Seth, pria berusia 22 tahun itu turun menyusuri tangga, hidungnya tergelitik saat mencium harum kue yang membuat perutnya berbunyi.
Black forest dengan potongan stroberi yang sudah dilumuri lelehan coklat mengeras ditiap potongnya membuat Seth mengambil sepotong lagi untuk mengganjal perutnya yang lapar.
"Enakkan?" tanya wanita yang masuk dari arah taman mengejutkan Seth yang hampir saja tersedak.
"Kau beli dimana, Mom?" tanya seth pada wanita yang hanya terpaut usia 7 tahun dengannya. Panggilan itu terdengar hanya saat ia di rumah, saat diluar seth akan memanggilnya mira atau miranda.
"Aku beli dijalan pulang bersama Lisa," ucap Miranda meletakkan gelas berisi air putih di depan Seth yang berterimakasih.
"Teman baru?"
"Yups, my new friend's, dia tetangga depan rumah kita," ucap Miranda membuat Seth menatapnya dan berhenti mengunyah.
"Bukannya wanita cantik itu dibawa ambulans dini hari tadi?"
"What?" tanya Miranda terkejut juga heran lalu duduk disamping Seth yang meminum air putih.
"Well, sekitar jam 4 tadi aku melihat ambulans yang masuk kerumah depan dan membawa gadis cantik itu dalam tandu."
"She is married, ok." Tegas Miranda membuat Seth menatapnya.
"Apa salahnya menyebut gadis cantik itu cantik walau ia sudah menikah, Mom? Sepertimu contohnya, kalian tak berubah jadi ugly duckling," ucap Seth tak urung membuat miranda tertawa.
"Oh, kamu dan mulutmu. Pantas saja, Lisa tadi tampak tak semangat," ucap Miranda menarik dalam nafasnya, "aku ingin tau apa anak gadisnya baik-baik saja?"
"Cute one? ia banyak menangis dini hari tadi," kata seth membuat wajah Miranda sedikit sedih.
"Tentu saja. Dia teman Joe, such a kind little girl. kau tau, ia yang menempelkan plester di lengan Joe," ucap Miranda membuat Seth tersenyum, "jangan ajari little bear yang aneh-aneh." Ancam Miranda mencubit pipi Seth yang menatapnya dengan mata berbinar.
"I didn't do anything, Mom."
"Yet" ucap seth pelan, menggoda Miranda yang memberinya tatapan mengancam.
"Aku akan menjaganya, tenanglah, Mira," ucap Seth membuat Miranda menatap putra besarnya itu.
"Aku tau, dan bisakah kamu menjemputnya nanti? Aku ada janji dengan Dokter Lim siang ini."
"Sure." Jawab Seth memandang wanita yang berdiri setelah mengatakan terimakasih lalu masuk kekamarnya.
"Anytime, Mom," ucap Seth mengambil ponsel cepat.
Send: sorry, we can't meet up Baby
Ping: why, kau sudah janji Seth!
Send: ada hal yang harus kukerjakan, Zi. kau jalan saja dengan yang lain, Have fun.
Ping: I hate you!
Seth hanya menatap layar ponselnya sesaat dan mengangkat bahunya pelan tak perduli. Ia berjalan menghampiri kamar Miranda yang diketuknya, "Mom?"
"Ya, Seth?"
"Kau ingin aku mengantarmu?"
"Aku akan senang dengan itu tapi lain kali saja. Lagipula banyak yang ingin kubicarakan dengan Dokter Lim."
"Jika itu maumu, Mom" ucap Seth pada Miranda yang tersenyum.
"Kau mau pergi sekarang?" tanya Miranda pada seth yang mengangguk, "be carefull, Son."
"Ok, Mom," jawab Seth berhenti berjalan karena panggilan wanita yang keluar cepat dari kamarnya, "kau ingin kuantar?"
Miranda tertawa pada canda putra sulungnya itu, "Aku titip sesuatu sekalian kau keluar," ucap Miranda mengambil tapperwear dan memasukkan beberapa potongan kue ke dalamnya. Membuat Seth heran pada senyum miranda yang mengembang.
"Bukan untukku?"
*
Tin..tin!!
Langkah santai bule bermata abu-abu yang memasuki pekarangan rumah asri jadi kaget saat mendengar suara klakson yang membuatnya menyingkir meski ruang disampingnya begitu lebar.
Hal itu membuat Seth berpikir siapapun yang sedang mengendarai mobil yang melaju pelan itu pasti tak pandai membawa kendaraannya.
"Who are you?" ucap wanita paruh baya berdandan menor tak ramah. Tapi Seth tetap berusaha sopan.
"Saya, tetangga depan rum-"
"Mau apa?" potong wanita paruh baya yang menilai penampilan Seth. Tatapannya membuat Seth sedikit tak nyaman dipandangi tante-tante. ,"Tidak penting, masuk saja ada pembantu dirumah."
Sukma sekali lagi menatapi wajah Seth, berharap saat ia menelan air liur, pemuda tampan itu tak tau. Lalu melajukan mobil keluar dari pekarangan rumah sang menantu dan hanya meninggalkan deru.
"Tipe wanita yang tak ingin kumasukkan dalam hidupku," ucap Seth lalu tersenyum pada wanita yang berlari menghampirinya dengan tatapan heran bercampur malu.
"I prever this kind of women."
"Iya?" ucap Bi Lisa pada ucapan Seth yang tersenyum. Bersukur ia berbisik dan mungkin wanita didepannya tak mengerti, hope so. Dan seth benar dengan kedua pikirannya.
"Titipan dari Miranda untuk anak kecil imut di rumah ini."
"Oh, terima kasih. Tapi neng Arimbi masih sekolah," ucap Bi Lisa lega bule bermata abu-abu didepannya bisa menggunakan bahasa indonesia.
"Ya, saya tau. Saya juga mau jemput Joe."
"Kakaknya Joe, ya?" tanya Lisa pada Seth yang mengangguk, "kuenya nanti saya kasih neng Arimbi pas ia pulang dari rumah sakit."
"Arimbi Sakit apa?" tanya Seth membuat Lisa menggeleng.
"Bukan, neng Arimbi. Tapi mamanya."
"Parahkah? tadi pagi sekali saya lihat ada ambulans keluar dari rumah."
"Saya tidak tau tapi kami sempat berpikir sudah telat," ucap Lisa lalu terdiam dengan wajah sedih.
Membuat seth berpikir maksud dari ucapan 'telat' wanita didepannya, tapi ia tau itu pasti hal yang sangat tak bagus.
"Saya harap ia akan baik segera."
"Saya harap juga begitu. Kalau tidak, kasian neng Arimbi," ucap Bi Lisa membuat Seth manatapnya.
Bule yang wajahnya tak bisa disebut biasa itu lalu pamit tak ingin terlalu terlibat pada urusan tetangga barunya ini karena tiap keluarga memiliki masalahnya masing-masing, baik tetangga barunya ini juga keluarganya sendiri.
Send: mira you owe me this one. kondisi Arum parah sepertinya, Lisa tidak tau keadaannya
Ping: thanks son, mommy love u
*
Perempuan yang nafasnya sedikit tersengal itu mengetuk pintu ruangan yang sepi, tapi wajah cemberut yang menyambutnya begitu ia masuk.
Wajah dua pria tampan yang wajahnya ditekuk. oh tidak, hanya satu tentu. pria yang lebih terbuka dengan apa yang ia rasakan dibandingkan Ali yang ketika suasana hatinya buruk akan tersenyum. Senyum yang akan membuat orang tak mengenal Ali, tak waspada. Tapi tidak wanita yang menutup pintu dibelakangnya rapat.
"Kenapa baru datang?" ucap Marko membuat wanita itu memandangnya kesal.
"Kenapa baru datang? Gue yang seharusnya tanya apa-apaan itu minta jadwal dibatalin! tiba-tiba lagi!" seru wanita yang lalu duduk dan menyamankan dirinya, "lo pikir ngebatalin kontrak itu kayak ngebalik telapak tangan? Berapa orang yang harus menanggung kerugian cuma gara-gara lo berdua gak bisa kerja profesional?" ucap lency disela nafasnya yang mulai teratur lalu menarik nafas dalam berusaha menyamakan ritme dengan jantungnya.
"Bilang itu kalo lo bisa ngebatalin kontrak, Cy." Ucap Marko.
"Heh, lo pikir gue gak berusaha apa? ampe panas nih kuping diceramahin si bos," Lency menunjuk kupingnya, "dan capek nih punggung sama leher gue, harus nunduk sana nunduk sini, berkali-kali. Berkali-kali." Ulang lency yang lalu menegakkan duduknya.
"Lo berdua tetap harus ngelakuin pemoteretan hari ini. Titik. Gak ada tawar-menawar, karena semua udah siap on set. Sedangkan, buat 3 hari kedepan kalian bisa off, dan gue tetep mau steak wagyu gue di jl.Pemuda," ucap Lency tak urung mendapat pelukan dari Ali.
"Thanks, Cy."
"Jangan lupa bonus gue, dan lo, Ko. Lo gak mau bilang makasih sama gue?" ucap Lency membuat Marko menatapnya.
"Itu udah jadi tugas, lo. But, thanks."
"Gak ikhlas banget sih cowok lo, Li." Kesal Lency membuat Ali tersenyum.
"Itu udah maksimal banget kali."
"Yeah, taulah, gue." ucap lency menatap berkeliling.
"Temen kalian, kabarnya gimana?" tanya Lency membuat Ali dan Marko diam mata keduanya melirik ruangan lain yang pintunya rapat tertutup. Lency yang paham mengangguk, ia mengerti," terus, lakinya kemana, kok suami kedua sama ketiganya yang disini?"
"Tenggelem disungai kali." Jawab Marko kesal.
"Paling gak, dia bermanfaat jadi makanan ikan," celetuk Lency yang memang pandai mencairkan suasana, "udah pada berangkat, gih. Lo berdua harus njemput anak imut juga 'kan?"
"Ok, inget kasih kabar apapun yang terjadi. Sekecil apapun itu."
"Lo terima beres aja, Ko."
"Makasih ya, Cy."
"Selalu, Li. Biar gue bisa makan enak tiap waktu," ucap Lency dengan pandangan serius.
*
"Kalau di jalan kita bertemu Bagas aku sungguh akan menghajarnya." Ucap Marko serius, "sungguh lelaki tak bertanggung jawab, diberi waktu untuk bersama istrinya malah pergi menghilang entah kemana!" tambah Marko menatap Ali yang biasanya pasti akan menyuruhnya bersabar.
Tapi, Ali tampak begitu tenang dan tersenyum pada setiap orang yang ditemuinya. Hal ini membuat Marko merangkul pundak pria yang tampak sangat marah namun, menunjukkan dengan cara yang sungguh berkebalikan dengan dirinya.
"Jangan tunjukkan wajah seram ini saat kamu bertemu Arimbi," ucap Marko membuat Ali menatapnya lalu tersenyum begitu lembut, membuat seluruh bulu kuduk Marko berdiri.
