kesegala arah."Apaan sih Rei, ganggu aja!" ucap Carmen menatap Rei tak senang."Aku nyari Arimbi tauk, bukan Carmen jelek." Balas Rei membuat wajah Carmen yang cemberut makin ditekuk."Mana Arimbinya, tante Arum?" tanya Rei mengira salah satu wanita disampingnya adala
Ali, yang membeli dua kaleng soda dingin dari fending machine menatap Marko berdiri menatap langit cerah tanpa awan sedikit pun. Sungguh berbanding terbalik dengan dua orang yang hatinya sedang kelabu itu.Puk!Tangan Ali menyentuh pundak marco yang menoleh dalam diam."Minum dulu biar dingin," ucap Ali menunjukkan senyum menenangkan, membuat Marko mengangguk dan membuka pengait kaleng yang menimbulkan suara berdesis.Cess..cesss..."Better?" tanya Ali melihat Marko menarik nafasnya setelah menengguk beberapa kali kaleng soda ditangannya itu."Aku, bener-bener gak tau apa yang harus aku lakukan tanpa kamu, Li," ucap pria yang membuat Ali tersenyum lalu menuntun tangan Marko agar duduk di kursi besi panjang di samping tembok rumah sakit yang aromanya begitu khas."Apa yang akan terjadi setelah ini?" tanya Ali membuat Marko menatapnya."Arum dan Arimbi mereka ha
Seth, pria berusia 22 tahun itu turun menyusuri tangga, hidungnya tergelitik saat mencium harum kue yang membuat perutnya berbunyi.Black forest dengan potongan stroberi yang sudah dilumuri lelehan coklat mengeras ditiap potongnya membuat Seth mengambil sepotong lagi untuk mengganjal perutnya yang lapar."Enakkan?" tanya wanita yang masuk dari arah taman mengejutkan Seth yang hampir saja tersedak."Kau beli dimana, Mom?" tanya seth pada wanita yang hanya terpaut usia 7 tahun dengannya. Panggilan itu terdengar hanya saat ia di rumah, saat diluar seth akan memanggilnya mira atau miranda."Aku beli dijalan pulang bersama Lisa," ucap Miranda meletakkan gelas berisi air putih di depan Seth yang berterimakasih."Teman baru?""Yups, my new friend's, dia tetangga depan rumah kita," ucap Miranda membuat Seth menatapnya dan berhenti mengunyah."Bukannya wanita cantik itu diba
"Anda baik-baik saja pak bagas?" tanya dokter yang masih gagah itu bertanya pada lelaki yang hanya diam membisu pada penjelasannya mengenai kondisi Arum, sampai Bagas menatapnya."Ya, Dok. Hanya saja saya jadi merindi- lupakan, Dok." ucap Bagas yang bulu halusnya berdiri membuat dokter Anggodo menatapnya."Hanya itu yang bisa saya sampaikan saat ini, saya harap Pak Bagas bersabar dan bisa menerimanya kondisi Bu Arum," ucap Dokter Anggodo membuat Bagas mengangguk.Meski jelas terlihat, ia tidak paham mengangguk untuk apa? atau kenapa ia mengangguk?Lalu menyalami dokter yang memberinya senyum simpati. Pamit.Bagas, menatap langit yang begitu terik dan menarik nafasnya panjang, ekspresi wajahnya sungguh tak bisa dibaca."Arum Wijaya, jika aku tak memilihmu, hidupmu pasti takkan berahir seperti ini," ucap Bagas menutup matanya lagi tapi langsung terbuka dengan cepat melihat sekelebat bayangan wanita yang menggelinding dari tangga begitu cepat tapi
"Kemari, Sayang."Arimbi masuk dengan menatapi orang-orang dewasa, tangannya masih memegang erat permen lolipop yang ingin ia berikan pada Carmen.Suasana nursery jadi sepi beberapa lama, apa lagi Maya diam dengan menutup rapat mulutnya menatap gadis kecil yang berjalan pelan dan menatap kepala yayasan yang tersenyum mengusap kepala Arimbi."Ayo, ucapkan yang mau Arim bilang sama Carmen," ucap wanita bertubuh tambun itu membuat Arimbi menatapnya lalu mengangguk dan mendekat pada ranjang nursery. Gadis kecil imut itu memiringkan kepalanya bingung lalu menoleh."Carmen tidur, Oma," ucap Arimbi memandang kepala yayasan. Membuat beberapa kepala tak percaya dengan panggilan yang diberikan Arimbi pada wanita bertubuh tambun itu."Tidak apa, Sayang. Kalau begitu ucapkan pada mamanya carmen saja, ok?" ucap kepala yayasan tak perduli pada perubahan sikap Maya saat gadis kecil itu menatapnya lalu mengangguk.
