LEBIH BAIK KITA BERPISAH 30PoV SENJASatu Minggu Kemudian"Cieee, manten baruuuuu!"Suara Mbak Arin langsung menyambut, padahal aku belum lagi turun dari mobil. Biru tertawa, mengusap kepalaku sejenak."Jangan capek-capek. Semalam kamu udah kecapekan di jalan.""Iya. Aku yakin deh Eve sudah banyak bantuin tugasku. Aku tinggal menambal yang dia nggak tahu.""Yuk, aku antar. Itu oleh-oleh di bagasi kayaknya nggak bakalan kebawa sama kamu sendiri."Aku meringis. Bulan madu kami di puncak telah berakhir, meski rasanya aku belum rela. Tapi bukankah setiap hari bersamanya adalah bulan madu? Aku dan Biru sepakat menunda kehamilan dengan cara alami tanpa alat kontrasepsi, agar kami bisa menikmati masa pacaran yang belum pernah kami rasakan. Setiap hari disana, kami berjalan-jalan, mencari bunga untuk Mama dan Mami, juga bibit sayuran, tak lupa oleh-oleh berupa makanan khas, hingga tak terasa mobil nyaris penuh sesak. Biru menurunkan kantong-kantong kertas yang masing-masing sudah kuberi nama
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 31Rumah Jonas kudatangi untuk pertama kalinya. Sebuah rumah yang hangat, dengan kandang-kandang burung pelihara bergantung di sisi kiri rumah. Halamannya tidak terlalu luas, hanya cukup menampung dua buah mobil saja, tanpa pohon-pohon dan bunga. Hanya sebatang palem di pojokan yang menjulang tinggi."Papanya Jonas suka memelihara burung. Katanya, kicauan burung membuatnya hidup.".Tante Ivanka membuka sejenak tutup wajah Om Robi yang pucat, lalu menutupnya lagi. Jenazah dibaringkan di ruang tamu, dimana satu persatu tetangga dan kerabat yang datang, duduk sejenak. Mereka membuka penutup wajah, memanjatkan doa, lalu memeluk sang istri yang berduka. Mama baru akan datang menjelang sahur, sambil menbawakan kami makanan. Sementara Mami mertuaku, sudah lebih dulu datang bersama Papi dan Vio. Kami duduk di pojok rumah, menghadapi jenazah dan mulai membaca alquran, menunggu petugas pemulasaraan jenazah datang karena tengah malam baru saja lewat.Jam empat pagi, Mama
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 32"Tanpa Jonas dan Biru, nggak apa-apa kan?" ulang Marsya.Aku memandanginya sebentar, sementara di belakang Marsya, Mbak Arin menggeleng padaku. Jangan, bisiknya tanpa suara."Nggak apa-apa. Tapi tetap saja, aku harus minta izin Biru dulu."Marsya mencebik, "Harus ya? Apa kamu curiga sama aku?"Aku menggeleng dan tersenyum padanya."Curiga kenapa? Kamu kan istrinya sepupu suamiku, kamu keluargaku juga. Tapi, sebagai istri yang baik, aku nggak bisa pergi tanpa izin suamiku. Dan sebaiknya, kamu juga bilang dulu sama Jonas.""Hemm… gitu ya? Oke deh." Marsya akhirnya tersenyum. Aku mengeluarkan ponsel dan menjauh sedikit darinya. Ku hubungi Biru. Agak lama barulah teleponku diangkatnya. Dia pasti sedang dijalan dan menepi sejenak untuk mengangkat telepon dariku."Ya, Sayang?"Aku menceritakan dengan cepat ajakan Marsya. Biru diam sejenak."Ya, tak apa-apa. Tapi share lock kalau sudah sampai. Aku dan Jonas akan menyusul.""Tapi Mama akan buka puasa sendirian.""
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 33PoV MARSYAAku tertegun mendengar kata-kata Mami. Sebenarnya, apa yang diinginkan olehnya? Dulu, aku memang memaksa Mami menekan Jonas agar mau menikahiku. Tapi itu karena aku memang sungguh-sungguh mencintainya. Meski kemudian, Jonas terus membuatku kecewa, aku masih tetap mencintainya. Tak sedikitpun aku ingin berpisah, apalagi kini, bayi di dalam perutku semakin tumbuh besar. Apalagi setelah Jonas berubah, cintaku padanya kian besar. Setiap malam, Jonas akan meletakkan pipinya di perutku, merasakan gerakan dan tendangan anak kami. Bagaimana mungkin Mami minta aku membuang moment berharga itu?"Tidak.""Tidak? Astaga Marsya, ternyata kau masih sebucin itu. Memangnya apa yang telah diberian Jonas padamu? Tanpa fasilitas dari Mami, kalian lebih mirip gembel. Orang Mami saja sampai malu membawa mobilmu kesini.""Itu mobil Jonas, karena Mami merampas mobilku."Mami tertawa mengejek."Memangnya siapa yang beli mobil itu? Bukan kau atau suamimu kan?"Aku terdia
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 34"Tidaaakkk!"Ya Tuhan. Jonas sepertinya tak siap, dan Arshad memukulnya keras sekali. Mami benar-benar tak punya hati.Bugh!Jonas belum bangkit dari posisinya yang terjatuh di halaman ketika tinju kiri Arshad menghantam rahang kirinya."Berhenti! Jangan pukuli suamiku! Berhenti Mami, aku akan membalasmu Arshad!"Aku menjerit histeris, sambil memegangi perut yang terasa kecang.Ceklek!"Marsya!"Seseorang menangkap tubuhku yang lemah karena terus menjerit dan menggedor jendela kaca setebal dua belas milimeter itu hingga tanganku merah. Sepintas aku dapat melihat kalau itu Clay."Marsya, tenanglah.""Abang, tolong aku. Tolong hentikan Arshad. Dia memukuli suamiku.""Arshad hanya menjalankan perintah Papi dan Mami.""Kalau begitu hentikan mereka! Bagaimana bisa mereka sekejam itu? Dia suamiku, Abang. Ayah dari anak yang ada dalam perutku."Aku telah dibaringkan Clay ke atas kasur. Dadaku berdebar kencang dengan napas sedikit tersengal. Aku tahu, jika aku mema
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 35I love you.I love you katanya. Tapi kenapa aku merasa berat membalas kata cintanya itu? Bukankah selama ini aku amat mencintainya, sehingga dengan segala cara merebut Jonas dari Senja? Ada apa denganku?"Jo, aku nggak mau pulang ke rumah Senja.""Eh, kenapa?" Jonas menatapku. Mobil Biru sudah tak terlihat, sementara di kejauhan, rumah Mami masih tampak terang benderang."Nggak apa-apa. Ayo kita pulang ke rumahmu saja."Jonas diam sejenak. "Oke. Aku kirim WA dulu sama Biru ya."Jonas meraih ponsel dan mengetik pesan dengan cepat. Lalu ada pesan balasan masuk. "Oke. Nggak apa-apa kata Biru."Biru. Oh, tolonglah jangan membuat aku terus mendengar namanya, apalagi melihatnya. Cukup sudah aku terpesona oleh aksinya menghajar Arshad tadi. Dia suami Senja. Seluruh dunia akan mengutukku kalau aku jatuh cinta padanya.Jonas mulai memutar kunci mobil dan kendaraan itu bergerak perlahan. Aku duduk bersandar sambil memejamkan mata. Sebelah tanganku mengusap perut. An
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 36"Marsya itu aneh deh, Bi. Tiba-tiba datang, ngomong aneh-aneh, terus pergi tanpa pamit lagi."Aku bercerita sambil memberikan sarung dan peci pada Biru. Ini malam takbiran pertamaku bersamanya. Dia barusan minta izin akan ikut takbiran di masjid komplek, katanya sekalian mengakrabkan diri dengan para tetangga setelah sekian bulan sibuk bekerja."Jonas pernah bilang, dia seharusnya masih dibawah pengawasan psikiater, tapi karena dibawa Biru ke Lambar kemarin, pengobatannya berhenti. Jonas pikir, dia sudah membaik setelah mereka tinggal disana.""Oh, betul. Aku pikir dia memang punya masalah kejiwaan, Bi. Soalnya, sikapnya bisa berubah dengan cepat."Biru mengangguk, memakai pecinya. "Kasihan Jonas."Aku memandang wajah suamiku yang semakin tampan dengan peci itu. Senyum yang terbit dari matanya, lalu turun ke bibir, tak pernah berubah sejak pertama kali aku melihatnya waktu itu. Senyum yang membuatku jatuh cinta."Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Jonas
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 37Aku membalas senyum Marsya. Ya, aku tak boleh menunjukkan bahwa aku takut melihat senyumnya itu. Sebelum dia mendatangi mejaku, aku berdiri dan keluar dari Mixie, setelah pamit sebentar pada Evelyn. "Hai, Marsya. Sudah lama nggak ketemu."Dia tersenyum manis. Wajahnya yang mungil dan innocent itu berbinar melihatku. Menatap senyumnya itu, pastilah tak ada yang menyangka bahwa gadis ini sanggup melakukan perbuatan keji. Satu-satunya yang membuat dia lemah adalah, bahwa dia sedang hamil besar. "Ya. Aku minta maaf karena pergi begitu saja waktu itu. Banyak sekali yang kupikirkan.""Aku ngerti kok. Oh ya, itu Mama kamu kan?" Aku menunjuk wanita berpenampilan modis tadi. Dia sedang berada di dalam butik dan tampak mengobrol dengan seseorang.Marsya mengangguk."Iya. Mirip nggak sama aku?""Mirip. Sama-sama cantik.""Semua keluarga kami memang cantik. Ada darah belanda keturunan Mami.""Wow, pantesan."Tiba-tiba saja wajahnya langsung berubah mendung. Dia mengu