"Anda baik-baik saja pak bagas?" tanya dokter yang masih gagah itu bertanya pada lelaki yang hanya diam membisu pada penjelasannya mengenai kondisi Arum, sampai Bagas menatapnya.
"Ya, Dok. Hanya saja saya jadi merindi- lupakan, Dok." ucap Bagas yang bulu halusnya berdiri membuat dokter Anggodo menatapnya.
"Hanya itu yang bisa saya sampaikan saat ini, saya harap Pak Bagas bersabar dan bisa menerimanya kondisi Bu Arum," ucap Dokter Anggodo membuat Bagas mengangguk.
Meski jelas terlihat, ia tidak paham mengangguk untuk apa? atau kenapa ia mengangguk?
Lalu menyalami dokter yang memberinya senyum simpati. Pamit.Bagas, menatap langit yang begitu terik dan menarik nafasnya panjang, ekspresi wajahnya sungguh tak bisa dibaca.
"Arum Wijaya, jika aku tak memilihmu, hidupmu pasti takkan berahir seperti ini," ucap Bagas menutup matanya lagi tapi langsung terbuka dengan cepat melihat sekelebat bayangan wanita yang menggelinding dari tangga begitu cepat tapi lambat disaat yang sama lalu berhenti di atas ubin keras. Dan tangan Bagas mengepal begitu kuat sampai buku-buku jarinya memutih, mengingat ucapan wanita yang menamparnya begitu penuh emosi.
(Jangan berani-berani melibatkan putriku...pernahkah kau mengusap kepalanya begitu lembut... Pernahkah kau memperlakukannya penuh perhatian... Pernahkah...)
"Kau benar Arum, tak sekalipun." Ucap Bagas menarik nafasnya begitu dalam.
"Dan mungkin tak akan pernah."
*"Snack time!"
Seru miss eva disambut semangat bocah-bocah berumur 3 tahun begitu senang. Bersemangat sekali setiap kali guru mereka mengatakan dua kalimat itu.Suara seperti tawon dari bibir-bibir basah dan merah, lucu, berpipi-pipi tembem dan masih kenyal itu terdengar memenuhi ruangan yang dipenuhi gambar dan hiasan warna-warni, ada bermacam gambar bunga dan binatang, balok-balok kayu berbagai bentuk yang warnanya cerah, puzle berpotongan besar yang berserakan diatas meja sedang coba disusun oleh tangan-tangan kecil yang tampak memeras otak kecil mereka yang masih berkembang pesat.
Rak buku berisi cerita anak-anak yang sering diganti mengingat yang memegangnya adalah anak-anak yang belum begitu paham cara merawat benda yang mudah robek, juga sekeranjang mainan baik untuk anak lelaki atau perempuan yang berjumlah 20 perkelas.
"Rapikan meja kalian baru kita makan snack!" seru miss Eva dituruti bocah-bocah yang dengan teratur merapikan meja dan lantai busa.
Meskipun ada beberapa yang tampak malas begitupun bocah lelaki yang tampak ogah-ogahan merapikan balok kayu yang ia pakai bermain. Membuat Arimbi yang sudah meletakkan puzle kedalam almari menatap Rei."Rei tak mau makan cookie?" tanya Arimbi membuat Rei memanyunkan bibir.
"Cookie itu buat anak-anak." Jawab Rei Membuat Arimbi memiringkan kepala lalu menatap meja Miss Eva yang berisi kue coklat kering dengan taburan choco chip juga puding mangga yang membuat mata berbinar.
"Aku suka cookie tapi lebih suka lagi makan puding." Ucapan Arimbi membuat Rei menatap makanan yang tadi belum ada dimeja miss Eva.
Rei langsung berdiri meraup balok-balok kayu berbentuk persegi di depannya dibawah tatapan Joe yang selesai merapikan mejanya sendiri."Aku juga suka puding." Ucap Rei semangat lalu berjalan meletakkan mainan ketempatnya, sembarangan. Tentu saja, apa yang kau harapkan dari anak nakal yang menggemaskan itu?
"Kita makan puding, Joe." Seru Rei begitu semangat membuat bule kecil yang duduk di ujung meja itu mengangguk.
Meski Joe hanya mengerti puding saja dari kalimat Rei.Sementara Carmen yang duduk disamping Joe memandang Rei malas."Tumben, kamu tak perlu Miss suruh," ucap miss Eva meletakkan snack dimeja Rei yang bersih, karena ia duduk paling pinggir.
"Aku suka puding, Miss," ucap Rei polos tak urung membuat guru galaknya itu menarik nafas. berpikir mungkin ia harus meminta sekolah menyiapkan puding tiap hari.
"Aku juga suka." Beo bocah lain diikuti beberapa anak yang masih suka meniru keadaan di sekitar mereka.
"Aku suka cookie."
"Aku suka puding dan cookie. Miss Eva, aku boleh minta dua puding?""No can't do kid's. Satu anak dapat satu puding dan 3 cookie."
"Miss Eva pelit."
"Iya, pelit.""Mis Eva pelit..."One puding and 3 cookie for Joe, like everybody else," ucap Miss Eva tak memperdulikan protes dari mulut-mulut kecil dan imut pada bule kecil yang tampak bingung dengan keriuhan disekitarnya.
"Aku tidak suka cookie, Miss." ucap Carmen yang duduk malas, "kenapa tidak kue yang ada stroberinya, sih? aku tak mau." Tolak Carmen membuat Miss Eva tersenyum.
"Pilih-pilih makanan tidak baik lho, tapi Carmen bisa minta itu pada mama saat pulang nanti. Hari ini, Miss hanya punya cookie dan puding untuk kailan."
"Miss Eva, miskin ya?" ucap Carmen membuat wanita itu menatap bocah yang kadang kosa katanya lebih banyak dari anak seusianya meski kalau pelajaran ia belum pernah dapat nilai B+ keatas.
"Wah, Carmen tau saja, miss belum gajian," ucap Miss Eva membuat beberapa anak yang belum dapat jatah snack menatapnya tak sabar.
"Gajian apa si?"
"Eng...nama permen?""Atau buah?""Miss, aku mau puding.""Aku lape, Miss.""Aku mau cookie-ku, Miss.""Oh, tunggu sebentar. Carmen makan puding dan cookie dulu, ok," ucap Miss Eva menuju meja lain. Meletakan snack dimeja anak-anak protes yang senyumnya mengembang begitu lebar, ahirnya cookie dan puding mereka datang.
"Arimbi, lagi liat apa?" tanya Rei melihat gadis kecil disampingnya.
"Aku lagi liat nama-nama buah nyari tulisan gajian, a-pel, ang-gur...."
Eja bocah yang memang sudah bisa mengenali huruf dan angka. Hasil ajaran sang mama yang punya banyak waktu luang di rumah.
"Bodoh, gajian itu bukan nama buah, tauk!" ucap Carmen membuat Rei dan Arimbi menatapnya.
"Terus apa, dong?"
"Ng... Nanti aku tanya mami," ucap Carmen ahirnya menyerah, membuat Rei memberinya tatapan mengejek.
"Bilang aja, Carmen gak tau." Ejek Rei terang-terangan membuat Carmen memanggil Miss Eva keras.
"Aku dibully Rei, miss" adu carmen.
"Habiskan makanan kalian dan jangan disisakan," ucap Miss Eva ahirnya setelah melihat dua bocah yang saling menatap tak ramah diantara Joe dan Arimbi yang memakan pudingnya sambil memperhatikan dua teman sekelasnya itu yang tampak suka sekali berantem.
"Week!" ucap Rei menjulurkan lidahnya pada Carmen yang kesal Miss Eva tak menanggapi aduannya. Rei duduk memakan pudingnya dengan senyum sementara Carmen hanya diam tak mau menyentuh snacknya sendiri.
"Miss Eva, nyebelin!" ucap bocah yang pita pinknya berayun lalu menatap Joe yang diam mengunyah cookie.
"Joe, you like cookie's?" tanya carmen pada joe yang mengangguk, "you can eat mine than, I don't like cookie's." Ucap carmen lagi, tapi kali ini Joe menggeleng.
"Itu, punya Carmen," jawab Joe membuat mata Carmen membesar.
"Joe udah bisa ngomong bahasa indonesia, ya?" tanya Arimbi yang duduk di samping Joe cepat, begitupun Rei yang pudingnya sudah tak tersisa.
Tapi, bule kecil bermata ash itu menggeleng tak begitu paham dengan ucapan cepat gadis kecil bersemangat disampingnya meski sedikit mengerti.
"Belajar," ucap Joe menunjuk dadanya sendiri, "my mommy said, I have to learn bahasa so I can talk with you all," ucap Joe tapi tetap membuat Arimbi dan Rei tersenyum meski tak tau apa yang diucap teman bule mereka ini.
"Belajar memang menyenangkan, nanti aku minta diajarin mama nulis kalau udah ketemu," ucap Arimbi semangat.
"Joe bisa belajar sama kita juga. Ini meja," ucap Rei menunjuk meja didepannya. "Meja," ulang Rei.
"Table?" tanya Joe pada Rei.
"Iya meja, terus ini kursi," ucap Arimbi menunjuk meja dan kursinya sendiri.
"Kusi?"
"No-no-no, kurrr-siii, kursi," jawab Rei semangat. membuat Joe mengangguk."Kurr-si, kursi." Ucap Joe mengikuti.
Setelahnya tiga bocah menggemaskan itu mengatakan benda-benda dalam ruang kelas dengan ucapan masing-masing.Tak menyadari Carmen yang jadi diam tampak tak menyukai apa yang terjadi di depannya, meski terlihat sekali gadis kecil yang ternyata memiliki hubungan lain selain "teman sekelas" dengan Arimbi itu tak paham kenapa ia jadi kesal.
Sangat kesal.*"Ini, buat Carmen," ucap Arimbi menyodorkan dua permen lolipop pada Carmen yang menatapnya tak senang.
"Rei sama Joe udah aku kasih, ini permen yang dibelikan mama semalem, enak rasanya manis-manis asem, Carmen suka strobery 'kan? aku juga suka." ucap gadis kecil yang berceloteh dengan senyum diwajah.
"Tidak mau!" ucap carmen menampik tangan Arimbi.
"Yah, jatuh" ucap bocah yang lalu duduk dan mengambil permen diatas beton.
"Carmen tidak suka permen, ya?" tanya Arimbi yang kaget Carmen menginjak satu permen yang mau diambilnya.
"Ya, aku tidak suka permen!" ucap carmen membuat gadis kecil didepannya mendongak.
"Tapi jangan diinjak, dong. ini permen dari mama." Ucap Arimbi yang berusaha mendorong kaki Carmen.
"Kamu 'kan, udah kasih ke aku. Terserah aku, dong!" ucap Carmen yang berulang kali menginjak-injak permen dibawah sepatu kecilnya. Membuat Arimbi marah dan menarik kaki Carmen sehingga gadis kecil yang keseimbangannya goyah itu jatuh keatas beton keras.
Beberapa guru yang melihat itu langsung berlari menghampiri gadis kecil berpita pink yang menangis keras mendapati lutut kaki kirinya lecet dan berdarah. Dan tangisnya makin kencang saat orang-orang dewasa itu sudah mendekat.
"Arimbi jahat... Arimbi nakal..." ucap carmen berulang kali dalam isaknya.
"Mami... Mami... Mami...." panggil Carmen dalam gendongan salah satu guru yang berusaha menenangkan bocah kecil yang tangisnya makin keras saja. Sementara gadis kecil satunya hanya diam memegang dua permen dari sang mama kuat-kuat, mendapati tatapan beberapa orang yang sedikit berbeda dari tatapan mereka yang biasanya.
*Wanita yang berlari begitu turun dari mobilnya tak perduli dengan hak sepatunya yang tinggi, langsung membuka pintu nursery tanpa salam ataupun permisi. Ia langsung melihat anaknya yang masih terisak dalam tidur.
Miss Eva yang awalnya lega anak pengadu yang terus menangis meski sebenarnya hanya mendapat luka lecet kecil yang menimbulkan sedikit kulit arinya terkelupas dan mengeluarkan tanda merah ini berhenti menangis, jantungnya jadi berdebar mendapati tatapan Maya padanya.
"Apa yang kalian kerjakan sampai membuat putriku terluka seperti ini!" seru Maya membuat miss Eva dan seorang dokter saling menatap lalu melihat wanita yang menyentuh wajah sembab Carmen.
"Maaf, Nyonya, pertengkaran antar anak kecil saat bermain itu sering terjadi," ucap miss Eva mendapat pandangan tajam dari Maya.
"Bagaimana aku bisa menitipkan anakku di tempat yang mewajarkan kekerasan seperti ini!?" ucap Maya, membuat dua orang yang saling pandang itu merasa ucapan Eva disalah artikan oleh wanita angkuh yang emosi itu. Sungguh kombinasi yang tak enak dipandang dan didengar.
"Nyonya Maya, maafkan kami, tapi bukan itu maksud ucapan saya. Maksud saya, anak-anak bertengkar satu sama lain itu hal yang biasa, tapi kami tak mewajarkan pertengkaran sesama murid. Kami akan mencari jalan tengah yang bisa dimengerti anak-anak yang sedang tak akur sesuai usia mereka, Nyonya." Ucap Eva mendapat dengusan meremehkan dari Maya.
"Huh! Dan lihat kini, anakku sampai terluka seperti ini sekarang. Untuk apa aku membayar kalian mahal jika kalian tak becus menjaga anakku!"
"Nyonya Maya, ini sekolah. Tugas kami tak hanya menjaga satu-satu murid tapi juga mengajari mereka ten-"
"CUKUP! Tau begini aku takkan menyekolahkan anakku di sekolah yang katanya berkualitas, kalian pikir berapa banyak biaya yang sudah aku keluarkan hanya untuk sekedar mendaftar masuk, dan ini hasil didikan kalian? sungguh mengecewakan."
"Nyo-"
"Kami sungguh-sungguh minta maaf, Nyonya Maya. Kami janji hal ini tak akan terulang kembali dikemudian hari. Dan saya akan pastikan anak yang melukai Carmen akan mengerti ia telah berbuat salah." Ucap seorang wanita bertubuh tambun masuk, memotong ucapan Eva yang tampak menyesal sudah menghubungi Maya karena Carmen yang tak mau berhenti menangis terus memanggil-manggil maminya."Bu Kepala," ucap Miss Eva ingin protes tapi menutup rapat mulutnya mendapati kepala yayasan yang menggelengkan kepala.
"Saya harap begitu, jika perlu keluarkan anak itu." Ucap Maya yang wajahnya masih angkuh.
"Kalau hal itu saya tidak bisa lakukan, Nyonya Maya. Orang tua anak itu mengeluarkan uang yang sama besarnya dengan yang anda keluarkan, bahkan keluarga anak itu donatur tetap diyayasan ini." Ucap kepala yayasan membuat Miss Eva menarik nafasnya malas. Berpikir, jika orang tua Arimbi tak punya andil besar maka wajar saja jika gadis kecil yang sama sekali tak mau minta maaf itu dikeluarkan.
Guru muda yang masih idealis ini tau sebobrok apa sekolah tempatnya mengajar. Semua diukur dengan uang, tapi setidaknya apa yang diberikan sekolah berbanding lurus dengan fasilitas dan pengajaran yang diberikan pada anak-anak polos yang orang tuanya pasti punya banyak sekali angka nol dalam tabungan mereka.
Sedang ia, meski lulusan dari sekolah ternama masih bingung antara beli makanan di luar atau masak sendiri agar lebih hemat."Dunia sungguh adil sekali." bisik miss Eva begitu pelan dan hanya bisa didengarnya sendiri.
"Kalau nyonya mau memindahkan anak nyonya kesekolah lain, saya bisa membantu. Tapi, setidaknya biarkan nak Arimbi yang mau minta maaf mengucapkan maafnya terlebih dahulu."
"A- Apa?" ucap Maya kaget mendengar nama bocah yang lalu masuk masih memegang permen ditangan.
"Kemari, Sayang." Panggil kepala yayasan tak hanya membuat Miss Eva yang bahkan tak bisa memancing sepatah katapun dari gadis kecil yang biasanya penuh senyum dan terbuka itu bicara kenapa ia bisa membuat Carmen terluka. Tapi, juga Maya yang berdiri cepat dari tempatnya duduk memandang tak percaya.
Memandangi gadis kecil yang tiba-tiba membuat mulutnya kelu dan terasa pahit.
*ps. sepahit apa ya?
"Kemari, Sayang."Arimbi masuk dengan menatapi orang-orang dewasa, tangannya masih memegang erat permen lolipop yang ingin ia berikan pada Carmen.Suasana nursery jadi sepi beberapa lama, apa lagi Maya diam dengan menutup rapat mulutnya menatap gadis kecil yang berjalan pelan dan menatap kepala yayasan yang tersenyum mengusap kepala Arimbi."Ayo, ucapkan yang mau Arim bilang sama Carmen," ucap wanita bertubuh tambun itu membuat Arimbi menatapnya lalu mengangguk dan mendekat pada ranjang nursery. Gadis kecil imut itu memiringkan kepalanya bingung lalu menoleh."Carmen tidur, Oma," ucap Arimbi memandang kepala yayasan. Membuat beberapa kepala tak percaya dengan panggilan yang diberikan Arimbi pada wanita bertubuh tambun itu."Tidak apa, Sayang. Kalau begitu ucapkan pada mamanya carmen saja, ok?" ucap kepala yayasan tak perduli pada perubahan sikap Maya saat gadis kecil itu menatapnya lalu mengangguk.
"Batalkan rencanamu hari ini, sore nanti kita akan menjenguk menantuku""Apa?!" ucap Zizi melepaskan diri dari pelukan Sukma."Kau dengar Zizi dan jangan membantah. Keluarlah, ibu mau tidur dulu.""Ta-Tapi aku harus membeli ponsel, Ibu." Ucap gadis yang membuat Sukma menatapnya."Bukankah baru minggu lalu kamu beli ponsel Zizi? pergilah tapi pulang sebelum jam lima.""Ya, Ibu." Balas gadis yang lalu keluar. Meski enggan ikut ibunya ia tetap harus menurut dan Zizi paham betul akan apa yang harus ia setujui dan lakukan."Setidaknya, aku ingin tau apa yang terjadi pada kakak iparku" ucap gadis yang merogoh kunci mobilnya dari dalam tas dan langsung masuk setelah memencet tombol kecil yang membuat pintu mobil terbuka seketika."Apa aku kerumah Seth saja? kuharap ia tak marah padaku." ucap gadis yang melihat tampilan dirinya dalam spion dan melajukan mobil cepat setelah
"Arimbi, kangen banget sama mama, Om."Sungguh kalimat yang terlalu wajar mengingat seberapa dekat gadis imut ini dengan sang mama. wanita yang tak akan bangun lagi dari tidurnya selama apapun waktu berlalu.Tapi apa yang akan dikatakan Ali, pria yang hanya bisa diam mendapati mata Arimbi. Mata yang begitu jernih dan polos ini?Tatapan yang seakan menusuki ruang sanubarinya. Bagian terdalam dari rasa yang bahkan membuat Ali tak mampu mengatakan jika Arum takkan lagi bisa memeluknya jika Arimbi sedang merasa sedih ataupun bahagia, takkan lagi mengusapi pipi kenyal dan lembut Arimbi baik dengan tawa atau gemasnya, takkan lagi mendongengkan pak tani yang timunnya diganggu si kancil nakal disetiap malam bersama dekapan lembut pengantar tidur Arimbi.'Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan pada gadis kecil kesayanganku yang hanya punya mamanya ini?' batin Ali menahan agar matanya tak berkaca-kaca."Kita akan
Bi Lisa meletakkan segelas jus tomat yang dipesan Zizi. Gadis yang tumben mau bertamu dan duduk begitu santai memainkan ponsel. Sesekali memfokuskan pandangan matanya ke rumah depan yang tampak sepi.Kuku jarinya yang panjang dan dipoles warna-warni menggantikan warna merah terang di salon tadi, sesekali menjentik tak sabar diatas sofa empuk dan nyaman di teras.Meski tak merasa aneh, pada kedatangan Zizi yang hanya sekali saja menanyakan sang nyonya yang ada dirumah sakit. Tak urung membuat Bi Lisa bertanya pada dirinya sendiri kenapa gadis modis di depan itu tampak hanya basa-basi menanyakan keadaan Arum yang seharusnya lebih diketahui Zizi, mengingat ia adalah adik ipar Arum.Mirip seperti Nyonya Sukma ibunya, gadis yang dandananya tebal itu tak sekalipun menanyakan kabar Arimbi. Dan terus saja melongok ke depan tiap ada suara mobil terdengar. Mata berlensa kontak itu seolah mencari apa yang tidak Bi Lisa ketahui."Mbak Zi