"Batalkan rencanamu hari ini, sore nanti kita akan menjenguk menantuku""Apa?!" ucap Zizi melepaskan diri dari pelukan Sukma."Kau dengar Zizi dan jangan membantah. Keluarlah, ibu mau tidur dulu.""Ta-Tapi aku harus membeli ponsel, Ibu." Ucap gadis yang membuat Sukma menatapnya."Bukankah baru minggu lalu kamu beli ponsel Zizi? pergilah tapi pulang sebelum jam lima.""Ya, Ibu." Balas gadis yang lalu keluar. Meski enggan ikut ibunya ia tetap harus menurut dan Zizi paham betul akan apa yang harus ia setujui dan lakukan."Setidaknya, aku ingin tau apa yang terjadi pada kakak iparku" ucap gadis yang merogoh kunci mobilnya dari dalam tas dan langsung masuk setelah memencet tombol kecil yang membuat pintu mobil terbuka seketika."Apa aku kerumah Seth saja? kuharap ia tak marah padaku." ucap gadis yang melihat tampilan dirinya dalam spion dan melajukan mobil cepat setelah
"Arimbi, kangen banget sama mama, Om."Sungguh kalimat yang terlalu wajar mengingat seberapa dekat gadis imut ini dengan sang mama. wanita yang tak akan bangun lagi dari tidurnya selama apapun waktu berlalu.Tapi apa yang akan dikatakan Ali, pria yang hanya bisa diam mendapati mata Arimbi. Mata yang begitu jernih dan polos ini?Tatapan yang seakan menusuki ruang sanubarinya. Bagian terdalam dari rasa yang bahkan membuat Ali tak mampu mengatakan jika Arum takkan lagi bisa memeluknya jika Arimbi sedang merasa sedih ataupun bahagia, takkan lagi mengusapi pipi kenyal dan lembut Arimbi baik dengan tawa atau gemasnya, takkan lagi mendongengkan pak tani yang timunnya diganggu si kancil nakal disetiap malam bersama dekapan lembut pengantar tidur Arimbi.'Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan pada gadis kecil kesayanganku yang hanya punya mamanya ini?' batin Ali menahan agar matanya tak berkaca-kaca."Kita akan
Bi Lisa meletakkan segelas jus tomat yang dipesan Zizi. Gadis yang tumben mau bertamu dan duduk begitu santai memainkan ponsel. Sesekali memfokuskan pandangan matanya ke rumah depan yang tampak sepi.Kuku jarinya yang panjang dan dipoles warna-warni menggantikan warna merah terang di salon tadi, sesekali menjentik tak sabar diatas sofa empuk dan nyaman di teras.Meski tak merasa aneh, pada kedatangan Zizi yang hanya sekali saja menanyakan sang nyonya yang ada dirumah sakit. Tak urung membuat Bi Lisa bertanya pada dirinya sendiri kenapa gadis modis di depan itu tampak hanya basa-basi menanyakan keadaan Arum yang seharusnya lebih diketahui Zizi, mengingat ia adalah adik ipar Arum.Mirip seperti Nyonya Sukma ibunya, gadis yang dandananya tebal itu tak sekalipun menanyakan kabar Arimbi. Dan terus saja melongok ke depan tiap ada suara mobil terdengar. Mata berlensa kontak itu seolah mencari apa yang tidak Bi Lisa ketahui."Mbak Zi
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu