Lucius menepati janjinya. Selama hampir tiga hari, Alicia tidak diberi makan atau minuman sedikitpun. Para pelayan yang masuk ke kamarnya setiap pagi hanya membantu Alicia mandi dan berpakaian serta membersihkan kamar.
Pagi ini Alicia sangat berharap bahwa mereka membawakannya makanan, namun tidak satupun dari mereka membuka mulut ketika Alicia meminta agar kamarnya tidak dikunci supaya dia bisa lebih leluasa pergi ke dapur.
Permintaannya tidak dituruti. Alicia tidak memiliki tenaga, badannya lemas, dan keringat dingin terus saja bercucuran dari pelipisnya karena rasa sakit yang ia rasakan di perutnya yang seolah dililit. Hampir sehari semalam, Alicia hanya terbaring di ranjang, menitikkan air mata akibat kekeras kepalaannya.
Lucius adalah tipe orang yang seharusnya Alicia hindari. Dia berbahaya, Alicia tahu. Bahkan ketika di desa, bibi Jen selalu mengingatkannya bahwa akan ada seseorang yang akan datang menjemput Alicia.
Dulu ia pikir, seseorang itu adalah kedua orangtuanya, namun dengan cara bibi Jen bercerita, akan bagaimana kejamnya seseorang itu, Alicia sadar bukan orangtuanya yang dimaksud oleh bibi Jen.
Pria itu akan menyiksa keluarganya jika Alicia melawan. Dan keluarga yang dimaksud pria itu, juga keluarganya yang di desa. Alicia ingin kembali ke sana, berkebun bersama bibi Jen, atau melakukan hal-hal menyenangkan bersama Wendy.
Alicia juga sangat merindukan kedua orangtuanya, harapannya semenjak mereka pergi adalah bertemu kembali. Namun semua itu kini telah sirna. Dia menatap lembaran foto kedua orangtuanya yang diambil dari jauh, air mata Alicia mengalir kembali. Apa kabar mereka sekarang? Di foto itu, keduanya tampak bahagia, bersama seorang anak laki-laki yang Alicia tidak tahu siapa. Semoga saja, sampai saat ini mereka masih dilingkupi kebahagiaan.
Siang berganti malam dengan begitu cepat. Alicia merasakan sekujur tubuhnya menggigil karena dingin. Dia menarik selimut semakin tinggi sampai hanya mata dan rambutnya yang tampak.
Tubuh Alicia terasa remuk. Lemas dan sakit. Dia mengkerut seperti bola di dalam selimutnya, mencoba mencari kehangatan yang nihil. Kepalanya pun tidak kalah sakitnya, seolah-olah terdapat palu besar yang memukul-mukul otaknya.
Apakah aku harus menyerah? Pikir Alicia. Haruskah dia menyeret dirinya untuk menemui Lucius dan meminta ampunan pada pria itu?
Tapi, Alicia tidak merasa bersalah. Kekeras kepalaannya kembali, dan dia berjanji tidak akan meminta ampunan apapun pada pria kejam itu. Alicia akan menahan semua ini lebih lama lagi. Dengan meminum air keran di kamar mandi setiap hari pasti sudah cukup baginya untuk membuka pintu ke dapur dan mengambil makanan yang layak.
Suara decitan pintu yang terbuka sama sekali tidak didengar Alicia. Namun cahaya yang masuk dari luar ke dalam kamarnya yang gelap gulita, Alicia sadari. Siluet tinggi seorang lelaki berdiri di ambang pintu.
Tubuh Alicia semakin menggigil. Mau apa pria iblis itu ke sini?!
Mungkin hampir satu menit dalam keheningan, sampai kemudian pintu kamar Alicia kembali tertutup. Alicia bernapas lega dan kembali menutup matanya yang terasa berat. Posisinya saat ini adalah membelakangi pintu, jadi dia sama sekali tidak melihat apapun. Bahkan untuk mengganti posisi saja dia tidak bisa.
Alicia ragu bahwa dirinya akan bertahan hidup sampai besok. Tapi dia berdoa pada Tuhan agar itu tidak terjadi. Alicia tidak ingin mati di tangan pria itu. Alicia tidak ingin menjadi lemah, dia harus melawan, berjuang dulu, bukannya mati dan menyerah pada nasib.
