Share

07. Escape (2)

Author: Asia July
last update Last Updated: 2021-03-16 21:22:11

Napas Alicia memburu, membuat dadanya sakit dan bergemuruh cepat. Peluh membanjiri pelipisnya, kakinya sudah terasa kebas dan rambut gelapnya yang panjang acak-acakan dan lengket karena keringat. Alicia meringis sakit, ketika kakinya yang kebas itu tersandung batu, dia terjatuh dengan lutut yang mengeluarkan darah. Namun semua itu, tidak membuat Alicia menghentikan pelariannya. Dia bangkit dan berlari lagi, dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang.

Sepi.

Alicia tahu cepat atau lambat para penjaga di rumah itu pasti akan menyadari kepergiannya. Dan dia hanya bisa berdoa semoga mereka tidak menyadarinya secepat seperti yang Alicia bayangkan.

Jalanan sangat sepi pada pagi menjelang siang itu, tidak ada satupun mobil yang lewat. Di kiri kanan yang terlihat hanya hutan-hutan belantara yang sunyi. Alicia baru mengetahui bahwa letak rumah Lucius sejauh ini dari kota. Namun tetap saja, Alicia tidak menyerah.

Ketika dirasanya tidak kuat, Alicia melipir ke pinggir jalan, masuk ke dalam bibir hutan dan bersandar pada salah satu pohon di sana.

Napasnya masih menderu dan sekujur tubuhnya berteriak sakit. Seumur hidup, Alicia tidak pernah lari sampai sejauh ini. Belum lagi dengan ketakutan yang dirasakannya.

Dengan jantung yang masih bertalu-talu dan napas yang kasar, serta udara dingin yang begitu menyengat, Alicia merosot jatuh dan terduduk lunglai. Dia memejamkan mata, menahan rasa sakit di kedua kaki dan dadanya.

Suara deru mobil dari kejauhan membuat Alicia membuka matanya kembali. Dia perlahan berdiri, lalu mengintip dari balik pohon yang hampir menelan figur tubuhnya yang kecil, untung saja.

Dan napas Alicia tercekat ketika sebuah mobil hitam nampak dari kejauhan. Dia semakin menenggelamkan dirinya ke dalam hutan dan bersembunyi di balik batang pohon yang lebih besar sambil tidak henti-hentinya merapalkan doa.

***

Lucius benar-benar marah ketika dia mendapat telepon dari salah satu anak buahnya di rumah bahwa Alicia kabur. Tangannya terkepal sangat kuat. Dia menghadiri sebuah rapat selama satu jam dalam amarah yang sebesar itu, benar-benar menyiksanya. Namun otaknya yang cerdas tidak membuatnya lalai dalam pekerjaannya. Lucius pun masih sempat berpikir apa yang harus dia lakukan.

Para bawahannya sedikit terkejut ketika Lucius tidak memerintahkan mereka untuk mencari Alicia.

Karena...

Lucius sendiri yang akan menemukannya.

Keluar dari ruang rapat, seringai dingin tercetak di bibirnya. Tatapan matanya tajam dan menjurus ke depan. Diikuti oleh tiga bodyguardnya yang lain, Lucius pun akhirnya memilih untuk pulang.

Ketika sampai pada jalur rumahnya yang diapit oleh hutan belantara, Lucius tersenyum lagi. Tangannya ia sandarkan pada jendela, memangku wajahnya yang tampan.

"Sir, Nona Alicia-"

"Aku tahu." Lucius menjawab cepat.

Matanya yang sangat jeli itu sempat menangkap figur seorang perempuan dengan dress biru mudanya, keluar dari hutan, lalu memasukinya lagi dengan cepat.

"Biarkan saja," katanya kemudian.

***

Hampir saja!

Alicia merasakan kelegaan yang benar-benar tiada tara setelah adrenalinnya berpacu sangat kencang.

Dia melanjutkan langkahnya dan berhasil menemukan jalan raya yang lebih ramai oleh kendaraan-kendaraan dan pejalan kaki.

Orang-orang menatap Alicia heran karena penampilan gadis itu yang benar-benar berantakan. Dress biru mudanya kotor, kakinya tidak beralaskan apapun, padahal saat ini telah memasuki musim dingin, mungkin itulah kenapa darah di wajahnya seolah tidak tersisa setetespun, benar-benar pucat. Juga rambut terangnya yang acak-acakan dan lengket.

Hari semakin siang, Alicia menghentikan langkahnya pada sebuah lorong yang sepi dan sengaja berdiam diri di sana untuk beberapa saat, mengistirahatkan kakinya yang benar-benar sakit.

Udara dingin menghantamnya semakin kuat. Tubuh Alicia juga semakin lemas. Dan dia menyesal tidak memakan habis sarapannya pagi tadi. Karena sekarang, Alicia benar-benar lapar dan haus.

Perempuan itu pun jatuh terduduk, menyenderkan punggung pada tembok bangunan di belakangnya, dengan kaki yang berselonjor ke depan.

