Alicia terbangun ketika merasakan sesuatu yang menyengat telapak tangannya. Dia membuka mata dan melihat siluet gelap Lucius di hadapannya.
"Kau bangun di waktu yang tepat," gumam pria itu, mencabut jarum suntik yang belum sempat menembus nadi Alicia, lalu menancapkannya lagi tanpa kehati-hatian, membuat Alicia meringis sakit.
Lucius tersenyum manis. "Aku sangat membencimu," bisik Alicia tajam, sambil terus memperhatikan Lucius yang ternyata baru selesai memasangkannya infus.
Kembali, Lucius hanya tersenyum. "Terima kasih, aku juga sangat membencimu," sahutnya tanpa adanya nada kebencian sedikitpun, tidak seperti cara Alicia mengucapkan kebenciannya sendiri.
"Kau lapar?"
Alicia tidak menjawab. Hanya matanya yang bergerak-gerak menatap Lucius yang berjalan menjauhinya lalu mengambil sebuah nampan berisi makanan, membawanya ke arah Alicia.
Seketika itu perut Alicia berbunyi lagi, melilit dengan sangat menyakitkan. Lucius tidak menghiraukannya. Dia mengaduk bubur itu, lalu menyuapinya pada Alicia.
Bahkan hanya dengan menciumnya saja, Alicia sudah mau muntah. Dia langsung menggeleng dan mencoba menjauh. Dengan sabar, Lucius mendekatkan sendok itu lagi ke mulut Alicia. Lagi-lagi Alicia menolak.
Lucius menggeram, lalu mencengkram rahang Alicia, memaksanya membuka mulut dan memasukkan bubur itu ke dalam mulutnya. "Aku tidak sedang memanjakanmu," gumam Lucius sambil mengaduk bubur di mangkuk itu tanpa ekspresi.
Lucius menghitung pelan, di hitungan ketiganya, terdengar suara muntahan.
Alicia memuntahkan bubur yang baru ditelannya keluar bersama cairan-cairan bening dari lambungnya. Perempuan itu menangis. "Sakit!" keluhnya sambil memegangi perut.
Lucius masih memasang wajah datarnya, tidak lama kemudian Alicia kembali pingsan, membuat Lucius menghela napas.
"Kau sungguh merepotkan," bisiknya, lalu bangkit untuk menyingkap selimut Alicia dan membawanya ke keranjang cucian, menggantinya dengan selimut baru.
Tidak lama setelah itu, Alicia lagi-lagi terbangun. Dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kulitnya. Ketika membuka mata, pandangannya kabur, butuh beberapa detik untuknya fokus.
Lucius masih berada di hadapannya, tengah memeras handuk berwarna putih dari baskom yang berisi air. Lalu pria itu kembali menghadap Alicia dan mengusap kasar handuk itu pada permukaan kulit Alicia yang rasanya benar-benar sakit.
"H-hentikan," ringis Alicia lemah.
Alih-alih berhenti, Lucius malah menyengir lebar, sengaja berlama-lama ketika mengusap dada perempuan itu.
Mata Alicia langsung melotot terkejut dan menyadari bahwa dirinya tidak berbusana.
Refleks tangannya menepis tangan Lucius dan memeluk dirinya sendiri. "Hentikan!" bentaknya lebih bertenega.
Lucius malah terkekeh, menggeser handuk itu sampai menyentuh perut Alicia yang lagi-lagi ditepis.
"Setidaknya aku tahu bahwa Jen merawat peliharaanku dengan baik selama di desa."
Peliharaan?! Alicia semakin melotot lalu menyorotinya dengan tatapan kebencian yang jelas.
Tapi Lucius sedikitpun tidak gencar. "Walaupun aku sedikit kecewa karena sikap kurang ajar dan pemberontaknya, dia juga sedikit tidak sopan."
Siapa yang kurang ajar dan tidak sopan di sini?! Karena jawabannya tentu saja pria gila ini, pikir Alicia.
Lucius berhenti mengelap tubuh Alicia dengan handuk itu, dia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi lalu menghilang di sana. Meninggalkan Alicia yang tengah mencari-cari keberadaan pakaiannya, tidak ada, lalu dia pun menarik selimut dan menutupi tubuhnya sampai dagu.
Ketika Lucius kembali, dia mengambil nampan di atas nakas, meletakkannya ke atas troli makanan.
Lucius menangkap pergerakan mata Alicia yang sempat melirik segelas susu yang sudah dingin itu, lalu tersenyum manis. "Kau tidak boleh terlalu banyak minum susu, Alicia, punyamu sudah terlalu besar, mandirilah."
Kemudian tanpa menoleh lagi, Lucius berjalan santai keluar ruangan, meninggalkan Alicia dengan wajah memerah padam, entah karena malu atau marah.
*
"God! Lucius, apa yang telah kau lakukan pada perempuan cantik ini?"
Lucius berdecak tidak suka. "Lakukan saja tugasmu, Roy, jangan banyak bertanya," sahutnya dingin.
Dokter bernama Roy itu langsung terdiam. Seperti yang Lucius perintahkan, dia bergerak dalam diam melakukan tugasnya.
"Dia maag, tekanan darahnya rendah, dan... energinya nyaris terkuras habis. Kau yakin tidak sedang berniat membunuhnya, kan?"
Mengalihkan pandang dari wajah perempuan yang tengah tertidur itu, Lucius menjawab pelan, "Dia terlalu berharga untuk dibunuh sekarang."
Roy mengangguk. "Yah, aku hanya penasaran, sampai mana yang satu ini akan bertahan."
Perkataan Roy itu menghadiahinya tatapan tajam dari pria yang saat ini berjalan mendekatinya, Roy menjadi gugup.
"Maafkan perkataanku," katanya, mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
"Dia tidak seperti perempuan-perempuan itu. Yang satu ini lebih berharga."
Roy tersenyum jenaka. "Kau akan menikahinya?"
Lucius memberikannya tatapan membunuh. "Keluar dari sini secepat mungkin atau aku akan mematahkan kakimu," ucap Lucius tajam.
Roy tampak terkejut dan dengan cepat dia segera mengemasi semua barangnya dan berlari keluar dari kamar itu, meninggalkan Lucius dalam keheningan.
Setelah mendengar suara deru mobil di luar, Lucius kembali menatap wajah Alicia, tatapannya masih dingin, nyaris tidak berekspresi.
"Untuk sementara, aku tidak boleh membiarkanmu mati," katanya, lalu berbalik dan pergi dari kamar berbau antiseptik itu.
***
Mobil hitam itu melaju meninggalkan pekarangan luas mansion. Alicia menatapnya dari jendela kamar. Dia menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata sejenak.Haruskah aku melakukan ini? Batinnya, mulai merasa ragu.Dia ingat dengan jelas ancaman Lucius jika Alicia melanggar 'peraturan' yang pria itu tetapkan. Tapi, Alicia benar-benar ingin bertemu dengan kedua orangtuanya.Semua ini bermula saat waktu sarapan tadi. Ya, kesehatan Alicia membaik setelah hampir satu minggu dia hanya terbaring di ranjang. Pagi ini, Alicia sarapan di patio bersama Lucius. Mereka makan dalam diam. Lucius tidak sedikitpun tampak hendak memulai pembicaraan dengannya, karena seluruh perhatian pria itu seolah hanya untuk topik di kepalanya saja. Lucius pun tidak lagi datang ke kamar Alicia. Seperti hari ini, pria itu berangkat pagi-pagi dan selalu pulang larut malam.Alicia bertanya nama kota ini ke salah satu pelayan
Napas Alicia memburu, membuat dadanya sakit dan bergemuruh cepat. Peluh membanjiri pelipisnya, kakinya sudah terasa kebas dan rambut gelapnya yang panjang acak-acakan dan lengket karena keringat. Alicia meringis sakit, ketika kakinya yang kebas itu tersandung batu, dia terjatuh dengan lutut yang mengeluarkan darah. Namun semua itu, tidak membuat Alicia menghentikan pelariannya. Dia bangkit dan berlari lagi, dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang.Sepi.Alicia tahu cepat atau lambat para penjaga di rumah itu pasti akan menyadari kepergiannya. Dan dia hanya bisa berdoa semoga mereka tidak menyadarinya secepat seperti yang Alicia bayangkan.Jalanan sangat sepi pada pagi menjelang siang itu, tidak ada satupun mobil yang lewat. Di kiri kanan yang terlihat hanya hutan-hutan belantara yang sunyi. Alicia baru mengetahui bahwa letak rumah Lucius sejauh ini dari kota. Namun tetap saja, Alicia tidak menyerah.
Alicia tidak pernah merasa setakut ini seumur hidupnya.Dia merasakan dadanya sakit akibat jantungnya yang berdetak begitu cepat serta napasnya yang berat. Dia menatap ke sekelilingnya, benar-benar gelap, namun dari suara-suara lain yang ia dengar di sana, Alicia jelas mengetahui bahwa bukan hanya mereka berempat yang ada di dalam ruangan itu. Siapa yang tahu apa yang ada di balik kegelapan?"Selamat malam, hadirin sekalian." Suara seorang pria dengan microfon.Alicia meneguk ludahnya susah payah. "Ca-calla...""Hm.""A-aku... aku benar-benar takut.""Damn, who wasn't."Alicia semakin merasa takut. dua perempuan lainnya yang Alicia tidak tahu nama mereka siapa, juga pasti merasa ketakutan, terdengar jelas dari suara rengekan mereka yang seolah hendak menangis.Alicia tahu... bahwa inilah saatnya."Terima kasih sud
Saat kecil dulu, Alicia jarang sekali terkena virus penyakit. Mamanya selalu mengontrol pola makannya dan selalu memberikannya vitamin. Kasih sayang sang Mama juga Papa terasa begitu besar, sehingga kepergian mereka yang 'meninggalkan' Alicia, masih gadis itu tidak percayai. Pasti ada sesuatu, alasan yang begitu kuat di balik tindakan mereka itu.Sekarang, Alicia sakit. Tubuhnya mengeluarkan keringat sangat banyak, namun dia terus saja meracau kedinginan. Tiga lapis selimut menutupinya sampai leher, hal itu masih tidak banyak membantu. Kening Alicia berkerut dalam. Setiap malam, dia akan berteriak-teriak ketakutan seolah nyawanya sedang di ujung tanduk.Saat sedang terjaga, dia akan berhalusinasi seperti orang gila, ketakutan dan menjerit. Ketika tidur pun, mimpi buruk tiada henti menghampirinya. Kalau belum muntah, Alicia tidak akan tenang.Terhitung sudah tiga hari Alicia seperti itu.Lucius, yang saat i
Tubuh Alicia melemah seiring dengan tangisannya. Dia tidak tahu lagi apa yang terjadi ketika napas mulai tersendat-sendat, dan dadanya terasa sakit. Alicia merasakan rengkuhan hangat itu mengerat dan seseorang membaringkannya dengan lembut di ranjang. Yang terakhir kali singgah di benaknya sebelum ia benar-benar menutup mata adalah wajah bibi Jen, Wendy, dan paman Filbert di desa. Alicia tidak akan pernah memaafkan dirinya atas apa yang terjadi pada mereka.Ketika terbangun dari tidurnya, kepala Alicia terasa pening. Bahkan hanya untuk membuka mata rasanya dia tidak sanggup. Tapi seseorang dengan sangat tidak berperasaan menarik tangan Alicia dan memaksanya duduk. Alicia langsung meringis memegangi kepalanya karena rasa sakit yang berdenyut-denyut di sana."Aku tidak menyukai gadis manja!" hardik Lucius ketika Alicia terjatuh lagi ke ranjang dan Lucius menariknya duduk kembali."Ku-kumohon," rintih Alicia.
"Mungkin ini memang yang terbaik," gumam Alicia, kemudian melanjutkan dengan nada yang lebih terdengar putus asa, "setidaknya untuk sekarang." Dia memetik setangkai bunga daisy dan menggenggamnya di tangan bersama tangkai yang lain. pikiran Alicia kembali berkecamuk.Dia hari itu, hari yang tidak akan pernah Alicia lupakan pernah terjadi, pengalaman paling baru dan paling aneh yang pernah dirasakannya. Yang diberikan oleh seorang pria dewasa berhati kejam. Tubuh Alicia kembali dialiri gelenyar aneh. Semenjak hari itu, dia tidak pernah lagi melihat Lucius di rumah. Alicia awalnya tidak berani melangkah keluar dari kamarnya, sampai suatu pagi dia menyadari bunga di atas nakasnya mengering. Kemudian Alicia mulai bertanya-tanya siapa yang setiap pagi mengganti bunga itu di sana? Karena Alicia tidak pernah melihat pelayan melakukannya. Dan jika Lucius yang melakukannya, itu terdengar sangat mustahil. Alicia berhenti bertanya-tanya dan mencoba menggantinya s
Keesokan harinya, Alicia terbangun di atas ranjang dalam keadaan terikat. Dia menatap sekelilingnya bingung, kepalanya berdenyut sakit. Alicia mencoba untuk melepaskan ikatan di pergelangan tangannya namun tidak berhasil. Dia lantas berbaring pasrah dalam beberapa saat untuk mengembalikan pikirannya kosong. Saat itulah kemudian Alicia teringat pada kejadian semalam. Dia tersentak bangkit, untuk kemudian meringis karena tangannya yang terikat."Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan!" bisiknya cemas.Alicia pun tidak tahan untuk bertanya-tanya, apakah Lucius masih di sini atau dia sudah terbang ke negeri sakura, meninggalkan Alicia dengan ingatan dan kejadian semalam. Alicia diliputi rasa jijik pada dirinya sendiri, penyesalah, dan amarah.Ketika Alicia sibuk dengan pikirannya sendiri, Harrieth masuk ke dalam kamarnya membawa sarapan, namun mematung beberapa di pintu menatap terkejut pada Alicia.Alicia men
Malam itu Alicia semakin kesusahan untuk tidur. Namun pada akhirnya, dia berhasil juga dibuai ke alam mimpi. Tidak tahu tepatnya kapan, tapi lama sekali rasanya Alicia menatap langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk, menunggu kantuk benar-benar berhasil merenggut kesadarannya.Paginya, ketika Alicia bangun, matahari telah bersinar terik menembus gorden-gorden jendela yang ditutup. Garis-garis cahaya matahari itu masuk melalui celahnya. Alicia merasa semalam tidurnya sangat nyenyak. Dia bahkan tidak bermimpi apapun dan tidak terbangun pada waktu-waktu tertentu seperti biasanya. Dengan perasaan bahagia itu, Alicia tanpa sadar tersenyum. Matanya masih terpejam, kendati dia telah tersadar dan membukanya beberapa saat lalu, tapi Alicia ingin tidur lebih lama lagi.Ketika kesadarannya nyaris terenggut lagi, saat itulah Alicia merasakan sesuatu melingkari kakinya, meraba-raba naik menuju pahanya. Mata Alicia langsung terbuka lebar. Dia hend
Ignite: EpilogueNapas Alicia memburu saat merasakan kecupan basah di lehernya. Dia meraih seprai dan meremasnya sangat kencang, menahan suara desahannya lolos dari bibir. Wajahnya bersemu merah dengan mata yang terpejam erat.“Alice,” bisik suara serak di telinganya, terdengar sangat sensual sehingga mengirimkan getaran bagai tersengat listrik ke seluruh tubuh Alicia.“Hm,” gumam Alicia sebagai balasan.“Sebut namaku!”Alicia membuka mata, menatap tidak fokus pada objek di hadapannya. Karena bukan hanya bibir pria itu yang bergerak menyiksanya dengan memberikan kecupan-kecupan panas sampai meninggalkan bekas kemerahan di lehernya, tapi juga tangan pria itu yang terasa kasar, menyusup masuk dari balik baju tidur yang ia kenakan, meremas dadanya dan tanpa tahu malu pria itu menjetikkan jari pada puncak dadanya yang telah mengeras.“Ahh, Lucius!” Alicia sontak mendesahkan nama pria itu dalam ekstasi yang ia rasakan dari rangsangan yang diberikan. Tubuh Alicia tidak bisa berkutik di bawa
"Dokter, kalau Tuan Lucius terus bersamaku setiap waktu, aku mungkin akan sembuh lebih cepat," ucap Alicia pada Dokter Hank yang tengah memeriksa keadaannya. Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya. Sudah beberapa hari Alicia dirawat dan harus istirahat total untuk kesembuhannya. Dokter Hank adalah satu-satunya dokter yang datang untuk merawatnya. Namun, hanya untuk memeriksa keadaan Alicia secara umum, seperti mengecek suhu tubuhnya, memeriksa gejala-gejala tertentu yang bisa menimbulkan penyakit bawaan dari lukanya, memberinya obat yang akan membantu kesembuhan dan meningkatkan kesehatannya. Namun, khusus untuk mengganti perban di lukanya, hanya Lucius yang dapat melakukan itu. Bukan, Dokter Hank pun bisa melakukannya, tapi hanya Lucius seorang yang boleh. Dokter Hank sangat mengerti akan sikap Lucius yang seperti itu, namun dia tidak mengatakan apap
Landon tidak bisa merasa tenang sampai dia memasuki kamar Lucius dan melihat sosok yang dikhawatirkannya terbaring di atas ranjang. Landon duduk di dekatnya, memperhatikan wajah pucat gadis itu."Ini adalah salah satu yang aku maksud saat aku bilang berada di sisinya adalah pilihan yang salah, Alicia," ucap Landon lirih. Namun Alicia tidak bergeming, masih di bawah pengaruh obat bius. "Tapi melihat sepupuku begitu mengkhawatirkanmu kurasa hal ini sepadan untuknya," lanjut Landon, kemudian membelai pelan rambut gadis itu.Tidak beberapa lama kemudian Dokter Hank datang membawa obat dari rumah sakit. Hank bertanya kepada Landon di mana Lucius. Landon hanya menjawab, "Dia pergi untuk mengurus sesuatu."Hank belum tahu pasti bagaimana kejadiannya kenapa Alicia sampai seperti ini dan bertanya langsung pada Lucius adalah hal yang sia-sia."Ayah, apa Alicia akan baik-baik saja?" tanya Landon.Han
Sebelum ke luar, Lucius menatap Alicia sekali lagi, memperbaiki selimutnya, dan mengatur suhu ruangan agar lebih hangat."Ben, temui aku di ruangan, sekarang!" ucapnya, berbicara pada alat interkom yang masih terpasang di telinganya.Lucius pergi menuju ruang kerjanya dengan langkah lebar. Landon tiba-tiba saja muncul dari arah tangga, menghalangi jalan Lucius. Lucius menatapnya sesaat, mencoba mempertahankan kesabarannya yang tidak dia miliki banyak."Aku ikut," kata Landon.Lucius mendengus, kemudian melanjutkan langkahnya melewati Landon, menabrak bahu lelaki itu."Lucius, aku serius!" ucap Landon keras kepala, mengikuti Lucius di belakang."Apa kau tahu yang hendak aku lakukan?""Aku tahu," jawab Landon.Lucius langsung berhenti dan menoleh menatapnya.Mendapat tatapan menyeramkan seperti itu, Landon langsung melanjutk
Suara klakson mobil terdengar nyaring saling bersahutan di tengah jalan raya yang ramai dilalui kendaraan. Hanya satu mobil yang bergerak cepat dan tidak beraturan di antara mobil yang lain."Ben, kalau kau berhasil sampai dalam waktu lima menit, aku akan menaikkan gajimu sepuluh kali lipat," Lucius berkata dengan datar di kursi penumpang pada mobil yang dikendarai oleh Tangan Kanan-nya, Benjamin.Benjamin mendengus. "Kau tidak perlu mengatakan itu, kita akan sampai dalam waktu tiga menit."Normalnya, mereka akan sampai dalam setengah jam, lima belas menit jika mengebut. Sedangkan lima menit terdengar mustahil, terlebih tiga menit.Namun tidak bagi Benjamin. Selama bekerja dengan keluarga Denovan, dia sudah dilatih untuk hal-hal seperti ini. Dia benar-benar akan sampai di rumah dalam waktu tiga menit.Sesekali Ben melirik tuannya yang duduk di kursi belakang, memeluk seorang perempuan di d
Alicia duduk dengan gelisah di dalam mobil yang melaju sedang menuju suatu tempat. Alarick berada di sampingnya, diam dengan ekspresi keras di wajah. Semakin Alicia memikirkan kemana dia akan dibawa, jantungnya berdetak semakin kencang penuh antisipasi. Alicia memikirkan ucapan kepala pelayan itu yang mengatakan bahwa malam ini Lucius akan datang bersama Marie dan Adrian.Benarkah pria itu akan datang? Untuk apa? Apa rencananya? Alicia menolak untuk percaya bahwa Lucius benar-benar datang untuknya. Pria itu pasti memiliki agenda lain di otaknya yang licik dan penuh perhitungan. Apakah ini harinya? Pembalasan dendam itu? Apa yang akan Lucius lakukan? Membunuh Marie dan Adrian?Alicia membayangkan dua buah peti mati yang telah menanti di sana dan tiba-tiba saja tubuhnya mulai menggigil. Sekalipun Marie bukan ibu kandungnya, tapi kenangan terbaiknya semasa kecil selalu dihadiri oleh perempuan itu. Walaupun Alicia me
Tidak ada satupun rencananya yang berjalan lancar.Alarick memukul meja kerja dan menatap deretan anak buahnya tajam. "Bagaimana kalian bisa kehilangan mereka!" seru pria itu, melangkah mendekati lima anak buahnya yang berdiri sejajar dan menampar wajah mereka. Alarick, yang diliputi amarah berapi-api, mengepalkan tangan dan menatap bawahannya dengan tajam."Aku memberikan kalian tugas yang sangat sederhana. Bawa istri dan putraku pergi dari negara ini. Tapi bagaiman bisa kalian kehilangan mereka begitu saja?! HAH?!""S-sir... d-dia...""Apa?!""Denovan-"Belum sempat pria itu berucap, Alarick telah lebih dulu menampar wajahnya sekali lagi. Jari telunjuknya teracung ke depan wajah sang pria yang telah memerah akibat tamparan."Jangan. Sebut. Nama. Itu!" bisik Alarick tajam.Sang anak buah langsung mengangguk cepat dengan wajah penuh ketaku
"Kau sudah menemukannya, Ben?" Lucius menunduk di belakang Benjamin yang tengah melakukan sesuatu di layar komputer di hadapan mereka."Ya, Sir!" Ben menjawab yakin. "Mereka ada di Bandara sekarang.""Bandara? Untuk apa dia pergi ke Bandara sekarang?""Hanya ada dua tiket, Sir. Alarick hanya mengirim istri dan putranya pergi."Lucius lantas tahu yang hendak Alarick lakukan. Pria itu sengaja menjauhkan istri dan anaknya, berharap dengan itu keselamatan mereka menjadi lebih meyakinkan. Lucius tidak tahu apakah Alarick melakukannya karena dia masih meremehkan Lucius atau justru sebaliknya?"Hm..." Lucius menggumam."Apa yang hendak Anda lakukan sekarang, Sir?" tanya Ben penasaran.Mata Lucius tertuju pada foto Adrian Lucero dan Marie Lucero yang tengah bergandengan tangan memasuki bandara, lalu tatapan Lucius hanya tertuju pada Adrian Lucero seorang. Entah ke
Karena kepercayaannya pada Fio, Alicia mencoba untuk menenangkan diri dari kecemasan yang tidak menentu. Dia menatap bangunan tinggi di hadapannya dan menahan napas. Kenapa hotel? batinnya.Tidak lama setelah itu, mobil berhenti. Fio membantunya membuka pintu mobil, kemudian keduanya melangkah menuju lobi hotel."Landon meminta bertemu di sini?" tanya Alicia saat mereka berdiri di hadapan meja resepsionis."Ya, Miss," jawab Fio. Alicia memandang ke sekitarnya, entah kenapa dia merasa gelisah. Tapi Landon pasti sangat mempercayai Fio sehingga dia berlaku sampai sejauh ini. Alicia mencoba menduga-duga apa yang sekiranya lelaki itu hendak katakan nanti. Alicia tidak dengar apa yang dikatakan oleh Fio dan si resepsionis, setelah selesai Fio langsung mengajaknya menuju lift.Keheningan menguasai ruang persegi yang sempit itu. Alicia menatap pantulan wajah Fio di dinding lift. Apakah dia gugup ketah