Mata Alicia yang semula terpejam kembali terbuka perlahan. Dia mengerjap beberapa kali karena pandangannya masih kabur, butuh beberapa detik untuknya bisa fokus karena rasa pusing di kepalanya.
Dan jantung Alicia terlonjak kaget, berdetak sedikit lebih kencang ketika ia mendapati Lucius di hadapannya. Duduk di lantai sambil bersandar pada tembok, kedua matanya terpejam, dan dari wajahnya seolah pria itu sedang letih.
Merasa diperhatikan, mata Lucius pun perlahan terbuka, langsung tertuju pada Alicia dan menatapnya lama.
Alicia merasakan jantungnya semakin menggila. Dia menatap penuh antisipasi, terlebih ketika Lucius bangkit dan berjalan mendekatinya, lalu duduk di pinggir ranjang yang sejajar dengan perut Alicia.
Yang membuat Alicia merasa aneh, adalah ketika Lucius tersenyum sangat lebar. Ralat, Alicia tidak menemukan jejak letih sedikitpun di wajahnya. Lucius tampak seperti seseorang yang bahagia.
Bahagia melihat korbannya tersakiti.
Pria ini benar-benar iblis! Pikir Alicia.
"Sudah menyerah, sayang?"
Sekalipun Alicia lemas, tapi dia mengumpulkan seluruh tenaganya untuk menatap Lucius tajam.
Lucius terkekeh melihat tatapan Alicia. "Ah, belum rupanya."
Lalu dia bangkit, melepas ikat pinggangnya dengan tatapan yang masih tertuju pada Alicia.
Alicia menatap Lucius penuh horor. Apa yang akan dia lakukan?!
Alicia tidak tahu saat ini sudah pukul berapa, yang pasti lebih tengah malam, namun Lucius masuk ke kamarnya dengan pakaian jas rapi yang dasinya longgar.
Alicia tidak peduli alasan pria itu memakai sabuk atau memakai pakaian seperti itu di malam-malam begini. Yang Alicia cemaskan adalah, hal gila apa yang akan pria itu lakukan padanya.
Kemudian Lucius menaiki ranjang, membuka selimut dan membuangnya ke lantai.
Hawa dingin semakin menusuk tubuh Alicia. Dia ingat tadi sore para pelayan membantunya memakai baju tidur, namun Alicia tidak menyadari sampai sekarang bahwa baju tidur yang ia gunakan benar-benar tipis.
Kulit putih pucat Alicia jelas terlihat, hampir menyaru dengan pakaian tidurnya yang berwarna pink muda. Rambut hitamnya yang panjang terurai berantakan di bantal.
Lucius menyentuh kedua bahu Alicia dan merasakan panas tubuh gadis itu yang tidak normal. Lalu dia mengangkat tubuh Alicia dan memaksanya duduk.
Alicia hanya merintih sakit, tapi tidak melawan sama sekali karena tenaganya telah terkuras habis. Bahkan hanya untuk menarik napas saja dadanya terasa sesak.
"Kau pasti suka pada apa yang akan aku lakukan," kata Lucius dengan misteriusnya.
Alicia mengangkat kepalanya pelan setelah Lucius menyandarkannya pada kepala ranjang, dia menatap Lucius dengan tatapan lemah.
"Tenang saja, aku sama sekali tidak tertarik dengan tubuh lembekmu ini. Kau terlalu kecil, seperti bayi, dan sangat mustahil bisa mengimbangiku." Lalu Lucius tertawa dengan tawanya yang membahana menepis kesunyian malam.
Alicia meringis semakin keras ketika Lucius mengikat tangannya ke kepala ranjang dengan sabuk lelaki itu.
Setelahnya, Lucius bangkit dari ranjang dan menyalakan lampu. Dia menatap 'karyanya' dengan bangga.
Sedangkan Alicia sama sekali tidak bergeming, tidak bergerak sedikitpun.
Lucius mendekat lagi dan mengangkat dagu perempuan itu, masih bernapas rupanya. Dan mata Alicia langsung tertuju padanya.
Lucius tertegun untuk beberapa saat. Kenapa Alicia menatapnya seperti itu?
Tapi Lucius segera menepis rasa terganggunya akan tatapan Alicia yang sebenarnya sangat lemah.
