"Beraninya kamu melayangkan tanganmu pada anakku, kau kira dirimu itu siapa?"Ibu mertua langsung meradang, mencak mencak dan emosi jiwa."Aku ibunya dan hanya itu yang kutahu, jika seseorang menyakiti anakku, tentu aku akan meradang, seperti yang kau rasakan!"jawab ibu dengan sengitnya."Jadi, kau sungguh ingin aku laporkan ini ke polisi?""Laporkan sana, ayo lapor, lapor sekarang juga, sepulang dari rumah ini!""Kau akan dijerat pasal penganiayaan!""Masa bodoh, pasal pembunuhan sekalipun aku tidak takut! Kau juga kutuntut dengan fitnah dan perbuatan tidak menyenangkan!"jawab ibu dengan mata melotot dan berkacak pinggang."Ya Tuhan, keterlaluan sekali!" Ibu mertua yang dulu sangat baik tetiba menjadi orang yang seakan belum kukenali. Dia seperti kesurupan dan bukan dirinya sendiri."Biar! Aku keterlaluan karena sudah terlalu sering kalian menyakiti anakku, memangnya kenapa kalo aku ikut membelanya, kalian tidak suka?!""Tidak sopan sekali ....""Kalian yang tidak sopan, ujug-uju
Ternyata aksi ku menabrak pria asing itu terlihat oleh teman-teman sekantor, lepas kepergian yang masuk ke gedung sebelah teman-teman saling melirik dan menatapku dengan senyum dikulum."Cie, cie, ada yang ketemu pangeran pagi-pagi," ucap Riska teman kantorku."Pangeran katamu? ah, ya ampun, kalo benar dia pangeran berarti aku sudah menumpahkan kopi di atas dada seorang pewaris tahta," jawabku sambil melangkah cepat ke pintu loby."Iyalah, pria itu terlihat tampan, rapi dan good looking, aku tidak yakin dia merupakan staf biasa," timpal Lisa."Sudahlah, aku mau fokus kerja dulu dan mikirin berapa harga kemeja yang harus kuganti, aku tidak yakin bahwa pakaian yang dia kenakan berharga murah, setidaknya aku bertanggung jawab.""Apa pria itu memintamu mengganti pakaiannya?""Tidak, hanya saja dia akan menungguku di cafe lantai dasar gedung ini.""Oh, so sweet sekali ....""So sweet apanya? Bisa jadi dia akan melayangkan laporan ke kantor polisi bahwa aku telah mencederai anggota tubuhny
"Kartu nama? Saya tidak punya Pak saya hanya staf biasa," jawabku gemetar."Kalau begitu meletakkan nama dan nomor ponselmu agar aku bisa memintamu melakukan sesuatu untukku.""Bagaimana kalau saya bayar saja ganti rugi kemeja itu pak agar saya tidak merasa berhutang lagi?""Kemeja saya adalah Polo original seharga dua juta, kamu mau membayarnya?""Bahkan itu melebihi dari setengah gaji saya Pak, ini masih tanggal tua, dan saya pun ...." Aku hanya bisa menarik nafas dalam menahan mengendalikan hatiku yang sangat syok mendengar angka 2 juta."Kamu tinggal berikan nama dan nomor ponselmu lalu saya akan melupakan semua itu," ucap Pria itu sambil menahan tawa."Sungguhkah?""Maksud saya jika kamu mampu membayar dengan harga yang sama.""Saya belum punya uang pak," jawabku sambil meremas jemari."Bagaimana kalau kita berteman?"Pertanyaannya barusan langsung membuatku terkejut gugup lalu mendongak dan menatap matanya, ingin kutelisik apakah dia tengah bercanda atau serius, namun dari sorot