Kepala Alicia mulai pening dan matanya berkunang-kunang. Dia tidak bisa menahan dorongan untuk tidak menutup kedua kelopak matanya, sampai hanya kegelapan yang ia lihat. Di sini sangat sunyi, Alicia bisa mendengar sedikit lebih jelas suara-suara mesin mobil dan pejalan kaki yang berlalu-lalang. Alicia hanya bisa berdoa, semoga Lucius tidak pernah menemukannya.

***

Tubuh Alicia terlonjak kaget ketika merasakan tamparan yang begitu keras di wajahnya, diikuri rasa sakit yang membakar. Mata Alicia mengerjap takut pada seorang perempuan yang saat ini tengah menatapnya dengan senyum meremehkan.

"Dia memang pingsan. Bagus kau bisa menahan nafsu binatangmu itu, Phill, akan kubayar kau dengan jumlah lebih nanti."

Alicia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mencari petunjuk yang bisa menjelaskan situasinya saat ini. Lalu matanya berlabuh pada seorang pria dengan tampilan preman yang berdiri di dekat pintu dengan senyuman sangat lebar. Perempuan yang tadi menampar Alicia berdiri dengan tangan di dada.

Tidak, bukan hanya dia saja perempuannya, namun ada beberapa perempuan lagi di ruangan besar itu, berpakaian sangat terbuka, dan semua pasang mata mereka menatap Alicia dengan tatapan aneh.

"Jangan hiraukan mereka," kata si perempuan dengan pakaian yang lebih sopan, yang tadi menamparnya. "Aku Dabby. Madame Dabby, begitu kau akan memanggilku," katanya lagi.

Alicia tidak merespon apapun, hanya mengerjapkan mata dengan sorot tajam.

Perempuan yang mengaku sebagai Madame Dabby itu tertawa terbahak-bahak. Lalu tiba-tiba mencengkram rahang Alicia dengan telunjuk dan jempolnya, memperhatikan wajah Alicia lebih dekat, lalu berdecak kesal. Dia melepas cengkraman jarinya dengan kasar, membuat kepala Alicia menoleh ke samping dan dia meringis.

"Kau memang cantik, sayangnya terlalu kotor." Madame Dabby, berbalik pergi, namun sebelum sampai di pintu, dia berkata, "Bersihkan dia."

Dan yang terjadi selanjutnya adalah Alicia... memang benar dibersihkan. Oleh perempuan-perempuan yang tadi menatapnya aneh. Mereka berlima, mendekati Alicia, membuka seluruh pakaian di tubuh Alicia, lalu menggerayanginya dengan tangan-tangan kurus mereka, Alicia menjerit-jerit ketika seluruh pakaiannya telah berhasil terbuka.

"LEPASKAN!!!" serunya tidak tahan. Air matanya mengucur bebas. Tubuhnya diangkat dan dia dibawa menuju ruangan lain yang di dalamnya terdapat sebuah bathup, Alicia diturunkan di sana. Tubuhnya kembali terlonjak kaget karena air di dalam bathup itu terasa seperti air es, benar-benar dingin.

Kepalanya kembali terasa pening, cekikikan lima perempuan yang diberi tugas untuk 'membersihkan' Alicia itu terdengar samar-samar di telinga Alicia. Entah karena saking kedinginannya atau karena suntikan yang baru saja Alicia terima di tangannya, perlawanan Alicia melemah karena tubuhnya juga sangat lemah, dia bahkan tidak kuasa untuk membuka kelopak matanya lagi, sehingga dia sama sekali tidak bergerak dan membiarkan perempuan-perempuan aneh itu mengelap tubuhnya dan memasangkannya pakaian. Alica tidak benar-benar hilang kesadaran, karena dia masih sangat jelas mendengar atau merasakan apapun yang berada di sekitarnya.

Setelah semua itu selesai. Alicia, dengan tubuh yang hanya dibalut oleh bra dan celana dalam dimasukkan ke dalam sebuah jeruji besi yang telah diisi oleh tiga perempuan lain. Wajah mereka tampak sangat ketakutan, kecuali Alicia yang hanya menatap dengan tatapan kosong ke depan, dia masih dalam pengaruh obat yang tadi disuntikkan oleh perempuan-perempuan itu.

Satu jam kemudian, pengaruh obat itu hilang. Dan Alicia sepenuhnya sadar pada situasinya saat ini, terlebih pada pakaian yang ia kenakan. Alarm bahaya di kepalanya berdering sangat kencang. Dia melihat sekelilingnya dan menemukan tiga perempuan lain.

"Apa yang terjadi?" tanya Alicia, namun ketiga perempuan itu tidak menjawab.

"Ini akhir hidup kita." Jawab salah satu dari mereka yang tampak sedikit lebih tenang dari dua perempuan lainnya, namun tetap menampakkan ketakutan dari sorot matanya.

"Apa maksudmu?" tanya Alicia lagi.

"Kita sedang dirumah bordil, bodoh."

Alicia mengernyit. "Apa artinya?"

Perempuan yang tadi menjawab pertanyaannya memutar bola matanya jengah. "Itu artinya, tidak lama lagi, tubuh kita yang tidak berguna ini akan dijual oleh si perempuan sialan itu kepada para bajingan dan hidung belang di luar sana. Sial! Aku menyesal telah tidur di pinggir toko sialan itu semalam, seharusnya aku ke kolong jembatan saja." Perempuan tadi menjelaskan, dengan nada gerutu pada akhir kalimatnya yang tidak Alicia mengerti karena terlalu terkejut akan fakta yang dikatakan perempuan itu

Dia akan dijual?

Dan akan dibeli oleh pria-pria bajingan dan hidung belang di luar sana?!

Bagaimana kalau pria-pria itu lebih kejam dari Lucius?

Alicia terkesiap dengan pemikirannya. Dia harus keluar dari sini. Bagaimanapun caranya, Alicia harus kabur. Dia sudah berhasil kabur dari Lucius, tentu saja dia juga bisa kabur dari sini semudah dia kabur dari penjagaan pria kejam itu yang super ketat.

Alicia berbalik dan menatap keluar dari jeruji besi itu. Tangannya bergetar ketika menggenggam besi yang sangat dingin. Matanya melihat-lihat ke arah luar, mencari para penjaga. Dan dia menemukan dua orang penjaga di dekat pintu masuk. Alicia menelan ludahnya, pria-pria itu berbadan besar. Apakah dirinya mampu lolos dari mereka?

Alicia mundur lagi dan duduk di dekat perempuan yang tadi menjawab pertanyaannya. Dua perempuan yang lain kini berbaring dan tampak menutup mata mereka sambil menangis dengan tubuh bergetar.

"Aku harus keluar dari tempat ini," gumam Alicia. Matanya menatap kosong, kakinya ia tekuk perlahan, lalu kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. "Ayo berpikir, Alicia!" geramnya putus asa.

Suara kekehan di sampingnya membuat Alicia menoleh. "Kau tidak akan berhasil keluar dari sini," ucap perempuan itu.

Alicia menggeleng. "Pasti bisa,... kan?" tanyanya, dengan keraguan yang tampak jelas. Perempuan itu tersenyum sinis. "Kau tidak akan berhasil. Percayalah, mereka akan menemukanmu dan memperlakukanmu lebih buruk dari yang telah mereka lakukan padamu."

"Itu tidak benar," gumam Alicia dengan suara nyaris tidak terdengar.

Perempuan di sampingnya lagi-lagi terkekeh. "Apa yang aku katakan memang benar. Kita beruntung karena para bodyguard itu membawa kita ke tempat ini dalam keadaan perawan dan hidup, beberapa mereka perawani terlebih dahulu, sehingga nilainya tidak lagi berharga dan otaknya akan dicuci, diberi obat supaya mereka tidak memberontak, lalu menjadi pemuas nafsu para bajingan hidung belang di kalangan bawah, atau menjadi peliharaan mereka di rumah. Jika sudah seperti itu, artinya sama saja seperti kau mati, ragamu pergi, hanya nyawamu yang hampa yang tersisa. Dan itu semua akan terjadi jika kau kabur, para bodyguard itu bisa saja berbuat nekat dan akan memerawanimu apapun konsekuensinya, setelahnya bisa saja kau dibunuh, sehingga mereka tidak perlu mendapatkan amukan dari si perempuan sialan bernama Dabby itu."

Napas Alicia kembali tercekat dan tubuhnya semakin gemetar setelah mendengarkan itu semua. Dia menatap si perempuan dengan tatapan ketakutan. "Da-dari mana... kau tahu semua itu? D-dan... dan kenapa kau tidak takut?!"

Perempuan itu tersenyum, membuat Alicia terhenyak akan kesedihan yang terpancar di matanya. "Aku tahu, karena aku melihatnya sendiri." Perempuan itu memeluk lututnya kian erat di dada. "Kita awalnya berlima, kami mencoba kabur. Sayangnya, dua gadis itu dibunuh setelah diperkosa. Kami beruntung karena saat giliran kami, perempuan bernama Dabby itu datang."

Tidak mungkin! Alicia bergidik membayangkannya, sampai perempuan itu kembali melanjutkan. "Aku memang tidak takut. Aku hidup sendiri selama berminggu-minggu di jalanan. Keluargaku tidak akan peduli nasibku bagaimana, mereka mungkin sudah menganggapku mati. Aku kehilangan segala yang kupunya di dunia ini, lalu untuk apa aku hidup? Lebih baik kalau aku benar-benar mati, kan."

Alicia menundukkan tatapannya setelah melihat raut keputus-asaan yang jelas pada wajah perempuan itu.

