LEBIH BAIK KITA BERPISAH 20PoV SENJA"Ciee… calon manten. Bilang Mas kurir, upetinya harus ditambahin supaya mendapat doa restu dari kami semua."Mbak Arin, seperti biasa, usil sekali. Aku memang memberitahu dia kalau aku sudah lamaran. Mbak Arin saja, karena karyawan lain pasti akan sibuk menggoda."Perlu tutorial malam pertama nggak, Ja?"Aku melotot. Mbak Arin tertawa terbahak-bahak. Astaga, dia ini, perempuan tomboy dan cuek. Tapi aku senang melihatnya, sejak menikah, Mbak Arin tampak lebih bahagia. Tinggal sahabatku, Eve, yang belum juga menemukan belahan hati."Oh ya, ada karyawan baru yang akan datang hari ini. Tapi dia nggak di taruh sini sih. Kayaknya buat gantiin Jonas di Lampung Barat.""Gantiin Jonas?""Loh, kamu belum tahu? Jonas mengundurkan diri.""Oh, kenapa katanya.""Alasan yang dia tulis di surat pengunduran dirinya, emm… kalo nggak salah, karena akan membantu usaha mertua. Itu."Aku terdiam sejenak, ingat Marsya dan teriakan cemburunya yang sempat membuat acara l
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 21"Hay Senja!"Leon. Aku belum sempat menyahut ketika Biru berlari dari tempatnya berdiri, ke arah kami, dan tahu-tahu tiba di sisi Mami. Gerakannya gesit sekali sehingga aku curiga dia seorang atlet atau menguasai bela diri. Biru tentu melihat Mami ditabrak, atau tertabrak, entahlah, aku tak melihat dengan jelas karena pandangan mataku tadi fokus pada calon suamiku."Mami nggak apa-apa?"Biru memegang tangan Mami. Mami menggeleng. Kedua lelaki itu kemudian bertatapan."Maaf, saya nggak sengaja."Leon, tak seperti di kantor tadi, kini tersenyum. Dia lalu mengulurkan tangan tanpa ragu pada Biru. "Saya Leon, rekan kerja Senja yang baru. Saya menggantikan Pak Jonas."Biru menyambut uluran tangan itu dan menggenggamnya dengan mantap. "Biru. Saya calon suami Senja.""Oh, jadi, gadis cantik ini sudah punya calon suami."Biru tersenyum."Ya. Saya akan memasukkan nama anda di daftar undangan.""Wah, itu sebuah kehormatan.""Baiklah, kami permisi."Biru menganggukka
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 22PoV JONASRumah ini luas sekali, dengan dua ART yang sibuk lalu lalang menyediakan kebutuhan kami. Satpam, sopir, dan tukang kebun, datang dan pergi sesuai kebutuhan. Dua mobil mewah berderet di garasi, dan semuanya terawat dengan baik, membuat innova milikku tampak seperti barang rongsokan. Seminggu tinggal disini, Marsya melarangku keluar rumah. Pekerjaan di kantor Papanya yang dia janjikan entah kemana. Meski semua kebutuhan tersedia, aku merasa tak berharga. Semua ini milik istriku, bukan milikku."Apa? Sudah seminggu dan kau belum melakukan apa-apa? Jangan banyak alasan Leon!"Suara Marsya terdengar dari lantai atas. Aku berhenti di tengah anak tangga dengan sepiring irisan buah mangga pesanannya."Aku tidak menyuruhmu membunuhnya. Hanya, lakukan apa yang biasa dilakukan lelaki bejat pada gadis cantik. Buat dia malu karena harga diri dan kehormatan yang selama ini dia jaga dan banggakan itu hancur sebelum hari pernikahannya. Aku ingin dia merasa malu d
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 23PoV JONASDia seorang lelaki bertubuh tegap, dengan tatapan mata dingin dan tanpa senyum. Namun, aku melihat ada sesuatu dimatanya, seakan beban hidup yang demikian besar menghimpitnya."Kenapa kau menemuiku?""Apakah Marsya menyuruhmu melakukan pekerjaan kotor itu dengan imbalan dan ancaman? Apa yang dia janjikan?"Leon diam sejenak, lalu sudut bibirnya terangkat. "Bukan urusanmu.""Tentu saja urusanku. Dia istriku, dan aku tak akan membiarkan dia melahirkan di penjara."Leon terkejut. Matanya yang hitam dan tajam itu melebar dengan cepat."Marsya sedang hamil?"Aku mengangguk. "Karena itu, apapun perintahnya, tolong hentikan."Leon menghela napas panjang, lalu menggeleng."Aku tidak bisa, nyawa putriku adalah taruhannya.""Apa yang terjadi dengan anakmu?""Dia sakit, leukimia dan harus menjalani pengobatan yang mahal. Ibunya telah tiada, dan aku tak sanggup jika harus kehilangan dia lagi."Aku terkesima sejenak. Sungguh benar pepatah yang mengatakan, jan
