LEBIH BAIK KITA BERPISAH 59Sebuah kejutan yang sama sekali tak pernah kuduga. Kupikir tadinya, Tante Mala dan keluarganya telah membawa Erika pergi, seperti yang dia ucapkan setelah mendengar penolakan Jonas. Tapi kini, gadis itu berdiri di hadapanku, menatapku dengan pandangan benci, sementara aku, sekuat mungkin menahan sakit dari pergerakan bayi yang mulai mencari jalan keluar."Erika…"Bahkan, untuk berkata-kata pun sulit karena menahan sakit yang luar biasa. Perutku terasa diremas, dipelintir, seakan ada sesuatu yang besar berguling-guling di dalam sini, mendesak desak jalan lahir hingga bagian bawahku ikut terasa ngilu. Aku bertahan untuk tetap duduk, membiarkan air ketuban mengaliri kakiku, membasahi kasur dan sebagian jatuh ke lantai."Senja…"Dia berhenti sejenak, menatap wajahku yang meringis, tak bisa berpura-pura biasa saja dan menyembunyikan rasa sakit ini. Aku sendiri hanya diam sambil menatapnya, sementara hatiku terus berdoa agar Allah menjagaku. Ya, meski Biru ada di
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 60 (ENDING)Berita kelahiran baby G menjadi trending topic berhari-hari di keluarga besarku dan keluarga besar Biru. Bergantian, mereka datang menengok, membawakan aku dan Baby G hadiah yang bermacam-macam. Belum lagi aneka rupa snack dan camilan supaya aku banyak makan dan ASI ku lancar. "Mantap Senja. Jahitan aman?"Ulfa meledekku. Aku curhat padanya tentang jahitanku yang entah sebanyak apa, karena bayiku yang besar. Untung saja, posisi jongkok yang selaras dengan gravitasi bumi membuat bayi keluar dengan mudah."Aman. Cuma masih ngiluuuuuu. Hiksss. Kamu sih nggak ngerasain.""Isshh sama aja. Jahitan secar malah lebih parah sakitnya. Belum lagi suntik epidural. Uh, kalau bisa minta, aku mau bius total rasanya."Ulfa melahirkan secar beberapa bulan yang lalu."Bedanya, besok kamu harus hati-hati Ja kalo MP lagi." Ulfa mengedipkan sebelah mata."MP apaan?""Malam pertama setelah nifas. Bilang Biru jangan grasa grusu. Harus pelan-pelan, soalnya kayak perawan
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 1"Ini kelima kalinya kamu menolak. Aku sudah nggak punya lagi alasan untuk Mama."Lelaki di sampingku tak menoleh, sibuk melempar kerikil ke aliran sungai jernih yang merendam kaki kami. Gemerisik suara air dan anak-anak yang bermain di dalamnya timbul tenggelam di telinga. Aku menunggunya bicara."Bilang Mamamu, malam nanti aku lembur."Aku menoleh dengan gerakan tiba-tiba, menghentikan gerakan tangannya yang kesekian puluh, yang akan dia lakukan. Sesaat lamanya kami saling tatap sebelum masing-masing memalingkan wajah."Aku nggak mau terus berbohong. Kalau kamu memang nggak punya niat serius untuk hubungan kita, lebih baik kita berpisah."Waktu seakan membeku. Efek kata-kataku barusan tampak jelas diwajahnya. Hatiku perlahan berdebar. Lima tahun lamanya aku menunggu untuk sebuah kepastian darinya.Tapi kemudian, dia tersenyum. Tangannya terulur, merapikan ujung jilbabku yang melambai tertiup angin."Jangan ngambek sayang. Masa lima tahun kita pacaran dan k
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 2"Kamu serius mau datang?"Mata sipit Evelyn membola. Biasanya aku akan tertawa melihatnya. Bagaimana gadis keturunan Tionghoa yang baik hati ini berusaha melebarkan matanya yang sipit. Tapi hari ini, saat ini, aku lupa caranya tertawa."Tentu saja. Aku bukan perempuan cengeng yang akan menangis seharian karena ditinggal mantan menikah. Juga bukan pengecut yang bersembunyi dari undangan pernikahan sang mantan.""Cool!" Evelyn mengacungkan dua jempolnya.Jonas sudah pergi, terakhir kali kami saling tatap dengan senyum masing-masing. Senyum yang jelas berbeda makna. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan, tapi jelas aku tahu apa yang kupikirkan. Jika dia menikah hanya dalam jarak tiga minggu setelah putus dariku, itu artinya dia telah menjalin hubungan sebelum ini. Dia menduakan aku tanpa aku pernah tahu."Emangnya, kalian putus kenapa? Kok kamu nggak bilang aku?""Dia ngajak chek in.""Hah? Terus… terus?""Ev, kamu tahu aku kan? Mana mungkin aku mau. Jadi, aku mem
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 3"Selamat. Aku berdoa untuk kebahagiaan kalian."Ada senyum yang sedikit canggung terlukis di bibir Jonas. Tanpa mampu kucegah, senyumnya menyeretku pada masa-masa saat kami masih bersama. Meski tanpa kontak fisik, bukankan kita pernah saling cinta? Semua perhatian dan komitmen yang pernah kita ucapkan rupanya bisa dengan mudah menguap begitu saja."Terima kasih."Suara gadis itu, Marsya namanya, lembut sekali. Aku membalas senyumnya dan mengulurkan tangan. Ku kumpulkan semua konsentrasi agar bisa tiba di bawah dengan selamat. Tidak Senja, kamu bukan gadis seperti itu. Ditinggal menikah oleh buaya darat seperti Jonas harusnya merupakan suatu keuntungan.Di antara para tamu, ada rekan-rekan kantor kami yang sedang menikmati hidangan. Mereka melambai ketika aku lewat. Ah, entah hanya perasaanku saja, semua mata seperti sedang menatapku dengan iba."Kamu sendirian Senja?"Aku tersenyum, menatap Mbak Arin dari front office yang datang bersama suaminya. Mereka pen
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 4Allah, aku pernah salah dalam melangkah, membiarkan virus merah jambu itu menyerang dan melumpuhkan diriku terlalu lama, terlalu dalam. Padahal aku tahu bahwa itu dosa. Maka, aku ikhlas menerima peringatan dari-Mu berupa rasa sakit ini. Tapi, jika aku masih boleh meminta, izinkan aku bertemu pengganti dia. Seseorang yang benar-benar baik dan mau menjagaku seperti keinginan Mama. Seseorang yang mau menjaga diri dan kehormatannya sendiri hingga waktunya tiba dan halal bagi kami untuk bersentuhan."Senja, aku mencintaimu. Aku sudah membuktikan berkali-kali kalau aku mencintaimu kan? Tapi aku masih ragu kalau kau punya perasaan yang sama."Aku menatapnya dengan heran."Kenapa begitu? Apa sekian lama kita bersama itu tak cukup?""Senja, kamu terlalu kolot. Berci-uman dan berpelukan saja tak boleh. Itu sudah biasa zaman sekarang ini. Semua pasangan kekasih melakukannya. Itu adalah bukti cinta."Wajahku memanas mendengar kosakata ci-um dan Peluk."Kalau begitu kau
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 5"Senjaaaaa!"Suara Evelyn sudah terdengar padahal orangnya masih di lantai bawah. "Senja!""Apa?"Aku melongok dari tangga paling atas, melihat sahabatku naik dengan susah payah. Terkilir beneran rupanya dia. Aku turun dan segera membantunya naik."Kenapa masuk? Harusnya kamu izin dulu.""Aku takut kamu sendirian di kantor, sedih dan nangis lagi."Aku tertawa, "Nggak lagi. Nangisnya udah cukup. Mulai hari ini aku janji nggak akan nangis lagi karena dia.""Cool!" Evelyn memelukku. Dia memang se ekspresif itu. Kubantu dia duduk di kursinya."Ini nggak diurut Ev? Kenapa memangnya bisa keseleo?""Udah kemarin sama Bibik. Aku nyoba pake heels, Ja. Ya masa aku kondangan pake sepatu kets."Evelyn nyengir. Gadis berkulit putih dan bermata sipit ini memang mungil. Tingginya hanya sebahuku. Tapi dia cantik sekali, bak boneka dari China.Aku tertawa kecil."Padahal kamu pake apa aja juga cantik Ev."Giliran dia yang tersenyum."Maaf ya kemarin aku nggak jadi nemenin
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 6"Bi, aku terima ya coklatnya. Makasih banyak. Aku anggap ini sebagai tanda pertemanan kita."Senyum Biru mengembang. Dan seperti kemarin, senyum itu lebih dulu terbit di matanya. Dia seorang lelaki berkulit bersih, berambut ikal berwarna hitam pekat. Tingginya sekitar sepuluh senti di atasku. Dan yang paling menarik dari semua itu adalah, bagaimana senyumnya seperti magnet, menarik orang di sekitarnya untuk ikut tersenyum.Kami saling tatap sejenak dengan senyum di bibir masing-masing, mengabaikan dia yang namanya tak ingin kusebut, yang kini menatap kami dengan wajah muram."Makasih juga, Senja. Semoga harimu menyenangkan setelah terbebas dari lubang buaya."Hahaha… aku tertawa dalam hati, berani sekali dia bilang seperti itu sementara buayanya masih ada disini. Setelah melambaikan tangan padanya, aku berbalik dan naik lagi ke atas. Jika mereka mau bertengkar, silakan saja. Asal jangan di depanku."Senja, minta coklatnya."Itu suara Mbak Arin. Aku berhenti