Butakan lawan, serang jiwa mereka, dan kau akan mudah menghancurkannya.
Benar, mereka tidak bisa melihat dengan jelas, debu berhamburan menutupi pandangan. Beberapa orang menarik pedang mereka, mencoba bertahan dan tetap waspada.
"Ahkkk!" mereka mulai saling tikam, mengira jika yang ada di depan adalah lawan, padahal itu adalah teman.
Benar-benar kacau, bahkan pendekar dari sekte aliran lurus juga kehilangan pandangnnya.
Mundur dengan perlahan, mungkin salah satu solusi saat ini.
Ini adalah sebuah kesempatan, dari sekian banyak pendekar hanya satu orang yang bisa mengayunkan pedangnya tanpa meleset. Pemuda yang tersenyum sinis, Lanting Beruga.
"Tidak! tidak!" mereka berteriak, ketika menyadari sosok pemuda itu mengayunkan pedang dari depan. Menghindari serangan yang tiba-tiba seperti itu akan sangat sulit dilakukan, dan ini adalah kelemahan mereka.
Incar sayap-sayapnya, baru kemudian bunuh bunuh burungnya. Lanting Beruga sengaja mengi
Lakukan sesuatu? benar, jika kau ingin tetap hidup maka sebaiknya menjauh dari bayangan merah yang muncul tiba-tiba.Menyadari hal itu, sekte aliran sesat alias Bulan Darah dan juga Prajurit Sursena melepaskan senjata mereka, dan mulai kabur dari pertarungan ini. Mereka lari meninggalkan kabut berdebu.Lanting Beruga tertawa terbahak-bahak, ini adalah serangan mental yang terakhir, mengintimidasi lawan dengan tawa yang lantang. Lanting tidak pernah mempelajari teknik menaklukan mental lawan sebelumnya, tapi memang dia memiliki bakat yang bagus dibagian mengintimidasi.Apakah dia akan membunuh yang melarikan diri tanpa senjata? tidak, meski dia bisa melakukannya dengan mudah, tapi Lanting Beruga bukan orang yang keji."Kenapa dia tidak membunuh mereka semua?" bertanya Jubarda Agung kepada Dewangga."Tidak, dia punya jalannya sendiri! dari sekian banyak muridku, dia memiliki jiwa ksatria paling tangguh," ucap Dewangga, "sama seperti kakeknya, j
Ronde ke dua pertarungan kembali di lanjutkan, tapi kini arah medannya mulai berubah. Semenjak kemunculan Lanting Beruga, dan tentu juga Bajak Laut Buaya Putih."Hahaha, dia benar-benar mengejutkan kita," Satrio Langit tertawa terbahak-bahak, kemudian memukul lawannya dengan kepalan tinju.Di sebelah pemuda itu, Altar Buana memanggul tongkatnya, berjalan ke arah lawan-lawan yang telah kehilangan mental mereka."Jendral Loka!" teriak Satrio Langit, "urusan kita belum selesai!"Jendral Loka hendak melarikan diri dari tempat ini, seolah telah menyadari bahwa pertarungan ini akan mencelakakannya, tapi niat itu terhenti ketika Satrio Langit telah menghadang langkah kakinya.Jendral Loka menoleh ke belakang, Altar Buana masih berjalan mendekati dirinya dengan tongkat yang di panggul. Mau kemana memangnya jendral itu? pertarungan masih jauh dari kata selesai.Jendral Loka mengambil tombak dan pedang, entah bagaimana dia akan bertarung dengan dua se
Jelatang Biru yang tidak mengenal Lanting Beruga sama sekali, hanya bisa menatap pemuda itu dari kejauhan dengan penuh tanda tanya.Kenapa dia tidak mendengar nama anak itu sebelumnya, meski dia berasal dari Sekte Awan Berarak? pikir Jelatang Biru.Namun satu hal yang mengganjal pikiran Jelatang Biru adalah, aura yang terpancar dari tubuh Lanting Beruga mengingatkan dirinya tentan teman lama."Mengalihkan pandangan ketika bertarung adalah tindakan yang salah?" jendral yang menjadi lawan Jelatang Biru menyerangnya dari samping.Jelatang Biru bergerak untuk menghindar, dia melayang ke belakang sambil melepaskan beberapa jarum ke arah lawannya.Serangan jendral itu terhenti untuk sejenak, sebelum kemudian dengan cepat menghindari jarum yang mengarah ke tubuhnya. Beberapa jarum yang dilepaskan oleh Jelatang Biru di tangkis oleh kapak besar.Kapak besar jendral itu di lempar sekuat tenaga, menahan semua jarum yang mengarah kepada dirinya. Ya, kap
