LEBIH BAIK KITA BERPISAH 27Sudah seminggu Marsya di rumah sakit. Keadaannya semakin membaik. Meski masih sering lemah dan mual muntah belum berkurang, setidaknya dia tak lagi histeris. Psikiater memberinya terapi secara diam-diam, karena Marsya akan marah jika tahu dia dirawat oleh psikiater. Baginya, itu adalah perbuatan orang gila."Istirahat yang cukup, olahraga, makan makanan sehat dan minum omega tiga. Untuk sementara kami tidak bisa memberikan obat anti depresan karena Marsya sedang hamil, tapi cobalah selalu ada disisinya dan dengarkan semua yang dia katakan, sebanyak apapun dia bercerita."Dengarkan dia dan jangan pernah tinggalkan. Selama ini rupanya, orang tuanya beranggapan bahwa uang mereka sudah cukup membuat putri mereka bahagia. Tak ada sedikitpun waktu mendengar curhatan, bahkan jika ada kesalahan yang dilakukan oleh anak-anak mereka, maka, cukup uang yang bicara.Dan kini, aku duduk sendirian di teras kamar rawatnya untuk terakhir kali. Sore nanti setelah kunjungan d
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 28"Weii… datang juga dia. Kirain dah bikin mertuanya malu waktu itu, nggak berani lagi nampakin wajah."Suara Ulfa terdengar. Dia memang sepupuku yang paling frontal. Aku bisa mendengar nada tak suka dan gemas melihat Marsya yang melangkah masuk sambil menggandeng lengan Jonas. Andai Ulfa tahu apa yang dilakukan Marsya padaku, tentu dia tak akan tinggal diam. Begitu juga dengan keluargaku yang lain. Tapi aku dan Biru sepakat untuk merahasiakannya. Ada banyak hal yang kami pertimbangkan. Salah satunya, tentu saja bahwa Jonas adalah bagian keluarga kami sekarang.Marsya masih belum melihatku, tapi matanya terus berputar, mencari keberadaanku. Sementara itu, Biru sudah duduk di depan meja beralas taplak putih yang akan dijadikan meja akad nikah. Di hadapannya, pak penghulu telah siap menikahkan kami. Beberapa anggota keluarga yang akan menjadi saksi juga telah duduk di tempatnya. Jonas dan Marsya, dipersilahkan duduk di sisi sebelah kanan, dimana seluruh keluarg
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 29Pesta telah usai, tapi di luar rumah, masih riuh oleh suara keluarga dan sepupuku yang masih menetap, membantu Mama membereskan rumah seadanya. Di antara mereka, ada Ulfa dan dua sepupuku yang lain. Suara mereka nyaring, lalu lalang di depan pintu kamar seakan sengaja agar suara mereka terdengar olehku."Harusnya kita terima tawaran Mama untuk buat kamar pengantin di hotel saja." keluhku.Aku menggigit bibir, tak enak hati rasanya. Biru mungkin merasa terganggu, tapi dia malah tertawa."Kenapa memangnya? Aku betah kok di rumahmu ini. Aku senang dengan keakraban dan keseruan para sepupumu. Lagi pula, besok kita sudah berangkat ke puncak.""Hemm…"Biru ikut duduk disisiku. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, bergantian denganku. Aroma sabunnya yang segar menerpa penciuman saat lengan kami bersentuhan. Tiba-tiba saja aku gemetar merasakannya, lalu menyadari bahwa dia kini adalah suamiku."Tanganmu pucat, dan dingin."Biru meraih tanganku."Diluar masih rama
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 30PoV SENJASatu Minggu Kemudian"Cieee, manten baruuuuu!"Suara Mbak Arin langsung menyambut, padahal aku belum lagi turun dari mobil. Biru tertawa, mengusap kepalaku sejenak."Jangan capek-capek. Semalam kamu udah kecapekan di jalan.""Iya. Aku yakin deh Eve sudah banyak bantuin tugasku. Aku tinggal menambal yang dia nggak tahu.""Yuk, aku antar. Itu oleh-oleh di bagasi kayaknya nggak bakalan kebawa sama kamu sendiri."Aku meringis. Bulan madu kami di puncak telah berakhir, meski rasanya aku belum rela. Tapi bukankah setiap hari bersamanya adalah bulan madu? Aku dan Biru sepakat menunda kehamilan dengan cara alami tanpa alat kontrasepsi, agar kami bisa menikmati masa pacaran yang belum pernah kami rasakan. Setiap hari disana, kami berjalan-jalan, mencari bunga untuk Mama dan Mami, juga bibit sayuran, tak lupa oleh-oleh berupa makanan khas, hingga tak terasa mobil nyaris penuh sesak. Biru menurunkan kantong-kantong kertas yang masing-masing sudah kuberi nama
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 31Rumah Jonas kudatangi untuk pertama kalinya. Sebuah rumah yang hangat, dengan kandang-kandang burung pelihara bergantung di sisi kiri rumah. Halamannya tidak terlalu luas, hanya cukup menampung dua buah mobil saja, tanpa pohon-pohon dan bunga. Hanya sebatang palem di pojokan yang menjulang tinggi."Papanya Jonas suka memelihara burung. Katanya, kicauan burung membuatnya hidup.".Tante Ivanka membuka sejenak tutup wajah Om Robi yang pucat, lalu menutupnya lagi. Jenazah dibaringkan di ruang tamu, dimana satu persatu tetangga dan kerabat yang datang, duduk sejenak. Mereka membuka penutup wajah, memanjatkan doa, lalu memeluk sang istri yang berduka. Mama baru akan datang menjelang sahur, sambil menbawakan kami makanan. Sementara Mami mertuaku, sudah lebih dulu datang bersama Papi dan Vio. Kami duduk di pojok rumah, menghadapi jenazah dan mulai membaca alquran, menunggu petugas pemulasaraan jenazah datang karena tengah malam baru saja lewat.Jam empat pagi, Mama
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 32"Tanpa Jonas dan Biru, nggak apa-apa kan?" ulang Marsya.Aku memandanginya sebentar, sementara di belakang Marsya, Mbak Arin menggeleng padaku. Jangan, bisiknya tanpa suara."Nggak apa-apa. Tapi tetap saja, aku harus minta izin Biru dulu."Marsya mencebik, "Harus ya? Apa kamu curiga sama aku?"Aku menggeleng dan tersenyum padanya."Curiga kenapa? Kamu kan istrinya sepupu suamiku, kamu keluargaku juga. Tapi, sebagai istri yang baik, aku nggak bisa pergi tanpa izin suamiku. Dan sebaiknya, kamu juga bilang dulu sama Jonas.""Hemm… gitu ya? Oke deh." Marsya akhirnya tersenyum. Aku mengeluarkan ponsel dan menjauh sedikit darinya. Ku hubungi Biru. Agak lama barulah teleponku diangkatnya. Dia pasti sedang dijalan dan menepi sejenak untuk mengangkat telepon dariku."Ya, Sayang?"Aku menceritakan dengan cepat ajakan Marsya. Biru diam sejenak."Ya, tak apa-apa. Tapi share lock kalau sudah sampai. Aku dan Jonas akan menyusul.""Tapi Mama akan buka puasa sendirian.""
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 33PoV MARSYAAku tertegun mendengar kata-kata Mami. Sebenarnya, apa yang diinginkan olehnya? Dulu, aku memang memaksa Mami menekan Jonas agar mau menikahiku. Tapi itu karena aku memang sungguh-sungguh mencintainya. Meski kemudian, Jonas terus membuatku kecewa, aku masih tetap mencintainya. Tak sedikitpun aku ingin berpisah, apalagi kini, bayi di dalam perutku semakin tumbuh besar. Apalagi setelah Jonas berubah, cintaku padanya kian besar. Setiap malam, Jonas akan meletakkan pipinya di perutku, merasakan gerakan dan tendangan anak kami. Bagaimana mungkin Mami minta aku membuang moment berharga itu?"Tidak.""Tidak? Astaga Marsya, ternyata kau masih sebucin itu. Memangnya apa yang telah diberian Jonas padamu? Tanpa fasilitas dari Mami, kalian lebih mirip gembel. Orang Mami saja sampai malu membawa mobilmu kesini.""Itu mobil Jonas, karena Mami merampas mobilku."Mami tertawa mengejek."Memangnya siapa yang beli mobil itu? Bukan kau atau suamimu kan?"Aku terdia
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 34"Tidaaakkk!"Ya Tuhan. Jonas sepertinya tak siap, dan Arshad memukulnya keras sekali. Mami benar-benar tak punya hati.Bugh!Jonas belum bangkit dari posisinya yang terjatuh di halaman ketika tinju kiri Arshad menghantam rahang kirinya."Berhenti! Jangan pukuli suamiku! Berhenti Mami, aku akan membalasmu Arshad!"Aku menjerit histeris, sambil memegangi perut yang terasa kecang.Ceklek!"Marsya!"Seseorang menangkap tubuhku yang lemah karena terus menjerit dan menggedor jendela kaca setebal dua belas milimeter itu hingga tanganku merah. Sepintas aku dapat melihat kalau itu Clay."Marsya, tenanglah.""Abang, tolong aku. Tolong hentikan Arshad. Dia memukuli suamiku.""Arshad hanya menjalankan perintah Papi dan Mami.""Kalau begitu hentikan mereka! Bagaimana bisa mereka sekejam itu? Dia suamiku, Abang. Ayah dari anak yang ada dalam perutku."Aku telah dibaringkan Clay ke atas kasur. Dadaku berdebar kencang dengan napas sedikit tersengal. Aku tahu, jika aku mema