LEBIH BAIK KITA BERPISAH 6
"Bi, aku terima ya coklatnya. Makasih banyak. Aku anggap ini sebagai tanda pertemanan kita."Senyum Biru mengembang. Dan seperti kemarin, senyum itu lebih dulu terbit di matanya. Dia seorang lelaki berkulit bersih, berambut ikal berwarna hitam pekat. Tingginya sekitar sepuluh senti di atasku. Dan yang paling menarik dari semua itu adalah, bagaimana senyumnya seperti magnet, menarik orang di sekitarnya untuk ikut tersenyum.Kami saling tatap sejenak dengan senyum di bibir masing-masing, mengabaikan dia yang namanya tak ingin kusebut, yang kini menatap kami dengan wajah muram."Makasih juga, Senja. Semoga harimu menyenangkan setelah terbebas dari lubang buaya."Hahaha… aku tertawa dalam hati, berani sekali dia bilang seperti itu sementara buayanya masih ada disini. Setelah melambaikan tangan padanya, aku berbalik dan naik lagi ke atas. Jika mereka mau bertengkar, silakan saja. Asal jangan di depanku."Senja, minta coklatnya."Itu suara Mbak Arin. Aku berhenti dan membuka kotak itu. Ada dua belas batang coklat disana. Ku berikan dua untuk Mbak Arin."Trims, Ja. Besok Mas Kurir gantengnya suruh kirim es boba ya."Aku melotot sementara Mbak Arin malah tertawa. Dari sudut mata aku melihat Biru sudah pergi setelah sebelumnya bicara entah apa pada Jo… dia yang namanya tak ingin kusebut."Senja!"Di anak tangga paling atas, dia yang tak ingin kusebut namanya berhasil menyusulku. Dia menarik tanganku hingga langkahku terhenti. Gerakannya yang kasar dan tiba-tiba membuatku oleng. Hampir saja aku jatuh dan menabrak tubuhnya kalau tak segera berpegangan pada railing tangga."Kamu apa-apaan sih? Mau nyelakain aku ya?!"Aku setengah membentaknya. Gegas aku menuju mejaku, dimana Evelyn menunggu dengan makan siang kami yang belum habis. Sayang dia sedang keseleo jadi tidak ikut menyaksikan drama kolosal dibawah tadi."Kamu yang apa-apaan. Ngapain kamu berhubung dengan Biru. Dia itu sepupu aku!"Suara dia yang tak ingin kusebut namanya tidak kalah keras. Wajahnya kaku dan tatapan matanya… seperti seseorang yang terbakar cemburu. Padahal sebelum ini, dia tak pernah menampakkan rasa cemburu. Aku memang tidak pernah dekat dengan lelaki manapun selain dia. Waktuku yang berharga hanya kugunakan untuk bekerja, membaca buku di rumah dan membantu Mama bertanam bunga. Mungkin menurut dia, tak akan ada lelaki lain melirikku setelah putus darinya."Memangnya kenapa? Kamu sudah nggak punya lagi hak mengaturku. Terserah aku mau dekat dengan siapa.""Iya. Terserah kamu. Tapi jangan Biru ataupun sepupu aku lainnya. Jangan dengan orang yang aku kenal, apalagi saudaraku.""Bukan urusanmu." Aku menantang matanya yang melotot."Yee… aneh kamu Jo. Kalo udah nikah tu yang diurusin istri, bukan mantan pacar."Evelyn ikut nimbrung. Dia yang tak ingin kusebut namanya merengut, lalu berjalan dengan cepat ke mejanya sendiri. Aku akhirnya duduk di kursi ku sambil meletakkan kotak berisi coklat yang masih sepuluh."Biru siapa sih?" Tanya Evelyn. "Dan coklat ini?""Iya. Itu coklat dari Biru. Sepupunya dia yang kemarin nganter aku pulang."Mata Evelyn membola. "Oh, No. Kayaknya ada yang lupa cerita sama aku."Aku meringis. Padahal tadinya ingin menyembunyikan saja moment perkenalanku dengan Biru. Toh setelah itu aku bertekad melupakan dan tak mau lagi menjalin hubungan meski sekedar berteman. Tapi rupanya, sosok itu bak virus yang menebar dengan cepat. Dia bergerak dengan gesit, mendekati Mama dan kini berusaha mengambil hatiku. Ya, aku bukan tak tahu bahwa dia melakukan semua ini untuk membuatku jatuh hati. Tapi aku perlu berpikir seratus kali sebelum menjalin hubungan dengan seseorang dari keluarga Jo… dia yang… aahh… baiklah. Jonas."Jadi tadi dia kesini nganter coklat ini, lalu ketemu Jonas gitu?" Bisik Evelyn, menyimpulkan sendiri.Aku mengangguk, membagi dua coklat itu untuknya."Ganteng nggak? Kata Mbak Arin kemarin ganteng banget.""Nah itu kamu udah tahu.""Senjaaaa, ayo move on kalo gitu.""Aku udah move on. Yang belum itu dia. Aneh."Evelyn terkikik."Berani taruhan, dia lagi menyesal menyia-nyiakan gadis kualitas super sepertimu.""Aku merasa jadi lengkeng bangkok.""Hahaha…"***Sampai di rumah, kutemui Mama sedang asik memandangi pot bunga barunya. Ada lima pot dan semuanya bagus dan besar-besar. Bisa ketebak dia menghabiskan cukup banyak uang untuk membeli semua pot bunga ini. Aku betul-betul tak percaya dia meminta dari Maminya."Hey, kok malah bengong, bagus kan?"Mama menegurku, karena turun dari mobil aku bengong menatap bunga itu sementara otakku sibuk berhitung."Hemm… iya bagus.""Senjaaa… cowok ganteng itu ada hati sama kamu. Dan dia pandai sekali mengambil hati calon mertua.""Mama…"Mama tertawa. Belum apa-apa Mama sudah menyebut dirinya sendiri calon mertua. Bisa geer Biru kalau mendengarnya."Ma, Biru itu, sepupunya mantan pacar aku yang kemarin nikah. Memangnya Mama nggak takut tabiatnya mereka sama?""Loh? Ya nggak dong. Setiap orang adalah pribadi yang berbeda. Bahkan saudara sekandung saja bisa berbeda, apalagi yang cuma sepupu. Mantan kamu sekalipun nggak mau ketemu Mama. Kalian jalan ketemuan di luar. Apa-apaan itu? Tapi kamu mbeling, nggak bisa diomongin. Kalo Biru… hemm… dia langsung datang dan dengan pandainya mengambil hati Mama."Jika di tengah kalimat Mama tampak kesal saat membahas Jonas, di ujung kalimatnya Mama tersenyum."Dan Mama membayangkan punya cucu yang cantik dan ganteng kalau kamu nikah sama dia."Astaga."Mamaaaaaa…"Aku akhirnya berlari masuk, tak sanggup lagi mendengar khayalan Mama tentang Biru. Bagaimana bisa sosok itu dengan cepat menerobos pertahanan di rumahku?Suara notifikasi pesan masuk di ponsel yang akhirnya mengalihkan perhatianku. Kuraih benda itu dari dalam tas, dan mendapati sebuah pesan masuk. Dari Jonas. Aku mende-sah dengan kesal karena tak bisa menghindarinya. Di kantor, kami harus bertemu setiap hari, dan dia masih bisa mengirim pesan karena aku tak bisa mengganti nomor ponsel.(Senja, aku minta maaf. Plis jangan marah dan jangan menjauh dariku. Aku menyesal.)Apa-apaan dia ini?Aku meletakkan ponsel di atas meja, sama sekali tak berniat membalasnya. Tapi kemudian aku terkejut karena dia mencoba menghubungiku melalui video call. Dengan kesal ku tolak panggilannya.(Senja, aku kangen kamu.)(Tolong jangan menjauh. Jangan dekat dengan lelaki lain. Aku akan segera menceraikan Marsya dan melamarmu.)Pesannya masuk lagi secara beruntun.(Aku menyesal. Aku tak bisa melewati satu malam saja tanpa membayangkan wajahmu.)(Aku masih sangat mencintaimu.)Jonas benar-benar sudah gila. Membaca semua pesannya itu membuatku merinding. Geli, marah dan juga jijik, mengingat tingkahnya yang tega mempermainkan banyak hati selama ini. Setelah dia menyakitiku, apakah kini dia sedang bersiap menyakiti hati yang lain? Hati istrinya?Akhirnya, aku mengambil alternatif lain. Kubuka profil Jonas di kontak WA dan menekan tombol blokir.***LEBIH BAIK KITA BERPISAH 7—-Aku baru saja menutup pintu mobil ketika sebuah tangan menarikku. Terkejut, ku dorong tubuh Jonas yang nyaris saja menempel."Kamu gi-la ya?!"Parkiran kantor masih sepi. Aku memang sengaja datang pagi-pagi karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum jam sepuluh. Tapi kemudian aku menyesal mendapati dirinya sudah menungguku disini.Jonas menatapku."Kenapa kamu blokir nomorku?""Bukan hanya blokir, tapi sudah ku-delete. Memangnya kenapa? Kita sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi, Jo. Plis, jangan bikin aku muak."Wajahnya berubah sekejap, tampak terluka oleh kata-kata yang baru saja kuucapkan."Apakah karena Biru?""Biru atau siapapun bukan urusanmu."Jonas mendesah, tapi tak mau beranjak hingga aku tak bisa pergi. Posisinya yang berdiri tepat didepanku sementara ada badan mobil di belakang, membuatku harus melewatinya jika ingin pergi."Senja, aku minta maaf."Terlambat. Bisikku dalam hati."Aku… aku menyesal. Marsya tidak sebaik dirimu. Ak
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 8—---"Hey… No… no… no… tak boleh!"Suara Evelyn meniru Meimei di serial Upin Ipin terdengar. Dia langsung menarikku menuju mobilnya."Enak aja main ajak-ajak sohib gue. Inget Jo, You udah punya istri yeee. Jangan bikin temen gue kayak pela-kor."Aku tak bisa menahan tawa mendengar suara Evelyn. Ih, lagian siapa juga yang mau. Aku lebih memilih naik taksi online dari pada harus semobil dengan Jonas. Selain alasan yang baru saja dikatakan Evelyn, aku juga tak mau merendahkan diriku sendiri dengan menerima ajakan seseorang yang jelas-jelas punya niat tak baik."Senja, nggak akan ada yang bilang kamu pelakor. Marsya-lah yang pelakor."Evelyn langsung meletakkan jari telunjuk nya dalam posisi miring di kening mendengar ucapan Jonas."Sejak married, dia kurang se-ons." Bisik Evelyn. Kami lalu menuju mobilnya yang berjarak dua mobil dariku. Tak lagi peduli pada Jonas yang mungkin masih memandangiku. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Aku berhenti dan berbalik men
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 9Dia seorang gadis cantik dan berwajah lembut, selaras dengan suaranya yang halus dan mengalun. Aku menemuinya siang hari di jam istirahat bersama Evelyn, yang ngotot harus ikut."Jangan pergi sendiri, Ja. Tahu nggak kamu kebanyakan psikopat itu tampangnya lembut dan terpelajar.""Ishh… kenapa jadi ngomongin psikopat? Dia itu cuma gadis lugu korbannya Jonas.""Tetap aja, kamu perlu saksi mata siapa tahu suatu saat dia membalikkan fakta."Aku pasrah. Aku dan Evelyn memang nyaris tak terpisahkan. Kami bersahabat sejak SMA. Orang tua Evelyn yang protektif terhadap anak gadisnya itu dengan mudah memberi izin bepergian jika bersama aku. Dulu biasanya Eve menggunakan namaku supaya bisa ketemu pacarnya. "Pergi sama Senja, Mami. Plis…"Padahal dia ketemu pacarnya. Masa-masa remaja kami memang sedikit nakal, tapi kami tetap tahu batasan. Sampai saat ini aku bisa menjamin Evelyn masih perawan.Dan kini, kami bertiga duduk lagi di warung bakso Pakde Suryo. Aku telah me
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 10"Berhenti!"Kedua lelaki itu menoleh serempak. Ada keterkejutan di raut wajah keduanya. Mereka tahu aku masih ada di kantor karena mobilku masih terparkir manis, tapi, sepertinya, tak menyangka bahwa aku akan datang dan memergoki kelakuan mereka yang seperti abege labil."Senja!" Jonas memburu ke arahku, tapi Biru diam saja dengan raut wajah bersalah."Berhenti, Jo! Dan kamu juga Bi. Dengar baik-baik. Mungkin kalian pikir aku bangga diperebutkan oleh dua lelaki. Kalian salah besar. Kalian membuatku seperti perempuan yang tak punya harga diri!""Bukan begitu maksudku, Senja! Aku…""Diam kamu, Jo. Aku serius kali ini. Kalau kamu masih juga menggangguku, aku akan melaporkan kamu ke polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Jadi sebaiknya mulai saat ini anggap saja kita nggak pernah saling kenal!"Tanpa menunggu reaksi keduanya, aku berlari masuk, naik ke atas dan segera membereskan pekerjaanku yang belum selesai. Aku akan membereskannya di rumah saja.
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 11PoV JONAS"Mas, ini kopinya."Aku tak menyahut, membiarkan Marsya meletakkan kopi hitam kesukaanku di atas meja. Mata dan tanganku masih fokus pada ponsel. Berkali-kali aku melihat chat WA, mengecek apakah Senja sudah membuka blokiran nomorku. Pesan terakhirku masih bisu, ceklis satu. Tak ada tanda-tanda dia akan membukanya. Sepertinya benar bahwa Senja sudah menghapus nomorku dari ponselnya. Story WA-nya yang dulu masih dapat kulihat, kini menghilang.Kenapa gadis itu bisa demikian menguasaiku? Padahal dulu, dia hampir saja jadi milikku.Marsya menarik kursi di sampingku, berniat hendak ikut sarapan. Tapi baru saja duduk, dia berdiri lagi dan berlari ke kamar mandi. Ujung lengannya menyenggol gelas kopiku hingga jatuh ke lantai.Prang!Gelas itu pecah dengan suara yang memekakkan telinga. Percikan cairan hitam menyiprat kemana-mana, sebagaian membasahi celana kerjaku."Marsya!"Aku tak mampu menahan emosi atas kecerobohannya. Tapi Marsya tak menyahut. Dia
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 12PoV SENJA"Senja, jangan lupa besok jadi ya ke Bukit Sakura!" Evelyn mengingatkan ketika kami keluar kantor di hari sabtu. Sebagai kantor swasta yang bahkan staff marketingnya saja masih suka bekerja di hari libur, kami tetap masuk di hari sabtu. Bedanya pekerjaan tidak sepadat hari lain dan yang jelas Pak Bos tak akan datang sehingga suasana kantor terasa lebih cair."Okey. Nanti aku WA lagi ya."Evelyn melambaikan tangan dan masuk ke mobil lebih dulu karena posisi mobilnya yang lebih dekat ke luar. Aku membalas lambaian tangannya dan akan membuka kunci mobil ketika suara yang sangat kukenal itu terdengar."Hati-hati di jalan, Senja."Aku menoleh dan mendapati Jonas berdiri di dekat pintu mobilnya sambil tersenyum. Aku menganggukkan kepala, lalu masuk ke dalam mobil dengan dada berdebar. Sejak pertengkaran dengan Biru waktu itu, kami tak lagi bertegur sapa. Ini adalah kali pertama dia menegurku lagi.Jonas. Dulu sekali aku pernah merasa amat mengenalnya.
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 13Seandainya aku punya sayap, aku pasti sudah terbang dan bersembunyi di balik awan, nggak bakalan turun-turun lagi selama masih ada tiga pasang mata yang memandangku sambil tersenyum. Oh, bukan tiga, tapi empat. Karena dari pintu belakang, seorang gadis remaja melompat keluar, terbelalak menatapku, dan kemudian tawanya berderai."Wow, keren! Calon istri Abang bisa manjat pohon."Astaga. Aku tersenyum malu padanya, sementara hatiku kacau balau. Aku harus turun, tapi juga tak mungkin membiarkan Biru melihatku."Senja, ayo turun! Loh?"Mama keluar lagi dari dalam rumah, sepertinya karena melihat aku tak juga masuk. Namun sepertiku, kejutan dari Biru ini juga membuat Mama terpana. Empat orang yang berdiri di halaman rumah, memandang seorang gadis di atas pohon. Huhuuu…"Maaf, Ma. Kami datang nggak kasih kabar. Ini Mami nggak sabar ketemu Mama dan Senja katanya."Biru menatap Mama dengan mata memohon. Mama sendiri memandangku, seolah berkata : kamu kok nggak kas
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 14"Apa yang kamu lakukan disini?"Jonas terkejut mendengar suaraku, yang masuk usai memberi salam. Evelyn ikut masuk dan duduk di samping Mama yang tampak bingung.Jonas tersenyum, "Duduk dulu, Ja. Kita bicara baik-baik. Bukankah kamu ingin aku datang dan ketemu Mamamu?"Aku rasa Jonas sudah ada gila-gilanya. Aku menatapnya dengan gemas. Ingin rasanya mendorong dia keluar dan memaki dengan kata-kata pedas. Biar dia sadar diri. Tapi sepertinya, lelaki ini sudah kehilangan rasa malu."Waktumu untuk bicara baik-baik dan ketemu Mamaku sudah habis."Aku masih berdiri di depan pintu."Senja, ada apa ini? Dia ini siapa?" tanya Mama.Aku menelan ludah, menghela napas sejenak, lalu menatap Mama."Dia ini lelaki yang tak pernah mau menemui Mama dan akhirnya memilih menikahi gadis lain."Mama terkejut, "Oh, jadi kamu…" Mama menghembuskan napas, berusaha meredam emosi, "Pulanglah. Kamu sudah menikah dan Senja sebentar lagi akan jadi istri orang."Jonas tampak terkejut. D