"Hanya dengan satu permohonan, Alicia, maka aku akan memperlakukanmu seperti selayaknya manusia. Kau akan menghormatiku, melakukan apapun yang aku perintahkan, dan kau tidak akan membangkang padaku. Apa kau mengerti?"
Alicia menggeleng dengan lemah. Sekarang, rasa sakit semakin bertambah pada pergelangan tangannya. Dia berdoa agar dirinya pingsan saja, daripada harus melalui ini semalaman, bersama pria kejam di hadapannya saat ini.
"Hahaha..." Lucius tertawa lagi. Lalu dengan tiba-tiba dia mencengkram rahang Alicia dan memaksa perempuan itu menatap padanya.
"Jangan membuatku marah, Alicia," desis Lucius tajam dengan nada penuh ancaman.
Alicia tidak bisa berbohong dengan menunjukkan bahwa dirinya tidak takut, karena nyatanya dia sangat takut. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini meluncur dengan mulus di kedua pipinya. Alicia ingin berbicara namun tenggorokannya sakit dan dia hampir tidak bisa menemukan suaranya di sana.
"Kalau kau sampai mati, itu adalah salahmu sendiri, Alicia. Dan karenamu, Jen dan keluarganya akan merasakan hal yang sama, aku akan membunuh mereka, dan jangan lupakan orangtuamu juga, mereka tidak akan lepas dari siksaanku."
Alicia menangis semakin kencang. "Ja-jangan," lirihnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Lucius melepas cengkramannya di rahang Alicia, menggantinya dengan elusan lembut di pipi perempuan itu. Lucius menghapus jejak air matanya.
"Menyerahlah, Sayang," katanya dengan nada lembut yang hampir membuat Alicia terlena, terlebih dengan cara lelaki itu menatapnya.
"Kau tidak harus menghiburku dengan menyakiti dirimu sendiri."
Tidak ada yang sedang menghiburmu! Alicia ingin berteriak.
Lucius terkekeh. "Ketahuilah, ada banyak sekali cara untuk menghiburku."
Dan aku tidak berniat sedikitpun untuk menghiburmu!!! Alicia lagi-lagi ingin memberontak dan berteriak di depan wajah pria gila yang kejam ini.
"Hm? Bagaimana, Alicia, sayang?"
Lucius mengucapkannya dengan nada yang sangat lembut, seolah benar dia menyayangi Alicia dengan sepenuh hatinya. Dan usapan seringan bulu di pipi, yang kemudian menjalar ke leher, membuat Alicia terlena.
Tapi dengan menyerah, berarti Alicia harus merelakan segala mimpinya untuk bertemu dengan kedua orangtuanya.
Dengan menyerah, Alicia berarti juga menyerahkan seluruh hidupnya pada pria itu.
Dan dengan menyerah, Alicia akan memasuki neraka kehidupannya sendiri.
Tapi Alicia tidak menyadari, ketika dirinya mengangguk dengan sisa tenaganya, kemudian terkulai pasrah di dalam pelukan Lucius.
Dan setelahnya, Alicia tidak menyadari apa-apa lagi.
***
ig : deltaxia
ŠASIAJULY
Alicia terbangun ketika merasakan sesuatu yang menyengat telapak tangannya. Dia membuka mata dan melihat siluet gelap Lucius di hadapannya."Kau bangun di waktu yang tepat," gumam pria itu, mencabut jarum suntik yang belum sempat menembus nadi Alicia, lalu menancapkannya lagi tanpa kehati-hatian, membuat Alicia meringis sakit.Lucius tersenyum manis. "Aku sangat membencimu," bisik Alicia tajam, sambil terus memperhatikan Lucius yang ternyata baru selesai memasangkannya infus.Kembali, Lucius hanya tersenyum. "Terima kasih, aku juga sangat membencimu," sahutnya tanpa adanya nada kebencian sedikitpun, tidak seperti cara Alicia mengucapkan kebenciannya sendiri."Kau lapar?"Alicia tidak menjawab. Hanya matanya yang bergerak-gerak menatap Lucius yang berjalan menjauhinya lalu mengambil sebuah nampan berisi makanan, membawanya ke arah Alicia.Seketika itu perut Alicia berbunyi
Mobil hitam itu melaju meninggalkan pekarangan luas mansion. Alicia menatapnya dari jendela kamar. Dia menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata sejenak.Haruskah aku melakukan ini? Batinnya, mulai merasa ragu.Dia ingat dengan jelas ancaman Lucius jika Alicia melanggar 'peraturan' yang pria itu tetapkan. Tapi, Alicia benar-benar ingin bertemu dengan kedua orangtuanya.Semua ini bermula saat waktu sarapan tadi. Ya, kesehatan Alicia membaik setelah hampir satu minggu dia hanya terbaring di ranjang. Pagi ini, Alicia sarapan di patio bersama Lucius. Mereka makan dalam diam. Lucius tidak sedikitpun tampak hendak memulai pembicaraan dengannya, karena seluruh perhatian pria itu seolah hanya untuk topik di kepalanya saja. Lucius pun tidak lagi datang ke kamar Alicia. Seperti hari ini, pria itu berangkat pagi-pagi dan selalu pulang larut malam.Alicia bertanya nama kota ini ke salah satu pelayan
