"Kau takkan suka dengan apa yang akan kau lihat, Kakak ipar." Ucap gadis yang berpakaian begitu minim. Menatap Arum yang memegang kuat-kuat kemudi mobil yang sudah berhenti di depan gedung apartemen.
"Tapi, terserah padamu, Kakak ipar. Aku hanya akan mengantarmu sampai depan pintu saja karena aku ada janji dengan teman-temanku malam ini." Ucap gadis yang lalu turun, tak perduli dengan suasana hati Arum pada fakta yang baru saja diketahuinya hari ini. Suaminya yang jarang pulang itu memiliki apartemen lain bahkan--
Duk..duk..!
Suara kaca mobil yang digedor tak sabar membuat Arum menarik nafasnya begitu dalam. Ia keluar lalu berjalan berdua dengan gadis tinggi semampai disampingnya dalam diam. Gadis yang bahkan lebih perduli dengan warna kuteks yang menyala dijemari lentiknya itu dibandingkan dengan perasaan Arum, sang kakak ipar.
"Kau jadi masuk atau mundur saja dan jalani hidup seperti biasa?" ucap Zizi begitu tak bersimpati lalu membuang muka mendapati tatapan Arum yang ujung matanya seperti pisau.
"Jangan menatapku begitu, Kakak ipar. Kau saja yang terlalu bodoh. Tak tau apa yang suamimu lakukan dibelakangmu." Ucap Zizi begitu biasa. Seolah apa yang Arum ketahui beberapa saat lalu adalah hal yang begitu remeh. Begitu ringan. Hal biasa. Tidak penting. Bahkan tak lebih penting dari kuteknya yang hari ini berwarna merah terang.
"Dengar, aku tak ingin terlibat dalam hal ini jadi aku akan pergi begitu kita sampai."
"Ya." ucap Arum begitu singkat meski ia meremas tangannya kuat-kuat, lalu berjalan mengikuti zizi tanpa kata masuk kedalam lift yang sepi. Sampai ponsel zizi berbunyi dan langsung diangkatnya tanpa permisi seolah Arum tak ada disampingnya.
"Hai, Baby, maaf aku akan terlambat datang tapi jangan coba-coba memulai tanpa aku.... yeah aku hanya sedang mengurus masalah kecil," ucap Zizi yang melirik Arum. Sang kakak ipar yang hanya diam mendengar suara musik dan suara pria samar dari ponsel Zizi namun, tak perduli karena Arum bahkan tak yakin dengan apa yang sedang ia rasakan sekarang.
"Bukan hal penting kok, Makanya jangan mulai bersenang-senang tanpa aku. I`ll be there soon--- bye, Seth. love you baby, muach!" ucap Zizi mengahiri telponnya sambil memberi ciuman panjang yang tampak percuma lalu menatap Arum yang masih saja diam.
Tapi, apa perdulinya pada apa yang kini sedang dirasakan si kakak ipar disampingnya ini? ada pesta yang sudah menunggunya dan ia harus hadir telat berkat Arum. so terimakasih KAKAK IPAR!
Di dalam lift yang sepi mereka terus diam sampai lift terbuka dilantai 12 dan Zizi berjalan keluar terlebih dahulu meninggalkan Arum yang makin mengeratkan pegangan tangannya sendiri lalu berjalan menyusuri lorong yang terasa dingin.
"Kau sering datang kemari?" tanya Arum tiba-tiba membuat Zizi yang sesekali menatapi jam dipergelangan tangannya jadi bisu beberapa saat lalu menjawab singkat.
"Beberapa kali," jawab Zizi pada ahirnya membuat Arum menarik garis bibir tanpa ia sadari. Dan itu tak mungkin bisa disebut senyum.
"Kau tau, Maya teman baikku, Arum. No hard feeling ok? semua hanya terjadi."
Ucapan Zizi seakan menusukkan jarum pada wanita yang hanya beda satu tahun dengannya ini. Tak ada lagi panggilan kakak ipar bernada manis yang sering Zizi keluarkan apalagi jika gadis disampingnya ini menginginkan sesuatu.
