Hari sudah gelap saat Nadia sampai di kos miliknya. Namun Nadia enggan menyalakan lampu. Dia ingin sejenak berada di dalam kegelapan. Dia ingin meratapi nasib buruk yang sedang ia terima saat ini.
Rasanya tubuh Nadia begitu lelah seperti baru saja di timpa beban beratus-ratus ton beratnya. Begitu banyak energi yang Nadia habiskan sore tadi. Berdebat dengan Ega yang tak membuahkan hasil sangatlah melelahkan ternyata. Hal itu semakin membuat Nadia merutuki dirinya sendiri akan kebodohannya. Nadia tak tahan lagi, direbahkan tubuhnya diatas kasur lantai miliknya. Mencoba meletakan seluruh masalah yang sedang ia hadapi. Dan sesaat kemudian handphonenya berbunyi. Notifikasi pesan wa yang terdengar nyaring di heningnya kamar mampu menyita konsentrasi Nadia yang sedang berbaring. 'Selamat siang Nadia Hangesti Kami dari Bank ***** ingin menginformasikan bahwasanya Nadia lolos seleksi seleksi wawancara. Maka dari itu Nadia dimohon untuk segera menghubungi HRD kami guna menindaklanjuti informasi tersebut pada jam kerja. Terimakasih.' Seketika Nadia terduduk, dan berulang kali membaca pesan wa itu. "Okey....saatnya gue harus memperbaiki semuanya, bertanggung jawab atas apa yang telah gue perbuat." Nadia berdialog dengan dirinya sendirj. Tanpa berfikir panjang, Nadia segera mengemasi barang-barangnya yang masih tertinggal di kos. Menatanya serapi mungkin agar semua bisa masuk ke dalam tas ransel yang ia miliki. Dia terlihat begitu bersemangat. Rasa lelah beberapa saat yang lalu sempat menghampirinya serasa hilang seketika. 'Gue gak akan balik ke sini lagi' Ucap Nadia dalam Hati. ----- Nadia Hangesti, nama yang ia sandang sejak ia dilahirkan ke dunia oleh ibunya. Nadia terlahir di keluarga yang berkecukupan. Ibunya seorang ibu rumah tangga, sedang ayahnya seorang guru. Nadia tumbuh dalam keluarga yang hangat. Nilai-nilai agama tertanam kuat di kehidupan Nadia hingga ia tumbuh menjadi seorang gadis manis yang santun dan baik hati. Nadia memiliki seorang kakak perempuan yang berbeda 2 tahun darinya. Nayla Anggraini, kakak yang teramat sayang dengan Nadia, yang kurang dari seminggu ini akan mengakhiri masa lajangnya dengan pria idamannya. "Lo Nad, kok kamu dirumah." Kak Nayla begitu terkejut melihat Nadia yang sedang memarkirkan motornya di teras rumah. "Iya, baru aja sampai kak." Jawab Nadia santai. "Bukan gitu maksudnya, kamu ini lho sudah dirumah aja, padahal tadi siang kakak wa masih di Semarang." Selidik sang kakak. Nadia hanya tersenyum. "Aku pingin pulang, kangen Kak Nay, kan bentar lagi aku ditinggal nikah." Rengek manja Nadia sambil memeluk kakaknya. "Iihh...apaan si peluk-peluk, kamu bau keringet ahh Nad." Kak Nayla menggeliat dipeluk Nadia dengan erat. Mencoba melepaskan pelukannya namun gagal. "Kamu tu ya, balik dari Semarang kok malem-malem Nad, siap-siap diomeli ayah kamu nanti." Segera Nadia melepaskan pelukannya, melihat kearah jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Memang jarum jam sudah menunjukkan hampir jam 10 malam. Pas kan bila Kak Nayla berkata seperti itu. "Aku gak betah lama-lama di Semarang kak, pingin cepet-cepet pulang." "lahhh...kan bentar lagi diwisuda to, nanti habis wisuda juga balik ke Solo. Kamu ini aneh." Tak ada balasan dari Nadia atas ucapan kakaknya itu. Nadia hanya tersenyum. "Senyum-senyum,, udah sana ketemu ayah sama ibu, kak Nay mau beli gula di warung." Nadia mengangguk, mematuhi perintah kak Nayla. ----- Setelah Nadia selesai mandi dan ganti baju, Ia bergabung dengan orangtuanya dan kak Nayla yang masih ngobrol di ruang tv. Padahal ini hampir tengah malam, namun obrolan mereka