"Kenapa kamu bisa terluka lagi, Joe?" ucap gadis kecil yang menempelkan plester bergambar bunga matahari, setelah ia memilih koleksi dalam saku rok tutunya yang berumbai-rumbai beberapa lama.
"Kan, sudah kubilang. Jangan bermain dengan anak-anak nakal itu. Mamaku benar, anak cowok emang susah dibilangin." tambah gadis kecil itu menepuk plester yang sudah menempel disiku bocah bule yang mata abu-abunya tampak protes merasakan perih.
"Jangan cengeng kamu kan cowok, aku aja gak nangis kalo luka," ucap gadis kecil yang berdiri seolah mengatakan tugasnya selesai dan menatapi bule yang juga berdiri menatap gadis kecil yang selalu menolongnya saat diganggu anak-anak lain hanya karena tubuh Joe lebih kecil dari mereka.
"Kan, sudah kubilang laporkan saja pada Miss Eva," ucap gadis kecil yang lalu menunjuk guru mereka yang cerewet diantara kumpulan beberapa anak yang pipinya masih begitu tembem dan kenyal, mirip keduanya.
"Yeah, I kick one of them and make him cry," ucap bule kecil itu bangga. Menunjuk ke arah yang sama, meski yang ditunjuk jemari kecilnya berbeda dengan arah gadis kecil disampingnya.
"Tapi, kenapa Miss Eva tak menghukum anak-anak nakal itu ya?" tanya gadis kecil itu lalu mengucek mata merasakan angin menyapa matanya yang bulat nan jernih bak anak Menjangan yang pemberani.
"What? I will not cry. This not hurt at all." Ucap Joe menunjuk plester yang menempel di lengan putihnya sendiri.
"Aku tau, itu pasti sakit tapi jangan menangis. Nih, aku bagi permen," kata gadis kecil yang sakunya tampak berisi banyak benda.
"Candy? Its for kids. I dont want it," ucap Joe yang tangannya menyilang.
"Kamu mau dua? Baiklah, tapi jangan bilang Rei, ya? Aku hanya membaginya satu," ucap gadis kecil itu mengambil satu lagi permen lolipop dalam saku dan meletakkannya dikedua tangan Joe yang meski ingin menolak jadi diam saat melihat anak yang badannya lebih besar sedikit darinya itu tertawa begitu lebar.
"Lain kali bilang Miss Eva dan jangan berantem."
"I said I dont want it." Bisik Joe pelan tapi tetap memakan lolipop rasa stroberi yang akan membuat lidah dan bagian langit-langit mulutnya merah.
"Enak, kan. Itu rasa favoritku."
"It's so sour, I don't like it," ucap Joe yang menarik keluar permen yang diemutnya.
"Joe! why you eat that? You said you don't like strobery!"
"Hai, carmen. Kamu mau permen juga?" Tanya gadis kecil yang melihat carmen menunjuk permen digenggaman Joe.
"Joe itu tidak suka stroberi, tauk!"
"E~h tapi, Joe tetap makan kok, tuh lihat," ucap gadis kecil itu menatap Joe yang memasukkan permen ke mulutnya lagi.
"Dia itu tidak suka tauk! Joe, tak mau makan kue stroberi yang kubawa." Ucap Carmen membuat gadis didepannya berpikir lalu mengangguk.
"Aku juga tidak suka kue. Tapi, aku suka permen karena rasanya lebih enak. Mungkin joe sama sepertiku. Bener ga, Joe?"
"Yeah, I dont like it. But trowing food is not good." Jawab Joe mengangguk.
"Lihat, kan? Joe suka tu."
"Joe bilang tidak suka, Bodoh! You don't like it, isn't it Joe?" Ucap carmen membuat joe menggeleng.
"Yes, it's so sour."
"Tuh! Joe bilang rasanya asem gak enak!" ucap Carmen tak mau kalah. Sementara gadis kecil didepannya tersenyum senang.
"Iya, rasanya asem dan manis. Enak sekali. Carmen mau gak?"
"Tidak mau bodoh!" Ucap Carmen memutar bola matanya malas, "Joe itu tidak suka, iya 'kan Joe?"
"He~h tapi, Joe tetap makan, tuh."
"Pokoknya Joe itu tidak suka."
