"Aku tidak tahu sampai kapan bisa bernapas untuk melindunginya," ucap Panglima tersebut, "tapi aku percaya jika Tuanku akan membawa kebaikan suatu saat nanti."
Lanting Beruga menatap gadis kecil itu, tampak begitu nyaman saat sedang tidur. Sepertinya dia masih berumur 9 tahunan, atau mungkin kurang, tapi di usia seperti itu dia harus merelakan masa kanak-kanaknya karena berjuang hidup dari buruan negerinya sendiri.
Mencoba untuk pergi ke Swarnadwipa adalah satu-satunya pilihan yang mereka miliki saat ini. Meminta perlindungan negri tersebut, mengingat ibunya berasal dari tanah Andalas.
"Jika Swarnadwipa tidak bisa melindunginya, entah kemana lagi kami harus bersembunyi ..." ucap Panglima itu.
"Kenapa kau mengatakan rahasia ini kepadaku?" tanya Lanting Beruga.
"Entahlah, aku rasa kau bukan orang jahat, paling tidak aku bisa mencurahkan semua yang kupikirkan saat ini."
Lanting Beruga sekali lagi menatap ke arah Gadis Kecil itu, Gadis yang bern
Sementara itu, Yanca berada di atas kapal yang melaju kencang. Bersama dengan dirinya ada beberapa orang pendekar level tanpa tanding dan dua orang pendekar level bumi tinggi.Yanca berdiri tegak di atas dek utama kapal, dengan menatap tajam ke arah Kapal Kekaisaran Tang, dan jelas tidak senang.Perang dingin antara Kekaisaran Tang dan Aliran Darah Besi semakin meruncing semenjak perang politik antara kedua belah pihak.Kini diantara dua kelompok ini mulai memperkuat diri, dan tampaknya akan saling menekan satu sama lain."Sudah aku duga, Kekaisaran Tang tidak akan tinggal diam setelah mendengar informasi mengenai prasasti tersebut," gumam Yanca, dia mengepalkan tinju dengan kuat."Kita beruntung Serikat Satria tidak turun tangan," ucap seorang pendekar level bumi yang lain."Siapa yang tahu, Serikat Satria bertambah kuat beberapa tahun terakhir, meski mereka cendrung diam dan fokus melindungi Benua Sundaland, tapi nyatanya kita
Beberapa hari telah berlalu.Di tepian pantai barat pulau Andalas Negri Swarnadwipa terlihat banyak orang sedang berlalu lalang di pinggiran dermaga besar.Beberapa di antara mereka adalah pedagang keliling, beberapa yang lain tampak seperti nelayan yang baru saja menepikan sampan mereka.Anak-anak kecil menyelam ke dalam pantai, kemudian tertawa girang setelah berhasil menangkap satu ekor ikan dengan tombak.Burung-burung camar berkicau riang, kadang kala berputar-putar di udara sebelum kemudian menukik menyambar ikan kecil yang malang.Deru suara ombak bersatu padu dengan hembusan angin yang sepoi-sepoi."Hari ini kita dapat tangkapan banyak," seorang nelayan sedang memanggul hasil tangkapannya, sedang berbicara dengan dua rekannya, juga memanggul banyak tangkapan ikan."Laut hari ini benar-benar bersahabat, sangat jarang kita mendapatkan tangkapan sebanyak ini," timpal temannya yang lain.Mereka akan membawa ikan-ikan
Sementara itu, Kapal Aliran Darah Besi berhasil tiba di tempat ini setelah dua hari setelah Kapal Serikat Naga sampai.Selang beberapa jam kemudian, kapal Kekaisaran Tang juga menepi di pelabuhan Bay."Jangan menarik perhatian orang," ucap Yanca, mengingat ada banyak dari anggotanya yang tidak bisa berbicara dengan banyak bahasa, kecuali bahasa bumi tengah."Kami mengerti, Tuan Yanca ..."Kapal Aliran Darah Besi pada akhirnya menepi pula di dermaga. Ada beberapa orang keluar dari kapal itu, sedikit lebih banyak dari jumlah pendekar yang turun dari Kapal Serikat Naga.Semua pendekar yang dibawa oleh Yanca berada di level bumi rendah, di negara Swarnadwipa level seperti itu bisa saja menjadi panglima perang terbaik Kerajaan.Banyak nelayan mulai merasa khawatir dengan kedatangan orang-orang asing ke negara mereka.Seorang penjaga pelabuhan tidak bisa menahan rasa penasarannya dan mulai berjalan mendekati Yanca dan teman-temannya.
"Akhirnya kita sampai!" teriak Lanting Beruga, setelah sekian lama berayun di dalam tong besar ini, akhirnya dia bisa melihat daratan pula.Belum pula kapal itu menepi ke pelabuhan, Lanting Beruga sudah lebih dahulu mencebur ke pantai, dan berenang ke tepian. Bodoh! memangnya kapal tidak akan sampai.Lebih memilih berenang dibandingkan berada beberapa menit lagi di kapal itu.Lanting Beruga memijakkan kaki di laguna kecil di pinggir pelabuhan tersebut. Dia belum menyadari jika ada beberapa kapal sudah lebih dahulu mengaitkan jangkar di tepian pantai.Berjalan ke tepian semak kecil, pemuda itu jatuh terlentang pula di atas pantai putih."Dimana Kakak Lanting?" tanya Delima Kemala Putri.Panglima hanya tersenyum kecil sambil menunjuk ke sisi lain dermaga Bay."Sejak kapan dia ada di sana?" Delima Kemala Putri mengendus kesal, jika dia bisa berenang mungkin pula akan mengikuti jejak Lanting Beruga. Sambil merengek, gadis kecil itu
Satrio Langit datang terlambat ke Negri Swarnadwipa. Dia, Rindu Hati serta satu temannya yang gemar membuka peta setiap saat, datang tidak melewati Pelabuhan Bay.Informan Kelompok Sayap Putih sepertinya lebih cerdas daripada organisasi lain, dia berhasil menemukan titik pendaratan paling aman tanpa gangguan kelompok-kelompok lain."Kita akan menemukan kota kecil setelah berjalan setengah hari," ucap teman Satrio Langit."Cari penginapan," ucap Satrio Langit, "kita butuh makanan ..."Pemuda itu berjalan lebih dahulu, tapi kemudian langkah kakinya dihentikan oleh Rindu Hati, "bukan ke arah sana, jalan yang benar itu ke arah sana!" dia menunjuk ke arah utara."Aku ingin buang air kecil, bukan cari makanan!" jawab Satrio Langit. "Kau mau menemaniku, pipis?"Plak.Rindu Hati memukul lengan Satrio Langit dengan keras, sambil bersemu merah gadis itu berjalan ke arah utara lebih dahulu.Satrio Langit tertawa cekikikan, seb
Lanting Beruga melanjutkan perjalanan setelah beberapa hari tinggal di Kota Bay.Namun, rencananya sedikit meleset dari misi awalnya. Dia memutuskan untuk mengantar Delima Kemala Putri sampai ke Istana Swarnadwipa.Dari Kota Bay, menuju Istana itu mungkin akan membutuhkan beberapa hari lamanya, itu karena mereka berjalan begitu lambat. Kereta kuda yang dipesan oleh Panglima hanya muat beberapa orang saja, sementara sisa pendekar berjalan kaki.Di dalam kereta, Delima Kemala Putri ditemani oleh Garuda Kencana, sementara Panglima bertugas menjadi kusir kuda.Lanting Beruga duduk di atas atap kereta tersebut, menjuntaikan kakinya seraya bersiul kecil.Satu hari setelah bermalam di Kota Bay, Lanting Beruga kembali berpuasa seperti hari-hari sebelumnya."Kakak, apa kau tidak kepanasan?" tanya Delima Kemala Putri, "masuklah ke dalam, temani aku dan Garuda Kencana.""Hahaha ...Kakakmu ini tidak takut dengan api, apa lagi dengan cahaya mataha
Prajurit itu mengaku jika pemuda itu memiliki mata kiri yang buta, rambut bergelombang dan tubuh tinggi berisi.Panglima Berjanggut Pendek segara menyadari jika sosok pemuda itu adalah Lanting Beruga, tapi kenapa pemuda itu datang ke makam leluhur Kerajaan Swarnadwipa? kenapa?"Bawa beberapa prajurit penjaga, usir pemuda itu, jika perlu penjarakan dirinya!" ucap Maharajo Lelo.Raja itu terlihat kesal, bahkan orang-orang penting di Swarnadwipa tidak bisa masuk ke dalam makam leluhur sesuka hati mereka, tapi pemuda yang dikabarkan bermata satu itu malah lancang memasukinya."Maafkan atas gangguan yang terjadi," ucap Maharajo Lelo kepada Panglima Berjanggut Pendek."Tidak masalah Yang Mulia, kembali ke bahasan sebelumnya, saya berharap dengan sangat agar Yang Mulia Raja mau melindungi Delima Kemala Putri, lebih lagi dia memiliki darah Swarnadwipa pula."Maharajo Lelo tampak berpikir saat ini, keningnya mengernyit. Kemudian seorang penaseh
"Lama tidak bertemu, Yang Mulia Raja?" sapa Lanting Beruga.Tiga Panglima yang pernah mengiring Maharajo Lelo dalam pertemuan Serikat Satria kini menelan ludah. Jikalah bisa dilakukan, mereka ingin berlari ke ujung dunia dan sembunyi di lubang semut karena takut."Elang ...Api?" tanya Maharajo Lelo."Hahaha ...Aku kira kau tidak mengingat wajahku," timpal Lanting Beruga."Anu, begini ..." Maharajo Lelo menarik nafas dalam-dalam, memutar otaknya untuk menemukan kalimat yang pas untuk diucapkan. "Hemmm ...apa yang membuat dirimu datang ke seni? ...hemmm ...kenapa kau?""Kenapa aku pergi ke Swarnadwipa, atau kenapa aku datang ke makam leluhur bangsawan?" Lanting Beruga balik bertanya."Elang Api ..." Seorang Panglima membuka suara lebih dahulu, "Begini, sudah adat Swarnadwipa untuk melarang orang asing mengunjungi makam leluhur Bangsawan, kami hanya mengikuti aturan itu, kami tidak bermaksud melarang dirimu datang ke sini, tapi ..."