Bukan salah Zizi, jika menganggp Arum seperti ATM pribadinya. Arum hanya sudah terbiasa begitupun Zizi. Lagipula mereka keluarga, bukan? Atau hanya Arum yang menganggap seperti itu?
MEREKA KELUARGA, BUKAN! tapi keluarga macam apa mereka ini?
"Ya, aku tahu. Maya teman baikmu, dan aku hanya istri dari kakakmu." Ucap Arum membuat Zizi terdiam mendengar nada ejekan dari bibir iparnya itu dan terus melangkahkan kakinya dalam diam tak mampu membalas. Dan baru berhenti melangkah di depan pintu yang suara dari dalamnya lamat-lamat terdengar.
Zizi tak mau menutup mulutnya, ia menoleh pada Arum yang genggaman tangannya sendiri bahkan membuat buku-buku jarinya memutih saat mendengar seramai apa suara dibalik pintu tertutup yang membuat jantungnya bertalu-talu. "Kukatakan saja padamu. Aku kashian padamu Arum tapi apa yang bisa kulakukan? semua sudah terjadi."
"Ya, tentu saja, Zizi. Kau juga Ibu hanya menutup mata kalian, tak lebih dari itu."
Arum yang bisa merasakan sedalam apa kuku jarinya menancap pada telapak tangannya sendiri ini menyadari hidupnya tak seperti yang dia pikirkan selama ini. Lalu kembali diam menatapi pintu dengan keramain dan tawa yang membuat jantungnya berdetak makin cepat. Apa lagi saat Zizi menjulurkan tangan lentiknya memencet bel yang tak lama dijawab.
"Siapa?" Suara manja bocah kecil terdengar.
"Ini tante Zizi, Sayang. Buka pintunya, please," ucap zizi begitu ramah, begitu hangat, begitu akrab pada suara anak kecil yang langsung membuka pintu dan memeluk Zizi cepat tak perduli pada wanita yang berdiri memandangnya dengan mata kaget. Memandangi gadis kecil dengan senyum begitu lebar lalu mendongak menatap Arum yang tubuhnya jadi kaku, membisu dengan suara tercekat tak percaya.
Memperhatikan gadis kecil yang sering dilihatnya setiap kali mengantar dan menjemput Arimbi di preschool yang sama.
"Siapa, Sayang?"
"Tante Zizi, Pi" jawab gadis kecil yang menolehkan kepalanya, menatap pria yang wajahnya berubah begitu melihat Arum yang juga menatap pria yang sudah memakai baju santai itu.
"Kenapa cuma diam, Pi? suruh masuk dong," ucap wanita yang memeluk pria yang berdiri kaku itu.
Meski tampak terkejut melihat Arum tangan Maya terus melingkar pada pinggang Bagas. Lalu menunjukan senyum begitu manis pada wanita yang wajahnya begitu kaget. Terkejut. Berusaha mencerna.
"Sayang, kamu jalan sama tante Zizi dulu ya?" ucap Maya pada gadis kecil berpita pink yang masih memeluk kaki Zizi.
"Tidak bisa, May. Gue ada janji sama Seth." Tolak Zizi cepat begitupun gadis kecil yang melepas pelukannya.
"Tidak mau, Mi. Aku mau nonton dan beli mainan sama Papi!" tolak gadis kecil yang memang keras kepala itu dengan seluruh rasanya.
"Carmen sayang, Papi ada sedikit urusan. Kamu sama tante Zizi dulu ya? besok baru kita beli mainan yang banyak."
"!!' Ucapan Bagas membuat Arum tiba-tiba mengingat gadis kecilnya dirumah dan bertanya pada dirinya sendiri pernahkan suaminya berlaku begitu lembut pada anak mereka? TIDAK. Tak sekalipun!
"Tapi, aku maunya main sama papi, Pi. bukan sama tanye Zizi."
"Gue jug-"
"Kakak mohon, Zi. Kali ini saja." Ucap Bagas pada adik perempuannya yang meski menolak ahirnya mengangguk, mengalah.