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 24Semakin dekat ke hari pernikahan, aku semakin berdebar rasanya. Seminggu lagi, aku akan menjadi seorang istri. Istri dari lelaki yang kucintai. Rasanya aku tak bisa melepaskan diri dari membayangkan wajahnya, setiap hari, setiap saat. Di atas sajadah dalam sujud-sujud panjang di awal maupun penghujung hari, namanya kerap kusebut dalam doa. Aku meminta pada Allah kemudahan bagi kami, dan juga menjaga rasa cinta ini hingga kelak maut memisahkan."Mama, nanti kalau aku sudah nikah, Mama akan tetap tinggal sama aku kan?"Mama memandangku lama sekali, matanya berkaca-kaca. Hal ini pula yang sejak kemarin membuatku risau. Kalau aku pergi dari rumah, Mama akan sendirian, dan aku tak sanggup membayangkannya."Atau aku akan minta Biru mengalah untuk ikut tinggal disini."Mama mengusap kepalaku."Senja, seorang istri itu harus menuruti kata suami, ikut suami kemanapun dia pergi. Itu juga akan jadi pahala untuk Mama. Jadi, ikutilah apapun kata suamimu kelak.""Tapi, a
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 25"Senja!"Biru melompat turun dari mobil begitu melihatku. Jika selama ini kami nyaris tak pernah saling bersentuhan dengan sengaja, kali ini, mengabaikan prinsip yang selama ini kupegang teguh, aku membiarkan dia merengkuhku, meletakkan kepalaku di dadanya. Di dalam pelukannya, aku terisak. Biru tidak bertanya apa-apa, tangannya sibuk mengusap kepalaku."Sstt, sudah. Tak apa. Ada aku." bisiknya berulang-ulang. Dia membiarkan kemejanya basah air mata."Ada apa, Senja?"Setelah isakanku reda, barulah dia bertanya. Terbata-bata aku menjawab. Sungguh, seumur hidup, aku tak pernah merasa se takut ini."Aku… hampir saja dilecehkan…"Biru yang sejak tadi tampak curiga melihat kemeja Leon yang robek, langsung menarik leher lelaki itu, tak peduli teriakan si pemilik warung. Untung saja tak ada pengunjung lain saat ini."Bi, dengar dulu!" seruku panik. Aku menarik tangannya. "Dia memang… maksudku… Oh tolonglah duduk dulu, aku nggak bisa cerita. Yang jelas, dia nggak
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 26"Aarrghhhh! Sialan! Kurang ajar! Awas kalian!"Marsya mengamuk usai Biru pergi dari rumah. Dia membanting semua barang yang ada di dekatnya, meski dengan tenaganya yang lemah. Aku mendekat, berusaha memegang tangannya. Meja kaca telah hancur berantakan dilempar vas bunga keramik. Puluhan piala entah apa yang terpajang di lemari hias, ikut pula jadi sasaran. Dari pintu pembatas ruang tamu dan ruang tengah, dua bibik ART, mengintip sambil berpegangan tangan. Entah apa yang dipikirkan orang lain melihat kelakuan Marsya. Aku sendiri masih terheran-heran, dia yang dulu kukenal sebagai gadis lembut dan penurut tiba-tiba saja berubah menjadi segarang macan."Puas kamu, Jonas! Puas kamu melihat aku dipermalukan?!"Aku menatapnya dengan perasaan sedih. Dia selalu mencari kesalahan orang lain atas apa yang terjadi padanya. Semua kemalangan yang menimpanya adalah kesalahan orang lain, itu yang ada dalam pikirannya."Apa sebenarnya yang kamu lakukan, Marsya?"Marsya be
LEBIH BAIK KITA BERPISAH 27Sudah seminggu Marsya di rumah sakit. Keadaannya semakin membaik. Meski masih sering lemah dan mual muntah belum berkurang, setidaknya dia tak lagi histeris. Psikiater memberinya terapi secara diam-diam, karena Marsya akan marah jika tahu dia dirawat oleh psikiater. Baginya, itu adalah perbuatan orang gila."Istirahat yang cukup, olahraga, makan makanan sehat dan minum omega tiga. Untuk sementara kami tidak bisa memberikan obat anti depresan karena Marsya sedang hamil, tapi cobalah selalu ada disisinya dan dengarkan semua yang dia katakan, sebanyak apapun dia bercerita."Dengarkan dia dan jangan pernah tinggalkan. Selama ini rupanya, orang tuanya beranggapan bahwa uang mereka sudah cukup membuat putri mereka bahagia. Tak ada sedikitpun waktu mendengar curhatan, bahkan jika ada kesalahan yang dilakukan oleh anak-anak mereka, maka, cukup uang yang bicara.Dan kini, aku duduk sendirian di teras kamar rawatnya untuk terakhir kali. Sore nanti setelah kunjungan d