Gadis berambut hitam dengan blus putih di atas mata kaki itu duduk di atas rerumputan sambil memainkan pucuk dandelion yang tadi dipetiknya. Matanya menatap ke depan, pada beberapa ekor domba yang tengah asik mengunyah rumput.
Rambut hitam gadis itu beterbangan diterpa angin, namun dia tidak peduli, malah matanya menutup, menikmati suasanya pagi ini yang begitu sejuk.
Di kala sendiri seperti ini, dia selalu diingatkan akan kedua orangtuanya, dan pria bermata merah yang telah membawanya ke sini.
Di usianya yang sudah menginjak angka delapan belas tahun, Alicia tidak lagi menangis jika mengingat kedua orangtuanya pergi meninggalkannya tanpa sebab. Dia berpikir, apa dulu dia pernah berbuat nakal sehingga ayah dan ibunya pergi dan tidak mau bersamanya lagi? Apa dulu dia telah menjadi anak yang tidak baik sehingga membuat ayah dan ibunya menangis? Alicia tidak tahu, dia tidak akan pernah tahu.
Paman Robert yang dulu juga berjanji akan menjaganya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, nyatanya melakukan sebaliknya. Dia menjual Alicia pada si pria bermata merah kelam yang sampai saat ini tidak pernah bisa Alicia lupakan. Tentang bagaimana pria itu menatapnya, yang langsung membuat sekujur tubuh Alicia merinding dan hampir selalu bergetar takut setiap kali mengingatnya. Apa pria itu benar-benar manusia? Atau dia adalah jelmaan iblis di dunia nyata?
Yang pasti, Alicia tidak ingin bertemu dengan pria itu lagi. Dia bertekad, setelah sekolahnya lulus di desa terpencil ini, dia akan merantau ke kota, untuk mencari kedua orangtuanya di sana.
Tapi bagaimana dengan pria bermata merah itu? Alicia memikirkannya lagi. Karena jelas-jelas bahwa pria itulah yang membawanya ke tempat ini, menitipkannya pada bibi Jen yang saat ini selalu berperan sebagai ibu pengganti untuknya. Dulu, bibi Jen selalu menghibur atau hanya sekedear menemani Alicia ketika gadis itu menangis di malam hari, bermimpi buruk karena merindukan kedua orangtuanya. Alicia sangat menyayangi bibi Jen. Dan dia suka pada kehidupannya di sini, di desa terpencil yang tidak banyak orang ketahui.
Suasananya masih sangat asri dan hijau, udaranya juga segar dan hangat.
"Alicia!"
Alicia membuka kedua kelopak matanya ketika mendengar suara bibi Jen memanggil di belakang.
Sontak, Alicia pun menoleh dan mendapati bibi Jen tengah berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Alicia lantas bangkit dan berjalan mendekati bibi Jen dengan tatapan penuh bertanya.
"Ada apa, Aunt?" tanya Alicia.
Bibi Jen berhenti di hadapan Alicia dengan napas ngos-ngosan, hal itu semakin membuat Alicia mengerutkan kening.
Setelah napasnya mulai teratur, barulah Bibi Jen menatap Alicia dengan penuh kekhawatiran di wajahnya.
"Ayo cepat kembali ke rumah!" kata bibi Jen kemudian menarik tangan Alicia dan menyeret gadis itu pergi.
"Tunggu! Tunggu, Aunty! Tunggu dulu!" Alicia menahan tangan bibi Jen yang sontak berhenti dan berbalik menatapnya bingung.
"Apa yang terjadi, Aunty? Apa Aunty baik-baik saja?" tanya Alicia dengab raut penuh kekhawatiran di wajahnya.
"Aku baik-baik saja. Kita harus cepat, dia sudah datang?"
Alicia hendak bertanya siapa yang datang namun bibi Jen telah lebih dulu menarik tangannya da pergi.
