LEBIH BAIK KITA BERPISAH 40POV JONASAku menatap jenazah Mama yang telah ditutupi kain putih dengan hati nelangsa. Belum habis rasa bersalahku pada Papa, yang meninggal dunia beberapa bulan lalu, kini, Mama juga pergi membawa kesedihan mendalam dihatinya. Sebagai anak Satu-satunya, tak ada yang kulakukan untuk mereka berdua, selain memberi rasa malu. Sungguh, aku benar-benar anak durhaka, yang hanya bisa melempar kotoran ke wajah orang yang tulus menyayangiku, tanpa pernah sekalipun membuat mereka bangga."Jadi, Senja itu pernah pacaran dengan kamu, Jonas?"Masih kuingat pertanyaan Mama kala itu, saat beliau akhirnya tahu. Saat itu, aku telah menikah dengan Marsya."Iya, Ma.""Lalu, kenapa kalian berpisah?"Aku tak mampu menjawab. Mama tentu akan sangat kecewa jika tahu, akulah yang menolak datang ke rumah Senja untuk bicara serius dengan orang tuanya.Tak lama, kudengar Mama menghela napas dalam."Pasti karena kamu sudah ada main dengan Marsya. Ah, Jonas. Kenapa kamu tak pandai meni
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 41(Jonas, aku mohon, kirimkan foto bayi itu sekali saja, plis.)Pesanku centang biru tak lama kemudian. Aku menunggu dengan hati berdebar. Seperti apakah bayi yang kemarin kulahirkan? Apakah dia seperti aku atau Jonas? Apakah dia menangis saat dilahirkan? Apa yang dia minum? Dengan siapa dia tidur? Dan setelah Tante Ivanka meninggal dunia, siapa yang akan merawatnya?Dan, kenapa tiba-tiba aku jadi peduli padanya?'Rasakanlah dalam hatimu, apakah kau benar-benar tak punya naluri seorang Ibu?'Kata-kata Biru kemarin kembali terngiang. Biru yang ingin kurayu dan kujebak, malah menghantam sanubariku dengan kata-kata dan kalimat nasehat yang menohok, yang hingga kini masih terus kuingat.Sudah lebih dari sepuluh menit berlalu, Jonas tak juga membalas pesanku. Aku gelisah, seperti tengah menanti sesuatu yang tak pasti. Dengan perut sakit bekas jahitan sesar, aku melangkah mondar mandir, perlahan-lahan seperti siput. Aku meringis setiap kali bergerak, merasakan luka
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 42PoV SENJA"Jadi, bagaimana dengan Marsya, Dok?""Indikasi depresi berat, memang gejalanya seperti itu. Gelisah, cemas berlebihan dan gugup. Kemudian, semua itu menyebar ke rasa sakit fisiknya. Dia akan mudah merasa sakit kepala, sakit perut, dan sakit di bagian lain tubuh. Terlebih, Marsya baru saja melahirkan. Kondisi fisikny semakin parah karena psikisnya digempur habis-habisan."Aku termangu mendengar pernyataan dokter Risma, psikiater yang menangani Marsya. Setelah dia pingsan, kami melarikannya ke rumah sakit. Sekilas dari pemeriksaan fisik, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dokter lalu menyarankan konsultasi dengan psikiater saat melihat Marsya terus saja diam setelah dia siuman. Tiga jam sesi pribadinya dengan dokternya Risma, hingga dokter cantik tersebut akhirnya menarik kesimpulan."Dia bicara sambil menangis, kadang tiba-tiba tertawa. Kasihan, sesungguhnya dia sangat tertekan. Dari ceritanya, orang tuanya lah yang sejak kecil menggempur psikisnya
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 43"Hay, Senja…"Aku membeku. Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Clay berdiri di depanku dengan senyum tipisnya yang kaku. "Maaf, aku datang tanpa memberitahu lebih dulu. Ada sesuatu yang perlu kubicarakan."Ah, kenapa sepertinya urusanku dengan Marsya dan keluarganya tak pernah usai? Jonas sudah pergi, dia bisa tenang disana meski masih menata hati. Sementara aku disini, harus menyelesaikan masalah yang dia tinggalkan. Ugghh, kalau ingat dulu dia pernah menyakitiku, rasanya aku tak rela melakukan ini dan itu untuknya. Seandainya saja dia tak pernah main perempuan, apalagi dengan perempuan seperti Marsya, rasanya hidupnya dan hidupku pasti akan baik-baik saja.Lelaki itu masih memandangiku. Aku dengan segera menguasai diri."Maaf juga, tapi sepertinya, kita tidak saling kenal.""Saya Abangnya Marsya. Kita bertemu di rumah sakit."Dari belakang, Mbak Arin mencubit pinggangku."Bisa ikut saya? Kita bicara di cafe depan."Aku menggeleng dengan cepat."Ti
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 44Seminggu berlalu, kasus kebakaran hebat di Villa Permata Indah itu masih menjadi perbincangan. Kebakaran yang menewaskan keluarga pebisnis kaya raya, Ruslan Hendrawan, beserta seluruh keluarganya. Enam jenazah yang telah menghitam ditemukan di antara reruntuhan rumah mewah milik keluarga Marsya. Beruntung, rumah kiri kanan dibatasi halaman luas seperti umumnya rumah-rumah mewah bergaya Eropa, sehingga kebakaran tak merembet kemana-mana. Proses identifikasi masih berlangsung, diduga para korban adalah seluruh anggota keluarga yang berjumlah empat orang, termasuk, para ART, larena hingga kini, kedua anak keluarga tersebut tak ada yang muncul."Marsya…"Aku mual mendengar berita itu, membayangkan seseorang yang pernah ku kenal, menjadi korban dengan keadaan yang mengenaskan.Ponsel di saku celana Biru bergetar. Dia menggeser sedikit duduknya sambil mematikan layar televisi. Tanpa melepaskan pelukannya dariku, Biru mengangkat telepon dari Jonas. Kali ini, tak a
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 45"Zara kenapa?"Aku meraih bayi mungil itu dalam gendongan. Dia baru saja diberi obat, dan sekarang sedang dalam tahap hendak tidur. Matanya sayu menatapku. Aku terenyuh, sejak dia lahir ke dunia ini, tak sekalipun dia sempat melihat wajah sang Ibu. Menurut cerita Jonas, begitu bayi itu dinyatakan sehat, keluarga Marsya langsung menyuruh Jonas membawanya pergi. Mereka sama sekali tak mau melihatnya. Saat itu Marsya masih di ruang rawat, dan dia juga menolak melihatnya."Zara anak cantik, anak salihah kesayangan Mami, kesayangan Kak Vio, kesayangan Bunda." Kuciumi pipinya yang gembil. Aku menyebut diriku sendiri Bunda padanya, berharap dia akan jadi sahabat terdekat bayi yang tengah kukandung."Zara harus sehat dan kuat. Zara akan tumbuh dewasa nanti, dan saat itulah kamu akan tahu kenyataan yang sesungguhnya. Tapi saat itu, Bunda berharap kamu telah jadi anak yang kuat."Zara menggeliat, matanya mulai menutup. Kuayun-ayun tubuh mungil itu, dan dia semakin n
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 46Aku berlari meninggalkan Clay seorang diri dan masuk ke kamarku sendiri. Kami telah merencanakan kebakaran di rumah Mami dengan matang, termasuk menarik seluruh uang dari rekening masing-masing, salah satunya, untuk membeli rumah kecil di pinggiran kota ini. Sengaja kami memilih perumahan yang masih sepi, supaya tak ada yang usil mencurigai kami. Nanti, setelah aku berhasil merebut kembali bayiku, aku akan menbawanya pergi dari sini. Untuk itu, aku butuh uang yang banyak.Di dalam kamar, aku termenung sendiri, memikirkan kata-kata Clay yang seketika menampar kesadaranku. Aku memang pernah mengatakan hal itu, bersumpah tak mau melihat bayi yang kukandung. Untuk apa? Dia hanya membuatku lemah, membuatku merasa selalu teringat pada Jonas. Padahal, setelah melahirkan, Mami menekanku habis-habisan. Mendapatkan Biru, atau menikahi Om Arkan. Mami tak mau tahu bahwa kedua hal itu, tak mungkin bisa ku lakukan. Selamanya, aku tak mungkin bisa bersaing dengan Senja.T
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 47PoV JONASAku hempas mendengarnya, mendengar orang yang pernah kucintai, menjerit-jerit histeris karena ternyata, matanya tak lagi bisa melihat. Dalam pelukan dokter Aylin, Marsya meronta-ronta. Dia tak terima akan nasib buruk yang menimpanya. Aku sendiri, gemetar dalam pelukan Biru.Kemarin, aku tiba kembali di Indonesia karena rindu pada Zara. Dan seperti ikatan batin, Zara juga ternyata sedang demam. Setelah puas menemaninya, aku pergi ke rumah Biru, tapi di perjalanan, tak jauh dari gerbang perumahan keluarga Senja, aku menemukan Marsya, mengalami kecelakaan dengan kondisi mengenaskan. Luka yang amat parah di wajah karena mobilnya menabrak pohon besar.Takdir ternyata masih mempertemukan kami. Bagaimanapun, dia adalah Ibu dari anakku. Jauh di lubuk hatiku, aku menginginkan dia menyadari kesalahan dan meraih jalan taubatnya.Marsya terkulai lemas. Dia pingsan lagi."Dia shock. Oh ya, menurut saksi mata yang melihat, Nyonya Marsya membenturkan kepalanya d