LEBIH BAIK KITA BERPISAH 2
"Kamu serius mau datang?"Mata sipit Evelyn membola. Biasanya aku akan tertawa melihatnya. Bagaimana gadis keturunan Tionghoa yang baik hati ini berusaha melebarkan matanya yang sipit. Tapi hari ini, saat ini, aku lupa caranya tertawa."Tentu saja. Aku bukan perempuan cengeng yang akan menangis seharian karena ditinggal mantan menikah. Juga bukan pengecut yang bersembunyi dari undangan pernikahan sang mantan.""Cool!" Evelyn mengacungkan dua jempolnya.Jonas sudah pergi, terakhir kali kami saling tatap dengan senyum masing-masing. Senyum yang jelas berbeda makna. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan, tapi jelas aku tahu apa yang kupikirkan. Jika dia menikah hanya dalam jarak tiga minggu setelah putus dariku, itu artinya dia telah menjalin hubungan sebelum ini. Dia menduakan aku tanpa aku pernah tahu."Emangnya, kalian putus kenapa? Kok kamu nggak bilang aku?""Dia ngajak chek in.""Hah? Terus… terus?""Ev, kamu tahu aku kan? Mana mungkin aku mau. Jadi, aku memutuskan kami lebih baik berpisah saja.""Dan tahu-tahu dia mau married. Cowok br*ngsek! Buaya darat!" Eve memaki sambil memukul-mukul meja. Untung saja ini jam istirahat sehingga ruangan kami sepi"Jadi selama ini, dia menduakan aku. Atau mungkin dijodohkan?""Heleh. Cowok macam gitu dijodohkan. Meskipun iya, harusnya kan dia ada bilang sama kamu. Lima tahun loh kamu sama dia. Kalo kredit mobil udah lunas tuh."Kali ini aku yang melotot. Evelyn tertawa terbahak-bahak, membuatku sedikit lupa pada kesedihan yang baru saja kurasakan. Tawanya menular, apalagi saat melihat bagaimana matanya yang sipit itu kini hanya menciptakan satu garis lurus."Sudahlah. Ayo kita ngebakso. Nggak penting juga cowok macam gitu. Gue sumpahin istrinya nggak lebih cantik dari sohib gue ini."Sumpah yang aneh. Tapi dia betul-betul bisa membuatku tertawa. Kami lalu berjalan beriringan keluar kantor. Masih ada empat puluh lima menit lagi sebelum kami harus kembali bergelut dengan pekerjaan.Di seberang kantor, ada warung bakso yang cukup besar, yang selalu jadi andalan kami kalau lagi malas makan nasi. Biasanya, kalau tidak bersama Evelyn, aku makan dengan Jonas. Tapi sejak hari ini tak ada lagi dia. Aku akan segera melupakan bahwa lelaki itu pernah hadir dalam hidupku."Pakde, bakso dua ya. Kayak biasa."Pakde Suryo mengacungkan dua jempolnya. Beliau telah mengenal kami dengan baik."Kok tumben berdua? Pacarnya yang ganteng itu kemana?""Ah, ganteng dari mana sih Pakde? Salah lihat kali. Dan dia juga bukan pacar teman saya ini kok."Evelyn sepertinya dendam sekali dengan Jonas. Pakde Suryo tertawa, lalu menunjuk arah pintu masuk."Eh, baru aja diomongin, orangnya nongol. Panjang umur dia."Kami serempak menoleh. Tak dapat ku pungkiri betapa jantungku berdetak keras saat ini melihat pemandangan yang menyakitkan itu. Jonas masuk dari arah depan, menggandeng seorang gadis berambut panjang. Mereka tampaknya tak melihat kami. Seperti kata orang, jika kita sedang jatuh cinta, terasa dunia milik berdua."Oh yang itu pacarnya ya. Hemm… cantikkan Mbak Senja padahal loh."Pakde Suryo berkomentar lagi. Lalu beliau pamit kembali ke belakang. Aku menekuri lagi mangkok bakso ku, yang tiba-tiba saja rasanya menjadi hambar."Cuekin aja. Anggap aja nggak liat. Eh anggap aja liat buaya. Geli ih." Evelyn terus bicara sambil menyuap baksonya.Aku mengikuti tingkahnya, makan dengan cepat. Bersyukur bahwa posisi duduk ku membelakanginya. Yang kusesali adalah, bahwa rasa bakso ini tiba-tiba saja berubah."Hey, kalian makan disini juga?"Aku menelan ludah. Kenapa dia harus melihat dan menyapaku? Tapi aku mengangkat kepala juga. Tak akan kubiarkan dia tahu bahwa hatiku di dalam sini rasanya tercabik-cabik."Iya. Emang kenapa? Nggak ada yang ngelarang kan?"Yang menjawab adalah Evelyn. Sementara aku hanya tersenyum, memandang gadis yang menggelayut manja di lengannya."Maaf ya, teman saya lagi PMS. Calon istrinya Jonas?"Gadis itu mengangguk. Sementara Evelyn melanjutkan makan dengan cuek."Kata Mas Jo, kalian teman kantornya. Sudah dapat undangan Mbak? Datang ya."Dia tersenyum manis. Aku mengangguk dengan pasti. "InsyaAllah, saya pasti datang."Mereka lalu pergi lebih dulu, rupanya hanya minum es campur saja. Aku tersenyum miris. Jadi gadis seperti itulah yang dia inginkan. Yang tanpa malu menggelayut mesra di lengannya meski belum terikat pernikahan, dan di hadapan banyak mata yang memandang. Sungguh, aku tak menyesali keputusanku bertahan pada harga diri dan kehormatan. Satu-satunya kehormatan yang kupunya.***"Pacar kamu nggak jadi datang, Ja?"Aku menelan ludah, menghentikan sejenak kegiatan mencuci piring."Senja sudah putus Ma." Jawabku pelan."Eh, kenapa?""Emm… dia mau nikah minggu depan. Sama orang lain."Mengatakan hal itu, ternyata masih menimbulkan nyeri. Padahal seminggu lagi telah berlalu. Aku tak pernah menghitung hari sebelumnya. Seakan-akan, tengah menanti sesuatu yang amat penting."Loh, kalau baru putus tahu-tahu sudah mau nikah, berarti dia kemarin punya pacar lain selain kamu dong? Apa dijodohin?""Nggak tahu, Ma. Aku nggak tanya."Mama meraih piring terakhir yang sudah ku cuci dan meletakkannya di keranjang."Ya sudah, nggak perlu diingat ingat lagi. Berarti dia bukan jodoh kamu."Apa kira-kira komentar Mama kalau tahu penyebab kami putus?"Tapi Mama do'ain kamu segera dapat jodoh ya, Nak. Mama sudah tua. Mama ingin sebelum Mama pergi, kamu sudah ada yang menjaga.""Mama…"Aku memeluk Mama, merasa sedih mendengar kata-katanya. Sejak kepergian Papa dua tahun yang lalu, Mama jadi sering bicara tentang kematian. Mereka berdua adalah contoh nyata bagaimana cinta sejati itu sebenarnya memang ada.***Dan disinilah aku sekarang, berdiri di depan gedung tempat resepsi pernikahan Jonas diadakan. Sendirian. Seharusnya aku datang bersama Evelyn, tapi tiba-tiba saja dia menelepon bahwa kakinya terkilir dan tak jadi datang. Aku tak mungkin mengurungkan niat. Ku langkahkan kaki dengan pasti. Di dalam nanti, tentu aku akan bertemu dengan orang-orang kantor, mereka yang tahu hubungan kami selama ini. Seperti dua minggu sebelumnya, aku akan menebalkan telinga dari segala cemooh maupun tatapan iba.Selamat Jonas. Apapun yang pernah terjadi di antara kita, aku tak pernah menyesali lima tahun kebersamaan kita. Kamu adalah sebuah pelajaran berharga bagiku."Kalau mau nangis, nangis aja."Deg.Aku menoleh ke samping, ke arah sumber suara. Seorang lelaki dengan batik khas seragam keluarga mempelai berdiri di sampingku, ikut memandang pengantin yang sedang berbahagia."Memangnya kenapa aku harus nangis?""Kamu mantan pacar Jonas kan? Aku pernah lihat kamu jalan sama dia."Aku melengos. Lalu melangkah menuju tiga anak tangga yang tersusun rapi menuju panggung tempat pengantin duduk."Hey, Senja! Itu namamu kan? Kenalkan, namaku Biru. Dirgantara Langit Biru."Nama yang unik.Aku hanya mengangguk, lalu naik ke atas panggung yang kebetulan tengah sepi. Langkahku satu-satu, menghampiri mereka berdua. Jonas dan wanita itu langsung berdiri saat melihatku mendekat. Sesaat, kami saling pandang, sebelum akhirnya senyum tersungging di bibirku."Selamat. Semoga kalian bahagia."***LEBIH BAIK KITA BERPISAH 3"Selamat. Aku berdoa untuk kebahagiaan kalian."Ada senyum yang sedikit canggung terlukis di bibir Jonas. Tanpa mampu kucegah, senyumnya menyeretku pada masa-masa saat kami masih bersama. Meski tanpa kontak fisik, bukankan kita pernah saling cinta? Semua perhatian dan komitmen yang pernah kita ucapkan rupanya bisa dengan mudah menguap begitu saja."Terima kasih."Suara gadis itu, Marsya namanya, lembut sekali. Aku membalas senyumnya dan mengulurkan tangan. Ku kumpulkan semua konsentrasi agar bisa tiba di bawah dengan selamat. Tidak Senja, kamu bukan gadis seperti itu. Ditinggal menikah oleh buaya darat seperti Jonas harusnya merupakan suatu keuntungan.Di antara para tamu, ada rekan-rekan kantor kami yang sedang menikmati hidangan. Mereka melambai ketika aku lewat. Ah, entah hanya perasaanku saja, semua mata seperti sedang menatapku dengan iba."Kamu sendirian Senja?"Aku tersenyum, menatap Mbak Arin dari front office yang datang bersama suaminya. Mereka pen
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 4Allah, aku pernah salah dalam melangkah, membiarkan virus merah jambu itu menyerang dan melumpuhkan diriku terlalu lama, terlalu dalam. Padahal aku tahu bahwa itu dosa. Maka, aku ikhlas menerima peringatan dari-Mu berupa rasa sakit ini. Tapi, jika aku masih boleh meminta, izinkan aku bertemu pengganti dia. Seseorang yang benar-benar baik dan mau menjagaku seperti keinginan Mama. Seseorang yang mau menjaga diri dan kehormatannya sendiri hingga waktunya tiba dan halal bagi kami untuk bersentuhan."Senja, aku mencintaimu. Aku sudah membuktikan berkali-kali kalau aku mencintaimu kan? Tapi aku masih ragu kalau kau punya perasaan yang sama."Aku menatapnya dengan heran."Kenapa begitu? Apa sekian lama kita bersama itu tak cukup?""Senja, kamu terlalu kolot. Berci-uman dan berpelukan saja tak boleh. Itu sudah biasa zaman sekarang ini. Semua pasangan kekasih melakukannya. Itu adalah bukti cinta."Wajahku memanas mendengar kosakata ci-um dan Peluk."Kalau begitu kau
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 5"Senjaaaaa!"Suara Evelyn sudah terdengar padahal orangnya masih di lantai bawah. "Senja!""Apa?"Aku melongok dari tangga paling atas, melihat sahabatku naik dengan susah payah. Terkilir beneran rupanya dia. Aku turun dan segera membantunya naik."Kenapa masuk? Harusnya kamu izin dulu.""Aku takut kamu sendirian di kantor, sedih dan nangis lagi."Aku tertawa, "Nggak lagi. Nangisnya udah cukup. Mulai hari ini aku janji nggak akan nangis lagi karena dia.""Cool!" Evelyn memelukku. Dia memang se ekspresif itu. Kubantu dia duduk di kursinya."Ini nggak diurut Ev? Kenapa memangnya bisa keseleo?""Udah kemarin sama Bibik. Aku nyoba pake heels, Ja. Ya masa aku kondangan pake sepatu kets."Evelyn nyengir. Gadis berkulit putih dan bermata sipit ini memang mungil. Tingginya hanya sebahuku. Tapi dia cantik sekali, bak boneka dari China.Aku tertawa kecil."Padahal kamu pake apa aja juga cantik Ev."Giliran dia yang tersenyum."Maaf ya kemarin aku nggak jadi nemenin
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 6"Bi, aku terima ya coklatnya. Makasih banyak. Aku anggap ini sebagai tanda pertemanan kita."Senyum Biru mengembang. Dan seperti kemarin, senyum itu lebih dulu terbit di matanya. Dia seorang lelaki berkulit bersih, berambut ikal berwarna hitam pekat. Tingginya sekitar sepuluh senti di atasku. Dan yang paling menarik dari semua itu adalah, bagaimana senyumnya seperti magnet, menarik orang di sekitarnya untuk ikut tersenyum.Kami saling tatap sejenak dengan senyum di bibir masing-masing, mengabaikan dia yang namanya tak ingin kusebut, yang kini menatap kami dengan wajah muram."Makasih juga, Senja. Semoga harimu menyenangkan setelah terbebas dari lubang buaya."Hahaha… aku tertawa dalam hati, berani sekali dia bilang seperti itu sementara buayanya masih ada disini. Setelah melambaikan tangan padanya, aku berbalik dan naik lagi ke atas. Jika mereka mau bertengkar, silakan saja. Asal jangan di depanku."Senja, minta coklatnya."Itu suara Mbak Arin. Aku berhenti
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 7—-Aku baru saja menutup pintu mobil ketika sebuah tangan menarikku. Terkejut, ku dorong tubuh Jonas yang nyaris saja menempel."Kamu gi-la ya?!"Parkiran kantor masih sepi. Aku memang sengaja datang pagi-pagi karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum jam sepuluh. Tapi kemudian aku menyesal mendapati dirinya sudah menungguku disini.Jonas menatapku."Kenapa kamu blokir nomorku?""Bukan hanya blokir, tapi sudah ku-delete. Memangnya kenapa? Kita sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi, Jo. Plis, jangan bikin aku muak."Wajahnya berubah sekejap, tampak terluka oleh kata-kata yang baru saja kuucapkan."Apakah karena Biru?""Biru atau siapapun bukan urusanmu."Jonas mendesah, tapi tak mau beranjak hingga aku tak bisa pergi. Posisinya yang berdiri tepat didepanku sementara ada badan mobil di belakang, membuatku harus melewatinya jika ingin pergi."Senja, aku minta maaf."Terlambat. Bisikku dalam hati."Aku… aku menyesal. Marsya tidak sebaik dirimu. Ak
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 8—---"Hey… No… no… no… tak boleh!"Suara Evelyn meniru Meimei di serial Upin Ipin terdengar. Dia langsung menarikku menuju mobilnya."Enak aja main ajak-ajak sohib gue. Inget Jo, You udah punya istri yeee. Jangan bikin temen gue kayak pela-kor."Aku tak bisa menahan tawa mendengar suara Evelyn. Ih, lagian siapa juga yang mau. Aku lebih memilih naik taksi online dari pada harus semobil dengan Jonas. Selain alasan yang baru saja dikatakan Evelyn, aku juga tak mau merendahkan diriku sendiri dengan menerima ajakan seseorang yang jelas-jelas punya niat tak baik."Senja, nggak akan ada yang bilang kamu pelakor. Marsya-lah yang pelakor."Evelyn langsung meletakkan jari telunjuk nya dalam posisi miring di kening mendengar ucapan Jonas."Sejak married, dia kurang se-ons." Bisik Evelyn. Kami lalu menuju mobilnya yang berjarak dua mobil dariku. Tak lagi peduli pada Jonas yang mungkin masih memandangiku. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Aku berhenti dan berbalik men
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 9Dia seorang gadis cantik dan berwajah lembut, selaras dengan suaranya yang halus dan mengalun. Aku menemuinya siang hari di jam istirahat bersama Evelyn, yang ngotot harus ikut."Jangan pergi sendiri, Ja. Tahu nggak kamu kebanyakan psikopat itu tampangnya lembut dan terpelajar.""Ishh… kenapa jadi ngomongin psikopat? Dia itu cuma gadis lugu korbannya Jonas.""Tetap aja, kamu perlu saksi mata siapa tahu suatu saat dia membalikkan fakta."Aku pasrah. Aku dan Evelyn memang nyaris tak terpisahkan. Kami bersahabat sejak SMA. Orang tua Evelyn yang protektif terhadap anak gadisnya itu dengan mudah memberi izin bepergian jika bersama aku. Dulu biasanya Eve menggunakan namaku supaya bisa ketemu pacarnya. "Pergi sama Senja, Mami. Plis…"Padahal dia ketemu pacarnya. Masa-masa remaja kami memang sedikit nakal, tapi kami tetap tahu batasan. Sampai saat ini aku bisa menjamin Evelyn masih perawan.Dan kini, kami bertiga duduk lagi di warung bakso Pakde Suryo. Aku telah me
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 10"Berhenti!"Kedua lelaki itu menoleh serempak. Ada keterkejutan di raut wajah keduanya. Mereka tahu aku masih ada di kantor karena mobilku masih terparkir manis, tapi, sepertinya, tak menyangka bahwa aku akan datang dan memergoki kelakuan mereka yang seperti abege labil."Senja!" Jonas memburu ke arahku, tapi Biru diam saja dengan raut wajah bersalah."Berhenti, Jo! Dan kamu juga Bi. Dengar baik-baik. Mungkin kalian pikir aku bangga diperebutkan oleh dua lelaki. Kalian salah besar. Kalian membuatku seperti perempuan yang tak punya harga diri!""Bukan begitu maksudku, Senja! Aku…""Diam kamu, Jo. Aku serius kali ini. Kalau kamu masih juga menggangguku, aku akan melaporkan kamu ke polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Jadi sebaiknya mulai saat ini anggap saja kita nggak pernah saling kenal!"Tanpa menunggu reaksi keduanya, aku berlari masuk, naik ke atas dan segera membereskan pekerjaanku yang belum selesai. Aku akan membereskannya di rumah saja.