"Ganti bajumu, Tuan putri. Kau pergi denganku."
"Kemana, Tante?"
"Pesta." Ucap Zizi membuat Carmen tersenyum senang lalu berlari ke kamarnya diikuti Zizi yang masuk ke dalam tanpa menoleh pada Arum. Gadis egois itu hanya ingin cepat-cepat pergi untuk bertemu dengan lelaki yang tadi menelponnya. Rasanya ia bahkan tak menyimpan rasa bersalah untuk Arum. Bersalah? Ia bahkan tak bersimpati sedikitpun!
"Jangan harap gue akan ngebatalin acara gue, May." Ucap Zizi saat melihat pandangan Maya padanya.
*
Ruangan yang tampak nyaman itu begitu sepi tanpa suara. Tiga orang yang duduk di atas sofa lembut dan empuk itu tampak tidak ingin memulai percakapan. tidak Arum, tidak juga Bagas suaminya. Suaminya? lucu sekali, bukan?
Tapi, terdengar dan terlihat selucu apapun Arum Wijaya sama sekali tak ingin tertawa.
"Kau ingin minum sesuatu, Arum?" tanya wanita yang duduk disamping Bagas, menatap wanita yang mengatupkan mulutnya begitu rapat.
Tak ada rasa bersalah atau menyesal sedikitpun baik dalam sikap atau sorot mata Maya, wanita itu bahkan bersikap begitu santai seolah sudah mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari. Sungguh jauh berbeda dengan wanita yang lebih memilih tak menjawab tanya Maya dan menatap Bagas yang juga diam membisu.
"Sejak kapan?" ucap Arum tak perduli pada pertanyaan basa-basi Maya.
"Arum aku min-"
"Aku bertanya padamu sejak kapan, Mas?" sela Arum memotong ucapan suaminya atau suaminya berdua Maya. Hal yang baru ia ketahui beberapa saat lalu dari mulut sang adik ipar. Zizi yang keluar bersama keponakannya.
'Keponakannya?' batin arum yang rasanya ingin tertawa sendiri.
"Kami tak pernah berpisah, Arum. Tidak sekalipun." Ucap Maya menggantikan Bagas yang hanya terdiam. Membuat Arum menatap wanita yang duduknya begitu nyaman itu.
"Aku bertanya pada mas Bagas, Maya. Bukan padamu." Ucap Arum membuat Maya menatapnya tajam tapi Arum tak perduli.
"Sejak kapan, mas Bagas? apa kau mendadak jadi bisu kini?" ucap Arum yang tak perduli pada tatapan menghujam wanita yang duduk disamping Bagas yang terus membisu.
"Arum maafkan aku." Ucap Bagas membuat Arum menarik nafasnya dalam. Berharap rasa sesak yang ia rasakan berkurang. Tapi percuma dadanya seperti ditindih benda berat tak kasat mata yang terasa begitu nyata.
"Kau jadi tuli rupanya. Aku bertanya padamu sejak kapan Mas Bagas dan aku tak butuh maafmu."
Ucapan Arum membuat Bagas menatap wanita yang duduk di hadapannnya. Wanita yang tatapannya saja cukup menyiutkan diri pria yang mulutnya jadi terasa begitu kering seketika.
"Aku tak pernah berpisah dengan Maya, Arum. Seperti yang Maya katakan padamu."
"!"
PS. sudahkah merasa sesak? belum? than keep reading it.
"Aku tak pernah berpisah dengan Maya, Arum. Seperti yang Maya katakan padamu."Manik mata Arum membesar meski ia sudah bisa mendengar kalimat Bagas berputar-putar dalam kepalanya berulang kali. Apalagi saat ia melihat gadis kecil yang membuka pintu. "Tapi kau menikahiku, Mas Bagas, tidakkah itu artinya kau memilihku dan melupakan masa lalumu?" ucap Arum berusaha agar suaranya tak melemah meski hatinya sakit. Sangat sakit."Kau hanya datang disaat yang tepat, Arum." Ucap Maya membuat Arum seolah kehilangan kata-kata."Saat yang tepat?" ucap Arum mengulang dengan lemah. Tapi dua orang didepannya tak mengerti itu dan melanjutkan ucapan mereka."Maya kembali tapi pernikahan kita tinggal dua hari lagi dan tak mungkin dibatalkan," ucap Bagas membuat Arum menatapnya dengan tatapan tak percaya."Bukankah aku bertanya padamu sebelum kita benar-benar sah menjadi suami istri. Apa kau sungguh ingin menika
Tok..tok..!"Sebentar!" seru seorang pria berjalan cepat menghampiri pintu yang terus diketuk meski ada bell yang seharusnya bisa disentuh."Tidak sadarkah kamu ini jam berapa?" tanya pria itu membuka lebar pintu lalu menatapi tamunya yang datang tak tau waktu.Namun, rasa kesal pria berwajah tampan tapi mengintimidasi yang dihiasi senyum itu berubah saat melihat penampilan Arum yang begitu muram dengan wajah sembab, hidung merah, pipi yang masih menyisakan bekas air mata, juga mata merah tergenangan air yang bisa jatuh kapan saja."Apa yang ter- " ucap pria yang jadi diam saat Arum memeluknya cepat dengan tangis yang kembali terdengar.Isak Arum kembali pecah dan jadi tangis sepenuh hati saat tubuhnya direngkuh pria bertangan hangat dan kuat yang kesalnya berganti jadi kekhawatiran."Meski aku tak tau apa yang terjadi, menangislah sepuasmu. Tapi kamu harus cerita padaku setel
Mobil Arum berhenti di depan gerbang rumahnya yang sepi. Setelah merogoh tas dan mengambil kunci pagar ia turun dan membuka pagar besi yang menjulang tinggi.Bukan hal tak biasa bagi Arum membuka dan menutup pintu untuk dirinya sendiri seperti malam iniApalagi, sebelum pergi arum sudah berpesan agar tak usah ditunggu pada satu-satunya pekerja yang tinggal dirumah dan menyilahkannya tidur setelah putri kecilnya terlelap dan wanita yang usianya tak begitu jauh dari umur Arum itu mengangguk. Bahkan menyuruh Arum untuk berhati-hati kemanapun ia akan pergi.Dengan tangan memegangi pagar ditatapnya kamar sang putri yang lampunya menyala temaram dilantai dua. Mata Arum berair lagi dan seketika diusapnya lalu menarik nafas panjang yang terasa menyesakan."Cukup, aku sudah banyak menangis malam ini." Ucap Arum menghapus sisa air dari dalam matanya lalu menghembuskan nafasnya kuat-kuat."Mama pul
Marko sesekali menatap ponselnya yang tak kunjung berbunyi. Wajahnya tampak khawatir."Mungkin, Arum langsung tidur" ucap Ali yang keluar dari kamar mandi."Tapi perasaanku jadi tak enak sekali" ucap Marko menggeser tubuhnya ketengah dan menyambut tangan Ali yang naik ke tempat tidur."Pikirannya sedang suntuk ia pasti lupa" ucap Ali menepuk bantal disampingnya."Ya, mungkin juga" ucap Marko merebahkan kepalanya diatas bantal yang Ali tepuk."Kita taruh ponselmu disini" ucap Ali mengambil ponsel dari nakas dan meletakkannya diatas bantal. Membuat Marko menatapnya."Atau, biar kamu tenang aku telponkan Arum saja." Ucap Ali memenceti layar ponsel Marko tapi hanya ada nada sambung yang terdengar diikuti suara veronica.(Nomer yang anda tuju tidak menjawab. Silahkan hubungi sesaat lagi.)"Sekali lagi" ucap Ali menekan ponsel Marco lagi. Sama! hanya
