Esok harinya, Subansari telah berhasil menyerap mustika siluman kualitas terbaik, tekanan tenaga dalamnya menunjukan jika dia berada dipuncak pendekar emas saat ini. Hanya setengah langkah lagi untuk mencapai pendekar tanding.
Jika dia memiliki waktu satu minggu lagi, dengan sumber daya pelatihan yang sama, gadis itu mungkin akan menjadi pendekar tanding termuda di wilayah Majangkara.
Gadis itu berlari menemui Jendral Dewangga, lalu menanyakan apakah Lanting Beruga telah keluar dari latihan tertutupnya.
"Belum, dia masih menutup rapat pintu kamarnya," jawab Jendral Dewangga.
"Bukankah hari ini kita akan pergi ke Sursena?" tanya Subansari. "Apa menurutmu Lanting akan berhasil menyerap Pil Cakra Hijaunya?"
Subansari sebenarnya merasa sedikit bangga karena menyelesaikan latihan tertutupnya lebih cepat dari murid kesayangan neneknya itu.
Bagaimanapun, Subansari tidak bisa terima jika Lanting Beruga lebih hebat dari dirinya.
Namun ga
Lanting Beruga masih berusaha mengontrol kekuatan Roh Api, sehingga dia tidak terlalu khwatir ketika menggunakan kekuatan itu, mode kedua Aura Api. "Jika aku bisa mengendalikan kekuatan ini, bukan hanya aku dapat memiliki energi panas, tapi juga memiliki aura api ..." gumam Lanting Beruga. Pemuda itu berambisi untuk menciptakan sebuah aura, sebagaimana tekanan tenaga dalam pada setiap diri pendekar. Lagipula tekanan tenaga dalam juga sering dikatakan sebagai aura tenaga dalam. Apapun jenisnya, aura dapat menciptakan rasa takut kepada musuh. Hanya dengan merasakan aura seseorang, biasanya pendekar sudah dapat melihat sekuat apa lawan mereka. Melemahkan mental. Mode Ke dua Aura Api, bukan hanya memberi Lanting Beruga energi panas tapi juga memberinya aura panas yang dapat membuat pendekar dibawah level perunggu kehilangan kesadaran mereka. Jadi sekarang di dalam kepala pemuda itu ada banyak hal yang harus dia pahami, Keinginan pedang, ju
Tidak ada yang terjadi di hari ini, meski berada di tempat yang benar-benar tidak memiliki aturan sama sekali.Beberapa pendekar aliran hitam datang ke tempat itu, tapi tidak ada yang terlalu berani membuat onar, lagi pula orang yang memiliki otak tidak akan mendekati pendekar aliran hitam, jika matanya masih ingin melihat matahari besok pagi.Jendral Dewangga memesan sebuah tempat untuk ditinggali malam ini. Karena rumah yang disewa tidak terlalu besar, maka Lanting Beruga tidur bersama Dewangga dan Kusir Kuda, sementara Subansari tidur di kamar sebelah.Menjelang tengah malam, Lanting Beruga memutuskan untuk keluar dari kamarnya, keluar dari rumah itu dan melihat suasana jalur kelabang di malam hari.Tempat itu dipenuhi dengan obor dan lampu pelita, cukup damai jika malam hari."Masih ada orang yang berdagang?" tanya Lanting Beruga.Tidak jauh dari lokasi penginapannya, ada bangunan yang menjual aneka ragam keperluan pendekar.
Didalam kamarnya, Jendral Dewangga menyadari sesuatu yang tidak beres, jadi dia segera terjaga dan mengeluarkan bilah pedangnya.Sang Kusir mengikuti di belakang pria tua itu, meski dia hanya kusir tapi dia bisa bertarung seperti halnya para pendekar."Tutup mulut dan hidung!" perintah Jendral Dewangga. "Kurang ajar, mereka ingin bermain licik ..."Asap semakin mengepul di dalam penginapan tersebut, mulai membuat jarak pandangan mata menjadi terbatas.Jendral Dewangga baru ingat mengenai Subansari, bergegas ke kamar gadis itu dan menemukan Subansari berjalan sempoyongan.Rupanya Subansari telah menghirup asap beracun ini, membuat dia mulai lumpuh. "Jaga dia !" ucap Jendral Dewangga, kepada Kusir Kudanya.Pria tua itu kembali lagi ke kamar untuk memastikan keberadaan Lanting Beruga, tapi pemuda itu tidak ada lagi di dalam penginapan.Wajah Jendral Dewangga menjadi panik, apakah mereka sengaja datang ke tempat ini untuk mengincar Lantin
Nyai Seburuk Mayat meski dapat melihat cahaya merah yang datang tiba-tiba tersebut, tapi dia tidak bisa menghentikannya merebut Subansari yang dikelilingi oleh banyak anak buahnya. Pergerakan yang benar-benar cepat, Nyai Seburuk Mayat belum pernah melihat ada pendekar di bawah level tanding yang memiliki kecepatan seperti itu. Lanting Beruga membawa Subansari menjauhi tempat ini, sejauh yang dia bisa kemudian menyembunyikan tubuh gadis itu di antara batu-batu besar. Garuda Kencana datang terlambat, dia berkicau kecil menanyakan apa yang harus mereka lakukan saat ini. "Aku akan kembali, Jendral Dewangga mungkin sedang bertarung saat ini," ucap Lanting Beruga. "Namun kau harus berada di sini, melindungi Subansari." "Klik Klik Klik ..." Burung Kecil itu dapat bekerja sama, Lanting Beruga merasa lega meninggalkan Subansari saat ini. Pemuda itu kembali ke jalur Kelabang. Musuh yang dihadapi oleh Dewangga kali ini adalah petinggi Bulan Merah
Nyai Seburuk Mayat memasang kuda-kuda untuk menyerang, cahaya ungu mulai menyelimuti belati angkara murka di tanganya."Tebasan Seribu Derita."Banyak larik cahaya hijau berbentuk bulan sabit mengarah pada Jendral Dewangga.Serangan jarak jauh, yang sangat kuat. Puing-puing bangunan yang ada di tempat ini berhamburan, ledakan terjadi ketika setiap larik cahaya mengenai benda apapun.Bom bom bomJendral Dewangga mencoba menghindari semua serangan beruntun lawannya, hampir saja dia berhasil tapi salah satu dari anak buah Nyai Seburuk Mayat juga melepaskan serangan tak terduga, yang mengenai tubuh tua Jendral Dewangga.Serangan itu mungkin tidak seberapa bagi pak tua tersebut, tapi karena hal itu konsentrasinya menjadi terganggu, selarik cahaya ungu datang ke arah dirinya. Terkena telak.Tubuh tua Jendral Dewangga melayang beberapa saat di udara, sebelum kemudian terhempas, terseret beberapa jauhnya.Permukaan tanah membuat
Beberapa orang melihat hanya seorang pemuda yang mengayunkan pedang bercahaya merah. Tapi kekuatan yang ditimbulkan dari pedan bercahaya merah itu, bisa membuat semua benda hangus menjadi abu. "Sial, siap itu?!" berteriak keras kusir kuda yang menghianati mereka. "Aku ..." jawab Lanting Beruga. "Teganya kau menghianati kami." Kusir itu mengangkat pedangnya, mencoba menahan serangan Lanting Beruga dengan perasaan takut. "Tunggu, aku hanya dipaksa oleh mereka!" ucap kusir kuda tersebut. "Aku melangkah di jalan pedang, jika kau mati maka kau telah bersalah ..." Lanting Beruga mengayunkan pedangnya secepat kilat, memotong pedang kusir penghianat itu, juga memotong tubuh orang itu menjadi dua bagian. Sesaat kusir kuda menggelepar seperti ikan emas yang berada di daratan, dia berteriak keras, berguling dan berteriak keras lagi. Pemandangan itu membuat beberapa orang yang tersisa menjadi ketakutan. Setelah itu, l
Menjelang siang hari, Lanting Beruga dan Jendral Dewangga tidak berniat untuk kembali tertidur. Mereka berjaga-jaga jika saja musuh mungkin akan datang kembali, tapi rupanya tidak.Jendral Dewangga menghabiskan sebagian banyak ramuan penahan rasa sakit, untuk meredam luka dalam yang dia terima.Siang harinya, Lanting Beruga pergi ke toko dan menanyakan obat yang bisa membantu Jendral Dewangga."Tidak ada ramuan yang bisa mengobati luka dalam, hingga benar-benar sembuh ..." pemilik Toko tidak bisa memberikan ramuan apapun kepada Lanting Beruga."Yang benar saja, bukankah toko kalian paling ramai?" tanya Lanting Beruga. "Katakan berapa harga satu ramuan itu, aku akan membelinya."Pemilik Toko menggelengkan kepala, dia tentu saja bisa mendapatkan uang banyak dengan menipu pemuda keras kepala ini, tapi pada akhirnya pria itu hanya mengatakan, "kami tidak memiliki ramuan penyembuh itu."Lanting Beruga hampir saja membanting benda apapun di sekita
Barulah ketika Burung Garuda Kencana terbang dari pundak Lanting Beruga menuju tepat di hadapan kuda-kuda itu, perjalan mereka menjadi lebih tenang."Klik Klik Klik ..." ucap Garuda Kencana.Kuda bersuara, meringkih seakan mengerti apa yang telah dikatakan oleh Garuda Kencana."Klik Klik Klik ..." burung itu kemudian menghampiri Lanting Beruga, dan berkicau beberapa kali."Benarkah," ucap Lanting Beruga, pemuda itu tersenyum kecil, Garuda Kencana baru saja mengatakan, jika dia bisa mengendalikan kuda-kuda ini dengan energi silumannya. "Kalau begitu aku serahkan semuanya kepadamu!""Klik Klik Klik ..." Garuda Kencana terbang lagi dan berkicau kepada empat kuda yang menarik kereta mereka, beberapa saat kemudian, kuda-kuda itu benar-benar berubah menjadi penurut.Jendral Dewangga dan Subansari yang ada di dalam kereta menarik nafas lega. Beberapa waktu yang lalu, mereka berdua seolah tinggal di rumah yang diguncang gempa dahsyat. Nyaris jungkir