LEBIH BAIK KITA BERPISAH 5
"Senjaaaaa!"Suara Evelyn sudah terdengar padahal orangnya masih di lantai bawah."Senja!""Apa?"Aku melongok dari tangga paling atas, melihat sahabatku naik dengan susah payah. Terkilir beneran rupanya dia. Aku turun dan segera membantunya naik."Kenapa masuk? Harusnya kamu izin dulu.""Aku takut kamu sendirian di kantor, sedih dan nangis lagi."Aku tertawa, "Nggak lagi. Nangisnya udah cukup. Mulai hari ini aku janji nggak akan nangis lagi karena dia.""Cool!" Evelyn memelukku. Dia memang se ekspresif itu. Kubantu dia duduk di kursinya."Ini nggak diurut Ev? Kenapa memangnya bisa keseleo?""Udah kemarin sama Bibik. Aku nyoba pake heels, Ja. Ya masa aku kondangan pake sepatu kets."Evelyn nyengir. Gadis berkulit putih dan bermata sipit ini memang mungil. Tingginya hanya sebahuku. Tapi dia cantik sekali, bak boneka dari China.Aku tertawa kecil."Padahal kamu pake apa aja juga cantik Ev."Giliran dia yang tersenyum."Maaf ya kemarin aku nggak jadi nemenin kamu. Trus gimana gimana?""Gimana apanya?""Kata Mbak Arin kamu pulangnya dianter cowok ganteng.""Heh. Gosip aja."Dan tiba-tiba saja pembicaraan kami berhenti saat sosok itu tiba-tiba muncul. Seseorang yang tak kusangka sama sekali akan datang. Bukannya dia seharusnya ambil cuti nikah dan sekarang sedang menikmati bulan madu?"Bro! Manten baru ngapain masuk?!"Kamal mewakili isi hatiku. Jonas tertawa."Gue nggak ambil cuti nikah bro. Ntar aja lebaran sekalian.""Emang nggak bulan madu lo? Apa udah duluan bulan madunya?"Dan mereka tertawa terbahak-bahak. Kamal dan beberapa cowok bagian lapangan yang sejak tadi mondar mandir menunggu jam keluar kantor. Sementara aku, terasa ada yang mencubit hatiku mendengar kata-kata terakhirnya."Heh. Tau aja lo Mal. Udah nggak usah kebanyakan nanya. Ntar pengen lagi lo." Sahut Jonas cuek tanpa menoleh padaku."Oo… pantes. Seminggu putus sama teman gue, langsung married. Ternyata udah di DP dulu ya." Evelyn menyambar.Jonas menoleh, lalu tak sengaja mata kami saling tatap, karena meja Eve memang sejalur denganku."Ya nggak apa-apa juga. Senja mah gadis ori. Dapatnya yang ori juga ntar, ya nggak Ja?"Kamal masih belum puas rupanya. Jonas baru saja hendak menjawab ketika tiba-tiba suara sepatu Pak Heru Bos kami, terdengar tiba di anak tangga paling atas. Seketika semuanya diam, pura-pura sibuk. Aku menghela napas lega, akhirnya bebas dari situasi yang tidak mengenakkan ini.Tapi semua percakapan itu masih terngiang di telingaku. Bulan madu duluan, DP. Apakah berarti sebelum menikah Jonas sudah melakukannya? Melakukan apa yang dulu selalu dia pinta dariku. Sentuhan dan kontak fisik yang dia sebut sebagai bukti cinta.Allah, kau memang maha baik. Dengan cara-Mu aku akhirnya terbebas dari lelaki itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rumah tangga ku kelak jika aku menikah dengannya. Bisa jadi tiba-tiba datang perempuan lain yang mengaku punya anak darinya, lalu minta pertanggungjawaban. Aku bergidik membayangkan hal itu.***(Senja, teman kamu kirim ini ke rumah. Bagus banget kan?)WA dari Mama masuk saat jam istirahat. Disertai foto lima pot tanaman yang aku tak tahu namanya. Bagus bagus sekali dan ukurannya besar, bukan anakan seperti yang dia bilang semalam. Aku jadi curiga Biru bukannya meminta bunga itu dari Maminya, tapi beli. Mana ada yang rela kasih bunga sebagus itu ke orang yang nggak dikenal?(Iya bagus Ma. Siapa yang anter?)(Dia sendiri. Bawa pick up.)Sampe perlu pick up. Apa jangan-jangan dia yang jual bunganya? Ah, terserahlah. Toh aku sudah bertekad tak akan berurusan lagi dengan Jonas maupun keluarganya.Aku makan siang dengan Evelyn di meja kerja kami, memesan makanan melalui aplikasi. Evelyn masih belum bisa jalan jauh."Sumpahku jadi kenyataan. Istri si buaya darat itu jaaauhhh… sama kamu. Cantikan kamu kemana-mana.""Sstt… udah ah, aku nggak mau bahas itu lagi. Case close.""Okeyy!"…"Senjaaaa!"Astaga. Kadang-kadang aku heran ini kantor atau hutan sih? Semua penghuninya suka sekali teriak macam tarzan. Kalau sudah becanda ramenya minta ampun. Kami cuma kalem kalau Pak Bos sedang ada di ruangan.Aku berdiri dan turun satu anak tangga."Apa Mbak?""Ada paket!""Loh, aku nggak pesan apa-apa mbak?""Coba tanya sendiri, itu kurirnya masih di depan."Aku dan Evelyn saling tatap. Jangan-jangan aku kena penipuan lagi. Aku bergegas turun dan keluar hendak menemui kurir yang disebut Mbak Arin. Kubawa sekalian paket berbentuk kotak persegi panjang itu.Di luar, seorang lelaki menunggu, duduk di kursi sambil menatap jalan raya."Mas, maaf saya nggak pesan apa-apa loh, ini apa?"Lelaki itu menoleh dan hatiku langsung mencelos. Tentu saja, kenapa aku tak menduganya."Ngapain kamu?"Biru tersenyum manis."Nganter paket buat kamu.""Apa sekarang kamu alih profesi dari tukang tanaman jadi kurir?"Dia meringis sambil menggaruk kepalanya yang ditutup topi."Plis Senja. Itu isinya cuma coklat kok. Halal dan expirednya masih lama. Aku cuma pengen kamu nggak sedih lagi. Itu aja."Aku terdiam mendengar kata-kata nya yang terdengar tulus. Kutimang paket yang dibungkus dengan kertas kado warna pink itu."Baiklah, Terima kasih ya. Tapi setelah ini, tolong jangan kirim apa-apa lagi. Aku sudah nggak sedih lagi, dan tanaman Mamaku di rumah sudah banyak. Jangan habisin duit kamu beliin tanaman mahal-mahal buat Mamaku."Biru tertawa malu, dan sepertinya tebakanku tadi benar."Oke. Kalau itu maumu. Tapi, kita berteman kan? Oh salah, aku boleh mengenal kamu lebih jauh kan?"…"Dirgantara Langit Biru. Ngapain kamu kesini?!"Kami berdua serempak menoleh. Jonas, entah dari mana tahu-tahu datang, setengah berlari hingga sampai di sisi sepupunya itu. Sepertinya dia habis makan siang di seberang kantor. Dia memandangku, menatap kotak pink di tanganku lalu memandang Biru."Hey Jo. Gue pikir manten baru kayak lo masih di rumah, mesra-mesraan sama istri."Jonas menatap Biru tanpa senyum."Dan lo ngapain kesini?"Jonas melirikku."Oh, ini anter paket buat Senja. Nggak apa-apa kan? Kalian toh sudah putus."Tanpa kuduga Jonas menarik tangan Biru menjauh. Tapi masih kudengar suaranya meski samar."Jangan macam-macam. Dia mantan pacar gue.""Mantan. Berarti sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Senja bebas dekat dengan siapa saja.""Memangnya lo pikir dia mau?"Biru tersenyum, menarik kausnya yang ditarik Jonas."Kita liat aja Jo. Lagian, kenapa sih? Lo udah milih Marsya. Kenapa harus marah-marah kayak gini?""Karena gue masih cinta sama Senja."Wajahku memanas mendengar kata-kata Jonas, yang diucapkan sedikit keras, seperti sengaja agar aku mendengar. Apa maksudnya berkata seperti itu? Tak tahukah dia bahwa dia telah amat menyakitiku?Aku melangkah maju mendekati kedua lelaki yang kini saling pandang itu. Ku acungkan kotak berisi coklat pemberian Biru sambil memamerkan senyum paling manis yang kupunya."Bi, aku terima ya coklatnya. Makasih banyak. Aku anggap ini sebagai tanda pertemanan kita."***LEBIH BAIK KITA BERPISAH 6"Bi, aku terima ya coklatnya. Makasih banyak. Aku anggap ini sebagai tanda pertemanan kita."Senyum Biru mengembang. Dan seperti kemarin, senyum itu lebih dulu terbit di matanya. Dia seorang lelaki berkulit bersih, berambut ikal berwarna hitam pekat. Tingginya sekitar sepuluh senti di atasku. Dan yang paling menarik dari semua itu adalah, bagaimana senyumnya seperti magnet, menarik orang di sekitarnya untuk ikut tersenyum.Kami saling tatap sejenak dengan senyum di bibir masing-masing, mengabaikan dia yang namanya tak ingin kusebut, yang kini menatap kami dengan wajah muram."Makasih juga, Senja. Semoga harimu menyenangkan setelah terbebas dari lubang buaya."Hahaha… aku tertawa dalam hati, berani sekali dia bilang seperti itu sementara buayanya masih ada disini. Setelah melambaikan tangan padanya, aku berbalik dan naik lagi ke atas. Jika mereka mau bertengkar, silakan saja. Asal jangan di depanku."Senja, minta coklatnya."Itu suara Mbak Arin. Aku berhenti
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 7—-Aku baru saja menutup pintu mobil ketika sebuah tangan menarikku. Terkejut, ku dorong tubuh Jonas yang nyaris saja menempel."Kamu gi-la ya?!"Parkiran kantor masih sepi. Aku memang sengaja datang pagi-pagi karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum jam sepuluh. Tapi kemudian aku menyesal mendapati dirinya sudah menungguku disini.Jonas menatapku."Kenapa kamu blokir nomorku?""Bukan hanya blokir, tapi sudah ku-delete. Memangnya kenapa? Kita sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi, Jo. Plis, jangan bikin aku muak."Wajahnya berubah sekejap, tampak terluka oleh kata-kata yang baru saja kuucapkan."Apakah karena Biru?""Biru atau siapapun bukan urusanmu."Jonas mendesah, tapi tak mau beranjak hingga aku tak bisa pergi. Posisinya yang berdiri tepat didepanku sementara ada badan mobil di belakang, membuatku harus melewatinya jika ingin pergi."Senja, aku minta maaf."Terlambat. Bisikku dalam hati."Aku… aku menyesal. Marsya tidak sebaik dirimu. Ak
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 8—---"Hey… No… no… no… tak boleh!"Suara Evelyn meniru Meimei di serial Upin Ipin terdengar. Dia langsung menarikku menuju mobilnya."Enak aja main ajak-ajak sohib gue. Inget Jo, You udah punya istri yeee. Jangan bikin temen gue kayak pela-kor."Aku tak bisa menahan tawa mendengar suara Evelyn. Ih, lagian siapa juga yang mau. Aku lebih memilih naik taksi online dari pada harus semobil dengan Jonas. Selain alasan yang baru saja dikatakan Evelyn, aku juga tak mau merendahkan diriku sendiri dengan menerima ajakan seseorang yang jelas-jelas punya niat tak baik."Senja, nggak akan ada yang bilang kamu pelakor. Marsya-lah yang pelakor."Evelyn langsung meletakkan jari telunjuk nya dalam posisi miring di kening mendengar ucapan Jonas."Sejak married, dia kurang se-ons." Bisik Evelyn. Kami lalu menuju mobilnya yang berjarak dua mobil dariku. Tak lagi peduli pada Jonas yang mungkin masih memandangiku. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Aku berhenti dan berbalik men
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 9Dia seorang gadis cantik dan berwajah lembut, selaras dengan suaranya yang halus dan mengalun. Aku menemuinya siang hari di jam istirahat bersama Evelyn, yang ngotot harus ikut."Jangan pergi sendiri, Ja. Tahu nggak kamu kebanyakan psikopat itu tampangnya lembut dan terpelajar.""Ishh… kenapa jadi ngomongin psikopat? Dia itu cuma gadis lugu korbannya Jonas.""Tetap aja, kamu perlu saksi mata siapa tahu suatu saat dia membalikkan fakta."Aku pasrah. Aku dan Evelyn memang nyaris tak terpisahkan. Kami bersahabat sejak SMA. Orang tua Evelyn yang protektif terhadap anak gadisnya itu dengan mudah memberi izin bepergian jika bersama aku. Dulu biasanya Eve menggunakan namaku supaya bisa ketemu pacarnya. "Pergi sama Senja, Mami. Plis…"Padahal dia ketemu pacarnya. Masa-masa remaja kami memang sedikit nakal, tapi kami tetap tahu batasan. Sampai saat ini aku bisa menjamin Evelyn masih perawan.Dan kini, kami bertiga duduk lagi di warung bakso Pakde Suryo. Aku telah me
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 10"Berhenti!"Kedua lelaki itu menoleh serempak. Ada keterkejutan di raut wajah keduanya. Mereka tahu aku masih ada di kantor karena mobilku masih terparkir manis, tapi, sepertinya, tak menyangka bahwa aku akan datang dan memergoki kelakuan mereka yang seperti abege labil."Senja!" Jonas memburu ke arahku, tapi Biru diam saja dengan raut wajah bersalah."Berhenti, Jo! Dan kamu juga Bi. Dengar baik-baik. Mungkin kalian pikir aku bangga diperebutkan oleh dua lelaki. Kalian salah besar. Kalian membuatku seperti perempuan yang tak punya harga diri!""Bukan begitu maksudku, Senja! Aku…""Diam kamu, Jo. Aku serius kali ini. Kalau kamu masih juga menggangguku, aku akan melaporkan kamu ke polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Jadi sebaiknya mulai saat ini anggap saja kita nggak pernah saling kenal!"Tanpa menunggu reaksi keduanya, aku berlari masuk, naik ke atas dan segera membereskan pekerjaanku yang belum selesai. Aku akan membereskannya di rumah saja.
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 11PoV JONAS"Mas, ini kopinya."Aku tak menyahut, membiarkan Marsya meletakkan kopi hitam kesukaanku di atas meja. Mata dan tanganku masih fokus pada ponsel. Berkali-kali aku melihat chat WA, mengecek apakah Senja sudah membuka blokiran nomorku. Pesan terakhirku masih bisu, ceklis satu. Tak ada tanda-tanda dia akan membukanya. Sepertinya benar bahwa Senja sudah menghapus nomorku dari ponselnya. Story WA-nya yang dulu masih dapat kulihat, kini menghilang.Kenapa gadis itu bisa demikian menguasaiku? Padahal dulu, dia hampir saja jadi milikku.Marsya menarik kursi di sampingku, berniat hendak ikut sarapan. Tapi baru saja duduk, dia berdiri lagi dan berlari ke kamar mandi. Ujung lengannya menyenggol gelas kopiku hingga jatuh ke lantai.Prang!Gelas itu pecah dengan suara yang memekakkan telinga. Percikan cairan hitam menyiprat kemana-mana, sebagaian membasahi celana kerjaku."Marsya!"Aku tak mampu menahan emosi atas kecerobohannya. Tapi Marsya tak menyahut. Dia
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 12PoV SENJA"Senja, jangan lupa besok jadi ya ke Bukit Sakura!" Evelyn mengingatkan ketika kami keluar kantor di hari sabtu. Sebagai kantor swasta yang bahkan staff marketingnya saja masih suka bekerja di hari libur, kami tetap masuk di hari sabtu. Bedanya pekerjaan tidak sepadat hari lain dan yang jelas Pak Bos tak akan datang sehingga suasana kantor terasa lebih cair."Okey. Nanti aku WA lagi ya."Evelyn melambaikan tangan dan masuk ke mobil lebih dulu karena posisi mobilnya yang lebih dekat ke luar. Aku membalas lambaian tangannya dan akan membuka kunci mobil ketika suara yang sangat kukenal itu terdengar."Hati-hati di jalan, Senja."Aku menoleh dan mendapati Jonas berdiri di dekat pintu mobilnya sambil tersenyum. Aku menganggukkan kepala, lalu masuk ke dalam mobil dengan dada berdebar. Sejak pertengkaran dengan Biru waktu itu, kami tak lagi bertegur sapa. Ini adalah kali pertama dia menegurku lagi.Jonas. Dulu sekali aku pernah merasa amat mengenalnya.
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 13Seandainya aku punya sayap, aku pasti sudah terbang dan bersembunyi di balik awan, nggak bakalan turun-turun lagi selama masih ada tiga pasang mata yang memandangku sambil tersenyum. Oh, bukan tiga, tapi empat. Karena dari pintu belakang, seorang gadis remaja melompat keluar, terbelalak menatapku, dan kemudian tawanya berderai."Wow, keren! Calon istri Abang bisa manjat pohon."Astaga. Aku tersenyum malu padanya, sementara hatiku kacau balau. Aku harus turun, tapi juga tak mungkin membiarkan Biru melihatku."Senja, ayo turun! Loh?"Mama keluar lagi dari dalam rumah, sepertinya karena melihat aku tak juga masuk. Namun sepertiku, kejutan dari Biru ini juga membuat Mama terpana. Empat orang yang berdiri di halaman rumah, memandang seorang gadis di atas pohon. Huhuuu…"Maaf, Ma. Kami datang nggak kasih kabar. Ini Mami nggak sabar ketemu Mama dan Senja katanya."Biru menatap Mama dengan mata memohon. Mama sendiri memandangku, seolah berkata : kamu kok nggak kas