Dia teringat kembali akan kedua orangtuanya, bibi Jane, Wendy, dan paman Filbert di desa. Kedua orangtuanya mungkin saja sudah tidak menginginkan Alicia lagi, tapi dia masih memiliki orang-orang yang menyayanginya dengan tulus, yang masih menginginkan sosoknya.

Lalu Alicia menatap lagi perempuan itu, yang kali ini tengah menyandarkan punggungnya pada tembok yang benar-benar dingin, sambil menutup kedua kelopak matanya dengan tenang.

Untuk pertama kali atas segala penderitaan Alicia selama ini, dia merasa bersyukur, merasa lebih beruntung dan lebih bahagia dari perempuan di hadapannya saat ini, atau perempuan-perempuan lain di luar sana. Setidaknya, dia pernah merasakan rasanya memiliki keluarga di desa, walaupun Lucius merenggutnya secara paksa.

Alicia menarik napas dalam-dalam. Dia harus menenangkan dirinya agar otaknya dapat kembali dugunakan untuk berpikir. Bagaimanapun, Alicia harus keluar dari tempat ini. Jika sampai semua yang perempuan itu katakan padanya terjadi, Alicia...

...ya, dia tidak tahu harus bagaimana. Pemikiran itu membuat Alicia berpikir untuk menyerah saja.

Dia telah dijual sekali oleh pamannya. Kepada seorang bajingan kejam yang untung saja bukan seorang pria berhidung belang, tapi tetap saja dia seorang bajingan yang sama, dan Alicia tidak ingin itu terulang kembali.

Ketika sibuk berpikir, perempuan di hadapannya tiba-tiba kembali bersuara. "Namaku Calla, omong-omong."

Alicia mengangkat wajahnya, menatap tidak mengerti pada wajah tersenyum di hadapannya, lalu mengerjap beberapa kali. "Aku Alicia." Dia menjawab singkat.

"Sebenarnya tidak ada gunanya kita berkenalan." Calla terkekeh. "Kalau tidak mati, kita akan menjadi peliharaan seseorang di luar sana dan akan diperlakukan sebagai hewan. Yah, sama saja dengan mati, sih."

Alicia menggigit bibir bawahnya. "Kau... kau benar-benar tidak mau keluar dari tempat ini?"

Calla menatapnya lama, lalu berdecak. "Untuk apa? Aku tidak memiliki kehidupan di luar sana. Sama saja."

Alicia menggeleng-gelengkan kepala. "Aku juga. Orangtuaku pergi dan menitipkan aku ke pamanku. Saat itu aku berusia 9 tahun. Lalu tidak lama kemudian, dia menjualku kepada seorang pria."

Calla yang awalnya tampak tidak tertarik, kini menatap Alicia setelah mendengar kata bahwa seseorang telah menjual Alicia. "Apa yang terjadi selanjutnya?" tanyanya.

Alicia tersenyum lebar. "Aku kabur dari pria itu."

Calla membulatkan matanya terkejut, lalu terdiam lagi dengan tatapan dingin. "Lalu kau jatuh ke lubang yang sama."

"Aku memang sebodoh itu." Alicia tertawa sumbang. "Dia memberiku kehidupan yang layak di sebuah desa terpencil bersama sebuah keluarga yang sederhana dan harmonis. Aku sempat bahagia saat itu, aku memang naif. Lalu di ulangtahunku yang ke 18, dia datang dan menjemputku, memaksaku tinggal dengannya di kota. Well, aku diberi kamar tidur yang bagus, di atas kasur yang empuk dan selimut tebat. Dia memberiku makan dengan makanan mewah. Semua itu bagus, kan. Hanya saja, aku bukan tipe perempuan yang suka dikekang. Dia mengancam akan membunuh kedua orangtuaku dan keluargaku di desa jika aku berani melanggar peraturan yang dia buat. Dia juga..."

Alicia terdiam.

Tunggu... bukankah ini artinya, Alicia telah melanggar peraturan itu? Lucius bilang... di ruang makan itu...

Calla menyadari perubahan pada wajah Alicia yang tampak syok. "Kenapa?"

"A-aku..." Alicia tidak mampu menjawab, "aku telah melanggar peraturannya itu dengan kabur darinya."

Calla ikut tertawa sumbang. "Ya, kau memang bodoh. Katakan selamat tinggal pada mereka yang akan segera mati, kalau begitu."

Alicia meringis tanpa sadar.

"A-aku... aku harus keluar dari sini dan menemuinya!"

Calla mengernyit. "Lalu untuk apa kau kabur, idiot?"

Alicia hendak menjawab, namun Calla segera memotongnya. "Tunggu, itu bukan urusanku. Terserah kau saja, aku tidak mau ikut campur."

Alicia menggigit bibir bawahnya semakin kencang. Dia kabur karena ingin mencari keberadaan kedua orangtuanya di kota ini, kota yang sama tempat ia menghabiskan 9 tahun hidupnya semasa kecil dulu. Tapi, bagaimana jika Lucius telah lebih dulu menemukan orangtuanya dan membunuh mereka?

***

Related chapters

  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   08. Escape (3)

    Alicia tidak pernah merasa setakut ini seumur hidupnya.Dia merasakan dadanya sakit akibat jantungnya yang berdetak begitu cepat serta napasnya yang berat. Dia menatap ke sekelilingnya, benar-benar gelap, namun dari suara-suara lain yang ia dengar di sana, Alicia jelas mengetahui bahwa bukan hanya mereka berempat yang ada di dalam ruangan itu. Siapa yang tahu apa yang ada di balik kegelapan?"Selamat malam, hadirin sekalian." Suara seorang pria dengan microfon.Alicia meneguk ludahnya susah payah. "Ca-calla...""Hm.""A-aku... aku benar-benar takut.""Damn, who wasn't."Alicia semakin merasa takut. dua perempuan lainnya yang Alicia tidak tahu nama mereka siapa, juga pasti merasa ketakutan, terdengar jelas dari suara rengekan mereka yang seolah hendak menangis.Alicia tahu... bahwa inilah saatnya."Terima kasih sud

    Last Updated : 2021-03-16
  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   09. Punishment

    Saat kecil dulu, Alicia jarang sekali terkena virus penyakit. Mamanya selalu mengontrol pola makannya dan selalu memberikannya vitamin. Kasih sayang sang Mama juga Papa terasa begitu besar, sehingga kepergian mereka yang 'meninggalkan' Alicia, masih gadis itu tidak percayai. Pasti ada sesuatu, alasan yang begitu kuat di balik tindakan mereka itu.Sekarang, Alicia sakit. Tubuhnya mengeluarkan keringat sangat banyak, namun dia terus saja meracau kedinginan. Tiga lapis selimut menutupinya sampai leher, hal itu masih tidak banyak membantu. Kening Alicia berkerut dalam. Setiap malam, dia akan berteriak-teriak ketakutan seolah nyawanya sedang di ujung tanduk.Saat sedang terjaga, dia akan berhalusinasi seperti orang gila, ketakutan dan menjerit. Ketika tidur pun, mimpi buruk tiada henti menghampirinya. Kalau belum muntah, Alicia tidak akan tenang.Terhitung sudah tiga hari Alicia seperti itu.Lucius, yang saat i

    Last Updated : 2021-03-16
  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   10. Guilty Pleasure (1)

    Tubuh Alicia melemah seiring dengan tangisannya. Dia tidak tahu lagi apa yang terjadi ketika napas mulai tersendat-sendat, dan dadanya terasa sakit. Alicia merasakan rengkuhan hangat itu mengerat dan seseorang membaringkannya dengan lembut di ranjang. Yang terakhir kali singgah di benaknya sebelum ia benar-benar menutup mata adalah wajah bibi Jen, Wendy, dan paman Filbert di desa. Alicia tidak akan pernah memaafkan dirinya atas apa yang terjadi pada mereka.Ketika terbangun dari tidurnya, kepala Alicia terasa pening. Bahkan hanya untuk membuka mata rasanya dia tidak sanggup. Tapi seseorang dengan sangat tidak berperasaan menarik tangan Alicia dan memaksanya duduk. Alicia langsung meringis memegangi kepalanya karena rasa sakit yang berdenyut-denyut di sana."Aku tidak menyukai gadis manja!" hardik Lucius ketika Alicia terjatuh lagi ke ranjang dan Lucius menariknya duduk kembali."Ku-kumohon," rintih Alicia.

    Last Updated : 2021-03-16
  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   11. Guilty Pleasure (2)

    "Mungkin ini memang yang terbaik," gumam Alicia, kemudian melanjutkan dengan nada yang lebih terdengar putus asa, "setidaknya untuk sekarang." Dia memetik setangkai bunga daisy dan menggenggamnya di tangan bersama tangkai yang lain. pikiran Alicia kembali berkecamuk.Dia hari itu, hari yang tidak akan pernah Alicia lupakan pernah terjadi, pengalaman paling baru dan paling aneh yang pernah dirasakannya. Yang diberikan oleh seorang pria dewasa berhati kejam. Tubuh Alicia kembali dialiri gelenyar aneh. Semenjak hari itu, dia tidak pernah lagi melihat Lucius di rumah. Alicia awalnya tidak berani melangkah keluar dari kamarnya, sampai suatu pagi dia menyadari bunga di atas nakasnya mengering. Kemudian Alicia mulai bertanya-tanya siapa yang setiap pagi mengganti bunga itu di sana? Karena Alicia tidak pernah melihat pelayan melakukannya. Dan jika Lucius yang melakukannya, itu terdengar sangat mustahil. Alicia berhenti bertanya-tanya dan mencoba menggantinya s

    Last Updated : 2021-03-17
  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   12. Gossip

    Keesokan harinya, Alicia terbangun di atas ranjang dalam keadaan terikat. Dia menatap sekelilingnya bingung, kepalanya berdenyut sakit. Alicia mencoba untuk melepaskan ikatan di pergelangan tangannya namun tidak berhasil. Dia lantas berbaring pasrah dalam beberapa saat untuk mengembalikan pikirannya kosong. Saat itulah kemudian Alicia teringat pada kejadian semalam. Dia tersentak bangkit, untuk kemudian meringis karena tangannya yang terikat."Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan!" bisiknya cemas.Alicia pun tidak tahan untuk bertanya-tanya, apakah Lucius masih di sini atau dia sudah terbang ke negeri sakura, meninggalkan Alicia dengan ingatan dan kejadian semalam. Alicia diliputi rasa jijik pada dirinya sendiri, penyesalah, dan amarah.Ketika Alicia sibuk dengan pikirannya sendiri, Harrieth masuk ke dalam kamarnya membawa sarapan, namun mematung beberapa di pintu menatap terkejut pada Alicia.Alicia men

    Last Updated : 2021-03-17
  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   13. Precious One (1)

    Malam itu Alicia semakin kesusahan untuk tidur. Namun pada akhirnya, dia berhasil juga dibuai ke alam mimpi. Tidak tahu tepatnya kapan, tapi lama sekali rasanya Alicia menatap langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk, menunggu kantuk benar-benar berhasil merenggut kesadarannya.Paginya, ketika Alicia bangun, matahari telah bersinar terik menembus gorden-gorden jendela yang ditutup. Garis-garis cahaya matahari itu masuk melalui celahnya. Alicia merasa semalam tidurnya sangat nyenyak. Dia bahkan tidak bermimpi apapun dan tidak terbangun pada waktu-waktu tertentu seperti biasanya. Dengan perasaan bahagia itu, Alicia tanpa sadar tersenyum. Matanya masih terpejam, kendati dia telah tersadar dan membukanya beberapa saat lalu, tapi Alicia ingin tidur lebih lama lagi.Ketika kesadarannya nyaris terenggut lagi, saat itulah Alicia merasakan sesuatu melingkari kakinya, meraba-raba naik menuju pahanya. Mata Alicia langsung terbuka lebar. Dia hend

    Last Updated : 2021-03-18
  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   14. Precious One (2)

    Ketika terbangun dari pingsannya, Alicia menemukan dirinya sendiri bersandar di dada Lucius di atas pangkuannya di ruang makan. Para pelayan hilir mudik menyajikan sarapan mereka ke meja makan. Alicia terkesiap oleh rasa malu dan berjuang untuk lepas dari kungkungan pria itu. Walau tidak menatap padanya, senyum Lucius dan eratnya pelukan lelaki itu pada tubuhnya menandakan bahwa dia menyadari kesadaran Alicia, tapi memutuskan untuk tidak menghiraukannya. Apa aku boleh pergi?! Batin Alicia mengerang frustasi. "A-apakah aku boleh turun?" adalah tanya yang berhasil dia keluarkan walau dengan suara mencicit kecil, karena Alicia khawatir para pelayan akan mendengarnya. Namun sepertinya mereka sudah terlatih dengan sangat profesional sehingga mereka serempak tampak tidak terganggu oleh adegan tidak senonoh yang tuan mereka suguhkan

    Last Updated : 2021-03-19
  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   15. Precious One (3)

    Alicia pikir dia bisa kembali ke kamarnya dan mengurung diri untuk merenungkan kejadian pagi itu. Namun seekor ular piton tertidur dengan nyaman di atas selimutnya membuat Alicia mengurungkan diri untuk masuk ke sana. Lucius benar, Alicia memiliki ketakutan yang berlebihan pada hewan melata, terlebih lagi pada ular. Namun sekalipun begitu, lelaki itu tetap melakukannya, menakut-nakutinya dengan ketakutan yang paling Alicia takutkan.Oleh karena itulah, kini Alicia mendekam di dalam perpustakaan, berdiri di ambang jendela. Alicia menatap ke bawah, pada sosok pria jangkung di taman. Sosoknya yang mengenakan pakaian serba hitam tampak sangat mencolok di sana. Seperti yang Harrieth bilang, taman itu adalah taman pribadi sang tuan. Bahkan yang merawatnya pun dia sendiri. Alicia menyadari, bahwa sosok iblis yang selama ini dikenalnya juga memiliki sisi lembut dalam dirinya. Terlebih pada hal-hal yang sangat dekat dengannya. Angel dan tumbuhan-tumbuhan di taman i

    Last Updated : 2021-08-08

Latest chapter

  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   47. Epilogue

    Ignite: EpilogueNapas Alicia memburu saat merasakan kecupan basah di lehernya. Dia meraih seprai dan meremasnya sangat kencang, menahan suara desahannya lolos dari bibir. Wajahnya bersemu merah dengan mata yang terpejam erat.“Alice,” bisik suara serak di telinganya, terdengar sangat sensual sehingga mengirimkan getaran bagai tersengat listrik ke seluruh tubuh Alicia.“Hm,” gumam Alicia sebagai balasan.“Sebut namaku!”Alicia membuka mata, menatap tidak fokus pada objek di hadapannya. Karena bukan hanya bibir pria itu yang bergerak menyiksanya dengan memberikan kecupan-kecupan panas sampai meninggalkan bekas kemerahan di lehernya, tapi juga tangan pria itu yang terasa kasar, menyusup masuk dari balik baju tidur yang ia kenakan, meremas dadanya dan tanpa tahu malu pria itu menjetikkan jari pada puncak dadanya yang telah mengeras.“Ahh, Lucius!” Alicia sontak mendesahkan nama pria itu dalam ekstasi yang ia rasakan dari rangsangan yang diberikan. Tubuh Alicia tidak bisa berkutik di bawa

  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   46. You're All That Matters

    "Dokter, kalau Tuan Lucius terus bersamaku setiap waktu, aku mungkin akan sembuh lebih cepat," ucap Alicia pada Dokter Hank yang tengah memeriksa keadaannya. Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya. Sudah beberapa hari Alicia dirawat dan harus istirahat total untuk kesembuhannya. Dokter Hank adalah satu-satunya dokter yang datang untuk merawatnya. Namun, hanya untuk memeriksa keadaan Alicia secara umum, seperti mengecek suhu tubuhnya, memeriksa gejala-gejala tertentu yang bisa menimbulkan penyakit bawaan dari lukanya, memberinya obat yang akan membantu kesembuhan dan meningkatkan kesehatannya. Namun, khusus untuk mengganti perban di lukanya, hanya Lucius yang dapat melakukan itu. Bukan, Dokter Hank pun bisa melakukannya, tapi hanya Lucius seorang yang boleh. Dokter Hank sangat mengerti akan sikap Lucius yang seperti itu, namun dia tidak mengatakan apap

  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   45. Relieve

    Landon tidak bisa merasa tenang sampai dia memasuki kamar Lucius dan melihat sosok yang dikhawatirkannya terbaring di atas ranjang. Landon duduk di dekatnya, memperhatikan wajah pucat gadis itu."Ini adalah salah satu yang aku maksud saat aku bilang berada di sisinya adalah pilihan yang salah, Alicia," ucap Landon lirih. Namun Alicia tidak bergeming, masih di bawah pengaruh obat bius. "Tapi melihat sepupuku begitu mengkhawatirkanmu kurasa hal ini sepadan untuknya," lanjut Landon, kemudian membelai pelan rambut gadis itu.Tidak beberapa lama kemudian Dokter Hank datang membawa obat dari rumah sakit. Hank bertanya kepada Landon di mana Lucius. Landon hanya menjawab, "Dia pergi untuk mengurus sesuatu."Hank belum tahu pasti bagaimana kejadiannya kenapa Alicia sampai seperti ini dan bertanya langsung pada Lucius adalah hal yang sia-sia."Ayah, apa Alicia akan baik-baik saja?" tanya Landon.Han

  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   44. Chilling Night

    Sebelum ke luar, Lucius menatap Alicia sekali lagi, memperbaiki selimutnya, dan mengatur suhu ruangan agar lebih hangat."Ben, temui aku di ruangan, sekarang!" ucapnya, berbicara pada alat interkom yang masih terpasang di telinganya.Lucius pergi menuju ruang kerjanya dengan langkah lebar. Landon tiba-tiba saja muncul dari arah tangga, menghalangi jalan Lucius. Lucius menatapnya sesaat, mencoba mempertahankan kesabarannya yang tidak dia miliki banyak."Aku ikut," kata Landon.Lucius mendengus, kemudian melanjutkan langkahnya melewati Landon, menabrak bahu lelaki itu."Lucius, aku serius!" ucap Landon keras kepala, mengikuti Lucius di belakang."Apa kau tahu yang hendak aku lakukan?""Aku tahu," jawab Landon.Lucius langsung berhenti dan menoleh menatapnya.Mendapat tatapan menyeramkan seperti itu, Landon langsung melanjutk

  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   43. The Fear of Losing

    Suara klakson mobil terdengar nyaring saling bersahutan di tengah jalan raya yang ramai dilalui kendaraan. Hanya satu mobil yang bergerak cepat dan tidak beraturan di antara mobil yang lain."Ben, kalau kau berhasil sampai dalam waktu lima menit, aku akan menaikkan gajimu sepuluh kali lipat," Lucius berkata dengan datar di kursi penumpang pada mobil yang dikendarai oleh Tangan Kanan-nya, Benjamin.Benjamin mendengus. "Kau tidak perlu mengatakan itu, kita akan sampai dalam waktu tiga menit."Normalnya, mereka akan sampai dalam setengah jam, lima belas menit jika mengebut. Sedangkan lima menit terdengar mustahil, terlebih tiga menit.Namun tidak bagi Benjamin. Selama bekerja dengan keluarga Denovan, dia sudah dilatih untuk hal-hal seperti ini. Dia benar-benar akan sampai di rumah dalam waktu tiga menit.Sesekali Ben melirik tuannya yang duduk di kursi belakang, memeluk seorang perempuan di d

  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   42. Ignite The Fire (2)

    Alicia duduk dengan gelisah di dalam mobil yang melaju sedang menuju suatu tempat. Alarick berada di sampingnya, diam dengan ekspresi keras di wajah. Semakin Alicia memikirkan kemana dia akan dibawa, jantungnya berdetak semakin kencang penuh antisipasi. Alicia memikirkan ucapan kepala pelayan itu yang mengatakan bahwa malam ini Lucius akan datang bersama Marie dan Adrian.Benarkah pria itu akan datang? Untuk apa? Apa rencananya? Alicia menolak untuk percaya bahwa Lucius benar-benar datang untuknya. Pria itu pasti memiliki agenda lain di otaknya yang licik dan penuh perhitungan. Apakah ini harinya? Pembalasan dendam itu? Apa yang akan Lucius lakukan? Membunuh Marie dan Adrian?Alicia membayangkan dua buah peti mati yang telah menanti di sana dan tiba-tiba saja tubuhnya mulai menggigil. Sekalipun Marie bukan ibu kandungnya, tapi kenangan terbaiknya semasa kecil selalu dihadiri oleh perempuan itu. Walaupun Alicia me

  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   41. Ignite The Fire (1)

    Tidak ada satupun rencananya yang berjalan lancar.Alarick memukul meja kerja dan menatap deretan anak buahnya tajam. "Bagaimana kalian bisa kehilangan mereka!" seru pria itu, melangkah mendekati lima anak buahnya yang berdiri sejajar dan menampar wajah mereka. Alarick, yang diliputi amarah berapi-api, mengepalkan tangan dan menatap bawahannya dengan tajam."Aku memberikan kalian tugas yang sangat sederhana. Bawa istri dan putraku pergi dari negara ini. Tapi bagaiman bisa kalian kehilangan mereka begitu saja?! HAH?!""S-sir... d-dia...""Apa?!""Denovan-"Belum sempat pria itu berucap, Alarick telah lebih dulu menampar wajahnya sekali lagi. Jari telunjuknya teracung ke depan wajah sang pria yang telah memerah akibat tamparan."Jangan. Sebut. Nama. Itu!" bisik Alarick tajam.Sang anak buah langsung mengangguk cepat dengan wajah penuh ketaku

  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   40. Father

    "Kau sudah menemukannya, Ben?" Lucius menunduk di belakang Benjamin yang tengah melakukan sesuatu di layar komputer di hadapan mereka."Ya, Sir!" Ben menjawab yakin. "Mereka ada di Bandara sekarang.""Bandara? Untuk apa dia pergi ke Bandara sekarang?""Hanya ada dua tiket, Sir. Alarick hanya mengirim istri dan putranya pergi."Lucius lantas tahu yang hendak Alarick lakukan. Pria itu sengaja menjauhkan istri dan anaknya, berharap dengan itu keselamatan mereka menjadi lebih meyakinkan. Lucius tidak tahu apakah Alarick melakukannya karena dia masih meremehkan Lucius atau justru sebaliknya?"Hm..." Lucius menggumam."Apa yang hendak Anda lakukan sekarang, Sir?" tanya Ben penasaran.Mata Lucius tertuju pada foto Adrian Lucero dan Marie Lucero yang tengah bergandengan tangan memasuki bandara, lalu tatapan Lucius hanya tertuju pada Adrian Lucero seorang. Entah ke

  • LIVING WITH THE DEVIL : ignite   39. Distrustful

    Karena kepercayaannya pada Fio, Alicia mencoba untuk menenangkan diri dari kecemasan yang tidak menentu. Dia menatap bangunan tinggi di hadapannya dan menahan napas. Kenapa hotel? batinnya.Tidak lama setelah itu, mobil berhenti. Fio membantunya membuka pintu mobil, kemudian keduanya melangkah menuju lobi hotel."Landon meminta bertemu di sini?" tanya Alicia saat mereka berdiri di hadapan meja resepsionis."Ya, Miss," jawab Fio. Alicia memandang ke sekitarnya, entah kenapa dia merasa gelisah. Tapi Landon pasti sangat mempercayai Fio sehingga dia berlaku sampai sejauh ini. Alicia mencoba menduga-duga apa yang sekiranya lelaki itu hendak katakan nanti. Alicia tidak dengar apa yang dikatakan oleh Fio dan si resepsionis, setelah selesai Fio langsung mengajaknya menuju lift.Keheningan menguasai ruang persegi yang sempit itu. Alicia menatap pantulan wajah Fio di dinding lift. Apakah dia gugup ketah

DMCA.com Protection Status