masih berlanjut. Ditambah dengan kedatangan Nadia yang tiba-tiba membuat pembicaraan beralih tentang kesiapan wisuda Nadia dan segala macam urusan perkuliahan. Seolah Nadia sedang diinterogasi kan. Nadia tak mau membuang waktu. setalah sesi tanya jawab soal perkuliahan selesai, Nadia merasa ini waktu yang tepat untuk mengutarakan niatnya. "Ayah, Ibu, Kak Nayla, Nadia mau ngomong sesuatu, yang serius." Obrolan ibu dan kak Nayla tentang persiapan pernikahannya Kak Nayla terhenti seketika. Mereka langsung mengarahkan pandangannya kepada Nadia, begitu juga dengan sang Ayah. "Apa nduk, kamu mau ngomong apa?" Tanya sang Ayah dengan sangat lembut. "Jangan bilang kamu mau minta nikah juga nduk." Canda Ibu dengan tersenyum memandang Nadia. Sedang kak Nayla hanya diam, khikmat mendengarkan. "Eeemm...Nadia minta izin....." "Izin apa?" Tanya ayah kembali, terlihat sangat tak sabaran. "Nadia minta izin mau kerja di Jogja. Nadia sudah keterima kerja di salah satu bank di Jogja. Nadia berangkat Senin depan. " Semuanya terdiam, terkejut dengan keputusan Nadia yang sangat tiba-tiba.Nadia harus pergi meninggalkan orang tua dan kakaknya secepat mungkin jika tidak ingin mengecewakan mereka. Nadia seperti berlomba dengan waktu. Bila dia terlambat bertindak, terlambat mengasingkan diri, bukan tidak mungkin Nadia akan ketahuan. Meskipun hingga saat ini belum ada tanda-tanda ada nyawa lain ditubuh Nadia. Bukankah lebih baik Nadia menyimpan itu semua sendiri. Nadia tak bisa membayangkan, bagaimana hancurnya kedua orang tua mereka bila mengetahui anak gadisnya sudah tak gadis lagi. Bahwa ia sedang mengandung sebelum menikah. Sungguh kedua orang tua Nadia pasti akan sangat bersedih dan marah, tak bisa mendidik anak gadisnya dengan baik dan benar. Sebuah kegagalan yang teramat menyakitkan bagi orang tua bukan. Lamunan Nadia terhenti oleh dering handphonennya. "Nadiaaaa, kok Lo balik ke Solo gak kabar-kabar si Nad. gue cariin Lo di kos katanya Lo udah pergi semingguan ini. Jahat Lo Nad. Gue sahabat Lo bukan si? Jadi persahabatan kita yang hampir sewindu ini gak ada a
Lima tahun kemudian.----- "Halo ibuk, ada apa telfon?" Tanya Nadia kepada ibu dengan suara lirih. "Ayahmu nduk, ayahmu....hiks hiks hiks." Bukannya menjawab dengan jelas, ibu malah menangis keras-keras. Membuat Nadia panik seketika. "Ayah kenapa buk.....?" "Ayah dilarikan kerumah sakit, kena serangan jantung. " Seketika tubuh Nadia lemas, membuat ia tak mampu memegangi handphonenya yang masih menyala. Hingga benda pipih hitam itu terjatuh ke lantai menimbulkan bunyi yang keras dan mengagetkan teman-teman Nadia yang saat ini sedang menikmati makan siang mereka di sebuah restoran. "Nadia lo kenapa?" "Nadia Lo baik-baik aja kan?" Suara-suara teman-teman Nadia itu saling bersahutan. Menimbulkan keributan di lokasi mereka menyantap makan siang. Namun Nadia masih terpaku. Telinganya berdenging nyaring. Otaknya pun seolah kehilangan fungsi untuk sesaat hingga tak mampu merespon pertanyaan teman-temannya. "Gue harus balik ke Solo segera, Ayah gue masuk rumah sakit." Bul
Kepala Nadia seketika terasa pening melihat dua orang sahabat yang semakin intens membicarakan perjodohan dirinya. 'Kenapa gak tanya pendapat Nadia dulu si yah.' Batin Nadia dalam hati yang kelabakkan menerima kode 'persetujuan' yang diminta ayahnya. Ingin sekali Nadia mengirimkan kode penolakan pada sang ayah, namun seolah ayah selalu menghindar dari tatapan Nadia. 'Perjodohan jadi jalan yang terbaik untuk anak kesayanganku' Mungkin itu yang tergambar dari raut wajah Ayah yang saat ini terlihat lebih sehat dan bugar. Senyum dan tawa tak henti-hentinya menghiasai wajah ayah saat berbincang dengan teman lamanya itu. Topik pembicaraan tentang perjodohan Nadia dengan anak sahabatnya serasa jadi obat yang mujarab ketimbang obat yang selama ini diberikan dokter. Nadia tersenyum tipis, ada rasa bahagia dihatinya melihat ayah yang beberapa hari terakhir terkulai lemas karena sakitnya, kini terlihat begitu bersemangat dan sehat. 'Mungkinkan perjodohan ini harus Nadia terima demi kebah