"Joe, tak suka permen?"
"Joe tak suka stroberi!"
"HEI, JOE!"
"Akh!" Joe yang tampak bingung jadi kaget dan menjatuhkan permen dari mulutnya karena ada yang memukulnya dari belakang.
Tiga pasang mata bulat itu menatap permen yang jatuh diatas beton keras. Diikuti bocah lelaki nakal yang senyumnya hilang ikut menatapi permen yang tergeletak.
"It's fall."
"Yes!" ucap carmen senang.
"Akh! jatoh ya? I am sorry, Joe." ucap bocah lucu tapi nakal yang ikut menatap permen lolipop ditengah mereka.
"Rei, bodoh! hati-hati dong gimana kalo Joe ikut jatuh juga?!" seru Carmen menendangi kaki Rei yang malah tertawa.
"Itukan permen Joe. Kenapa Carmen yang marah?" ucap Rei menoleh pada gadis kecil yang masih menatapi permen dengan mulut menganga. Matanya tampak sedih.
"Eh, jangan nangis. Nih, aku ganti sama permenku," ucap Rei mengeluarkan permen sama dari sakunya.
"itu permen Joe tau, Rei bodoh!" protes Carmen.
"Tapi, Joe juga dikasih, tauk." Balas Rei tak mau kalah. Padahal permen yang sedang ia sodorkan itu juga permen yang dibagi gadis kecil yang terus menatapi permen yang diam tergeletak milik Joe.
"Arimbi!" seru miss Eva membuat gadis kecil itu menoleh, begitupun tiga pasang mata bulat disampingnya.
"Mama Arimbi, sudah datang menjemput." Ucap Miss Eva membuat wajah Arimbi berbinar melupakan rasa sedihnya untuk permen Joe yang jatuh.
"Aku pulang duluan ya, bye-bye," pamit gadis kecil itu semangat dan melambai pada tiga bocah didepannya lalu berlari ke gerbang sekolah setelah salim pada Miss Eva.
"Joe itu tak suka kamu tau." Ucap Rei yang masih bertengkar dengan Carmen.
"Tapi, joe duduk disampingku dan cuma aku yang bisa ngomong sama Joe," ucap Carmen tak mau kalah.
"Sebentar lagi aku dan Arimbi juga bisa ngomong bahasanya joe."
"Oh ya? Kamu sih mungkin rei, tapi Arimbi? Nulis namanya sendiri aja belum bisa."
"Tulisan Arimbi emang jelek tapi dia selalu dapet nilai A." Bela Rei tak terima, "lagian Carmen jelek. Gak mungkin Joe suka sama Carmen, week!"
"Miss Eva...! aku dibully Rei!"
"Rei! Jangan nakal. Lepaskan rambut Carmen, please."
"Carmen yang mulai, Miss"
"Bohong, Miss Eva. Rei juga ndorong Joe sampai jatuh dan luka," tunjuk Carmen pada plester dilengan Joe.
"Itu bukan aku." bela Rei tak terima sambil menggelengkan kepala.
'It's hurt right, Joe? Rei nakal 'kan?" tanya Carmen membuat Joe menatap lukanya lalu mengangguk.
"See, Miss Eva. Rei itu anak yang nakal!" ucap Carmen senang melihat wajah Miss Eva berubah saat menatap Rei.
"Sukurin! Come on, Joe, jangan deket-deket anak nakal. My mom should be here soon to pick us. Your mom can't come today, right?" ucap Carmen menggandeng tangan Joe yang menoleh kebelakang. Menatap Rei yang terus membela dirinya pada omelan Miss Eva.
"Yeah, she not feeling good today."
*
Arum, menanggapi celoteh putrinya yang duduk sambil sesekali mengemuti premen lolipop rasa stroberi sambil melihat apapun yang mereka lewati. Anak yang suka bercerita apa saja yang dilihatnya pada sang mama itu sesekali menunjuki bangunan yang ia ketahui. Dari rumahnya siapa, kucing berwarna apa, daun yang jatuh terkena angin, penjual kue cubit yang membuatnya ingin makan roti panggang buatan mamanya, es cendol dalam gerobag yang membuatnya ingat jus mangga buatan bibi dirumah dan entah apa lagi. Dan Arum sama sekali tak bosan menanggapai celoteh Arimbi.