Seiring berjalannya waktu yang bergulir, aku dan Mas Aditya semakin berteman dekat, sering kami menghabiskan makan siang bersama atau pergi menikmati suasana pantai di akhir pekan. Bukan hanya aku dan dia, tapi ada Hafiz juga.Tak jarang orang-orang yang kebetulan melihat kami bersama menganggap kami seperti sebuah keluarga padahal sebenarnya tidak, aku dan Mas Adit hanya berteman. Sejauh ini aku belum menangkap sinyal tanda-tanda bahwa dia menyukaiku dalam arti menyukai secara berlebihan, seperti ketertarikan seorang lelaki kepada wanita untuk menjalin asmara, aku belum menangkap hal itu. Mas Adit yang belum memberikan tanda atau malah akunya yang tidak peke, entah.Lagipula pria yang punya tutur kata lembut dan terlihat penyayang terhadap anakku, membuat diri ini makin terkesan padanya, belum lagi perhatian dan beberapa kiriman makanan dan kebutuhan balita untuk Hafiz yang kerap dikirimkan melalui kurir. Tak tahu bagaimana cara aku berterima kasih atau mengungkapkan betapa aku me
"Halo ...."Tadinya aku tidak berkenan mengangkat panggilan dari Mas Arga, tapi karena dering ponsel terus mengganggu, aku terpaksa menjawab."Boleh ketemu?""Buat apa?""Demi hubungan baik di antara kita dan demi anak kita ke depannya," balasnya."Ah, ya ampun, selalu tentang anak," gumamku sambil memutar bola mata."Mau bahas apaan sih? aku sibuk hari ini dan full jadwal," balasku."Cukup 5 menit aja," balasnya cepat."Oke, silakan datang ke kantor kita ketemu di cafe seperti biasa," jawabku."Tidak bisakah kamu mendatangi restoran yang sudah aku reservasi untuk kenyamanan kita?""Maaf ya, kita kan tidak sedang berkencan jadi bertemu di manapun tidak masalah, lagi pula aku tidak tahu membuat calon istrimu salam paham," balasku.Meski akhir akhir ini Mas Arga menunjukkan tanda penyesalan, tapi aku juga tak melihat sinyal bahwa dia dan Gita sudah berpisah, oleh karenanya, kusebut wanita itu calon istrinya Arga untuk menyentil hatinya."Tolong jangan katakan itu," bisiknya pelan."Data
"Terima kasih ya, Mas, kamu menyelamatkan harga diri dan martabatku di depan keluarga mantan suami yang selama ini sudah merendahkan diri ini.""Aku tahu, tapi wanita tegar seperti yang seharusnya tidak diperlakukan seperti itu, kau layak mendapatkan kehidupan dan perlakuan lebih baik, Irma.""Untuk pertama kalinya saya baru mendengar ungkapan demikian dari orang asing, biasanya selama ini satu-satunya penyemangatku hanya ibu dan ayah.""Bagaimana dengan sahabat.""Saya punya teman, tapi tidak semua hal yang menyangkut privasi hidup ini aku bagikan kepada mereka. Aku takut itu akan jadi senjata makan tuan ketika hubungan kami renggang.""Apa kamu merasa pertemanan hanya akan berakhir kerenggangan?""Tidak demikian, saya hanya berhati hati, Mas, saya membagikan keceriaan canda dan tawa juga beberapa ide dan pendapat tapi tidak dengan kesedihan," balasku sambil menghela napas."Kamu wanita hebat, aku salut padamu," ucapnya sambil menepuk bahuku lembut."Terima kasih, Mas, sekali lagi te
"Terima kasih ya, Mas, kamu menyelamatkan harga diri dan martabatku di depan keluarga mantan suami yang selama ini sudah merendahkan diri ini.""Aku tahu, tapi wanita tegar seperti yang seharusnya tidak diperlakukan seperti itu, kau layak mendapatkan kehidupan dan perlakuan lebih baik, Irma.""Untuk pertama kalinya saya baru mendengar ungkapan demikian dari orang asing, biasanya selama ini satu-satunya penyemangatku hanya ibu dan ayah.""Bagaimana dengan sahabat.""Saya punya teman, tapi tidak semua hal yang menyangkut privasi hidup ini aku bagikan kepada mereka. Aku takut itu akan jadi senjata makan tuan ketika hubungan kami renggang.""Apa kamu merasa pertemanan hanya akan berakhir kerenggangan?""Tidak demikian, saya hanya berhati hati, Mas, saya membagikan keceriaan canda dan tawa juga beberapa ide dan pendapat tapi tidak dengan kesedihan," balasku sambil menghela napas."Kamu wanita hebat, aku salut padamu," ucapnya sambil menepuk bahuku lembut."Terima kasih, Mas, sekali lagi te