Rasa penasaran Alicia bertambah dua kali lipat ketika melihat Wendy, anak semata wayang bibi Jen, tengah mengintip di balik pintu dapur yang langsung menuju ke ruang tamu.
"Wendy, ada apa?" bisik Alicia di belakang Wendy yang membuat perempuan berambut pirang itu berjengit kaget.
"Alice!" serunya kesal.
Alicia tidak menggubris tanggapan berlebihan Wendy, dia hendak ikut mengintip ketika bibi Jen yang baru saja selesai minum menarik tangannya kembali dan membawanya menaiki tangga berkayu tempat kamar Alicia.
Di dalam kamarnya yang sempit, bibi Jen tampak gelisah. Dia berjalan bolak-balik sambil berkacak pinggang.
Alicia yang tengah duduk di pinggir kasur menatapnya aneh.
"Kau harus mengenakan dress yang bagus!" tekad Bibi Jen yang kemudian mengobrak-abrik lemari pakaian Alicia.
"Aunty, stop! Tenangkan dirimu."
Bibi Jen menggeleng. "Tidak ada kata tenang untuk saat ini! Ya Tuhan, setelah bertahun-tahun, dia akhirnya menemuimu, apa kau tahu artinya apa?"
Kernyitan di dahi Alicia semakin dalam. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati bibi Jen yang masih berkutik dengan baju-baju di lemarinya.
"Siapa yang kau maksud dengan 'dia', Aunty?" tanya Alicia.
"Kenapa kau harus memiliki baju yang sama, Alice?!" sahut bibi Jen seolah tidak menggubris pertanyaan Alicia.
Alicia menoleh ke arah lemarinya dan mengidikkan bahu.
"Semua bajuku, Aunty kan yang menjahitnya. Di atas mata kaki, berwarna putih, berbahan lembut dan nyaman."
Bibi Jen memutar bola matanya jengah. Dia menatap Alicia dari atas sampai bawah. Alicia tumbuh sebagai gadis yang cantik dengan porsi tubuh yang ideal, dia tidak tampak gemuk, tidak juga terlihat kurus. Rambut hitam lurusnya membingkai wajahnya yang tirus. Dan Alicia tidak pernah mengenakan make up, wajahnya sudah terpoles cantik dengan alami. Bulu mata lentik dengan iris hijau, bibirnya berwarna pink alami, serta kulit wajahnya yang putih dengan pipi merona. Apalagi dengan warna rambutnya yang gelap, Alicia seolah tampak seperti boneka-boneka porselen cantik. Mungkin jika dia diberi sedikit make up, maka orang-orang tidak akan menganggapnya manusia.
"Aku kenakan yang ini saja, ya," kata Alicia pada akhirnya, menyadarkan bibi Jen dari lamunannya.
Bibi Jen menatap baju yang dibawa Alicia di tangannya. Itu adalah sebuah pakaian yang sama dengan pakaian-pakaiannya yang lain. Hanya saja, yang satu ini adalah baju baru yang baru saja selesai Jen jahit dua hari yang lalu.
Bibi Jen pun mengangguk kuat-kuat. "Ya... ya kenakan itu dan segeralah ganti pakaianmu. Sisir juga rambutmu, kenakan sedikit make up yang aku belikan padamu kemarin, dan lakukan semuanya dengan cepat, mengerti?"
Alicia mengangguk patuh dan tidak sempat berkomentar saat bibi Jen berucap lagi. "Cepat, Alicia! Dia tidak suka menunggu lama," kata bibi Jen kemudian keluar dari kamar Alicia, meninggalkan gadis itu yang lagi-lagi bertanya siapa 'dia' yang dimaksud oleh bibi Jen.
***
Alicia pun keluar dari kamarnya, tanpa alas kaki dia menapaki lantai kayu yang dingin.
Sampai di ruang tamu, Alicia mendengar suara berat milik seorang pria tengah mengucapkan sesuatu yang Alicia tidak dapat dengar dengan jelas.
Alicia berjalan semakin mendekat.
"Usianya sudah delapan belas tahun, Jen. Sembilan tahun berlalu dan dia sudah tidak punya alasan apapun untuk tetap tinggal di sini. Seperti yang kukatakan padamu sebelumnya, bahwa aku akan datang kembali padanya."
Terdengar suara bibi Jen menangis, Alicia memelankan langkahnya.
"Tapi kumohon, tidak bisakah kau menunggu? Setidaknya beri kami waktu dua hari, kumohon! Aku sangat menyayangi Alicia seperti aku menyayangi anak kandungku sendiri, kumohon Tuan Lucius, beri kami waktu bersamanya sedikit lebih lama."
Alicia memasuki ruang tamu, melihat bini Jen duduk di sofa dengan berlinang air mata dan paman Fillbert duduk di sampingnya mengusap punggung bibi Jen yang tengah terisak.
Kemudian, mata Alicia bertemu dengan sepasang mata merah kelam yang balas menatapnya tajam. Napas Alicia tercekat. Dia menutup kedua mulutnya karena terkejut, merasa bahwa apa yang dia lihat saat ini tidaklah nyata. Tanpa sadar, Alicia melangkah mundur, dan di detik berikutnya dia berbalik dan berlari pergi.
***
Napas Alicia memburu ketika dia memacu kakinya untuk terus berlari dan memasuki area hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan pinus. Dia berhenti, dan menyandarkan tubuhnya di salah satu batang pohon dengan napas setengah-setengah."Aku tidak mau bertemu dengannya," gumam Alicia dengan suara tercekat.Dia mengintip dari balik pohon, memang mustahil bahwa pria itu akan mengikutinya sampai ke sini, jadi Alicia melanjutnya langkahnya dengan berjalan, sampai ia keluar dari rimbun pohon ke sebuah sungai yang airnya sangat jernih.Untuk beberapa saat, sambil mengatur napasnya, Alicia duduk di salah satu batu yang menjadi tempat favoritnya di sana. Dia berniat untuk menunggu pria itu pergi, barulah Alicia akan kembali ke rumah, bahkan jika dia harus menunggu sampai malam sekalipun. ***Matahari hampir tenggelam ke peraduannya, Alicia jatuh tertidur dengan bersandar
Keesokan harinya, ketika Alicia terbangun dari tidur setelah hampir semalaman menangis, dia dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang di kamarnya. Alicia sontak langsung beringsut duduk menatap penuh awas pada perempuan-perempuan berpakaian serba putih itu."Selamat pagi, Miss Alicia," sapa salah satu dari mereka, yang tampak lebih tua dari perempuan yang lain.Alicia menelan ludahnya dengan susah payah. "Pa-pagi."Si kepala pelayan itu tersenyum ramah. "Anda tidak perlu takut, Miss, kami datang ke sini untuk membantu Anda bersiap-siap untuk sarapan."Mendengar itu, Alicia menggeleng kepala. Para pelayan itu saling tatap, memperhatikan penampilan Alicia dengan rambut acak-acakkan dan mata sembab dengan pakaian yang masih utuh.Terlebih, tidak ada noda darah di kasur.Mereka sangat hapal pada tabiat tuan mereka, setiap kali membawa seorang gadis ke rumah, gadis tersebut tida
Lucius menepati janjinya. Selama hampir tiga hari, Alicia tidak diberi makan atau minuman sedikitpun. Para pelayan yang masuk ke kamarnya setiap pagi hanya membantu Alicia mandi dan berpakaian serta membersihkan kamar.Pagi ini Alicia sangat berharap bahwa mereka membawakannya makanan, namun tidak satupun dari mereka membuka mulut ketika Alicia meminta agar kamarnya tidak dikunci supaya dia bisa lebih leluasa pergi ke dapur.Permintaannya tidak dituruti. Alicia tidak memiliki tenaga, badannya lemas, dan keringat dingin terus saja bercucuran dari pelipisnya karena rasa sakit yang ia rasakan di perutnya yang seolah dililit. Hampir sehari semalam, Alicia hanya terbaring di ranjang, menitikkan air mata akibat kekeras kepalaannya.Lucius adalah tipe orang yang seharusnya Alicia hindari. Dia berbahaya, Alicia tahu. Bahkan ketika di desa, bibi Jen selalu mengingatkannya bahwa akan ada seseorang yang akan datang menjemput Alicia.
Alicia terbangun ketika merasakan sesuatu yang menyengat telapak tangannya. Dia membuka mata dan melihat siluet gelap Lucius di hadapannya."Kau bangun di waktu yang tepat," gumam pria itu, mencabut jarum suntik yang belum sempat menembus nadi Alicia, lalu menancapkannya lagi tanpa kehati-hatian, membuat Alicia meringis sakit.Lucius tersenyum manis. "Aku sangat membencimu," bisik Alicia tajam, sambil terus memperhatikan Lucius yang ternyata baru selesai memasangkannya infus.Kembali, Lucius hanya tersenyum. "Terima kasih, aku juga sangat membencimu," sahutnya tanpa adanya nada kebencian sedikitpun, tidak seperti cara Alicia mengucapkan kebenciannya sendiri."Kau lapar?"Alicia tidak menjawab. Hanya matanya yang bergerak-gerak menatap Lucius yang berjalan menjauhinya lalu mengambil sebuah nampan berisi makanan, membawanya ke arah Alicia.Seketika itu perut Alicia berbunyi
Mobil hitam itu melaju meninggalkan pekarangan luas mansion. Alicia menatapnya dari jendela kamar. Dia menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata sejenak.Haruskah aku melakukan ini? Batinnya, mulai merasa ragu.Dia ingat dengan jelas ancaman Lucius jika Alicia melanggar 'peraturan' yang pria itu tetapkan. Tapi, Alicia benar-benar ingin bertemu dengan kedua orangtuanya.Semua ini bermula saat waktu sarapan tadi. Ya, kesehatan Alicia membaik setelah hampir satu minggu dia hanya terbaring di ranjang. Pagi ini, Alicia sarapan di patio bersama Lucius. Mereka makan dalam diam. Lucius tidak sedikitpun tampak hendak memulai pembicaraan dengannya, karena seluruh perhatian pria itu seolah hanya untuk topik di kepalanya saja. Lucius pun tidak lagi datang ke kamar Alicia. Seperti hari ini, pria itu berangkat pagi-pagi dan selalu pulang larut malam.Alicia bertanya nama kota ini ke salah satu pelayan
Napas Alicia memburu, membuat dadanya sakit dan bergemuruh cepat. Peluh membanjiri pelipisnya, kakinya sudah terasa kebas dan rambut gelapnya yang panjang acak-acakan dan lengket karena keringat. Alicia meringis sakit, ketika kakinya yang kebas itu tersandung batu, dia terjatuh dengan lutut yang mengeluarkan darah. Namun semua itu, tidak membuat Alicia menghentikan pelariannya. Dia bangkit dan berlari lagi, dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang.Sepi.Alicia tahu cepat atau lambat para penjaga di rumah itu pasti akan menyadari kepergiannya. Dan dia hanya bisa berdoa semoga mereka tidak menyadarinya secepat seperti yang Alicia bayangkan.Jalanan sangat sepi pada pagi menjelang siang itu, tidak ada satupun mobil yang lewat. Di kiri kanan yang terlihat hanya hutan-hutan belantara yang sunyi. Alicia baru mengetahui bahwa letak rumah Lucius sejauh ini dari kota. Namun tetap saja, Alicia tidak menyerah.
Alicia tidak pernah merasa setakut ini seumur hidupnya.Dia merasakan dadanya sakit akibat jantungnya yang berdetak begitu cepat serta napasnya yang berat. Dia menatap ke sekelilingnya, benar-benar gelap, namun dari suara-suara lain yang ia dengar di sana, Alicia jelas mengetahui bahwa bukan hanya mereka berempat yang ada di dalam ruangan itu. Siapa yang tahu apa yang ada di balik kegelapan?"Selamat malam, hadirin sekalian." Suara seorang pria dengan microfon.Alicia meneguk ludahnya susah payah. "Ca-calla...""Hm.""A-aku... aku benar-benar takut.""Damn, who wasn't."Alicia semakin merasa takut. dua perempuan lainnya yang Alicia tidak tahu nama mereka siapa, juga pasti merasa ketakutan, terdengar jelas dari suara rengekan mereka yang seolah hendak menangis.Alicia tahu... bahwa inilah saatnya."Terima kasih sud
Saat kecil dulu, Alicia jarang sekali terkena virus penyakit. Mamanya selalu mengontrol pola makannya dan selalu memberikannya vitamin. Kasih sayang sang Mama juga Papa terasa begitu besar, sehingga kepergian mereka yang 'meninggalkan' Alicia, masih gadis itu tidak percayai. Pasti ada sesuatu, alasan yang begitu kuat di balik tindakan mereka itu.Sekarang, Alicia sakit. Tubuhnya mengeluarkan keringat sangat banyak, namun dia terus saja meracau kedinginan. Tiga lapis selimut menutupinya sampai leher, hal itu masih tidak banyak membantu. Kening Alicia berkerut dalam. Setiap malam, dia akan berteriak-teriak ketakutan seolah nyawanya sedang di ujung tanduk.Saat sedang terjaga, dia akan berhalusinasi seperti orang gila, ketakutan dan menjerit. Ketika tidur pun, mimpi buruk tiada henti menghampirinya. Kalau belum muntah, Alicia tidak akan tenang.Terhitung sudah tiga hari Alicia seperti itu.Lucius, yang saat i
Ignite: EpilogueNapas Alicia memburu saat merasakan kecupan basah di lehernya. Dia meraih seprai dan meremasnya sangat kencang, menahan suara desahannya lolos dari bibir. Wajahnya bersemu merah dengan mata yang terpejam erat.“Alice,” bisik suara serak di telinganya, terdengar sangat sensual sehingga mengirimkan getaran bagai tersengat listrik ke seluruh tubuh Alicia.“Hm,” gumam Alicia sebagai balasan.“Sebut namaku!”Alicia membuka mata, menatap tidak fokus pada objek di hadapannya. Karena bukan hanya bibir pria itu yang bergerak menyiksanya dengan memberikan kecupan-kecupan panas sampai meninggalkan bekas kemerahan di lehernya, tapi juga tangan pria itu yang terasa kasar, menyusup masuk dari balik baju tidur yang ia kenakan, meremas dadanya dan tanpa tahu malu pria itu menjetikkan jari pada puncak dadanya yang telah mengeras.“Ahh, Lucius!” Alicia sontak mendesahkan nama pria itu dalam ekstasi yang ia rasakan dari rangsangan yang diberikan. Tubuh Alicia tidak bisa berkutik di bawa
"Dokter, kalau Tuan Lucius terus bersamaku setiap waktu, aku mungkin akan sembuh lebih cepat," ucap Alicia pada Dokter Hank yang tengah memeriksa keadaannya. Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya. Sudah beberapa hari Alicia dirawat dan harus istirahat total untuk kesembuhannya. Dokter Hank adalah satu-satunya dokter yang datang untuk merawatnya. Namun, hanya untuk memeriksa keadaan Alicia secara umum, seperti mengecek suhu tubuhnya, memeriksa gejala-gejala tertentu yang bisa menimbulkan penyakit bawaan dari lukanya, memberinya obat yang akan membantu kesembuhan dan meningkatkan kesehatannya. Namun, khusus untuk mengganti perban di lukanya, hanya Lucius yang dapat melakukan itu. Bukan, Dokter Hank pun bisa melakukannya, tapi hanya Lucius seorang yang boleh. Dokter Hank sangat mengerti akan sikap Lucius yang seperti itu, namun dia tidak mengatakan apap
Landon tidak bisa merasa tenang sampai dia memasuki kamar Lucius dan melihat sosok yang dikhawatirkannya terbaring di atas ranjang. Landon duduk di dekatnya, memperhatikan wajah pucat gadis itu."Ini adalah salah satu yang aku maksud saat aku bilang berada di sisinya adalah pilihan yang salah, Alicia," ucap Landon lirih. Namun Alicia tidak bergeming, masih di bawah pengaruh obat bius. "Tapi melihat sepupuku begitu mengkhawatirkanmu kurasa hal ini sepadan untuknya," lanjut Landon, kemudian membelai pelan rambut gadis itu.Tidak beberapa lama kemudian Dokter Hank datang membawa obat dari rumah sakit. Hank bertanya kepada Landon di mana Lucius. Landon hanya menjawab, "Dia pergi untuk mengurus sesuatu."Hank belum tahu pasti bagaimana kejadiannya kenapa Alicia sampai seperti ini dan bertanya langsung pada Lucius adalah hal yang sia-sia."Ayah, apa Alicia akan baik-baik saja?" tanya Landon.Han
Sebelum ke luar, Lucius menatap Alicia sekali lagi, memperbaiki selimutnya, dan mengatur suhu ruangan agar lebih hangat."Ben, temui aku di ruangan, sekarang!" ucapnya, berbicara pada alat interkom yang masih terpasang di telinganya.Lucius pergi menuju ruang kerjanya dengan langkah lebar. Landon tiba-tiba saja muncul dari arah tangga, menghalangi jalan Lucius. Lucius menatapnya sesaat, mencoba mempertahankan kesabarannya yang tidak dia miliki banyak."Aku ikut," kata Landon.Lucius mendengus, kemudian melanjutkan langkahnya melewati Landon, menabrak bahu lelaki itu."Lucius, aku serius!" ucap Landon keras kepala, mengikuti Lucius di belakang."Apa kau tahu yang hendak aku lakukan?""Aku tahu," jawab Landon.Lucius langsung berhenti dan menoleh menatapnya.Mendapat tatapan menyeramkan seperti itu, Landon langsung melanjutk
Suara klakson mobil terdengar nyaring saling bersahutan di tengah jalan raya yang ramai dilalui kendaraan. Hanya satu mobil yang bergerak cepat dan tidak beraturan di antara mobil yang lain."Ben, kalau kau berhasil sampai dalam waktu lima menit, aku akan menaikkan gajimu sepuluh kali lipat," Lucius berkata dengan datar di kursi penumpang pada mobil yang dikendarai oleh Tangan Kanan-nya, Benjamin.Benjamin mendengus. "Kau tidak perlu mengatakan itu, kita akan sampai dalam waktu tiga menit."Normalnya, mereka akan sampai dalam setengah jam, lima belas menit jika mengebut. Sedangkan lima menit terdengar mustahil, terlebih tiga menit.Namun tidak bagi Benjamin. Selama bekerja dengan keluarga Denovan, dia sudah dilatih untuk hal-hal seperti ini. Dia benar-benar akan sampai di rumah dalam waktu tiga menit.Sesekali Ben melirik tuannya yang duduk di kursi belakang, memeluk seorang perempuan di d
Alicia duduk dengan gelisah di dalam mobil yang melaju sedang menuju suatu tempat. Alarick berada di sampingnya, diam dengan ekspresi keras di wajah. Semakin Alicia memikirkan kemana dia akan dibawa, jantungnya berdetak semakin kencang penuh antisipasi. Alicia memikirkan ucapan kepala pelayan itu yang mengatakan bahwa malam ini Lucius akan datang bersama Marie dan Adrian.Benarkah pria itu akan datang? Untuk apa? Apa rencananya? Alicia menolak untuk percaya bahwa Lucius benar-benar datang untuknya. Pria itu pasti memiliki agenda lain di otaknya yang licik dan penuh perhitungan. Apakah ini harinya? Pembalasan dendam itu? Apa yang akan Lucius lakukan? Membunuh Marie dan Adrian?Alicia membayangkan dua buah peti mati yang telah menanti di sana dan tiba-tiba saja tubuhnya mulai menggigil. Sekalipun Marie bukan ibu kandungnya, tapi kenangan terbaiknya semasa kecil selalu dihadiri oleh perempuan itu. Walaupun Alicia me
Tidak ada satupun rencananya yang berjalan lancar.Alarick memukul meja kerja dan menatap deretan anak buahnya tajam. "Bagaimana kalian bisa kehilangan mereka!" seru pria itu, melangkah mendekati lima anak buahnya yang berdiri sejajar dan menampar wajah mereka. Alarick, yang diliputi amarah berapi-api, mengepalkan tangan dan menatap bawahannya dengan tajam."Aku memberikan kalian tugas yang sangat sederhana. Bawa istri dan putraku pergi dari negara ini. Tapi bagaiman bisa kalian kehilangan mereka begitu saja?! HAH?!""S-sir... d-dia...""Apa?!""Denovan-"Belum sempat pria itu berucap, Alarick telah lebih dulu menampar wajahnya sekali lagi. Jari telunjuknya teracung ke depan wajah sang pria yang telah memerah akibat tamparan."Jangan. Sebut. Nama. Itu!" bisik Alarick tajam.Sang anak buah langsung mengangguk cepat dengan wajah penuh ketaku
"Kau sudah menemukannya, Ben?" Lucius menunduk di belakang Benjamin yang tengah melakukan sesuatu di layar komputer di hadapan mereka."Ya, Sir!" Ben menjawab yakin. "Mereka ada di Bandara sekarang.""Bandara? Untuk apa dia pergi ke Bandara sekarang?""Hanya ada dua tiket, Sir. Alarick hanya mengirim istri dan putranya pergi."Lucius lantas tahu yang hendak Alarick lakukan. Pria itu sengaja menjauhkan istri dan anaknya, berharap dengan itu keselamatan mereka menjadi lebih meyakinkan. Lucius tidak tahu apakah Alarick melakukannya karena dia masih meremehkan Lucius atau justru sebaliknya?"Hm..." Lucius menggumam."Apa yang hendak Anda lakukan sekarang, Sir?" tanya Ben penasaran.Mata Lucius tertuju pada foto Adrian Lucero dan Marie Lucero yang tengah bergandengan tangan memasuki bandara, lalu tatapan Lucius hanya tertuju pada Adrian Lucero seorang. Entah ke
Karena kepercayaannya pada Fio, Alicia mencoba untuk menenangkan diri dari kecemasan yang tidak menentu. Dia menatap bangunan tinggi di hadapannya dan menahan napas. Kenapa hotel? batinnya.Tidak lama setelah itu, mobil berhenti. Fio membantunya membuka pintu mobil, kemudian keduanya melangkah menuju lobi hotel."Landon meminta bertemu di sini?" tanya Alicia saat mereka berdiri di hadapan meja resepsionis."Ya, Miss," jawab Fio. Alicia memandang ke sekitarnya, entah kenapa dia merasa gelisah. Tapi Landon pasti sangat mempercayai Fio sehingga dia berlaku sampai sejauh ini. Alicia mencoba menduga-duga apa yang sekiranya lelaki itu hendak katakan nanti. Alicia tidak dengar apa yang dikatakan oleh Fio dan si resepsionis, setelah selesai Fio langsung mengajaknya menuju lift.Keheningan menguasai ruang persegi yang sempit itu. Alicia menatap pantulan wajah Fio di dinding lift. Apakah dia gugup ketah