"Minggu depan papa ulang tahun, anak mama mau kasih kado apa?" Tanya Arum membuat Arimbi terdiam, mengingat pria yang jarang dirumah atau ditemuinya itu.
"Apa-- apa Papa akan pulang, Ma?" tanya gadis kecil yang membuat Arum menatapnya sesaat, lalu tersenyum mengusap kepala Arimbi.
"Iya, Sayang. Nanti, mama suruh papa di rumah seharian kalau tidak bisa kita susul papa ke kantornya sambil bawa kue." Ucap Arum dengan senyum optimistik dan sorot meyakinkan membuat gadis kecilnya mengangguk.
"Apa kita cari kado buat papa sekarang? Sama pesen kue buat minggu depan?" tanya Arum membuat wajah Arimbi bersinar. "Papa 'kan tidak suka manis. Jadi kita bisa pesen yang gak terlalu manis. Terus yang ada rasa jahe plus kayumanisnya," tambah Arum tersenyum melihat tawa bahagia sang putri.
"Kamu sama papamu itu mirip sekali, Sayang. Gak suka kue tapi permen sama kopi harus manis." Arum mengusap kepala Arimbi yang tampak senang sekali. Meski hanya satu saja hal yang mirip dengan ayahnya itu.
*
Dua ibu dan anak yang saling bergandengan tangan itu keluar dari toko kue setelah selesai dengan pesanan mereka. Langkah keduanya tampak begitu ringan dengan tawa menghiasi wajah keduanya. Tapi, wajah Arum sedikit berubah menatap pria yang begitu dikenalnya sedang bergandengan dengan wanita yang membuatnya diam seketika. Tubuhnya kaku. Kakinya seolah dipaku.
"Mama?" panggil Arimbi membuyarkan lamunan Arum, "Mama kenapa? Mama sakit?" tanya bocah yang memperhatikan wajah sang mama itu begitu lekat.
Arum yang wajahnya pucat menelan ludahnya yang terasa pahit, "tidak, Sayang. Mama baik, ayo pulang," ucap Arum yang meski tersenyum bibirnya bergetar.
Sore berganti petang. Wanita yang makan berdua dengan putrinya itu berusaha bersikap biasa meski ia lebih banyak diam tiap kali menatap putrinya, ARIMBI BAGAS WIJAYA.
Bocah berumur tiga tahun yang menyandang nama tengah sang ayah dan kakeknya yang sudah tiada. Dan hanya meninggalkan nenek dari sang suami. Wanita yang tak pernah bersikap ramah pada gadis kecil ini. Juga sodara ipar yang baik kalau ada maunya.
"Sayang, mama mau keluar sebentar. Arim bersama bi Lisa di rumah tak apa 'kan?"
"Aku, tak boleh ikut Mama?" tanya bocah kecil yang menatap wajah sang mama penuh harap.
"Tidak, sayang. Arimbi di rumah dulu ya? Mama hanya pergi sebentar, kok." Ucap Arum mengusap rambut Arimbi yang diam lalu mengangguk.
"Nanti, mama belikan permen stroberi lagi, ok?" ucap Arum membuat wajah putrinya berubah senang. Membuat senyum tercetak seketika dibibir sang mama yang lalu memeluk putri kesayangannya ini begitu erat.
"Mama akan cepat pulang."
Arum mengecupi wajah Arimbi lama dan berkali-kali. Namun, Arimbi tak protes dan membiarkan sang mama mengecupi permukaan kulitnya yang merasa geli.
Tapi, malam itu adalah hari terahir arimbi mendengar suara Arum yang lembut dan menenangkan. Bocah berumur tiga tahun itu tak akan pernah lagi mendengar suara sang mama yang berkata akan cepat pulang membawa permen stroberi kesukaanya.
Suara Arum tak akan pernah lagi Arimbi dengar setelah malam ini.