Kami sampai ke sebuah tempat ekowisata, hutan pinus dengan perbukitan yang di bawahnya menghampar hijau kebun teh, begitu luas, seperti permadani yang sengaja dihamparkan untuk menyejukkan pandangan mata.Aku dan Mas Adit turun dari mobil, dengan berjalan beriringan kami menuju loket masuk dan membeli karcis.Setelah berhasil masuk, Mas Adit membelikqn gulali dan balon gas untuk hafiz, tentu putraku bahagia menerima pemberian dari temanku itu, teman yang sebentar lagi, mau tak mau akan jadi kekasihku. Ya, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, di saat ada orang yang begitu baik memperhatikanku dan putraku, ditambah dia tampan, nampak dari kalangan mampu dengan segala penampilan dan mobilnya yang berkelas, apa lagi kurangnya?Betapa bodohnya, kalau aku sampai menolaknya."Kita makan dulu, sebelum memutuskan berkeliling," ucapnya."Sebenarnya aku bingung kita akan ngapain saja di sini," ucapku tanpa sengaja, buru buru kuralat ucapan dengan permintaan maaf, khawatir dia akan tersingg
Prang!Prak!Suara sepatuku memukul helm Mas Arga dengan kencang. Pria itu nyaris terjatuh dari motornya andai tidak menahan keseimbangan. "Astaga ... kamu kenapa Irma.""Kamu yang kenapa ngikutin aku terus? kamu dah gila ya Mas?""Aku gak ngikutin kamu, kamunya aja yang kepedean," jawabnya sambil melepas helm dan mengusap kepalanya yang kupukul tadi."Arah kantor kamu gak di sini Mas, tapi di jalur berbeda kamu gak malu mas dengan baju dinas keliling ngikutin aku dan suami, kamu gak malu pada keluargamu dan keluarga mertuamu?""Hei, aku gak ikutin kamu, aku cuma mau ke toko sparepart yang ada di jalan Ahmad Yani, kepedean kamu," balasnya."Kamu pikir aku gak lihat kamu ngikutin dari arah rumah? Awas ya Mas, kalau masih ngikutin aku, kulaporkan kamu ke polisi.""Lapor saja, aku ga takut polisi!""Hah, percuma bicara," balasku sambil membalikkan badan dan kembali ke mobil."Sombong sekali kamu, mentang mentang punya suami baru," ucapnya berteriak."Biarin!"" ... nanti juga kamu mento
"Darimana Sayang?" tanya Mas Adit ketika aku baru saja masuk ke kamar."Menemui tamu yang tidak diharapkan," jawabku sambil tersenyum padanya."Apa ada tamu yang tidak diharapkan?""Ya, ada, jenis tamu pengganggu yang akan merusak segalanya.""Siapa orangnya?""Istri mantan suamiku.""Ada apa dengannya?" suamiku langsung mengerjab dan bangkit dari pembaringannya."Dia merasa bahwa Mas Arga masih denganku dan terobsesi pada diri ini. Aku sangat tidak nyaman dengan itu," balasku."Kemarilah," ujarnya memberi isyarat, kuhampiri dia, kubawa diriku ke dalam rangkulannya serta kuletakkan kepala di atas bahunya."Dengar sayang, di rumah tangga kita hanya kita yang bisa menentukan bahagia atau tidaknya, mereka orang luar hanya segelintir gangguan yang tidak perlu dianggap serius.""Aku setuju dengan ucapanmu, Mas.""Jika istri mantanmu merasa risih tapi kau sama sekali tidak berhubungan dengan suaminya, maka kau tidak perlu khawatir dengan semua tuduhan itu. Selagi tidak ada bukti, anggap sa
Tentu saja orang-orang langsung berkerumun memperhatikan pria yang baru saja selesai bernyanyi tiba tiba langsung pingsan saja. Terlebih pingsannya di pelaminan tentu makin mengundang perhatianlah dia."Astaga dia siapa?""Arga mantan suami Irma," jawab seorang pria yang mengenal."Ya ampun, kasihan ....""Mungkin gak kuat menerima kenyataan," ujar yang lain. Reaksi orang beragam, ada yang tertawa, ada yang menatap miris dan lain pula reaksi kedua orang tuaku yang berdiri berdampingan sebagai pendamping pengantin mereka nampak sangat marah dengan keberadaan Mas Arga."Lagipula ngapain sih harus datang ke sini, nyusahin aja!" geram ayah dengan kesalnya."Mungkin dia ingin melihat Irma," jawab Ibu sambil mendekat dan memperhatikan mantan menantunya."Kayaknya bapak ini kelelahan, stress dan dehidrasi, mungkin seseorang bisa hubungi ambulans," ucap seorang temanku yang merupakan seorang petugas kesehatan, dia tadi memeriksa nadi dan wajah Mas Arga dan langsung menyimpulkan."Iya mari g
Tadinya aku akan melangsungkan pesta pertunangan dan memberi waktu lebih banyak untuk penjajakan hubungan dengan Mas Adit. Tapi karena Mas Adit tidak sabar untuk segera menghalalkan hubungan, ditambah dia juga sudah dekat dengan ayah dan ibu, maka aku tak punya alasan untuk menolak.Bukankah, sebaiknya pernikahan dipercepat dan perceraianlah yang harus ditunda. Ada kalanya niat baik memang tak harusnya dipendap lebih lama. Khawatir gagal atau malah tertikung orang lain."Calon Nyonyaku, maukah kita percepat niat baik kita untuk merajut hubungan ke jenjang yang lebih serius?" Tiba tiba kekasih tampanku menghampiri dengan secarik kertas yang ditulis demikian."Apa ini?""Ya, itu ...." Dia mengangkat alis memintaku membaca ulang memo tempelnya. Bayangkan ... dia menempel itu di layar komputerku."Astaga, Mas Adit, lebay tahu gak sih, dilihat orang ...." Kucabit segera memo sambil tertawa."Ya enggak apa apa, aku cuma butuh jawaban.""Secepatnya," jawabku singkat."Kapan, kamu sih, PHP te
Karena tidak mau terburu-buru menikah sebelum puas saling menjajaki, kuputuskan untuk melakukan acara lamaran dan pertunangan agar tali kasih di antara kami bisa diikat dalam satu janji.Kubagikan undangan pertunangan pada teman teman kerja di lingkungan kantor, kuminta dengan ramah dan sopan agar mereka berkenan datang untuk memberikan doa serta dukungan mereka. Kuserahkan amplop bersampul hitam putih dengan gambar bunga itu kepada Dina dan Reni, termasuk Ivanka, wanita yang menaksir pada calon suamiku. Dia yang kebetulan lewat kuhentikan dan dengan santun kusodorkan undangan itu."Mbak, aku mengundangmu," ucapku pelan. Sesaat wanita itu tertegun namun dia tetap menerima undanganku. Ditimbangnya amplop berukuran sedang itu dengan senyum miris, kalau dia menggumam sambil menggeleng pelan."Terima kasih, tapi sepertinya, aku tak bisa hadir," jawabnya dengan senyum kecut. Bahkan dia belum membukanya sehingga bisa tahu kapan dan hari apa, dia menunjukkan penolakan itu karena sudah jelas
Benar saja, sekitar dua puluh menit kemudian, aku bisa melihat pantulan cahaya motor di jendela kamar. Aku bangun memeriksa dan benar saja, itu adalah motor Gita. Sayup sayup kudengar mereka berdebat dengan teriakan, diantara rinai hujan dan petir malam.Kucoba menajamkan pendengaran dan memindai apa yang mereka lakukan."Aku nanya Mas, kamu lagi ngapain di sini?""Udahlah, itu bukan urusanmu, aku lagi mau ngomong sama ibunya Hafiz!""Tapi, ini hujan dan sudah malam, Mas. Ada apa kamu Mas?"Wanita itu mencengkeram bagian depan baju suaminya dengan kesal. Jilbab, wajah dan cardigannya basah tersapu hujan yang turun deras."Aku harus bicara. Itu tidak ada kaitannya denganmu," jawabnya sambil menghempas tangan sang istri."Kalau kamu gak ikut pulang sama aku, kita cerai aja Mas, itu artinya kamu gak mentingin aku!""Ya Allah, kamu pulang aja, aku masih ada urusan!"Mas Arga membentak Gita dengan kesal. "Oh ya ... jadi mau aku panggilkan Mbak Irma ke dalam, mau aku bilangin ke dia kala
Mungkin mas Arga tidak mau merasa dikalahkan dalam hal kebahagiaan, akhir akhir ini dia sering sekali membagikan link postingan Ig dan Facebooknya ke inbokku. Tautan yang dia kirim berisi postingan foto dan kata kata mesra untuk sang istri.Kadang aku melihat semua itu hanya menggeleng saja, postingannya bagiku bukan sebagai bentuk pamer atas kebahagiaan namun lebih terkesan memaksa terlihat bahagia dan yang ada hanya tempelan saja."Andai dia sungguh bahagia dengan cinta barunya, mungkin dia tak akan ingat untuk mengejarku lagi."Aku menggumam sambil meringis miris. Dari tempat dudukku, kupandangi anakku yang sibuk tertawa dan bermain dengan mainannya. Hanya menatapnya sehat dan ceria saja membuat hatiku tenteram dan bahagia. Itu saja sudah cukup. Aku tak butuh apapun lagi, aku sudah bekerja dan insya Allah bisa menanggung hidup sendiri.Jika suatu hari seorang pria baik dengan niat tulus datang melamar, maka aku akan menerima dengan syarat dia akan mencintai anakku juga.*Wak
Menuruti saran dari ibu aku memilih waktu makan siang untuk mengajak massa adik bicara dia yang selalu jadi tempat langganan makan siang kami. Cafe yang berada di lantai dasar tower kantorku.Pukul 12:34 Mas Adit nampak turun dari loby dan langsung masuk ke cafe, dari pintu utama kami bersitatap dan seperti biaasanya senyum itu tersungging lebar."Kamu udah makan?""Belum, Mas, masih nungguin kamu," jawabku memperbaiki posisi duduk."Harusnya kamu pesenin aja, aku akan makan makanan apapun yang kamu suguhkan," jawabnya tersenyum, sekali lagi menggetarkan dadaku.Lama perasaan ini tidak disentuh romansa dan sensaasi manis menggoda, sehingga ketika tiba tiba Mas Adit datang. Ada rasa baru yang kini menghiasi hatiku, aku selalu ingin tersenyum dan bahagia kala berdekatand dengannya. Energinya yang positif, tampilannya yang bersih dan wangi membuatku nyaman berdekatan."Merasa nggak sih kalau akhir-akhir ini kita jadi topik pembicaraan di kantor?""Aku paham, tapi selagi kita bersikap p
Begitu banyak orang yang berkerumun dalam ketegangan, begitu takut dan cemas tapi mereka tidak berani melerai. Sejak awal mereka tahu siapa yang lebih dulu menyulut emosi dan memancing kemarahan orang lain. "Lepaskan dia Kak, dia pasti sudah kapok," ujar seorang wanita."Iya, Kak, gak bakal diulang lagi kayaknya, itu orangnya udah ketakutan banget," timpal yang lain."Tidak, aku akan melemparnya ke muara agar menjadi santapan buaya, aku sama sekali tidak ragu," ujar Mas adit yang masih mencengkeram bagian leher pria yang kini mengucur darah segar dari bibir dan hidungnya."Aku tidak mengganggumu, beraninya kau mengganggu!" Mas Adit makin menggoyangkan badan Mas Arga, Mas Arga berteriak dan mencengkeram tangan kekasih baruku itu dengan panik."Aku juga akan membuatmu terjatuh bersamaku, hahahah," ujarnya. Tadinya dia ketakutan, tapi menit berikutnya pria itu seakan kehilangan akal, dia tertawa terbahak bahak dengan kondisi wajah yang sama sekali tidak sedap dipandang, babak belur dan