Nyai Seburuk Mayat menarik nafas panjang, dan sedikit lebih lega dari sebelumnya, saat melihat Lanting Beruga tidak mengincarnya, dan malah mengincar Rintik Wengi.Entah kenapa menghadapi Lanting Beruga terasa begitu menakutkan saat ini, padahal dia masih ingat beberapa bulan yang lalu Lanting Beruga tidak memiliki kekuatan aneh semacam energi batin.Hanya dalam satu tahun, melakukan perkembangan yang begitu signifikan, bagaimana Nyai Seburuk Mayat bisa menjelaskan hal semacam itu.Wanita itu menyapukan pandangan ke sisi lain, melihat siapakah yang akan dia bunuh saat ini. Pendekar aliran lurus tampaknya lebih banyak dari prajurit Sursena dan Bulan Darah."Mencari diriku?" Nyai Anjani tersenyum tipis di sebelah Nyai Seburuk Mayat.Guru Lanting Beruga itu, baru saja membersihkan noda darah yang melekat pada bilah pedangnya. Di sekitar wanita itu, ada lebih dari 13 orang pendekar Bulan Darah telah meregang nyawa. Semua ini jelas ulah Nyai Anjan
"Mode Pertama, Cahaya Api." Lanting Beruga mendadak lenyap dari tempatnya, meninggalkan bayangan merah kemudian mendadak tiba di belakang Nyai Rintik Wengi.Wush wush wush. Selendang membabat ke arah pemuda itu, tapi gagal, yang terkena ujung selendang hanya bayangan merah Lanting Beruga."Dia cepat," ucap Nyai Rintik Wengi.Dengan tenaga dalamnya, selendang itu bisa melilit gagang pedang dan mulai menyerang Lanting Beruga.Hilang. Lagi-lagi Lanting Beruga lenyap dari pandangan Nyai Rintik Wengi, tapi kemudian terdengar suara jeritan dari sisi lain yang jauh.Nyai Rintik Wengi menoleh ke sana, mendapati beberapa pendekar Bulan Darah tewas oleh bayangan merah."Sial dia mempermainkan diriku ..." Nyai Rintik Wengi tidak pernah merasa sehina ini semenjak dia menjadi salah satu petinggi Bulan Darah.Lanting Beruga tidak menghadapinya dengan serius, buktinya dia masih bisa pergi ke sisi lain, dan membunuh beberapa anak buah Bulan Dar
Nyai Rintik Wengi melangkah mundur ke belakang dengan pelan, sendinya terasa bergetar dan bulu kuduknya mendadak berdiri. Seperti melihat hantu, tapi bahkan melihat hantu tidak membuat Nyai Rintik Wengi ketakutan seperti ini. Dia seolah melihat dewa kematian. "Apa yang terjadi?" tanya Nyai Anjani, "kekuatan seperti apa yang kau gunakan?" Lanting Beruga tersenyum dingin, dia sendiri belum memahami kekuatan mata kirinya secara detil, hanya menduga-duga saja. Nyai Rintik Wengi berniat menggunakan selendangnya untuk menyerang Lanting Beruga, tapi entah kenapa dia seolah kehilangan kontrol terhadap tenaga dalamnya sendiri. Ya, butuh ketenangan agar dapat mengendalikan tenaga dalam dengan baik, tapi ketika manusia diselimuti oleh rasa takut, mereka tidak bisa melakukan apapun bahkan untuk bernafas sekalipun. Lanting Beruga menghentakkan kakinya ke tanah, pada saat yang sama sebilah pedang melayang ke udara. Pedang itulah langsung di sambarnya, sebab
"Lanting ..." Intan Ayu memperhatikan Lanting Beruga dari kejauhan, kondisi pemuda itu bisa dikatakan tidak baik-baik saja. Dia baru saja di tendang oleh Ki Sugo Rugo ke samping, dan membuatnya menghantam beberapa lapis dinding Istana hingga jebol. Lanting Beruga muntah darah, dadanya terasa sangat sakit dan salah satu tulang rusuknya mungkin telah retak. Tulang dan ototnya yang kuat rupanya tidak bisa menahan serangan Ki Sugo Rugo yang begitu sakti. "Tetaplah di sana, anak muda ..." ucap Ki Sugo Rugo, "aku akan mengurusmu setelah menghabisi mereka semua." "Menghabisi?" Benggala Cokro kesal bukan kepalang mendengar hal itu, Ki Sugo Rugo seolah telah mengklaim dirinya sebagai pemenang. "Ketua ..." Lalang Hitam dan Ki Rindung Petoko berniat menghampiri pimpinan Bulan Darah, tapi dibentak keras olehnya. "Bodoh!" ucap Ki Sugo Rugo, "dua dari kalian telah mati." "Maafkan kami," Ki Rindung Petoko memilih untuk membungkuk daripada ter
Dewangga tua menopang tubuhnya dengan pedang, sebelum kemudian berhasil berdiri dengan baik. Dia menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba mengumpulkan energi sebanyak yang bisa dia kumpulkan.Pedang pusaka di tangannya tampak bergetar untuk beberapa lama sebelum kemudian kembali tenang seperti sedia kala."Harus bertahan ..." ucap Dewangga.Lalang Hitam tidak suka melihat tekad orang tua itu, dia membencinya. Pria itu mengarahkan mata pedang besarnya ke depan, bersiap untuk melakukan tebasan terakhir yang mungkin membunuh Dewangga tua."Kekek ..." Subansari berteriak keras, mendekati kakeknya, tapi dia dihentikan oleh teriakan Dewangga."Jangan menggangu," ucap Dewangga, "perhatikan baik-baik pelajaran terakhir yang akan kuberikan kepada dirimu.""Kakek ..." Subansari menutup mulutnya, terkejut sekaligus takut. Kalimat yang diucapkan oleh Dewangga, seperti sebuah pesan sebelum menemui kematian.Dewangga mencengkram gagang pedang de