"Kau takkan suka dengan apa yang akan kau lihat, Kakak ipar." Ucap gadis yang berpakaian begitu minim. Menatap Arum yang memegang kuat-kuat kemudi mobil yang sudah berhenti di depan gedung apartemen."Tapi, terserah padamu, Kakak ipar. Aku hanya akan mengantarmu sampai depan pintu saja karena aku ada janji dengan teman-temanku malam ini." Ucap gadis yang lalu turun, tak perduli dengan suasana hati Arum pada fakta yang baru saja diketahuinya hari ini. Suaminya yang jarang pulang itu memiliki apartemen lain bahkan--Duk..duk..!Suara kaca mobil yang digedor tak sabar membuat Arum menarik nafasnya begitu dalam. Ia keluar lalu berjalan berdua dengan gadis tinggi semampai disampingnya dalam diam. Gadis yang bahkan lebih perduli dengan warna kuteks yang menyala dijemari lentiknya itu dibandingkan dengan perasaan Arum, sang kakak ipar."Kau jadi masuk atau mundur saja dan jalani hidup seperti biasa?" ucap Zizi begitu tak b
"Aku tak pernah berpisah dengan Maya, Arum. Seperti yang Maya katakan padamu."Manik mata Arum membesar meski ia sudah bisa mendengar kalimat Bagas berputar-putar dalam kepalanya berulang kali. Apalagi saat ia melihat gadis kecil yang membuka pintu. "Tapi kau menikahiku, Mas Bagas, tidakkah itu artinya kau memilihku dan melupakan masa lalumu?" ucap Arum berusaha agar suaranya tak melemah meski hatinya sakit. Sangat sakit."Kau hanya datang disaat yang tepat, Arum." Ucap Maya membuat Arum seolah kehilangan kata-kata."Saat yang tepat?" ucap Arum mengulang dengan lemah. Tapi dua orang didepannya tak mengerti itu dan melanjutkan ucapan mereka."Maya kembali tapi pernikahan kita tinggal dua hari lagi dan tak mungkin dibatalkan," ucap Bagas membuat Arum menatapnya dengan tatapan tak percaya."Bukankah aku bertanya padamu sebelum kita benar-benar sah menjadi suami istri. Apa kau sungguh ingin menika
Tok..tok..!"Sebentar!" seru seorang pria berjalan cepat menghampiri pintu yang terus diketuk meski ada bell yang seharusnya bisa disentuh."Tidak sadarkah kamu ini jam berapa?" tanya pria itu membuka lebar pintu lalu menatapi tamunya yang datang tak tau waktu.Namun, rasa kesal pria berwajah tampan tapi mengintimidasi yang dihiasi senyum itu berubah saat melihat penampilan Arum yang begitu muram dengan wajah sembab, hidung merah, pipi yang masih menyisakan bekas air mata, juga mata merah tergenangan air yang bisa jatuh kapan saja."Apa yang ter- " ucap pria yang jadi diam saat Arum memeluknya cepat dengan tangis yang kembali terdengar.Isak Arum kembali pecah dan jadi tangis sepenuh hati saat tubuhnya direngkuh pria bertangan hangat dan kuat yang kesalnya berganti jadi kekhawatiran."Meski aku tak tau apa yang terjadi, menangislah sepuasmu. Tapi kamu harus cerita padaku setel
Mobil Arum berhenti di depan gerbang rumahnya yang sepi. Setelah merogoh tas dan mengambil kunci pagar ia turun dan membuka pagar besi yang menjulang tinggi.Bukan hal tak biasa bagi Arum membuka dan menutup pintu untuk dirinya sendiri seperti malam iniApalagi, sebelum pergi arum sudah berpesan agar tak usah ditunggu pada satu-satunya pekerja yang tinggal dirumah dan menyilahkannya tidur setelah putri kecilnya terlelap dan wanita yang usianya tak begitu jauh dari umur Arum itu mengangguk. Bahkan menyuruh Arum untuk berhati-hati kemanapun ia akan pergi.Dengan tangan memegangi pagar ditatapnya kamar sang putri yang lampunya menyala temaram dilantai dua. Mata Arum berair lagi dan seketika diusapnya lalu menarik nafas panjang yang terasa menyesakan."Cukup, aku sudah banyak menangis malam ini." Ucap Arum menghapus sisa air dari dalam matanya lalu menghembuskan nafasnya kuat-kuat."Mama pul