"Ayah, Om Firman, Nadia minta waktu sebentar untuk ngobrol berdua sama Ega, boleh." "Oohh...tentu, boleh." Tanpa menoleh, Nadia melangkahkan kakinya cepat-cepat keluar dari bangsal dimana Ayahnya dirawat. Diikuti oleh Ega dengan langkah yang lebar mengimbangi Nadia yang sudah menghilang dibalik pintu. "Liat mereka Pras...Cocok kan?" Kedua sahabat itu kompak tersenyum. Membayangkan dimasa depan nanti bisa berbesanan. ----- Nadia sudah duduk di sebuah bangku panjang taman dibawah pohon besar yang rindang itu. Bukannya menyusul, Ega malah seketika menghentikan langkahnya. Ia terus melihat ke arah punggung Nadia yang terlihat jelas karena rambut panjang yang Nadia miliki dulu telah ia pangkas sepundak. Membuat Nadia terlihat lebih segar dan dewasa. Setelah puas memandangi punggung Nadia, Ega melangkah kembali mendekat ke arah dimana Nadia berada. Kemudian Ega duduk disamping Nadia yang memandang lurus kedepan. Ega engan untuk memulai pembicaraan. Bukankah Nadia yang be
Nadia mengambil sebuah kertas yang terselip di dalam dompetnya. Lalu ia serahkan kertas hasil USG yang mulai usang itu kepada Ega yang termangu melihat ke arahnya. "Ini......." Tangan Ega bergetar menerima kertas itu. Hatinya bergemuruh, menimbulkan rasa sakit nan sesak di dadanya. "Iya....anakmu. Usianya baru sembilan Minggu. Dia gak bisa bertahan karena ibunya yang lemah dan bodoh ini." Nadia berucap dengan menahan tangisnya. Mengenang kembali kejadian dimana dia harus merelakan janin itu karena pendarahan hebat yang dialaminya sungguh sangatlah menyakitkan. Mendengar itu, dunia Ega terasa berhenti. Ia masih terus memandangi kertas itu dengan mata yang mulai memanas. Lehernya terasa dicekik, hingga tak mampu berkata apapun. Sedetik kemudian Ega tertunduk. Tubuhnya seperti tak memiliki tenaga lagi. Kemudian, airmatanya mulai menetes, membasahi pipinya. Baru kali ini Ega merasa teramat terluka. Baru kali ini Ega menangis menyesali kesalahan dan kebodohannya. ----- "Eg
"Ting tong... Ting tong..." 'Masih sepagi ini, tapi udah ada aja yang bertamu.' Gerutu Nadia dalam hati. Namun ia tetap melangkah ke arah pintu utama rumah orang tuannya demi membukakan pintu tamu yang dengan lancang mengganggu rencana bermalas-malasan Nadia. Nadia memang berencana istirahat total hari ini. Tidur sepanjang hari menjadi pilihannya mengembalikan tenaga setelah tiga hari berturut-turut harus tidur dirumah sakit menunggu sang Ayah. Apalagi semalam Nadia pulang dari rumah sakit saat sudah larut malam. Membuat Nadia diserang rasa ngantuk. "Haiii....Nadia..." Wajah cerah dengan senyum manis menyapa Nadia setelah membuka pintu. Ega dengan setelan kaos putih oversize dan celana jeans navi itu terlihat segar dan semakin tampan adalah tamu Nadia pagi ini. Nadia hanya terpaku dan memasang muka masam melihat Ega di depannya yang masih saja menampilkan senyum termanisnya. Ega sudah membuka mulutnya untuk menjelaskan kehadiran dirinya dirumah Nadia pagi ini, namun dering h
"Assalamualaikum tante, om."Setelah mengetuk pintu dan membukanya perlahan, Ega melangkah memasuki ruangan dimana Ayah Nadia dirawat sambil memberi salam. "Waalaikumsalam." Prasetyo dan Diana serentak menjawab salam dari Ega yang baru saja membuka pintu ruang inap ayah Nadia itu. "Maaf, mas siapa ya?" Tanya Diana, ibu Nadia penasaran. "Ini Ega Bu, anaknya Firman. Teman semasa kuliah ayah dulu." Jelas Prasetiyo. "Oohh...ini calon mantu ibu. Ganteng banget kamu nak Ega. Nadia mana nak? Harusnya kamu kesini sama Nadia kan?" Diana clingukan mencari sosok anak perempuannya yang belum nampak. "Ini Nadia Bu." Belum Ega menjawab, Nadia sudah lebih dulu muncul dibelakang Ega. "Dari mana kamu Nad, kok gak bareng datangnya." "Ada telfon dari kantor Bu." Jawab Nadia malas. "Oohhh....kerjaan terus yang kamu pikir Nadia, Nadia. Trus kapan kencannya?" Nadia manyun mendengar perkataan ibunya yang menyudutkannya itu. Heran, itu terus yang dibahas tiap ibu bertemu Nadia. Diana
Setelah semua urusan administrasi selesai, akhirnya Prasetyo sudah diperbolehkan pulang. Semua barang-barang sudah di tata kedalam tas dan koper. Obat-obatan untuk Prasetyo juga sudah diberikan oleh perawat beberapa saat yang lalu. Tak mau menunggu lagi, segera mereka meninggalkan bangsal yang selama lima hari ini Prasetyo tempati. Tak butuh waktu lama untuk sampai kerumah Nadia yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah sakit. Apalagi sudah melewati jam makan siang. Tentu kondisi lalu lintas tidak begitu macet. Sangat mempermudah perjalanan mereka siang itu. "Semua sudah turun ya nak Ega?" Tanya ibu sambil mengecek barang-barangnya yang sudah Ega keluarkan dari mobilnya. "Sudah Tante." "Ya udah, kamu lanjut kencan sana sama Nadia sekalian cari makan siang. Tante kan belum masak, bisa kelaparan nanti kamu nunggu Tante selesai masak." "Tapi Tante,.saya belum pamit om..." "Ahh...nanti Tante bilang sama om Pras, kamu jajan sana sama Nadia." Perintah Diana kepada Ega ter
"Brakkkk...." Bunyi pintu yang ditutup tiba-tiba oleh Nadia itu terdengar cukup nyaring. Hampir saja membuat Ega melonjak karena kaget. "Nad...kok ditutup pintunya?" Tanya Ega yang dibuat penasaran oleh sikap Nadia. Bisa-bisanya ia ditinggal begitu saja. "Maaf Ega, kamu diluar sebentar ya." Pinta Nadia dari balik pintu yang terdengar samar oleh telinga Ega. Kemudian Nadia bersandar pada pintu. Kedua tangannya memegangi dadanya. Seolah ia memegangi jantungnya yang berdebar terlalu cepat agar tak keluar dari tubuhnya. "Kenapa Nad. Ada masalah? Kamu gak sakit kan? Kamu marah sama aku? Atau..." Ega melontarkan tanya bertubi-tubi. Ia teramat khawatir bila terjadi sesuatu yang tak mengenakkan pada Nadia. "Aku baik-baik aja Ga. Cuma.... Aku butuh waktu sebentar." Pinta Nadia kembali. "Okey. Aku tunggu." Ega mencoba bersabar. Meskipun hati dan pikirannya tak karuan saat ini. Namun ada rasa lega telah mengungkapkan perasaanya kepada Nadia. Namun lega saja tak cukup untuk Ega. Saa
Samar-samar terdengar suara adzan berkumandang. Membangunkan Nadia yang terlelap dari tidurnya. Keinginan Nadia untuk tidur lebih lama nyatanya tak bisa terwujud. Padahal ia hanya ingin sejenak melupakan masalahnya dengan berisitirahat. Sejenak mengistirahatkan hati dan pikirannya dari berbagai macam spekulasi yang ia buat sendiri atas kelanjutan hubungannya dengan Ega nanti. Namun hal itu pun tak bisa, sungguh kasihan Nadia. Semalaman ia tak lelap tidur. Pikirannya dihantui rasa harap-harap cemas. Harapannya pun telah pupus, karena sejak semalam sampai pagi ini tak ada kabar satu pun dari Ega yang muncul dari layar handphone Nadia. Mungkin sudah beribu kali Nadia mengecek benda pipih berwarna hitam itu. Hal yang sama berulang kali ia lakukan tanpa hasil sampai pagi ini. "Ega...apa kamu benar-benar menyerah?" Nadia berbicara pada dirinya sendiri dengan suara lirih dan serak. Sampai detik ini, Nadia hanya menunggu Ega menghubunginya. Tanpa mau memaksa keegoisanya untuk berinisiat
Perjalanan yang Ega dan Nadia rencanakan hancur sudah. Mereka kira dengan melakukan perjalanan itu bisa membuat mereka lebih mengenal satu dan yang lain. Namun kenyataanya terbalik. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan berakhir dengan tangis kepiluan. Ega dan Nadia telah merencanakan untuk menghabiskan waktu bersama seharian ini. Namun nyatanya, saat hari masih terang mereka terpaksa harus berpisah demi meredam emosi masing-masing. Ega tak ingin bila kebersamaan mereka hanya akan membuat mereka semakin tak nyaman. Maka dari itu, Ega memutuskan untuk segera meninggalkan Nadia didepan kosnya begitu saja. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan Nadia?" Mata Nadia menatap ke langit-langit kamarnya yang berwarna putih itu dengan tubuh yang telentang diatas kasurnya. Sedang angannya menerawang mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu. Saat Ega meluapkan keresahan hati kepadanya. "Kenapa rasanya...." Nadia menutup matanya. Ada bimbang di dalam hatinya yang teramat besar. Nam
Genggaman itu seharusnya bisa menguatkan keduanya. Memberikan energi baru untuk Nadia maupun Egi yang nyatanya sama-sama lelah telah sekian lama memendam luka atas keegoisan masa muda. Mereka telah saling membuka diri. Saling menyelami pribadi yang dulu tak sempat mereka pahami. Mereka telah saling memaafkan, atas kenangan pahit yang menggerus masa dan asa. Mereka telah mencoba untuk saling menerima, dengan seluruh kurang dan lebihnya. Namun memang tak semudah itu memulai kisah baru dengan orang yang terpaut masa lalu bukan. Karena hati yang dulu pernah koyak, tak akan bisa lagi sama meski sudut lain didalam relungnya menginginkan untuk bersama. Karena bayang-bayang masa lalu akan terus melekat pada mereka dan sulit untuk ditanggalkan dengan mudahnya. ----- Tangan yang beberapa saat yang lalu sempat terpaut erat kini telah terlepas. Bukan Ega atau Nadia, namun keduanya secara bersamaan melepas tautan itu. Seolah mereka sepakat tak memaksa diri untuk saling memahami. Nadi
"Egaaa.... udah deh senyum-senyumnya. Ngeselin." Nadia merajuk sambil berulang kali memukul lengan Ega. Ia teramat kesal dengan Ega yang tak mendengar perintahnya. "Iya-iya...Udah ini." Ega mengulum bibirnya susah payah untuk menghentikan senyumnya. Namun hal itu malah semakin membuat Nadia kesal. "Udah apanya. Masih itu." Nadia masih tak terima. Ia melipat kedua tangannya di dada dan melayangkan tatapan tajam kepada Ega yang masih menyetir. "Seneng kamu ya dapet dukungan penuh." Lanjut Nadia. "Seneng dong dapet dukungan penuh dari calon papa mertua. Jadi makin lancar kan jalanku untuk dapetin kamu." Ucap Ega sangat percaya diri yang dibalas tatapan tajam oleh Nadia. Namun Ega tak menghiraukan itu. "Udah yuk turun. Kita udah sampai ini. Aku udah lama banget pingin kesini sama kamu Nad." Mobil berhenti disebuah lahan parkir luas pinggir pantai yang telah berjejer mobil-mobil para pengunjung lain. Disana juga terdapat deretan kios-kios kecil yang menjual aneka ragam olahan h
Mobil benar-benar melaju cukup pelan. Selain karena kemacetan kota Jogja, namun juga karena Ega sengaja melakukan itu. Dia sangat menikmati perjalanan ini, begitupun Nadia. Seolah perjalanan ini adalah rencana tamasya yang telah lama ingin mereka wujudkan. Hingga tampak raut-raut wajah kebahagiaan yang terpancar dari Ega maupun Nadia. Mereka saling bercerita tentang banyak hal disepanjang perjalanan. Tanpa ragu ataupun malu. Sepertinya Ega dan Nadia telah sama-sama membuka diri untuk saling mengenal dan saling mengerti sebelum benar-benar berkomitmen untuk bersama lagi. "Trus.....nasib ilmu arsitekturmu gimana? Gak kepake dong. Sayang banget." Tanya Nadia penuh dengan rasa penasaran. Bukan tanpa alasan Nadia menanyakan hal itu. Karena selama Ega membagi cerita tentang dirinya, tak pernah sekalipun menyinggung tentang keinginannya dulu semasa kuliah untuk menjadi seorang arsitek handal. "Masih kepake kok Nad. Kadang aku bantu temen kalau mereka ada proyek dan pas aku lagi gak
Rasa sakit itu seolah berlipat-lipat ganda saat kita melihat orang yang kita sayang sedang dirundung kesedihan. Seperti itulah yang terlihat saat ini. Seolah mendung hitam masih bergelayut dimata Ega. ia terlihat masih larut dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam. "Ega kita mau kemana?" Mobil telah melaju beberapa saat yang lalu. Meninggalkan area parkir rumah makan itu. Namun rasanya jiwa Ega masih tertinggal disana. Ia masih terpaut dalam cerita dan rasa bersalah tentang adiknya juga kisahnya bersama Nadia dulu. Hingga ia tak mampu mendengar Nadia yang mengajaknya bicara. "Kok kamu diem aja gak jawab?" Ia melihat kearah Ega yang tengah mengemudi dengan tatapan kosong. Membuat Nadia mulai resah karena tak kunjung mendapat respon dari Ega. "Egaaa.. please hentikan mobilnya. Aku gak mau celaka karena kamu sembrono kayak gini." Nadia menaikkan nada bicaranya demi menyadarkan Ega. Ega terperanjat. ia menginjak pedal rem dengan tiba-tiba. Mobilpun berhenti seketika. Berun
Entah siapa yang lebih dulu memulai hingga bisa sampai pada sebuah kesepakatan untuk bertemu diwaktu yang cukup pagi ini. Baik Ega maupun Nadia begitu bersemangat untuk bangun lebih awal padahal keduanya tak bisa tidur nyenyak semalam. Namun hasrat untuk segera bertemu kembali seperti menggelorakan jiwa mereka. Mengalahkan rasa kantuk yang mendera keduanya. "Kita sarapan dulu ya Nad?" Tanpa menunggu persetujuan dari Nadia, Ega melajukan mobil untuk berbelok di hamparan halaman luas sebuah rumah makan yang menyediakan menu-menu masakan Jawa. Juru parkir pun dengan sigap memandu Ega untuk mensejajarkan mobil miliknya dengan mobil-mobil pengunjung lain. "Kenapa?" Ega menatap Nadia yang masih duduk manis tanpa pergerakan. Padahal mesin mobil sudah mati, seharusnya mereka segera turun bukan. Nadia tak menjawab, ia tersenyum tipis dan menunjukkan raut keraguan. "Satu, yang harus aku ingat sekarang." Ega menjeda kalimatnya. Ia melepaskan sabuk pengaman. Lalu tersenyum kepada Nadia y
Sungguh diluar dugaan, Nadia begitu lancar mengutarakan keresahan hatinya di depan Ega. Ia bahkan tak menolak saat dipeluk oleh laki-laki itu. Semudah itukah hatinya luluh? Semudah itukan ia menerima kehadiran Ega? Semudah itukah ia melupakan rasa sakit yang selalu menghantuinya selama ini? "Kenapa pelukan Ega senyaman itu?" Nadia berdialog dengan dirinya sendiri di dalam hati. Rasa nyaman berada dalam dekapan Ega seolah masih tertinggal ditubuhnya yang saat ini telah terbungkus selimut. Hingga membuat ia sesekali tersenyum mengenang adegan yang benar-benar tak pernah terfikir olehnya. Tak henti-hentinya ia terus memutar memori kebersamaan yang baru saja ia lalui dengan Ega beberapa saat yang lalu itu. "Tingggg..." Sebuah bunyi notifikasi di handphonenya menghentikan lamunannya. Menginterupsi konsentrasi yang sedari tadi tertuju pada ingatan-ingatan tentang Ega. Cepat-cepat Nadia meraih handphone yang tergeletak di atas meja kecil itu. Segera mengecek adakah hal penting yang mem