"Aku tau, Sayang," jawab Ali membuat Marko menelan ludahnya ngeri dan berharap Bagas benar-benar hanyut di sungai jadi makanan ikan atau ia akan masuk rumah sakit karena dihajar Ali
"Anda baik-baik saja pak bagas?" tanya dokter yang masih gagah itu bertanya pada lelaki yang hanya diam membisu pada penjelasannya mengenai kondisi Arum, sampai Bagas menatapnya."Ya, Dok. Hanya saja saya jadi merindi- lupakan, Dok." ucap Bagas yang bulu halusnya berdiri membuat dokter Anggodo menatapnya."Hanya itu yang bisa saya sampaikan saat ini, saya harap Pak Bagas bersabar dan bisa menerimanya kondisi Bu Arum," ucap Dokter Anggodo membuat Bagas mengangguk.Meski jelas terlihat, ia tidak paham mengangguk untuk apa? atau kenapa ia mengangguk?Lalu menyalami dokter yang memberinya senyum simpati. Pamit.Bagas, menatap langit yang begitu terik dan menarik nafasnya panjang, ekspresi wajahnya sungguh tak bisa dibaca."Arum Wijaya, jika aku tak memilihmu, hidupmu pasti takkan berahir seperti ini," ucap Bagas menutup matanya lagi tapi langsung terbuka dengan cepat melihat sekelebat bayangan wanita yang menggelinding dari tangga begitu cepat tapi
"Kemari, Sayang."Arimbi masuk dengan menatapi orang-orang dewasa, tangannya masih memegang erat permen lolipop yang ingin ia berikan pada Carmen.Suasana nursery jadi sepi beberapa lama, apa lagi Maya diam dengan menutup rapat mulutnya menatap gadis kecil yang berjalan pelan dan menatap kepala yayasan yang tersenyum mengusap kepala Arimbi."Ayo, ucapkan yang mau Arim bilang sama Carmen," ucap wanita bertubuh tambun itu membuat Arimbi menatapnya lalu mengangguk dan mendekat pada ranjang nursery. Gadis kecil imut itu memiringkan kepalanya bingung lalu menoleh."Carmen tidur, Oma," ucap Arimbi memandang kepala yayasan. Membuat beberapa kepala tak percaya dengan panggilan yang diberikan Arimbi pada wanita bertubuh tambun itu."Tidak apa, Sayang. Kalau begitu ucapkan pada mamanya carmen saja, ok?" ucap kepala yayasan tak perduli pada perubahan sikap Maya saat gadis kecil itu menatapnya lalu mengangguk.
"Batalkan rencanamu hari ini, sore nanti kita akan menjenguk menantuku""Apa?!" ucap Zizi melepaskan diri dari pelukan Sukma."Kau dengar Zizi dan jangan membantah. Keluarlah, ibu mau tidur dulu.""Ta-Tapi aku harus membeli ponsel, Ibu." Ucap gadis yang membuat Sukma menatapnya."Bukankah baru minggu lalu kamu beli ponsel Zizi? pergilah tapi pulang sebelum jam lima.""Ya, Ibu." Balas gadis yang lalu keluar. Meski enggan ikut ibunya ia tetap harus menurut dan Zizi paham betul akan apa yang harus ia setujui dan lakukan."Setidaknya, aku ingin tau apa yang terjadi pada kakak iparku" ucap gadis yang merogoh kunci mobilnya dari dalam tas dan langsung masuk setelah memencet tombol kecil yang membuat pintu mobil terbuka seketika."Apa aku kerumah Seth saja? kuharap ia tak marah padaku." ucap gadis yang melihat tampilan dirinya dalam spion dan melajukan mobil cepat setelah
"Arimbi, kangen banget sama mama, Om."Sungguh kalimat yang terlalu wajar mengingat seberapa dekat gadis imut ini dengan sang mama. wanita yang tak akan bangun lagi dari tidurnya selama apapun waktu berlalu.Tapi apa yang akan dikatakan Ali, pria yang hanya bisa diam mendapati mata Arimbi. Mata yang begitu jernih dan polos ini?Tatapan yang seakan menusuki ruang sanubarinya. Bagian terdalam dari rasa yang bahkan membuat Ali tak mampu mengatakan jika Arum takkan lagi bisa memeluknya jika Arimbi sedang merasa sedih ataupun bahagia, takkan lagi mengusapi pipi kenyal dan lembut Arimbi baik dengan tawa atau gemasnya, takkan lagi mendongengkan pak tani yang timunnya diganggu si kancil nakal disetiap malam bersama dekapan lembut pengantar tidur Arimbi.'Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan pada gadis kecil kesayanganku yang hanya punya mamanya ini?' batin Ali menahan agar matanya tak berkaca-kaca."Kita akan