Napas Alicia memburu, membuat dadanya sakit dan bergemuruh cepat. Peluh membanjiri pelipisnya, kakinya sudah terasa kebas dan rambut gelapnya yang panjang acak-acakan dan lengket karena keringat. Alicia meringis sakit, ketika kakinya yang kebas itu tersandung batu, dia terjatuh dengan lutut yang mengeluarkan darah. Namun semua itu, tidak membuat Alicia menghentikan pelariannya. Dia bangkit dan berlari lagi, dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang.Sepi.Alicia tahu cepat atau lambat para penjaga di rumah itu pasti akan menyadari kepergiannya. Dan dia hanya bisa berdoa semoga mereka tidak menyadarinya secepat seperti yang Alicia bayangkan.Jalanan sangat sepi pada pagi menjelang siang itu, tidak ada satupun mobil yang lewat. Di kiri kanan yang terlihat hanya hutan-hutan belantara yang sunyi. Alicia baru mengetahui bahwa letak rumah Lucius sejauh ini dari kota. Namun tetap saja, Alicia tidak menyerah.
Alicia tidak pernah merasa setakut ini seumur hidupnya.Dia merasakan dadanya sakit akibat jantungnya yang berdetak begitu cepat serta napasnya yang berat. Dia menatap ke sekelilingnya, benar-benar gelap, namun dari suara-suara lain yang ia dengar di sana, Alicia jelas mengetahui bahwa bukan hanya mereka berempat yang ada di dalam ruangan itu. Siapa yang tahu apa yang ada di balik kegelapan?"Selamat malam, hadirin sekalian." Suara seorang pria dengan microfon.Alicia meneguk ludahnya susah payah. "Ca-calla...""Hm.""A-aku... aku benar-benar takut.""Damn, who wasn't."Alicia semakin merasa takut. dua perempuan lainnya yang Alicia tidak tahu nama mereka siapa, juga pasti merasa ketakutan, terdengar jelas dari suara rengekan mereka yang seolah hendak menangis.Alicia tahu... bahwa inilah saatnya."Terima kasih sud
Saat kecil dulu, Alicia jarang sekali terkena virus penyakit. Mamanya selalu mengontrol pola makannya dan selalu memberikannya vitamin. Kasih sayang sang Mama juga Papa terasa begitu besar, sehingga kepergian mereka yang 'meninggalkan' Alicia, masih gadis itu tidak percayai. Pasti ada sesuatu, alasan yang begitu kuat di balik tindakan mereka itu.Sekarang, Alicia sakit. Tubuhnya mengeluarkan keringat sangat banyak, namun dia terus saja meracau kedinginan. Tiga lapis selimut menutupinya sampai leher, hal itu masih tidak banyak membantu. Kening Alicia berkerut dalam. Setiap malam, dia akan berteriak-teriak ketakutan seolah nyawanya sedang di ujung tanduk.Saat sedang terjaga, dia akan berhalusinasi seperti orang gila, ketakutan dan menjerit. Ketika tidur pun, mimpi buruk tiada henti menghampirinya. Kalau belum muntah, Alicia tidak akan tenang.Terhitung sudah tiga hari Alicia seperti itu.Lucius, yang saat i
Tubuh Alicia melemah seiring dengan tangisannya. Dia tidak tahu lagi apa yang terjadi ketika napas mulai tersendat-sendat, dan dadanya terasa sakit. Alicia merasakan rengkuhan hangat itu mengerat dan seseorang membaringkannya dengan lembut di ranjang. Yang terakhir kali singgah di benaknya sebelum ia benar-benar menutup mata adalah wajah bibi Jen, Wendy, dan paman Filbert di desa. Alicia tidak akan pernah memaafkan dirinya atas apa yang terjadi pada mereka.Ketika terbangun dari tidurnya, kepala Alicia terasa pening. Bahkan hanya untuk membuka mata rasanya dia tidak sanggup. Tapi seseorang dengan sangat tidak berperasaan menarik tangan Alicia dan memaksanya duduk. Alicia langsung meringis memegangi kepalanya karena rasa sakit yang berdenyut-denyut di sana."Aku tidak menyukai gadis manja!" hardik Lucius ketika Alicia terjatuh lagi ke ranjang dan Lucius menariknya duduk kembali."Ku-kumohon," rintih Alicia.
"Mungkin ini memang yang terbaik," gumam Alicia, kemudian melanjutkan dengan nada yang lebih terdengar putus asa, "setidaknya untuk sekarang." Dia memetik setangkai bunga daisy dan menggenggamnya di tangan bersama tangkai yang lain. pikiran Alicia kembali berkecamuk.Dia hari itu, hari yang tidak akan pernah Alicia lupakan pernah terjadi, pengalaman paling baru dan paling aneh yang pernah dirasakannya. Yang diberikan oleh seorang pria dewasa berhati kejam. Tubuh Alicia kembali dialiri gelenyar aneh. Semenjak hari itu, dia tidak pernah lagi melihat Lucius di rumah. Alicia awalnya tidak berani melangkah keluar dari kamarnya, sampai suatu pagi dia menyadari bunga di atas nakasnya mengering. Kemudian Alicia mulai bertanya-tanya siapa yang setiap pagi mengganti bunga itu di sana? Karena Alicia tidak pernah melihat pelayan melakukannya. Dan jika Lucius yang melakukannya, itu terdengar sangat mustahil. Alicia berhenti bertanya-tanya dan mencoba menggantinya s
Keesokan harinya, Alicia terbangun di atas ranjang dalam keadaan terikat. Dia menatap sekelilingnya bingung, kepalanya berdenyut sakit. Alicia mencoba untuk melepaskan ikatan di pergelangan tangannya namun tidak berhasil. Dia lantas berbaring pasrah dalam beberapa saat untuk mengembalikan pikirannya kosong. Saat itulah kemudian Alicia teringat pada kejadian semalam. Dia tersentak bangkit, untuk kemudian meringis karena tangannya yang terikat."Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan!" bisiknya cemas.Alicia pun tidak tahan untuk bertanya-tanya, apakah Lucius masih di sini atau dia sudah terbang ke negeri sakura, meninggalkan Alicia dengan ingatan dan kejadian semalam. Alicia diliputi rasa jijik pada dirinya sendiri, penyesalah, dan amarah.Ketika Alicia sibuk dengan pikirannya sendiri, Harrieth masuk ke dalam kamarnya membawa sarapan, namun mematung beberapa di pintu menatap terkejut pada Alicia.Alicia men
Ignite: EpilogueNapas Alicia memburu saat merasakan kecupan basah di lehernya. Dia meraih seprai dan meremasnya sangat kencang, menahan suara desahannya lolos dari bibir. Wajahnya bersemu merah dengan mata yang terpejam erat.âAlice,â bisik suara serak di telinganya, terdengar sangat sensual sehingga mengirimkan getaran bagai tersengat listrik ke seluruh tubuh Alicia.âHm,â gumam Alicia sebagai balasan.âSebut namaku!âAlicia membuka mata, menatap tidak fokus pada objek di hadapannya. Karena bukan hanya bibir pria itu yang bergerak menyiksanya dengan memberikan kecupan-kecupan panas sampai meninggalkan bekas kemerahan di lehernya, tapi juga tangan pria itu yang terasa kasar, menyusup masuk dari balik baju tidur yang ia kenakan, meremas dadanya dan tanpa tahu malu pria itu menjetikkan jari pada puncak dadanya yang telah mengeras.âAhh, Lucius!â Alicia sontak mendesahkan nama pria itu dalam ekstasi yang ia rasakan dari rangsangan yang diberikan. Tubuh Alicia tidak bisa berkutik di bawa
"Dokter, kalau Tuan Lucius terus bersamaku setiap waktu, aku mungkin akan sembuh lebih cepat," ucap Alicia pada Dokter Hank yang tengah memeriksa keadaannya. Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya. Sudah beberapa hari Alicia dirawat dan harus istirahat total untuk kesembuhannya. Dokter Hank adalah satu-satunya dokter yang datang untuk merawatnya. Namun, hanya untuk memeriksa keadaan Alicia secara umum, seperti mengecek suhu tubuhnya, memeriksa gejala-gejala tertentu yang bisa menimbulkan penyakit bawaan dari lukanya, memberinya obat yang akan membantu kesembuhan dan meningkatkan kesehatannya. Namun, khusus untuk mengganti perban di lukanya, hanya Lucius yang dapat melakukan itu. Bukan, Dokter Hank pun bisa melakukannya, tapi hanya Lucius seorang yang boleh. Dokter Hank sangat mengerti akan sikap Lucius yang seperti itu, namun dia tidak mengatakan apap
Landon tidak bisa merasa tenang sampai dia memasuki kamar Lucius dan melihat sosok yang dikhawatirkannya terbaring di atas ranjang. Landon duduk di dekatnya, memperhatikan wajah pucat gadis itu."Ini adalah salah satu yang aku maksud saat aku bilang berada di sisinya adalah pilihan yang salah, Alicia," ucap Landon lirih. Namun Alicia tidak bergeming, masih di bawah pengaruh obat bius. "Tapi melihat sepupuku begitu mengkhawatirkanmu kurasa hal ini sepadan untuknya," lanjut Landon, kemudian membelai pelan rambut gadis itu.Tidak beberapa lama kemudian Dokter Hank datang membawa obat dari rumah sakit. Hank bertanya kepada Landon di mana Lucius. Landon hanya menjawab, "Dia pergi untuk mengurus sesuatu."Hank belum tahu pasti bagaimana kejadiannya kenapa Alicia sampai seperti ini dan bertanya langsung pada Lucius adalah hal yang sia-sia."Ayah, apa Alicia akan baik-baik saja?" tanya Landon.Han
Sebelum ke luar, Lucius menatap Alicia sekali lagi, memperbaiki selimutnya, dan mengatur suhu ruangan agar lebih hangat."Ben, temui aku di ruangan, sekarang!" ucapnya, berbicara pada alat interkom yang masih terpasang di telinganya.Lucius pergi menuju ruang kerjanya dengan langkah lebar. Landon tiba-tiba saja muncul dari arah tangga, menghalangi jalan Lucius. Lucius menatapnya sesaat, mencoba mempertahankan kesabarannya yang tidak dia miliki banyak."Aku ikut," kata Landon.Lucius mendengus, kemudian melanjutkan langkahnya melewati Landon, menabrak bahu lelaki itu."Lucius, aku serius!" ucap Landon keras kepala, mengikuti Lucius di belakang."Apa kau tahu yang hendak aku lakukan?""Aku tahu," jawab Landon.Lucius langsung berhenti dan menoleh menatapnya.Mendapat tatapan menyeramkan seperti itu, Landon langsung melanjutk
Suara klakson mobil terdengar nyaring saling bersahutan di tengah jalan raya yang ramai dilalui kendaraan. Hanya satu mobil yang bergerak cepat dan tidak beraturan di antara mobil yang lain."Ben, kalau kau berhasil sampai dalam waktu lima menit, aku akan menaikkan gajimu sepuluh kali lipat," Lucius berkata dengan datar di kursi penumpang pada mobil yang dikendarai oleh Tangan Kanan-nya, Benjamin.Benjamin mendengus. "Kau tidak perlu mengatakan itu, kita akan sampai dalam waktu tiga menit."Normalnya, mereka akan sampai dalam setengah jam, lima belas menit jika mengebut. Sedangkan lima menit terdengar mustahil, terlebih tiga menit.Namun tidak bagi Benjamin. Selama bekerja dengan keluarga Denovan, dia sudah dilatih untuk hal-hal seperti ini. Dia benar-benar akan sampai di rumah dalam waktu tiga menit.Sesekali Ben melirik tuannya yang duduk di kursi belakang, memeluk seorang perempuan di d
Alicia duduk dengan gelisah di dalam mobil yang melaju sedang menuju suatu tempat. Alarick berada di sampingnya, diam dengan ekspresi keras di wajah. Semakin Alicia memikirkan kemana dia akan dibawa, jantungnya berdetak semakin kencang penuh antisipasi. Alicia memikirkan ucapan kepala pelayan itu yang mengatakan bahwa malam ini Lucius akan datang bersama Marie dan Adrian.Benarkah pria itu akan datang? Untuk apa? Apa rencananya? Alicia menolak untuk percaya bahwa Lucius benar-benar datang untuknya. Pria itu pasti memiliki agenda lain di otaknya yang licik dan penuh perhitungan. Apakah ini harinya? Pembalasan dendam itu? Apa yang akan Lucius lakukan? Membunuh Marie dan Adrian?Alicia membayangkan dua buah peti mati yang telah menanti di sana dan tiba-tiba saja tubuhnya mulai menggigil. Sekalipun Marie bukan ibu kandungnya, tapi kenangan terbaiknya semasa kecil selalu dihadiri oleh perempuan itu. Walaupun Alicia me
Tidak ada satupun rencananya yang berjalan lancar.Alarick memukul meja kerja dan menatap deretan anak buahnya tajam. "Bagaimana kalian bisa kehilangan mereka!" seru pria itu, melangkah mendekati lima anak buahnya yang berdiri sejajar dan menampar wajah mereka. Alarick, yang diliputi amarah berapi-api, mengepalkan tangan dan menatap bawahannya dengan tajam."Aku memberikan kalian tugas yang sangat sederhana. Bawa istri dan putraku pergi dari negara ini. Tapi bagaiman bisa kalian kehilangan mereka begitu saja?! HAH?!""S-sir... d-dia...""Apa?!""Denovan-"Belum sempat pria itu berucap, Alarick telah lebih dulu menampar wajahnya sekali lagi. Jari telunjuknya teracung ke depan wajah sang pria yang telah memerah akibat tamparan."Jangan. Sebut. Nama. Itu!" bisik Alarick tajam.Sang anak buah langsung mengangguk cepat dengan wajah penuh ketaku
"Kau sudah menemukannya, Ben?" Lucius menunduk di belakang Benjamin yang tengah melakukan sesuatu di layar komputer di hadapan mereka."Ya, Sir!" Ben menjawab yakin. "Mereka ada di Bandara sekarang.""Bandara? Untuk apa dia pergi ke Bandara sekarang?""Hanya ada dua tiket, Sir. Alarick hanya mengirim istri dan putranya pergi."Lucius lantas tahu yang hendak Alarick lakukan. Pria itu sengaja menjauhkan istri dan anaknya, berharap dengan itu keselamatan mereka menjadi lebih meyakinkan. Lucius tidak tahu apakah Alarick melakukannya karena dia masih meremehkan Lucius atau justru sebaliknya?"Hm..." Lucius menggumam."Apa yang hendak Anda lakukan sekarang, Sir?" tanya Ben penasaran.Mata Lucius tertuju pada foto Adrian Lucero dan Marie Lucero yang tengah bergandengan tangan memasuki bandara, lalu tatapan Lucius hanya tertuju pada Adrian Lucero seorang. Entah ke
Karena kepercayaannya pada Fio, Alicia mencoba untuk menenangkan diri dari kecemasan yang tidak menentu. Dia menatap bangunan tinggi di hadapannya dan menahan napas. Kenapa hotel? batinnya.Tidak lama setelah itu, mobil berhenti. Fio membantunya membuka pintu mobil, kemudian keduanya melangkah menuju lobi hotel."Landon meminta bertemu di sini?" tanya Alicia saat mereka berdiri di hadapan meja resepsionis."Ya, Miss," jawab Fio. Alicia memandang ke sekitarnya, entah kenapa dia merasa gelisah. Tapi Landon pasti sangat mempercayai Fio sehingga dia berlaku sampai sejauh ini. Alicia mencoba menduga-duga apa yang sekiranya lelaki itu hendak katakan nanti. Alicia tidak dengar apa yang dikatakan oleh Fio dan si resepsionis, setelah selesai Fio langsung mengajaknya menuju lift.Keheningan menguasai ruang persegi yang sempit itu. Alicia menatap pantulan wajah Fio di dinding lift. Apakah dia gugup ketah