"Hei, bangun." Ucap pria bermata ash menarik selimut yang menutupi tubuh gadis tanpa pakaian yang tampak lelap setelah apa yang mereka berdua lakukan beberapa jam lalu."Aku masih lelah, Seth," ucap Zizi menarik selimutnya lagi bahkan menutupi kepala."Tetangga depan rumah itu iparmu, bukan?" tanya Seth membuat jantung Zizi berdetak cepat.Seketika keringat dingin keluar dari seluruh tubuh gadis yang langsung berlari ke kamar mandi. Membuat bule bermanik ash itu menatapnya heran saat zizi memuntahkan isi perutnya."Jangan bilang kau hamil," ucap Seth menyelimuti tubuh tanpa baju milik zizi yang wajahnya pucat pasi."Tenang saja, aku takkan hamil." Jawab Zizi begitu yakin."Baguslah, aku belum ingin terikat dengan siapa pun," ucap Seth membuat Zizi menatapnya lekat. "No hard feeling, Baby. It's just the way I live my life, tak berkomitmen pada siapa pun.""Termasuk aku?" ucap Z
"Yang sekolah, kan, aku. Kenapa mama malah turun duluan!" seru Carmen dengan wajah cemberut menatapi Maya yang tak bisa menyelesaikan tanyanya."Galak- pemberani ya bu, Anaknya?" ucap Bi Lisa menatap bocah kecil yang memperhatikannya penuh selidik."Siapa, Ma?" tanya Carmen tanpa menoleh pada Maya."Saya, pengasuhnya neng Arimbi, Neng.""Arimbi?" ulang Carmen tampak tak suka, membuat Bi Lisa mengangguk meski heran melihat wajah cemberut Carmen makin bertambah masam."Arimbi?! Dimana? Mana, Arimbi?" tanya bocah lelaki lucu tapi nakal yang berlari cepat menyusul Carmen sambil celingukan kesegala arah."Apaan sih Rei, ganggu aja!" ucap Carmen menatap Rei tak senang."Aku nyari Arimbi tauk, bukan Carmen jelek." Balas Rei membuat wajah Carmen yang cemberut makin ditekuk."Mana Arimbinya, tante Arum?" tanya Rei mengira salah satu wanita disampingnya adala
Ali, yang membeli dua kaleng soda dingin dari fending machine menatap Marko berdiri menatap langit cerah tanpa awan sedikit pun. Sungguh berbanding terbalik dengan dua orang yang hatinya sedang kelabu itu.Puk!Tangan Ali menyentuh pundak marco yang menoleh dalam diam."Minum dulu biar dingin," ucap Ali menunjukkan senyum menenangkan, membuat Marko mengangguk dan membuka pengait kaleng yang menimbulkan suara berdesis.Cess..cesss..."Better?" tanya Ali melihat Marko menarik nafasnya setelah menengguk beberapa kali kaleng soda ditangannya itu."Aku, bener-bener gak tau apa yang harus aku lakukan tanpa kamu, Li," ucap pria yang membuat Ali tersenyum lalu menuntun tangan Marko agar duduk di kursi besi panjang di samping tembok rumah sakit yang aromanya begitu khas."Apa yang akan terjadi setelah ini?" tanya Ali membuat Marko menatapnya."Arum dan Arimbi mereka ha
Seth, pria berusia 22 tahun itu turun menyusuri tangga, hidungnya tergelitik saat mencium harum kue yang membuat perutnya berbunyi.Black forest dengan potongan stroberi yang sudah dilumuri lelehan coklat mengeras ditiap potongnya membuat Seth mengambil sepotong lagi untuk mengganjal perutnya yang lapar."Enakkan?" tanya wanita yang masuk dari arah taman mengejutkan Seth yang hampir saja tersedak."Kau beli dimana, Mom?" tanya seth pada wanita yang hanya terpaut usia 7 tahun dengannya. Panggilan itu terdengar hanya saat ia di rumah, saat diluar seth akan memanggilnya mira atau miranda."Aku beli dijalan pulang bersama Lisa," ucap Miranda meletakkan gelas berisi air putih di depan Seth yang berterimakasih."Teman baru?""Yups, my new friend's, dia tetangga depan rumah kita," ucap Miranda membuat Seth menatapnya dan berhenti mengunyah."Bukannya wanita cantik itu diba
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu