Beranda / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab. 20. Salah Tingkah

Share

Bab. 20. Salah Tingkah

Penulis: PopuJia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Minggir! Minggir!" Seru salah seorang diantara mereka kepada sebagian yang masih berdiri di ambang pintu dan menghalangi jalan.

"Lekas naikkan di mobil!"

Aku yang mendengar itu mendadak jiwa ragaku dikepung ketakutan. Bukan pertama kali aku mendapati seorang ibu yang keguguran lalu terjadi pendarahan hebat dan akhirnya meninggal dunia sebab kehabisan pasokan darah sebelum transfusi selesai.

Bagaimana jika itu Berlian? Ya Tuhan, sungguh takdirku begitu malang. Setelah berjuang untuk jumpa, malah …. ah, sudahlah.

"Bawa ke klinik!" seru seseorang kepada pria yang sudah duduk di depan kemudi.

Melihat orang membutuhkan pertolongan medis membuat jiwa kemanusiaan ku bergejolak. Buket-buket yang ada dalam genggaman segera kuletakkan begitu saja di kursi teras kemudian sigap menghampiri seorang lelaki yang tengah duduk santai di atas motornya, "Pak, ojek!" pintaku cepat sembari menepuk bahunya.

"Maaf. Bukan ojek, cuma datang melayat juga." Dengan santainya lelaki itu menjawab. Hanya menunjuk
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 21. Bertemu Berlian

    "M-maaf, Pak. Bisa minta tolong sebentar?" Aku mendekat ke arah petugas kebersihan klinik yang sedang istirahat."Minta tolong apa, Pak? Kalau mau duit, maaf gak bisa bantu." Dengan polosnya ia menjawab. Memangnya tampangku ini seperti orang yang tidak punya uang?"Bukan mau minta duit. Minta tolong diantar ke rumah teman.""Rumahnya di mana?""Di dekat taman baca.""Oh, dekat saja kok, bisa jalan kaki."Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, cuma jika harus jalan kaki di tengah terik begini, rasanya tengkuk hendak terbakar. Aku lantas membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu."Ini ongkosnya, Pak!" Kusodorkan uang itu di depannya berharap ia mau mengantarku."Ayo!" Uang itu disambarnya tanpa berpikir panjang.Tiba di rumah Berlian, suasana rumahnya sudah sepi, tak satu pun orang yang melayat tadi kulihat saat ini. Hanya dua buket yang masih setia di kursi teras. Aku merapikan penampilan, mengatur napas, lalu mengambil kembali dua buket itu, perlahan kuketuk pintu r

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 22. Gadis Atau Janda?

    Lho, Nak Hasyim belum menikah?" Nada sulit percaya terucap dari mulut ayah Berlian. Wajar. Usia sudah di angka empat, semua orang akan mengira sudah memiliki anak usia remaja."Belum, Pak.""Padahal dokter, lho. Kerjaan bagus begitu, langsung nunjuk perempuan pasti pada mau dijadikan isteri.""Yeah, belum tentu juga, Pak." Aku sedikit menyanggah biar tidak terlalu merasa percaya diri."Mungkin Nak Hasyim pasang kriteria terlalu tinggi.""Tidak, Pak. Cuman memang sejak kuliah di kedokteran, aku sibuk karena nyambi bekerja buat tambahan uang saku, hampir tidak ada waktu buat bermain-main sama temen-temen, terlebih lagi soal pacaran, tidak ada gadis yang berminat sama mahasiswa kere.""Waktu di rumah sakit, kamu bilang mau ngenalin aku sama istrimu, iya, kan?"Berlian menimpali, suaranya yang cempreng dan terdengar sengau karena menangis menjadi semakin terdengar lucu di telinga."Aku gak pernah bilang begitu." Memang iya, kan. Berlian cuma bilang mau kenalan dengan istriku, aku jawab sa

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 23. Mati Aku!

    Aku begitu pandai memang menyimpan perasaanku pada Berlian serapat mungkin. Tak ada celah untuk orang lain tahu. Bahkan dari gelagat pun kuupayakan tidak menunjukkan tanda spesial lalu akhirnya aku merasa terluka sendiri dan menyesal, mengapa tidak dari dulu aku utarakan agar perasaan ini tidak semakin menyiksa hari demi hari. Semakin aku berusaha melupakannya, semakin kuat pula ia hadir dalam ingatan.Seperti hari ini, agenda kedatanganku untuk melayat suaminya, tidak ada yang lain, tetapi malah terjebak dalam pembahasan masa lalu. Aku menyimakdan sesekali menimpali sembari memerhatikan detak jantungku yang mulai tak seirama."Maaf, Pak, eh, Lian. Di sini apa ada penginapan? Aku baru tahu kalau jadwal perahu dompeng hanya satu kali dalam sehari, mau tidak mau harus menginap."Sengaja kualihkan pembicaraan agar tidak semakin canggung. Masalah pendamping hidup adalah tema yang paling kuhindari, bosan jika harus mendapat pertanyaan yang sama dan terus berulang."Oh, iya memang. Makanya

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 24. Nyaris Ketahuan

    Sembari mengatur napas yang sempat berantakan, aku melangkah mendekat ke arah ayah Berlian. Beliau menunjukkan secarik kertas yang tadi sempat membuatku panik. Sekarang bukannya rasa panik itu hilang malah semakin bertambah. Aku berusaha menelan ludah yang mendadak tercekat."Makasih, Pak." Sigap aku meraih foto itu lalu memasukkannya dengan cepat ke dalam saku kemeja."Foto Berlian?""I-iya, Pak." Pura-pura aku mengusap tengkuk, seakan-akan kedinginan oleh angin malam."Dulu, Berlian sangat ingin kuliah, tetapi sejak insiden ia terjatuh dan matanya sakit, kondisi tidak memungkinkan sebab harus rutin check up. Foto itu mengingatkan bahwa ia pernah sangat manis dengan bola mata yang berbinar."Aku yang mendengar itu langsung dihantam rasa bersalah hebat. Aku penyebab kegagalan Berlian meraih cita-citanya.Ayah Berlian menatap laut lepas sembari mengenang masa remaja puteri satu-satunya. "Sekarang pun jika cuaca sangat panas, bola matanya sering berair dan sedkit gatal.""Kata dokter wa

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 25. Pengakuan Paling Jujur

    "Berlian satu-satunya sahabatku, Pak. Sejak kuliah aku tak pernah tahu informasi tentang Berlian, untunglah masih punya fotonya, setidaknya bisa jadi pengobat rindu sama masa-masa sekolah dulu.""Owh, jadi karena itu? Bukan sebab yang lain?"Sekali lagi, pertanyaan mematikan seperti ini membuatku susah berkutik. Ibarat berdiskusi, aku mendapat skak mat! Apa aku harus mengakuinya sekarang? Tapi, mungkin belum saatnya. Refleks tanganku meraih cangkir berisi sarabba' lalu menyeruputnya hingga tandas."Sepertinya Nak Hasyim suka sekali dengan sarabba', sampai menghabiskan dua cangkir." Ayah Berlian tertawa. Aku mendelik heran. Dua cangkir katanya? Oh, No! Benar. Dua cangkir. Ternyata efek skak mat, tanganku mengangkat cangkir milik ayah Berlian tanpa sadar. Mau bagaimana lagi, minuman jahenya sudah berenang di lambungku, tidak mungkin kumuntahkan kembali. Ini semua karena Berlian. Selalu membuatku salah tingkah."Oh, m-ma-af, Pak. Sarabba' nya terlalu nikmat." Jawaban asal kuberikan semba

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 26. Berlian Pingsan

    Seperti itu kalimat yang tiba-tiba melintas di kepalaku. Semacam ada perintah dari kata hati, lamar ia!Saat kembali ke kamar, kusimpan foto Berlian yang barusan membuatku panik tak karuan ke dalam dompet. Sekiranya tadi benar-benar hilang, maka bisa dipastikan rasa sakitku akan bertambah. Untunglah ada ayahnya dengan sigap mengamankan benda berhargaku itu.Kumandang azan Isya sudah terdengar, pantas saja ayah Berlian lebih dulu beranjak, mau tunaikan kewajiban di masjid. Aku? Berhubung tergolong musafir, jadi salat Maghrib dan Isya digabung menjadi satu.Aku memilih untuk tidur lebih awal sesuai nasehat ayah Berlian, biar tidak terlambat besok pagi. Sejak jadwalku di rumah sakit terus bertambah beberapa tahun belakangan, porsi tidur memang sedikit terganggu. Terkadang sedang nyenyak, ada panggilan darurat dan tidak bisa menolak. Sekarang, aku akan menikmati tidur dengan suara deburan ombak yang terkadang memecah hening, kadang juga mengajak terlelap.Sudah tiga puluh menit berlalu, t

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 27. Maukah Kamu Jadi Isteriku?

    Berlian menutup pintu setelah mengucap salam. Aku merasa terbang ke awan, tak peduli badai, guntur, petir yang menyambar mendengar ucapan terima kasihnya barusan. Ia bilang terima kasih karena sudah mengkhawatirkan dirinya. Duh, Berlian, andaikan kamu tahu 24 jam aku memikirkanmu selama bertahun-tahun, hanya saja aku pandai menutupinya sebab tak ingin merusak persahabatan kita. Tetapi, kali ini aku tidak akan melakukannya, akan kuutarakan seluruh rasaku padamu di saat yang benar-benar tepat. Hari ini. Titik.Aku kembali ke kamar, membilas badan yang sempat diguyur hujan lantas mengganti pakaian. Untunglah Bu Siah sigap memasukkan dua stelan baju dan celana ke dalam tas ransel yang kubawa. Kalau tidak, entah dengan apa aku berganti pakaian.Deras hujan di luar mulai berkurang, lalu sayup-sayup terdengar suara murottal dari arah masjid, itu tandanya waktu adzan subuh sebentar lagi akan berkumandang. Aku bersiap-siap, jarak masjid dan penginapan hanya beberapa meter saja, bisa berjalan

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 28. Masih Masa Iddah

    Berlian spontan terbatuk dengan kencang. "Jangan bercanda kamu, Syim. Ini masih pagi buta.""Siapa yang bercanda?""Tentu saja kamu.""Aku tidak bercanda. Ini serius.""Syim, aku tahu kapan kamu serius dan kapan bercanda. Kita udah bersahabat sejak lama.""Ini serius, Lian." Aku menekan kalimat agar Berlian tidak menganggap aku sedang bercanda."Dokter Hasyim, tanah kuburan suamiku bahkan belum kering, orang yang melayat pun terkadang masih ada, masa iddahku juga masih lama, puteraku pun sudah remaja, mengapa senekat ini ingin menjadikanku istri?""Memangnya kenapa? Aku hanya ingin menyampaikannya sekarang, soal akad nikah, ya tentu saja setelah masa iddahmu selesai.""Ya, aku paham. Namun, bukan itu. Apa yang kamu harapkan dari perempuan yang sudah tidak muda lagi sepertiku?""Aku butuh istri, partner hidup, dan anak-anak yang kelak bisa mendoakan.""Berarti aku bukan orang yang tepat.""Tidak tepat bagaimana?""Usia kita sama, Syim. Untuk standar perempuan sepertiku sebentar lagi me

Bab terbaru

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 75. Bahagia Tak Terkira (Tamat)

    Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 73. Jagung Rebus

    Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 72. Ngidam Berat

    "Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 71. Pisah Kamar

    Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Berlian Pingsan

    Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Menjemput Berlian

    Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 69. Terpasung Rindu

    Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 68. Rindu Tanakeke

    Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 67. Ya, Allah Sembuhkan Isteriku

    "Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu

DMCA.com Protection Status