Marko sesekali menatap ponselnya yang tak kunjung berbunyi. Wajahnya tampak khawatir."Mungkin, Arum langsung tidur" ucap Ali yang keluar dari kamar mandi."Tapi perasaanku jadi tak enak sekali" ucap Marko menggeser tubuhnya ketengah dan menyambut tangan Ali yang naik ke tempat tidur."Pikirannya sedang suntuk ia pasti lupa" ucap Ali menepuk bantal disampingnya."Ya, mungkin juga" ucap Marko merebahkan kepalanya diatas bantal yang Ali tepuk."Kita taruh ponselmu disini" ucap Ali mengambil ponsel dari nakas dan meletakkannya diatas bantal. Membuat Marko menatapnya."Atau, biar kamu tenang aku telponkan Arum saja." Ucap Ali memenceti layar ponsel Marko tapi hanya ada nada sambung yang terdengar diikuti suara veronica.(Nomer yang anda tuju tidak menjawab. Silahkan hubungi sesaat lagi.)"Sekali lagi" ucap Ali menekan ponsel Marco lagi. Sama! hanya
"Hei, bangun." Ucap pria bermata ash menarik selimut yang menutupi tubuh gadis tanpa pakaian yang tampak lelap setelah apa yang mereka berdua lakukan beberapa jam lalu."Aku masih lelah, Seth," ucap Zizi menarik selimutnya lagi bahkan menutupi kepala."Tetangga depan rumah itu iparmu, bukan?" tanya Seth membuat jantung Zizi berdetak cepat.Seketika keringat dingin keluar dari seluruh tubuh gadis yang langsung berlari ke kamar mandi. Membuat bule bermanik ash itu menatapnya heran saat zizi memuntahkan isi perutnya."Jangan bilang kau hamil," ucap Seth menyelimuti tubuh tanpa baju milik zizi yang wajahnya pucat pasi."Tenang saja, aku takkan hamil." Jawab Zizi begitu yakin."Baguslah, aku belum ingin terikat dengan siapa pun," ucap Seth membuat Zizi menatapnya lekat. "No hard feeling, Baby. It's just the way I live my life, tak berkomitmen pada siapa pun.""Termasuk aku?" ucap Z
"Yang sekolah, kan, aku. Kenapa mama malah turun duluan!" seru Carmen dengan wajah cemberut menatapi Maya yang tak bisa menyelesaikan tanyanya."Galak- pemberani ya bu, Anaknya?" ucap Bi Lisa menatap bocah kecil yang memperhatikannya penuh selidik."Siapa, Ma?" tanya Carmen tanpa menoleh pada Maya."Saya, pengasuhnya neng Arimbi, Neng.""Arimbi?" ulang Carmen tampak tak suka, membuat Bi Lisa mengangguk meski heran melihat wajah cemberut Carmen makin bertambah masam."Arimbi?! Dimana? Mana, Arimbi?" tanya bocah lelaki lucu tapi nakal yang berlari cepat menyusul Carmen sambil celingukan kesegala arah."Apaan sih Rei, ganggu aja!" ucap Carmen menatap Rei tak senang."Aku nyari Arimbi tauk, bukan Carmen jelek." Balas Rei membuat wajah Carmen yang cemberut makin ditekuk."Mana Arimbinya, tante Arum?" tanya Rei mengira salah satu wanita disampingnya adala
Ali, yang membeli dua kaleng soda dingin dari fending machine menatap Marko berdiri menatap langit cerah tanpa awan sedikit pun. Sungguh berbanding terbalik dengan dua orang yang hatinya sedang kelabu itu.Puk!Tangan Ali menyentuh pundak marco yang menoleh dalam diam."Minum dulu biar dingin," ucap Ali menunjukkan senyum menenangkan, membuat Marko mengangguk dan membuka pengait kaleng yang menimbulkan suara berdesis.Cess..cesss..."Better?" tanya Ali melihat Marko menarik nafasnya setelah menengguk beberapa kali kaleng soda ditangannya itu."Aku, bener-bener gak tau apa yang harus aku lakukan tanpa kamu, Li," ucap pria yang membuat Ali tersenyum lalu menuntun tangan Marko agar duduk di kursi besi panjang di samping tembok rumah sakit yang aromanya begitu khas."Apa yang akan terjadi setelah ini?" tanya Ali membuat Marko menatapnya."Arum dan Arimbi mereka ha
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu