LEBIH BAIK KITA BERPISAH 37Aku membalas senyum Marsya. Ya, aku tak boleh menunjukkan bahwa aku takut melihat senyumnya itu. Sebelum dia mendatangi mejaku, aku berdiri dan keluar dari Mixie, setelah pamit sebentar pada Evelyn. "Hai, Marsya. Sudah lama nggak ketemu."Dia tersenyum manis. Wajahnya yang mungil dan innocent itu berbinar melihatku. Menatap senyumnya itu, pastilah tak ada yang menyangka bahwa gadis ini sanggup melakukan perbuatan keji. Satu-satunya yang membuat dia lemah adalah, bahwa dia sedang hamil besar. "Ya. Aku minta maaf karena pergi begitu saja waktu itu. Banyak sekali yang kupikirkan.""Aku ngerti kok. Oh ya, itu Mama kamu kan?" Aku menunjuk wanita berpenampilan modis tadi. Dia sedang berada di dalam butik dan tampak mengobrol dengan seseorang.Marsya mengangguk."Iya. Mirip nggak sama aku?""Mirip. Sama-sama cantik.""Semua keluarga kami memang cantik. Ada darah belanda keturunan Mami.""Wow, pantesan."Tiba-tiba saja wajahnya langsung berubah mendung. Dia mengu
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 38Di ruang tunggu, kubiarkan Jonas terus memegang tanganku. Setidaknya, tak ada mata yang memandangku dengan aneh karena periksa kehamilan tanpa suami."Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok?"Aku tertegun mendengar suara Jonas. Anak dan istri. Kenapa terdengar indah sekali kata-kata itu?"Saya mau sesar secepatnya, Dok," potongku cepat."Sya…" Jonas memegang tanganku. "Kita coba normal dulu ya. Kita…""Apa sih?!" Aku menyentak tangannya dengan keras. Aku tak bisa membiarkan perasaan melankolis karena pernah mencintainya, menguasaiku. Aku tak bisa lemah. Aku menginginkan Biru, dan Mami akan lebih menyukai Biru daripada Jonas."Kamu takut nggak bisa bayar? Tenang aja, Mami aku yang akan bayar." Jonas tampak menelan ludah. Aku berpaling pada dokter kandungan yang terdiam melihat perdebatan kami."Pokoknya jadwalkan operasi sesar saya secepatnya, dengan metode terbaru yang nggak pake sakit, dan sembuhnya cepat."Aku berdiri dan langsung melangkah keluar. Ku
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 39Sepanjang jalan, Biru menggenggam tanganku. Marsya memang meminta Biru menemuinya sendirian, tapi Biru memutuskan, apapun yang akan dia katakan, aku harus tahu. Biru tak mau mempertaruhkan rumah tangga kami dengan kecurigaanku.(Hanya aku, Biru. Aku janji, tak ada urusannya dengan orang tuaku) tulis Marsya di pesan singkatnya semalam.(Besok, aku akan keluar dari rumah sakit dan menjadi perempuan bebas. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu. Ini penting.)Heh. Entah apa yang penting. Tak tahukah dia kalau suamiku tak mau bertemu perempuan lain, apalagi berduaan saja meski di kamar rawat rumah sakit? Emosiku sebenarnya sudah naik ke ubun-ubun sejak kemarin, saat dia minta bertemu dengan Biru. Rupanya Marsya serius dengan niatnya, merebut Biru dariku. Sungguh, kali ini aku tak akan diam saja. Dia salah kalau menyangka aku ini perempuan lemah.Kemarin, akhirnya diputuskan, bayi itu dirawat di rumah Mami sambil menunggu Jonas dapat babysitter. Itu karena ad
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 40POV JONASAku menatap jenazah Mama yang telah ditutupi kain putih dengan hati nelangsa. Belum habis rasa bersalahku pada Papa, yang meninggal dunia beberapa bulan lalu, kini, Mama juga pergi membawa kesedihan mendalam dihatinya. Sebagai anak Satu-satunya, tak ada yang kulakukan untuk mereka berdua, selain memberi rasa malu. Sungguh, aku benar-benar anak durhaka, yang hanya bisa melempar kotoran ke wajah orang yang tulus menyayangiku, tanpa pernah sekalipun membuat mereka bangga."Jadi, Senja itu pernah pacaran dengan kamu, Jonas?"Masih kuingat pertanyaan Mama kala itu, saat beliau akhirnya tahu. Saat itu, aku telah menikah dengan Marsya."Iya, Ma.""Lalu, kenapa kalian berpisah?"Aku tak mampu menjawab. Mama tentu akan sangat kecewa jika tahu, akulah yang menolak datang ke rumah Senja untuk bicara serius dengan orang tuanya.Tak lama, kudengar Mama menghela napas dalam."Pasti karena kamu sudah ada main dengan Marsya. Ah, Jonas. Kenapa kamu tak pandai meni
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 41(Jonas, aku mohon, kirimkan foto bayi itu sekali saja, plis.)Pesanku centang biru tak lama kemudian. Aku menunggu dengan hati berdebar. Seperti apakah bayi yang kemarin kulahirkan? Apakah dia seperti aku atau Jonas? Apakah dia menangis saat dilahirkan? Apa yang dia minum? Dengan siapa dia tidur? Dan setelah Tante Ivanka meninggal dunia, siapa yang akan merawatnya?Dan, kenapa tiba-tiba aku jadi peduli padanya?'Rasakanlah dalam hatimu, apakah kau benar-benar tak punya naluri seorang Ibu?'Kata-kata Biru kemarin kembali terngiang. Biru yang ingin kurayu dan kujebak, malah menghantam sanubariku dengan kata-kata dan kalimat nasehat yang menohok, yang hingga kini masih terus kuingat.Sudah lebih dari sepuluh menit berlalu, Jonas tak juga membalas pesanku. Aku gelisah, seperti tengah menanti sesuatu yang tak pasti. Dengan perut sakit bekas jahitan sesar, aku melangkah mondar mandir, perlahan-lahan seperti siput. Aku meringis setiap kali bergerak, merasakan luka
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 42PoV SENJA"Jadi, bagaimana dengan Marsya, Dok?""Indikasi depresi berat, memang gejalanya seperti itu. Gelisah, cemas berlebihan dan gugup. Kemudian, semua itu menyebar ke rasa sakit fisiknya. Dia akan mudah merasa sakit kepala, sakit perut, dan sakit di bagian lain tubuh. Terlebih, Marsya baru saja melahirkan. Kondisi fisikny semakin parah karena psikisnya digempur habis-habisan."Aku termangu mendengar pernyataan dokter Risma, psikiater yang menangani Marsya. Setelah dia pingsan, kami melarikannya ke rumah sakit. Sekilas dari pemeriksaan fisik, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dokter lalu menyarankan konsultasi dengan psikiater saat melihat Marsya terus saja diam setelah dia siuman. Tiga jam sesi pribadinya dengan dokternya Risma, hingga dokter cantik tersebut akhirnya menarik kesimpulan."Dia bicara sambil menangis, kadang tiba-tiba tertawa. Kasihan, sesungguhnya dia sangat tertekan. Dari ceritanya, orang tuanya lah yang sejak kecil menggempur psikisnya
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 43"Hay, Senja…"Aku membeku. Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Clay berdiri di depanku dengan senyum tipisnya yang kaku. "Maaf, aku datang tanpa memberitahu lebih dulu. Ada sesuatu yang perlu kubicarakan."Ah, kenapa sepertinya urusanku dengan Marsya dan keluarganya tak pernah usai? Jonas sudah pergi, dia bisa tenang disana meski masih menata hati. Sementara aku disini, harus menyelesaikan masalah yang dia tinggalkan. Ugghh, kalau ingat dulu dia pernah menyakitiku, rasanya aku tak rela melakukan ini dan itu untuknya. Seandainya saja dia tak pernah main perempuan, apalagi dengan perempuan seperti Marsya, rasanya hidupnya dan hidupku pasti akan baik-baik saja.Lelaki itu masih memandangiku. Aku dengan segera menguasai diri."Maaf juga, tapi sepertinya, kita tidak saling kenal.""Saya Abangnya Marsya. Kita bertemu di rumah sakit."Dari belakang, Mbak Arin mencubit pinggangku."Bisa ikut saya? Kita bicara di cafe depan."Aku menggeleng dengan cepat."Ti
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 44Seminggu berlalu, kasus kebakaran hebat di Villa Permata Indah itu masih menjadi perbincangan. Kebakaran yang menewaskan keluarga pebisnis kaya raya, Ruslan Hendrawan, beserta seluruh keluarganya. Enam jenazah yang telah menghitam ditemukan di antara reruntuhan rumah mewah milik keluarga Marsya. Beruntung, rumah kiri kanan dibatasi halaman luas seperti umumnya rumah-rumah mewah bergaya Eropa, sehingga kebakaran tak merembet kemana-mana. Proses identifikasi masih berlangsung, diduga para korban adalah seluruh anggota keluarga yang berjumlah empat orang, termasuk, para ART, larena hingga kini, kedua anak keluarga tersebut tak ada yang muncul."Marsya…"Aku mual mendengar berita itu, membayangkan seseorang yang pernah ku kenal, menjadi korban dengan keadaan yang mengenaskan.Ponsel di saku celana Biru bergetar. Dia menggeser sedikit duduknya sambil mematikan layar televisi. Tanpa melepaskan pelukannya dariku, Biru mengangkat telepon dari Jonas. Kali ini, tak a