Samar-samar terdengar suara adzan berkumandang. Membangunkan Nadia yang terlelap dari tidurnya. Keinginan Nadia untuk tidur lebih lama nyatanya tak bisa terwujud. Padahal ia hanya ingin sejenak melupakan masalahnya dengan berisitirahat. Sejenak mengistirahatkan hati dan pikirannya dari berbagai macam spekulasi yang ia buat sendiri atas kelanjutan hubungannya dengan Ega nanti. Namun hal itu pun tak bisa, sungguh kasihan Nadia. Semalaman ia tak lelap tidur. Pikirannya dihantui rasa harap-harap cemas. Harapannya pun telah pupus, karena sejak semalam sampai pagi ini tak ada kabar satu pun dari Ega yang muncul dari layar handphone Nadia. Mungkin sudah beribu kali Nadia mengecek benda pipih berwarna hitam itu. Hal yang sama berulang kali ia lakukan tanpa hasil sampai pagi ini. "Ega...apa kamu benar-benar menyerah?" Nadia berbicara pada dirinya sendiri dengan suara lirih dan serak. Sampai detik ini, Nadia hanya menunggu Ega menghubunginya. Tanpa mau memaksa keegoisanya untuk berinisiat
"Brakkkk...." Bunyi pintu yang ditutup tiba-tiba oleh Nadia itu terdengar cukup nyaring. Hampir saja membuat Ega melonjak karena kaget. "Nad...kok ditutup pintunya?" Tanya Ega yang dibuat penasaran oleh sikap Nadia. Bisa-bisanya ia ditinggal begitu saja. "Maaf Ega, kamu diluar sebentar ya." Pinta Nadia dari balik pintu yang terdengar samar oleh telinga Ega. Kemudian Nadia bersandar pada pintu. Kedua tangannya memegangi dadanya. Seolah ia memegangi jantungnya yang berdebar terlalu cepat agar tak keluar dari tubuhnya. "Kenapa Nad. Ada masalah? Kamu gak sakit kan? Kamu marah sama aku? Atau..." Ega melontarkan tanya bertubi-tubi. Ia teramat khawatir bila terjadi sesuatu yang tak mengenakkan pada Nadia. "Aku baik-baik aja Ga. Cuma.... Aku butuh waktu sebentar." Pinta Nadia kembali. "Okey. Aku tunggu." Ega mencoba bersabar. Meskipun hati dan pikirannya tak karuan saat ini. Namun ada rasa lega telah mengungkapkan perasaanya kepada Nadia. Namun lega saja tak cukup untuk Ega. Saa
Perasaan yang kacau menuntun Nadia melakukan apa saja demi bisa terhubung dengan Ega. Mulai dari mengirim pesan, sampai menelfon laki-laki itu berkali-kali. Namun usahanya seperti tak menunjukkan hasil. Seakan semua yang ia lakukan sia-sia. Hingga Nadia sampai pada ujung kesabarannya, mengambil kunci motor yang tergeletak diatas meja belajar dengan tergesa dan melangkah penuh rasa emosi yang ingin segera dia ungkapkan pada Ega. Nadia berkendara dengan begitu ugal-ugalan, memutar gas motornya kesetanan, seakan dia tak sabar ingin segera memangkas jarak kos-annya dengan lokasi dimana Ega berada. "Taman belakang kampus Fakultas Bahasa dan Seni," gumam Nadia berkali-kali di sepanjang perjalanannya. Informasi yang kemungkinan besar valid itu didapat Nadia dari sahabat Ega, Faris. Dan benar saja, sesaat setalah Nadia sampai diparkiran belakang kampus dekat dengan taman yang dipenuhi bunga warna warni, rumput segar kehijauan. Di sana juga terdapat pohon-pohon besar menjulang memberi ke
"Sorry guys, mending bubar aja ya, okey... okey...sorry, sorry banget..." Berkali-kali Faris memohon maaf kepada teman temanya, yang dengan terpaksa harus menghentikan obrolan dan mengusir mereka untuk pergi dari lokasi.Situasi semakin menegang antara Ega dan Nadia. Untung mereka mengerti dan segera pergi dari tempat itu.Tapi tidak dengan Faris, dia hanya sedikit menjauh dari dua remaja yang saat ini masih saling menatap penuh kemarahan. Memberi ruang untuk mereka berdua berbicara lebih jauh, namun tetap memantau dari jarak aman yang masih memungkinkan untuk mendengar obrolan Ega dan Nadia.Bukan karena Faris terlalu kepo, tapi dialah orang yang paling paham situasi saat ini. Faris tau apa yang telah terjadi antara Nadia dengan Ega, sahabatnya. Faris adalah orang yang paling tau apa penyebab ketegangan itu terjadi. Bahkan, Faris menjadi saksi hidup kejadian malam itu."Gue gak akan ngabulin permintaan Lo." Ega yang memulai bicara kembali sambil memegangi pipinya yang kemerahan akiba
Hari sudah gelap saat Nadia sampai di kos miliknya. Namun Nadia enggan menyalakan lampu. Dia ingin sejenak berada di dalam kegelapan. Dia ingin meratapi nasib buruk yang sedang ia terima saat ini. Rasanya tubuh Nadia begitu lelah seperti baru saja di timpa beban beratus-ratus ton beratnya. Begitu banyak energi yang Nadia habiskan sore tadi. Berdebat dengan Ega yang tak membuahkan hasil sangatlah melelahkan ternyata. Hal itu semakin membuat Nadia merutuki dirinya sendiri akan kebodohannya. Nadia tak tahan lagi, direbahkan tubuhnya diatas kasur lantai miliknya. Mencoba meletakan seluruh masalah yang sedang ia hadapi. Dan sesaat kemudian handphonenya berbunyi. Notifikasi pesan wa yang terdengar nyaring di heningnya kamar mampu menyita konsentrasi Nadia yang sedang berbaring. 'Selamat siang Nadia Hangesti Kami dari Bank ***** ingin menginformasikan bahwasanya Nadia lolos seleksi seleksi wawancara. Maka dari itu Nadia dimohon untuk segera menghubungi HRD kami guna menindaklanjuti inf
Nadia harus pergi meninggalkan orang tua dan kakaknya secepat mungkin jika tidak ingin mengecewakan mereka. Nadia seperti berlomba dengan waktu. Bila dia terlambat bertindak, terlambat mengasingkan diri, bukan tidak mungkin Nadia akan ketahuan. Meskipun hingga saat ini belum ada tanda-tanda ada nyawa lain ditubuh Nadia. Bukankah lebih baik Nadia menyimpan itu semua sendiri. Nadia tak bisa membayangkan, bagaimana hancurnya kedua orang tua mereka bila mengetahui anak gadisnya sudah tak gadis lagi. Bahwa ia sedang mengandung sebelum menikah. Sungguh kedua orang tua Nadia pasti akan sangat bersedih dan marah, tak bisa mendidik anak gadisnya dengan baik dan benar. Sebuah kegagalan yang teramat menyakitkan bagi orang tua bukan. Lamunan Nadia terhenti oleh dering handphonennya. "Nadiaaaa, kok Lo balik ke Solo gak kabar-kabar si Nad. gue cariin Lo di kos katanya Lo udah pergi semingguan ini. Jahat Lo Nad. Gue sahabat Lo bukan si? Jadi persahabatan kita yang hampir sewindu ini gak ada a
Lima tahun kemudian.----- "Halo ibuk, ada apa telfon?" Tanya Nadia kepada ibu dengan suara lirih. "Ayahmu nduk, ayahmu....hiks hiks hiks." Bukannya menjawab dengan jelas, ibu malah menangis keras-keras. Membuat Nadia panik seketika. "Ayah kenapa buk.....?" "Ayah dilarikan kerumah sakit, kena serangan jantung. " Seketika tubuh Nadia lemas, membuat ia tak mampu memegangi handphonenya yang masih menyala. Hingga benda pipih hitam itu terjatuh ke lantai menimbulkan bunyi yang keras dan mengagetkan teman-teman Nadia yang saat ini sedang menikmati makan siang mereka di sebuah restoran. "Nadia lo kenapa?" "Nadia Lo baik-baik aja kan?" Suara-suara teman-teman Nadia itu saling bersahutan. Menimbulkan keributan di lokasi mereka menyantap makan siang. Namun Nadia masih terpaku. Telinganya berdenging nyaring. Otaknya pun seolah kehilangan fungsi untuk sesaat hingga tak mampu merespon pertanyaan teman-temannya. "Gue harus balik ke Solo segera, Ayah gue masuk rumah sakit." Bul
Kepala Nadia seketika terasa pening melihat dua orang sahabat yang semakin intens membicarakan perjodohan dirinya. 'Kenapa gak tanya pendapat Nadia dulu si yah.' Batin Nadia dalam hati yang kelabakkan menerima kode 'persetujuan' yang diminta ayahnya. Ingin sekali Nadia mengirimkan kode penolakan pada sang ayah, namun seolah ayah selalu menghindar dari tatapan Nadia. 'Perjodohan jadi jalan yang terbaik untuk anak kesayanganku' Mungkin itu yang tergambar dari raut wajah Ayah yang saat ini terlihat lebih sehat dan bugar. Senyum dan tawa tak henti-hentinya menghiasai wajah ayah saat berbincang dengan teman lamanya itu. Topik pembicaraan tentang perjodohan Nadia dengan anak sahabatnya serasa jadi obat yang mujarab ketimbang obat yang selama ini diberikan dokter. Nadia tersenyum tipis, ada rasa bahagia dihatinya melihat ayah yang beberapa hari terakhir terkulai lemas karena sakitnya, kini terlihat begitu bersemangat dan sehat. 'Mungkinkan perjodohan ini harus Nadia terima demi kebah
"Brakkkk...." Bunyi pintu yang ditutup tiba-tiba oleh Nadia itu terdengar cukup nyaring. Hampir saja membuat Ega melonjak karena kaget. "Nad...kok ditutup pintunya?" Tanya Ega yang dibuat penasaran oleh sikap Nadia. Bisa-bisanya ia ditinggal begitu saja. "Maaf Ega, kamu diluar sebentar ya." Pinta Nadia dari balik pintu yang terdengar samar oleh telinga Ega. Kemudian Nadia bersandar pada pintu. Kedua tangannya memegangi dadanya. Seolah ia memegangi jantungnya yang berdebar terlalu cepat agar tak keluar dari tubuhnya. "Kenapa Nad. Ada masalah? Kamu gak sakit kan? Kamu marah sama aku? Atau..." Ega melontarkan tanya bertubi-tubi. Ia teramat khawatir bila terjadi sesuatu yang tak mengenakkan pada Nadia. "Aku baik-baik aja Ga. Cuma.... Aku butuh waktu sebentar." Pinta Nadia kembali. "Okey. Aku tunggu." Ega mencoba bersabar. Meskipun hati dan pikirannya tak karuan saat ini. Namun ada rasa lega telah mengungkapkan perasaanya kepada Nadia. Namun lega saja tak cukup untuk Ega. Saa
Samar-samar terdengar suara adzan berkumandang. Membangunkan Nadia yang terlelap dari tidurnya. Keinginan Nadia untuk tidur lebih lama nyatanya tak bisa terwujud. Padahal ia hanya ingin sejenak melupakan masalahnya dengan berisitirahat. Sejenak mengistirahatkan hati dan pikirannya dari berbagai macam spekulasi yang ia buat sendiri atas kelanjutan hubungannya dengan Ega nanti. Namun hal itu pun tak bisa, sungguh kasihan Nadia. Semalaman ia tak lelap tidur. Pikirannya dihantui rasa harap-harap cemas. Harapannya pun telah pupus, karena sejak semalam sampai pagi ini tak ada kabar satu pun dari Ega yang muncul dari layar handphone Nadia. Mungkin sudah beribu kali Nadia mengecek benda pipih berwarna hitam itu. Hal yang sama berulang kali ia lakukan tanpa hasil sampai pagi ini. "Ega...apa kamu benar-benar menyerah?" Nadia berbicara pada dirinya sendiri dengan suara lirih dan serak. Sampai detik ini, Nadia hanya menunggu Ega menghubunginya. Tanpa mau memaksa keegoisanya untuk berinisiat
Perjalanan yang Ega dan Nadia rencanakan hancur sudah. Mereka kira dengan melakukan perjalanan itu bisa membuat mereka lebih mengenal satu dan yang lain. Namun kenyataanya terbalik. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan berakhir dengan tangis kepiluan. Ega dan Nadia telah merencanakan untuk menghabiskan waktu bersama seharian ini. Namun nyatanya, saat hari masih terang mereka terpaksa harus berpisah demi meredam emosi masing-masing. Ega tak ingin bila kebersamaan mereka hanya akan membuat mereka semakin tak nyaman. Maka dari itu, Ega memutuskan untuk segera meninggalkan Nadia didepan kosnya begitu saja. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan Nadia?" Mata Nadia menatap ke langit-langit kamarnya yang berwarna putih itu dengan tubuh yang telentang diatas kasurnya. Sedang angannya menerawang mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu. Saat Ega meluapkan keresahan hati kepadanya. "Kenapa rasanya...." Nadia menutup matanya. Ada bimbang di dalam hatinya yang teramat besar. Nam
Genggaman itu seharusnya bisa menguatkan keduanya. Memberikan energi baru untuk Nadia maupun Egi yang nyatanya sama-sama lelah telah sekian lama memendam luka atas keegoisan masa muda. Mereka telah saling membuka diri. Saling menyelami pribadi yang dulu tak sempat mereka pahami. Mereka telah saling memaafkan, atas kenangan pahit yang menggerus masa dan asa. Mereka telah mencoba untuk saling menerima, dengan seluruh kurang dan lebihnya. Namun memang tak semudah itu memulai kisah baru dengan orang yang terpaut masa lalu bukan. Karena hati yang dulu pernah koyak, tak akan bisa lagi sama meski sudut lain didalam relungnya menginginkan untuk bersama. Karena bayang-bayang masa lalu akan terus melekat pada mereka dan sulit untuk ditanggalkan dengan mudahnya. ----- Tangan yang beberapa saat yang lalu sempat terpaut erat kini telah terlepas. Bukan Ega atau Nadia, namun keduanya secara bersamaan melepas tautan itu. Seolah mereka sepakat tak memaksa diri untuk saling memahami. Nadi
"Egaaa.... udah deh senyum-senyumnya. Ngeselin." Nadia merajuk sambil berulang kali memukul lengan Ega. Ia teramat kesal dengan Ega yang tak mendengar perintahnya. "Iya-iya...Udah ini." Ega mengulum bibirnya susah payah untuk menghentikan senyumnya. Namun hal itu malah semakin membuat Nadia kesal. "Udah apanya. Masih itu." Nadia masih tak terima. Ia melipat kedua tangannya di dada dan melayangkan tatapan tajam kepada Ega yang masih menyetir. "Seneng kamu ya dapet dukungan penuh." Lanjut Nadia. "Seneng dong dapet dukungan penuh dari calon papa mertua. Jadi makin lancar kan jalanku untuk dapetin kamu." Ucap Ega sangat percaya diri yang dibalas tatapan tajam oleh Nadia. Namun Ega tak menghiraukan itu. "Udah yuk turun. Kita udah sampai ini. Aku udah lama banget pingin kesini sama kamu Nad." Mobil berhenti disebuah lahan parkir luas pinggir pantai yang telah berjejer mobil-mobil para pengunjung lain. Disana juga terdapat deretan kios-kios kecil yang menjual aneka ragam olahan h
Mobil benar-benar melaju cukup pelan. Selain karena kemacetan kota Jogja, namun juga karena Ega sengaja melakukan itu. Dia sangat menikmati perjalanan ini, begitupun Nadia. Seolah perjalanan ini adalah rencana tamasya yang telah lama ingin mereka wujudkan. Hingga tampak raut-raut wajah kebahagiaan yang terpancar dari Ega maupun Nadia. Mereka saling bercerita tentang banyak hal disepanjang perjalanan. Tanpa ragu ataupun malu. Sepertinya Ega dan Nadia telah sama-sama membuka diri untuk saling mengenal dan saling mengerti sebelum benar-benar berkomitmen untuk bersama lagi. "Trus.....nasib ilmu arsitekturmu gimana? Gak kepake dong. Sayang banget." Tanya Nadia penuh dengan rasa penasaran. Bukan tanpa alasan Nadia menanyakan hal itu. Karena selama Ega membagi cerita tentang dirinya, tak pernah sekalipun menyinggung tentang keinginannya dulu semasa kuliah untuk menjadi seorang arsitek handal. "Masih kepake kok Nad. Kadang aku bantu temen kalau mereka ada proyek dan pas aku lagi gak
Rasa sakit itu seolah berlipat-lipat ganda saat kita melihat orang yang kita sayang sedang dirundung kesedihan. Seperti itulah yang terlihat saat ini. Seolah mendung hitam masih bergelayut dimata Ega. ia terlihat masih larut dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam. "Ega kita mau kemana?" Mobil telah melaju beberapa saat yang lalu. Meninggalkan area parkir rumah makan itu. Namun rasanya jiwa Ega masih tertinggal disana. Ia masih terpaut dalam cerita dan rasa bersalah tentang adiknya juga kisahnya bersama Nadia dulu. Hingga ia tak mampu mendengar Nadia yang mengajaknya bicara. "Kok kamu diem aja gak jawab?" Ia melihat kearah Ega yang tengah mengemudi dengan tatapan kosong. Membuat Nadia mulai resah karena tak kunjung mendapat respon dari Ega. "Egaaa.. please hentikan mobilnya. Aku gak mau celaka karena kamu sembrono kayak gini." Nadia menaikkan nada bicaranya demi menyadarkan Ega. Ega terperanjat. ia menginjak pedal rem dengan tiba-tiba. Mobilpun berhenti seketika. Berun
Entah siapa yang lebih dulu memulai hingga bisa sampai pada sebuah kesepakatan untuk bertemu diwaktu yang cukup pagi ini. Baik Ega maupun Nadia begitu bersemangat untuk bangun lebih awal padahal keduanya tak bisa tidur nyenyak semalam. Namun hasrat untuk segera bertemu kembali seperti menggelorakan jiwa mereka. Mengalahkan rasa kantuk yang mendera keduanya. "Kita sarapan dulu ya Nad?" Tanpa menunggu persetujuan dari Nadia, Ega melajukan mobil untuk berbelok di hamparan halaman luas sebuah rumah makan yang menyediakan menu-menu masakan Jawa. Juru parkir pun dengan sigap memandu Ega untuk mensejajarkan mobil miliknya dengan mobil-mobil pengunjung lain. "Kenapa?" Ega menatap Nadia yang masih duduk manis tanpa pergerakan. Padahal mesin mobil sudah mati, seharusnya mereka segera turun bukan. Nadia tak menjawab, ia tersenyum tipis dan menunjukkan raut keraguan. "Satu, yang harus aku ingat sekarang." Ega menjeda kalimatnya. Ia melepaskan sabuk pengaman. Lalu tersenyum kepada Nadia y
Sungguh diluar dugaan, Nadia begitu lancar mengutarakan keresahan hatinya di depan Ega. Ia bahkan tak menolak saat dipeluk oleh laki-laki itu. Semudah itukah hatinya luluh? Semudah itukan ia menerima kehadiran Ega? Semudah itukah ia melupakan rasa sakit yang selalu menghantuinya selama ini? "Kenapa pelukan Ega senyaman itu?" Nadia berdialog dengan dirinya sendiri di dalam hati. Rasa nyaman berada dalam dekapan Ega seolah masih tertinggal ditubuhnya yang saat ini telah terbungkus selimut. Hingga membuat ia sesekali tersenyum mengenang adegan yang benar-benar tak pernah terfikir olehnya. Tak henti-hentinya ia terus memutar memori kebersamaan yang baru saja ia lalui dengan Ega beberapa saat yang lalu itu. "Tingggg..." Sebuah bunyi notifikasi di handphonenya menghentikan lamunannya. Menginterupsi konsentrasi yang sedari tadi tertuju pada ingatan-ingatan tentang Ega. Cepat-cepat Nadia meraih handphone yang tergeletak di atas meja kecil itu. Segera mengecek adakah hal penting yang mem