Gadis kecil yang terlelap dalam tidurnya itu terbangun seketika. Wajah kantuknya tampak bingung dengan pemandangan yang terlihat asing. Tapi Arimbi tetap diam, mengedarkan pandangan matanya berkeliling mencari kehangatan tangan yang masih bisa ia rasakan di kepala. Usapan lembut dari wanita yang begitu ia rindukan.Tangan hangat yang rasanya masih begitu kepala Arimbi ingat dan rasa.Mata bulat yang begitu jernih itu menatap berkeliling mencari sosok yang dikenalinya. Dirindukannya. Tapi tak ada. Wanita yang ia cari tak ada dimanapun.Bibir merah yang masih basah itu tampak bergetar, begitupun cuping hidung kecilnya yang kembang kempis diiringi air yang mulai menggenang dimata bak menjangan yang sedih tak menemukan wajah femiliar yang belum dijumpainya sejak ia tidur berdua dengan sang mama di atas ubin yang dingin. Sejak sang mama dibawa mobil wiu-wiu dan membuatnya menangis karena tak di izinkan ikut. Tapi, Arimbi cepat menghapus ma
Bagas, pria yang masih menatap ponselnya itu menarik nafas dalam.Tangannya terus memegangi ponsel yang menyala dengan pesan yang masuk berkali-kali dari Maya. Sampai wajah carmen yang sembab dengan hidung merah dan dengkul di tempeli plester terlihat di layar ponsel. Membuat perasaannya yang sudah tak menentu makin kacau saja."Arimbi nakal, Pi. Aku didorong sampai jatuh.""Sakit banget, Pi.""Keluar darah banyak.""Tapi, Arimbi gak mau minta maaf sama aku.""Arimbi, jahat sama aku, Pi."Ucapan carmen yang menelponya beberapa saat lalu membuat hatinya gusar. Apalagi ucapan Maya yang tampak sangat tak terima anak mereka disakiti Arimbi yang juga putri Bagas dengan wanita yang sedang berbaring diatas bangsal rumah sakit.Wanita yang mungkin tak akan lagi bangun karena mati otak."Apa yang diajarkan Arum pada putrinya itu?" ucap Bagas pelan mengulang ucapan Maya, yang membuat Bagas s
Lency yang sedang memainkan ponselnya menatap pintu yang bergeser, senyumnya langsung melebar mendapati Marko masuk dengan kantong makanan yang dikenalinya betul. "Buat gue, kan?" "Buat siapa lagi, kalo bukan lo?" jawab Marko menyuruh Lency bergeser dengan tangannya yang bebas. "Perlu bantal gak?" tanya Lency pada Ali yang dengan hati-hati meletakkan gadis kecil dalam gendongannya ke atas sofa. "Gak usahlah, emang ada bantal tambahan?" Tanya Ali lalu duduk setelah menowel pipi kenyal Arimbi yang bahkan tak bergerak dalam tidurnya. "Anggap aja hotel, pules banger sih." ucap lency menatapi Arimbi. Lalu dengan semangat mengambil kotak makanan yang bahkan aromanya sudah membuat perutnya berpesta pora. "Nasinya buat gue, kan?" tanya Lency mengambil sekotak nasi dalam mangkok plastik. "Yang suka makan nasi kan cuma lo disini," ucap Marko masuk k
"Tante, pintunya dibuka ya." ucap Arimbi dari dalam kamar mandi membuat Lency melongokkan kepalanya."Tante disini, nih." ucap Lency membuat Arimbi yang bangun dan ingin pipis mengangguk, karena gadis kecil itu bahkan tak mau dibantu ataupun ditemani hanya ingin ditunggui. "Jangan lupa cebok yang bersih dan cuci tangan pake sabun, ok." perintah Lency pada gadis kecil yang menatapnya lalu mengangguk."Tante gak boleh ngintip, ya." Pinta Arimbi untuk yang ke tiga kali."Ok," jawab lency membiarkan pintu kamar mandi terbuka sedikit lalu menyandarkan tubuhnya pada tembok tepat disamping pintu kamar mandi."Tante masih disitu, kan?""Lucu banget sih, kamu. Malu tapi tetep minta ditungguin," ucap Lency terkikik geli."Tante masih disitu kan?" ulang Arimbi."Iya sayang, nih tangan tante, keliatan kan?" ucap Lency menjulurkan tangannya keda
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu