"Kau sudah menemukannya, Ben?" Lucius menunduk di belakang Benjamin yang tengah melakukan sesuatu di layar komputer di hadapan mereka.
"Ya, Sir!" Ben menjawab yakin. "Mereka ada di Bandara sekarang."
"Bandara? Untuk apa dia pergi ke Bandara sekarang?"
"Hanya ada dua tiket, Sir. Alarick hanya mengirim istri dan putranya pergi."
Lucius lantas tahu yang hendak Alarick lakukan. Pria itu sengaja menjauhkan istri dan anaknya, berharap dengan itu keselamatan mereka menjadi lebih meyakinkan. Lucius tidak tahu apakah Alarick melakukannya karena dia masih meremehkan Lucius atau justru sebaliknya?
"Hm..." Lucius menggumam.
"Apa yang hendak Anda lakukan sekarang, Sir?" tanya Ben penasaran.
Mata Lucius tertuju pada foto Adrian Lucero dan Marie Lucero yang tengah bergandengan tangan memasuki bandara, lalu tatapan Lucius hanya tertuju pada Adrian Lucero seorang. Entah ke
Tidak ada satupun rencananya yang berjalan lancar.Alarick memukul meja kerja dan menatap deretan anak buahnya tajam. "Bagaimana kalian bisa kehilangan mereka!" seru pria itu, melangkah mendekati lima anak buahnya yang berdiri sejajar dan menampar wajah mereka. Alarick, yang diliputi amarah berapi-api, mengepalkan tangan dan menatap bawahannya dengan tajam."Aku memberikan kalian tugas yang sangat sederhana. Bawa istri dan putraku pergi dari negara ini. Tapi bagaiman bisa kalian kehilangan mereka begitu saja?! HAH?!""S-sir... d-dia...""Apa?!""Denovan-"Belum sempat pria itu berucap, Alarick telah lebih dulu menampar wajahnya sekali lagi. Jari telunjuknya teracung ke depan wajah sang pria yang telah memerah akibat tamparan."Jangan. Sebut. Nama. Itu!" bisik Alarick tajam.Sang anak buah langsung mengangguk cepat dengan wajah penuh ketaku
Alicia duduk dengan gelisah di dalam mobil yang melaju sedang menuju suatu tempat. Alarick berada di sampingnya, diam dengan ekspresi keras di wajah. Semakin Alicia memikirkan kemana dia akan dibawa, jantungnya berdetak semakin kencang penuh antisipasi. Alicia memikirkan ucapan kepala pelayan itu yang mengatakan bahwa malam ini Lucius akan datang bersama Marie dan Adrian.Benarkah pria itu akan datang? Untuk apa? Apa rencananya? Alicia menolak untuk percaya bahwa Lucius benar-benar datang untuknya. Pria itu pasti memiliki agenda lain di otaknya yang licik dan penuh perhitungan. Apakah ini harinya? Pembalasan dendam itu? Apa yang akan Lucius lakukan? Membunuh Marie dan Adrian?Alicia membayangkan dua buah peti mati yang telah menanti di sana dan tiba-tiba saja tubuhnya mulai menggigil. Sekalipun Marie bukan ibu kandungnya, tapi kenangan terbaiknya semasa kecil selalu dihadiri oleh perempuan itu. Walaupun Alicia me
Suara klakson mobil terdengar nyaring saling bersahutan di tengah jalan raya yang ramai dilalui kendaraan. Hanya satu mobil yang bergerak cepat dan tidak beraturan di antara mobil yang lain."Ben, kalau kau berhasil sampai dalam waktu lima menit, aku akan menaikkan gajimu sepuluh kali lipat," Lucius berkata dengan datar di kursi penumpang pada mobil yang dikendarai oleh Tangan Kanan-nya, Benjamin.Benjamin mendengus. "Kau tidak perlu mengatakan itu, kita akan sampai dalam waktu tiga menit."Normalnya, mereka akan sampai dalam setengah jam, lima belas menit jika mengebut. Sedangkan lima menit terdengar mustahil, terlebih tiga menit.Namun tidak bagi Benjamin. Selama bekerja dengan keluarga Denovan, dia sudah dilatih untuk hal-hal seperti ini. Dia benar-benar akan sampai di rumah dalam waktu tiga menit.Sesekali Ben melirik tuannya yang duduk di kursi belakang, memeluk seorang perempuan di d
Sebelum ke luar, Lucius menatap Alicia sekali lagi, memperbaiki selimutnya, dan mengatur suhu ruangan agar lebih hangat."Ben, temui aku di ruangan, sekarang!" ucapnya, berbicara pada alat interkom yang masih terpasang di telinganya.Lucius pergi menuju ruang kerjanya dengan langkah lebar. Landon tiba-tiba saja muncul dari arah tangga, menghalangi jalan Lucius. Lucius menatapnya sesaat, mencoba mempertahankan kesabarannya yang tidak dia miliki banyak."Aku ikut," kata Landon.Lucius mendengus, kemudian melanjutkan langkahnya melewati Landon, menabrak bahu lelaki itu."Lucius, aku serius!" ucap Landon keras kepala, mengikuti Lucius di belakang."Apa kau tahu yang hendak aku lakukan?""Aku tahu," jawab Landon.Lucius langsung berhenti dan menoleh menatapnya.Mendapat tatapan menyeramkan seperti itu, Landon langsung melanjutk
Landon tidak bisa merasa tenang sampai dia memasuki kamar Lucius dan melihat sosok yang dikhawatirkannya terbaring di atas ranjang. Landon duduk di dekatnya, memperhatikan wajah pucat gadis itu."Ini adalah salah satu yang aku maksud saat aku bilang berada di sisinya adalah pilihan yang salah, Alicia," ucap Landon lirih. Namun Alicia tidak bergeming, masih di bawah pengaruh obat bius. "Tapi melihat sepupuku begitu mengkhawatirkanmu kurasa hal ini sepadan untuknya," lanjut Landon, kemudian membelai pelan rambut gadis itu.Tidak beberapa lama kemudian Dokter Hank datang membawa obat dari rumah sakit. Hank bertanya kepada Landon di mana Lucius. Landon hanya menjawab, "Dia pergi untuk mengurus sesuatu."Hank belum tahu pasti bagaimana kejadiannya kenapa Alicia sampai seperti ini dan bertanya langsung pada Lucius adalah hal yang sia-sia."Ayah, apa Alicia akan baik-baik saja?" tanya Landon.Han
"Dokter, kalau Tuan Lucius terus bersamaku setiap waktu, aku mungkin akan sembuh lebih cepat," ucap Alicia pada Dokter Hank yang tengah memeriksa keadaannya. Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya. Sudah beberapa hari Alicia dirawat dan harus istirahat total untuk kesembuhannya. Dokter Hank adalah satu-satunya dokter yang datang untuk merawatnya. Namun, hanya untuk memeriksa keadaan Alicia secara umum, seperti mengecek suhu tubuhnya, memeriksa gejala-gejala tertentu yang bisa menimbulkan penyakit bawaan dari lukanya, memberinya obat yang akan membantu kesembuhan dan meningkatkan kesehatannya. Namun, khusus untuk mengganti perban di lukanya, hanya Lucius yang dapat melakukan itu. Bukan, Dokter Hank pun bisa melakukannya, tapi hanya Lucius seorang yang boleh. Dokter Hank sangat mengerti akan sikap Lucius yang seperti itu, namun dia tidak mengatakan apap
Ignite: EpilogueNapas Alicia memburu saat merasakan kecupan basah di lehernya. Dia meraih seprai dan meremasnya sangat kencang, menahan suara desahannya lolos dari bibir. Wajahnya bersemu merah dengan mata yang terpejam erat.“Alice,” bisik suara serak di telinganya, terdengar sangat sensual sehingga mengirimkan getaran bagai tersengat listrik ke seluruh tubuh Alicia.“Hm,” gumam Alicia sebagai balasan.“Sebut namaku!”Alicia membuka mata, menatap tidak fokus pada objek di hadapannya. Karena bukan hanya bibir pria itu yang bergerak menyiksanya dengan memberikan kecupan-kecupan panas sampai meninggalkan bekas kemerahan di lehernya, tapi juga tangan pria itu yang terasa kasar, menyusup masuk dari balik baju tidur yang ia kenakan, meremas dadanya dan tanpa tahu malu pria itu menjetikkan jari pada puncak dadanya yang telah mengeras.“Ahh, Lucius!” Alicia sontak mendesahkan nama pria itu dalam ekstasi yang ia rasakan dari rangsangan yang diberikan. Tubuh Alicia tidak bisa berkutik di bawa
"Alicia." "Mommy!" Seorang gadis kecil menghampiri ibunya yang tengah berdiri di ambang pintu kamar, memeluknya langsung. "Alicia," panggil wanita paruh baya itu sekali lagi, dengan mata yang berkaca-kaca. Alicia tampak kebingungan. "Mama, ada apa?" Marie menggelengkan kepala, tersenyum menatap anaknya. Tidak lama kemudian, dua pria datang menghampiri mereka. Keduanya Alicia sangat kenal. Yaitu ayah dan pamannya. "Robert, aku mohon, jaga Alicia baik-baik." Marie menatap Robert dengan air mata yang sudah berlinang. Robert menganggukkan kepala. "Kalian tidak perlu khawatir, Alicia akan aman tinggal bersamaku," ucapnya dengan sulas senyuman manis. Marie menganggukkan kepalanya, masih dengan air mata yang bergulir di kedua pipinya. Setelah memeluk Alicia, dia mundur dan membiarkan Alarick, suaminya, memeluk anak mereka.
Ignite: EpilogueNapas Alicia memburu saat merasakan kecupan basah di lehernya. Dia meraih seprai dan meremasnya sangat kencang, menahan suara desahannya lolos dari bibir. Wajahnya bersemu merah dengan mata yang terpejam erat.“Alice,” bisik suara serak di telinganya, terdengar sangat sensual sehingga mengirimkan getaran bagai tersengat listrik ke seluruh tubuh Alicia.“Hm,” gumam Alicia sebagai balasan.“Sebut namaku!”Alicia membuka mata, menatap tidak fokus pada objek di hadapannya. Karena bukan hanya bibir pria itu yang bergerak menyiksanya dengan memberikan kecupan-kecupan panas sampai meninggalkan bekas kemerahan di lehernya, tapi juga tangan pria itu yang terasa kasar, menyusup masuk dari balik baju tidur yang ia kenakan, meremas dadanya dan tanpa tahu malu pria itu menjetikkan jari pada puncak dadanya yang telah mengeras.“Ahh, Lucius!” Alicia sontak mendesahkan nama pria itu dalam ekstasi yang ia rasakan dari rangsangan yang diberikan. Tubuh Alicia tidak bisa berkutik di bawa
"Dokter, kalau Tuan Lucius terus bersamaku setiap waktu, aku mungkin akan sembuh lebih cepat," ucap Alicia pada Dokter Hank yang tengah memeriksa keadaannya. Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya. Sudah beberapa hari Alicia dirawat dan harus istirahat total untuk kesembuhannya. Dokter Hank adalah satu-satunya dokter yang datang untuk merawatnya. Namun, hanya untuk memeriksa keadaan Alicia secara umum, seperti mengecek suhu tubuhnya, memeriksa gejala-gejala tertentu yang bisa menimbulkan penyakit bawaan dari lukanya, memberinya obat yang akan membantu kesembuhan dan meningkatkan kesehatannya. Namun, khusus untuk mengganti perban di lukanya, hanya Lucius yang dapat melakukan itu. Bukan, Dokter Hank pun bisa melakukannya, tapi hanya Lucius seorang yang boleh. Dokter Hank sangat mengerti akan sikap Lucius yang seperti itu, namun dia tidak mengatakan apap
Landon tidak bisa merasa tenang sampai dia memasuki kamar Lucius dan melihat sosok yang dikhawatirkannya terbaring di atas ranjang. Landon duduk di dekatnya, memperhatikan wajah pucat gadis itu."Ini adalah salah satu yang aku maksud saat aku bilang berada di sisinya adalah pilihan yang salah, Alicia," ucap Landon lirih. Namun Alicia tidak bergeming, masih di bawah pengaruh obat bius. "Tapi melihat sepupuku begitu mengkhawatirkanmu kurasa hal ini sepadan untuknya," lanjut Landon, kemudian membelai pelan rambut gadis itu.Tidak beberapa lama kemudian Dokter Hank datang membawa obat dari rumah sakit. Hank bertanya kepada Landon di mana Lucius. Landon hanya menjawab, "Dia pergi untuk mengurus sesuatu."Hank belum tahu pasti bagaimana kejadiannya kenapa Alicia sampai seperti ini dan bertanya langsung pada Lucius adalah hal yang sia-sia."Ayah, apa Alicia akan baik-baik saja?" tanya Landon.Han
Sebelum ke luar, Lucius menatap Alicia sekali lagi, memperbaiki selimutnya, dan mengatur suhu ruangan agar lebih hangat."Ben, temui aku di ruangan, sekarang!" ucapnya, berbicara pada alat interkom yang masih terpasang di telinganya.Lucius pergi menuju ruang kerjanya dengan langkah lebar. Landon tiba-tiba saja muncul dari arah tangga, menghalangi jalan Lucius. Lucius menatapnya sesaat, mencoba mempertahankan kesabarannya yang tidak dia miliki banyak."Aku ikut," kata Landon.Lucius mendengus, kemudian melanjutkan langkahnya melewati Landon, menabrak bahu lelaki itu."Lucius, aku serius!" ucap Landon keras kepala, mengikuti Lucius di belakang."Apa kau tahu yang hendak aku lakukan?""Aku tahu," jawab Landon.Lucius langsung berhenti dan menoleh menatapnya.Mendapat tatapan menyeramkan seperti itu, Landon langsung melanjutk
Suara klakson mobil terdengar nyaring saling bersahutan di tengah jalan raya yang ramai dilalui kendaraan. Hanya satu mobil yang bergerak cepat dan tidak beraturan di antara mobil yang lain."Ben, kalau kau berhasil sampai dalam waktu lima menit, aku akan menaikkan gajimu sepuluh kali lipat," Lucius berkata dengan datar di kursi penumpang pada mobil yang dikendarai oleh Tangan Kanan-nya, Benjamin.Benjamin mendengus. "Kau tidak perlu mengatakan itu, kita akan sampai dalam waktu tiga menit."Normalnya, mereka akan sampai dalam setengah jam, lima belas menit jika mengebut. Sedangkan lima menit terdengar mustahil, terlebih tiga menit.Namun tidak bagi Benjamin. Selama bekerja dengan keluarga Denovan, dia sudah dilatih untuk hal-hal seperti ini. Dia benar-benar akan sampai di rumah dalam waktu tiga menit.Sesekali Ben melirik tuannya yang duduk di kursi belakang, memeluk seorang perempuan di d
Alicia duduk dengan gelisah di dalam mobil yang melaju sedang menuju suatu tempat. Alarick berada di sampingnya, diam dengan ekspresi keras di wajah. Semakin Alicia memikirkan kemana dia akan dibawa, jantungnya berdetak semakin kencang penuh antisipasi. Alicia memikirkan ucapan kepala pelayan itu yang mengatakan bahwa malam ini Lucius akan datang bersama Marie dan Adrian.Benarkah pria itu akan datang? Untuk apa? Apa rencananya? Alicia menolak untuk percaya bahwa Lucius benar-benar datang untuknya. Pria itu pasti memiliki agenda lain di otaknya yang licik dan penuh perhitungan. Apakah ini harinya? Pembalasan dendam itu? Apa yang akan Lucius lakukan? Membunuh Marie dan Adrian?Alicia membayangkan dua buah peti mati yang telah menanti di sana dan tiba-tiba saja tubuhnya mulai menggigil. Sekalipun Marie bukan ibu kandungnya, tapi kenangan terbaiknya semasa kecil selalu dihadiri oleh perempuan itu. Walaupun Alicia me
Tidak ada satupun rencananya yang berjalan lancar.Alarick memukul meja kerja dan menatap deretan anak buahnya tajam. "Bagaimana kalian bisa kehilangan mereka!" seru pria itu, melangkah mendekati lima anak buahnya yang berdiri sejajar dan menampar wajah mereka. Alarick, yang diliputi amarah berapi-api, mengepalkan tangan dan menatap bawahannya dengan tajam."Aku memberikan kalian tugas yang sangat sederhana. Bawa istri dan putraku pergi dari negara ini. Tapi bagaiman bisa kalian kehilangan mereka begitu saja?! HAH?!""S-sir... d-dia...""Apa?!""Denovan-"Belum sempat pria itu berucap, Alarick telah lebih dulu menampar wajahnya sekali lagi. Jari telunjuknya teracung ke depan wajah sang pria yang telah memerah akibat tamparan."Jangan. Sebut. Nama. Itu!" bisik Alarick tajam.Sang anak buah langsung mengangguk cepat dengan wajah penuh ketaku
"Kau sudah menemukannya, Ben?" Lucius menunduk di belakang Benjamin yang tengah melakukan sesuatu di layar komputer di hadapan mereka."Ya, Sir!" Ben menjawab yakin. "Mereka ada di Bandara sekarang.""Bandara? Untuk apa dia pergi ke Bandara sekarang?""Hanya ada dua tiket, Sir. Alarick hanya mengirim istri dan putranya pergi."Lucius lantas tahu yang hendak Alarick lakukan. Pria itu sengaja menjauhkan istri dan anaknya, berharap dengan itu keselamatan mereka menjadi lebih meyakinkan. Lucius tidak tahu apakah Alarick melakukannya karena dia masih meremehkan Lucius atau justru sebaliknya?"Hm..." Lucius menggumam."Apa yang hendak Anda lakukan sekarang, Sir?" tanya Ben penasaran.Mata Lucius tertuju pada foto Adrian Lucero dan Marie Lucero yang tengah bergandengan tangan memasuki bandara, lalu tatapan Lucius hanya tertuju pada Adrian Lucero seorang. Entah ke
Karena kepercayaannya pada Fio, Alicia mencoba untuk menenangkan diri dari kecemasan yang tidak menentu. Dia menatap bangunan tinggi di hadapannya dan menahan napas. Kenapa hotel? batinnya.Tidak lama setelah itu, mobil berhenti. Fio membantunya membuka pintu mobil, kemudian keduanya melangkah menuju lobi hotel."Landon meminta bertemu di sini?" tanya Alicia saat mereka berdiri di hadapan meja resepsionis."Ya, Miss," jawab Fio. Alicia memandang ke sekitarnya, entah kenapa dia merasa gelisah. Tapi Landon pasti sangat mempercayai Fio sehingga dia berlaku sampai sejauh ini. Alicia mencoba menduga-duga apa yang sekiranya lelaki itu hendak katakan nanti. Alicia tidak dengar apa yang dikatakan oleh Fio dan si resepsionis, setelah selesai Fio langsung mengajaknya menuju lift.Keheningan menguasai ruang persegi yang sempit itu. Alicia menatap pantulan wajah Fio di dinding lift. Apakah dia gugup ketah