Bi Lisa meletakkan segelas jus tomat yang dipesan Zizi. Gadis yang tumben mau bertamu dan duduk begitu santai memainkan ponsel. Sesekali memfokuskan pandangan matanya ke rumah depan yang tampak sepi.Kuku jarinya yang panjang dan dipoles warna-warni menggantikan warna merah terang di salon tadi, sesekali menjentik tak sabar diatas sofa empuk dan nyaman di teras.Meski tak merasa aneh, pada kedatangan Zizi yang hanya sekali saja menanyakan sang nyonya yang ada dirumah sakit. Tak urung membuat Bi Lisa bertanya pada dirinya sendiri kenapa gadis modis di depan itu tampak hanya basa-basi menanyakan keadaan Arum yang seharusnya lebih diketahui Zizi, mengingat ia adalah adik ipar Arum.Mirip seperti Nyonya Sukma ibunya, gadis yang dandananya tebal itu tak sekalipun menanyakan kabar Arimbi. Dan terus saja melongok ke depan tiap ada suara mobil terdengar. Mata berlensa kontak itu seolah mencari apa yang tidak Bi Lisa ketahui."Mbak Zi
Gadis kecil yang terlelap dalam tidurnya itu terbangun seketika. Wajah kantuknya tampak bingung dengan pemandangan yang terlihat asing. Tapi Arimbi tetap diam, mengedarkan pandangan matanya berkeliling mencari kehangatan tangan yang masih bisa ia rasakan di kepala. Usapan lembut dari wanita yang begitu ia rindukan.Tangan hangat yang rasanya masih begitu kepala Arimbi ingat dan rasa.Mata bulat yang begitu jernih itu menatap berkeliling mencari sosok yang dikenalinya. Dirindukannya. Tapi tak ada. Wanita yang ia cari tak ada dimanapun.Bibir merah yang masih basah itu tampak bergetar, begitupun cuping hidung kecilnya yang kembang kempis diiringi air yang mulai menggenang dimata bak menjangan yang sedih tak menemukan wajah femiliar yang belum dijumpainya sejak ia tidur berdua dengan sang mama di atas ubin yang dingin. Sejak sang mama dibawa mobil wiu-wiu dan membuatnya menangis karena tak di izinkan ikut. Tapi, Arimbi cepat menghapus ma
Bagas, pria yang masih menatap ponselnya itu menarik nafas dalam.Tangannya terus memegangi ponsel yang menyala dengan pesan yang masuk berkali-kali dari Maya. Sampai wajah carmen yang sembab dengan hidung merah dan dengkul di tempeli plester terlihat di layar ponsel. Membuat perasaannya yang sudah tak menentu makin kacau saja."Arimbi nakal, Pi. Aku didorong sampai jatuh.""Sakit banget, Pi.""Keluar darah banyak.""Tapi, Arimbi gak mau minta maaf sama aku.""Arimbi, jahat sama aku, Pi."Ucapan carmen yang menelponya beberapa saat lalu membuat hatinya gusar. Apalagi ucapan Maya yang tampak sangat tak terima anak mereka disakiti Arimbi yang juga putri Bagas dengan wanita yang sedang berbaring diatas bangsal rumah sakit.Wanita yang mungkin tak akan lagi bangun karena mati otak."Apa yang diajarkan Arum pada putrinya itu?" ucap Bagas pelan mengulang ucapan Maya, yang membuat Bagas s
Lency yang sedang memainkan ponselnya menatap pintu yang bergeser, senyumnya langsung melebar mendapati Marko masuk dengan kantong makanan yang dikenalinya betul. "Buat gue, kan?" "Buat siapa lagi, kalo bukan lo?" jawab Marko menyuruh Lency bergeser dengan tangannya yang bebas. "Perlu bantal gak?" tanya Lency pada Ali yang dengan hati-hati meletakkan gadis kecil dalam gendongannya ke atas sofa. "Gak usahlah, emang ada bantal tambahan?" Tanya Ali lalu duduk setelah menowel pipi kenyal Arimbi yang bahkan tak bergerak dalam tidurnya. "Anggap aja hotel, pules banger sih." ucap lency menatapi Arimbi. Lalu dengan semangat mengambil kotak makanan yang bahkan aromanya sudah membuat perutnya berpesta pora. "Nasinya buat gue, kan?" tanya Lency mengambil sekotak nasi dalam mangkok plastik. "Yang suka makan nasi kan cuma lo disini," ucap Marko masuk k
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu