LEBIH BAIK KITA BERPISAH 24Semakin dekat ke hari pernikahan, aku semakin berdebar rasanya. Seminggu lagi, aku akan menjadi seorang istri. Istri dari lelaki yang kucintai. Rasanya aku tak bisa melepaskan diri dari membayangkan wajahnya, setiap hari, setiap saat. Di atas sajadah dalam sujud-sujud panjang di awal maupun penghujung hari, namanya kerap kusebut dalam doa. Aku meminta pada Allah kemudahan bagi kami, dan juga menjaga rasa cinta ini hingga kelak maut memisahkan."Mama, nanti kalau aku sudah nikah, Mama akan tetap tinggal sama aku kan?"Mama memandangku lama sekali, matanya berkaca-kaca. Hal ini pula yang sejak kemarin membuatku risau. Kalau aku pergi dari rumah, Mama akan sendirian, dan aku tak sanggup membayangkannya."Atau aku akan minta Biru mengalah untuk ikut tinggal disini."Mama mengusap kepalaku."Senja, seorang istri itu harus menuruti kata suami, ikut suami kemanapun dia pergi. Itu juga akan jadi pahala untuk Mama. Jadi, ikutilah apapun kata suamimu kelak.""Tapi, a
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 25"Senja!"Biru melompat turun dari mobil begitu melihatku. Jika selama ini kami nyaris tak pernah saling bersentuhan dengan sengaja, kali ini, mengabaikan prinsip yang selama ini kupegang teguh, aku membiarkan dia merengkuhku, meletakkan kepalaku di dadanya. Di dalam pelukannya, aku terisak. Biru tidak bertanya apa-apa, tangannya sibuk mengusap kepalaku."Sstt, sudah. Tak apa. Ada aku." bisiknya berulang-ulang. Dia membiarkan kemejanya basah air mata."Ada apa, Senja?"Setelah isakanku reda, barulah dia bertanya. Terbata-bata aku menjawab. Sungguh, seumur hidup, aku tak pernah merasa se takut ini."Aku… hampir saja dilecehkan…"Biru yang sejak tadi tampak curiga melihat kemeja Leon yang robek, langsung menarik leher lelaki itu, tak peduli teriakan si pemilik warung. Untung saja tak ada pengunjung lain saat ini."Bi, dengar dulu!" seruku panik. Aku menarik tangannya. "Dia memang… maksudku… Oh tolonglah duduk dulu, aku nggak bisa cerita. Yang jelas, dia nggak
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 26"Aarrghhhh! Sialan! Kurang ajar! Awas kalian!"Marsya mengamuk usai Biru pergi dari rumah. Dia membanting semua barang yang ada di dekatnya, meski dengan tenaganya yang lemah. Aku mendekat, berusaha memegang tangannya. Meja kaca telah hancur berantakan dilempar vas bunga keramik. Puluhan piala entah apa yang terpajang di lemari hias, ikut pula jadi sasaran. Dari pintu pembatas ruang tamu dan ruang tengah, dua bibik ART, mengintip sambil berpegangan tangan. Entah apa yang dipikirkan orang lain melihat kelakuan Marsya. Aku sendiri masih terheran-heran, dia yang dulu kukenal sebagai gadis lembut dan penurut tiba-tiba saja berubah menjadi segarang macan."Puas kamu, Jonas! Puas kamu melihat aku dipermalukan?!"Aku menatapnya dengan perasaan sedih. Dia selalu mencari kesalahan orang lain atas apa yang terjadi padanya. Semua kemalangan yang menimpanya adalah kesalahan orang lain, itu yang ada dalam pikirannya."Apa sebenarnya yang kamu lakukan, Marsya?"Marsya be
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 27Sudah seminggu Marsya di rumah sakit. Keadaannya semakin membaik. Meski masih sering lemah dan mual muntah belum berkurang, setidaknya dia tak lagi histeris. Psikiater memberinya terapi secara diam-diam, karena Marsya akan marah jika tahu dia dirawat oleh psikiater. Baginya, itu adalah perbuatan orang gila."Istirahat yang cukup, olahraga, makan makanan sehat dan minum omega tiga. Untuk sementara kami tidak bisa memberikan obat anti depresan karena Marsya sedang hamil, tapi cobalah selalu ada disisinya dan dengarkan semua yang dia katakan, sebanyak apapun dia bercerita."Dengarkan dia dan jangan pernah tinggalkan. Selama ini rupanya, orang tuanya beranggapan bahwa uang mereka sudah cukup membuat putri mereka bahagia. Tak ada sedikitpun waktu mendengar curhatan, bahkan jika ada kesalahan yang dilakukan oleh anak-anak mereka, maka, cukup uang yang bicara.Dan kini, aku duduk sendirian di teras kamar rawatnya untuk terakhir kali. Sore nanti setelah kunjungan d
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 28"Weii… datang juga dia. Kirain dah bikin mertuanya malu waktu itu, nggak berani lagi nampakin wajah."Suara Ulfa terdengar. Dia memang sepupuku yang paling frontal. Aku bisa mendengar nada tak suka dan gemas melihat Marsya yang melangkah masuk sambil menggandeng lengan Jonas. Andai Ulfa tahu apa yang dilakukan Marsya padaku, tentu dia tak akan tinggal diam. Begitu juga dengan keluargaku yang lain. Tapi aku dan Biru sepakat untuk merahasiakannya. Ada banyak hal yang kami pertimbangkan. Salah satunya, tentu saja bahwa Jonas adalah bagian keluarga kami sekarang.Marsya masih belum melihatku, tapi matanya terus berputar, mencari keberadaanku. Sementara itu, Biru sudah duduk di depan meja beralas taplak putih yang akan dijadikan meja akad nikah. Di hadapannya, pak penghulu telah siap menikahkan kami. Beberapa anggota keluarga yang akan menjadi saksi juga telah duduk di tempatnya. Jonas dan Marsya, dipersilahkan duduk di sisi sebelah kanan, dimana seluruh keluarg
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 29Pesta telah usai, tapi di luar rumah, masih riuh oleh suara keluarga dan sepupuku yang masih menetap, membantu Mama membereskan rumah seadanya. Di antara mereka, ada Ulfa dan dua sepupuku yang lain. Suara mereka nyaring, lalu lalang di depan pintu kamar seakan sengaja agar suara mereka terdengar olehku."Harusnya kita terima tawaran Mama untuk buat kamar pengantin di hotel saja." keluhku.Aku menggigit bibir, tak enak hati rasanya. Biru mungkin merasa terganggu, tapi dia malah tertawa."Kenapa memangnya? Aku betah kok di rumahmu ini. Aku senang dengan keakraban dan keseruan para sepupumu. Lagi pula, besok kita sudah berangkat ke puncak.""Hemm…"Biru ikut duduk disisiku. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, bergantian denganku. Aroma sabunnya yang segar menerpa penciuman saat lengan kami bersentuhan. Tiba-tiba saja aku gemetar merasakannya, lalu menyadari bahwa dia kini adalah suamiku."Tanganmu pucat, dan dingin."Biru meraih tanganku."Diluar masih rama
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 30PoV SENJASatu Minggu Kemudian"Cieee, manten baruuuuu!"Suara Mbak Arin langsung menyambut, padahal aku belum lagi turun dari mobil. Biru tertawa, mengusap kepalaku sejenak."Jangan capek-capek. Semalam kamu udah kecapekan di jalan.""Iya. Aku yakin deh Eve sudah banyak bantuin tugasku. Aku tinggal menambal yang dia nggak tahu.""Yuk, aku antar. Itu oleh-oleh di bagasi kayaknya nggak bakalan kebawa sama kamu sendiri."Aku meringis. Bulan madu kami di puncak telah berakhir, meski rasanya aku belum rela. Tapi bukankah setiap hari bersamanya adalah bulan madu? Aku dan Biru sepakat menunda kehamilan dengan cara alami tanpa alat kontrasepsi, agar kami bisa menikmati masa pacaran yang belum pernah kami rasakan. Setiap hari disana, kami berjalan-jalan, mencari bunga untuk Mama dan Mami, juga bibit sayuran, tak lupa oleh-oleh berupa makanan khas, hingga tak terasa mobil nyaris penuh sesak. Biru menurunkan kantong-kantong kertas yang masing-masing sudah kuberi nama
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 31Rumah Jonas kudatangi untuk pertama kalinya. Sebuah rumah yang hangat, dengan kandang-kandang burung pelihara bergantung di sisi kiri rumah. Halamannya tidak terlalu luas, hanya cukup menampung dua buah mobil saja, tanpa pohon-pohon dan bunga. Hanya sebatang palem di pojokan yang menjulang tinggi."Papanya Jonas suka memelihara burung. Katanya, kicauan burung membuatnya hidup.".Tante Ivanka membuka sejenak tutup wajah Om Robi yang pucat, lalu menutupnya lagi. Jenazah dibaringkan di ruang tamu, dimana satu persatu tetangga dan kerabat yang datang, duduk sejenak. Mereka membuka penutup wajah, memanjatkan doa, lalu memeluk sang istri yang berduka. Mama baru akan datang menjelang sahur, sambil menbawakan kami makanan. Sementara Mami mertuaku, sudah lebih dulu datang bersama Papi dan Vio. Kami duduk di pojok rumah, menghadapi jenazah dan mulai membaca alquran, menunggu petugas pemulasaraan jenazah datang karena tengah malam baru saja lewat.Jam empat pagi, Mama