Kepala Nadia seketika terasa pening melihat dua orang sahabat yang semakin intens membicarakan perjodohan dirinya.
'Kenapa gak tanya pendapat Nadia dulu si yah.' Batin Nadia dalam hati yang kelabakkan menerima kode 'persetujuan' yang diminta ayahnya. Ingin sekali Nadia mengirimkan kode penolakan pada sang ayah, namun seolah ayah selalu menghindar dari tatapan Nadia. 'Perjodohan jadi jalan yang terbaik untuk anak kesayanganku' Mungkin itu yang tergambar dari raut wajah Ayah yang saat ini terlihat lebih sehat dan bugar. Senyum dan tawa tak henti-hentinya menghiasai wajah ayah saat berbincang dengan teman lamanya itu. Topik pembicaraan tentang perjodohan Nadia dengan anak sahabatnya serasa jadi obat yang mujarab ketimbang obat yang selama ini diberikan dokter. Nadia tersenyum tipis, ada rasa bahagia dihatinya melihat ayah yang beberapa hari terakhir terkulai lemas karena sakitnya, kini terlihat begitu bersemangat dan sehat. 'Mungkinkan perjodohan ini harus Nadia terima demi kebahagiaan ayah?' 'Umurku memang sudah 27 tahun, usia yang matang bagi perempuan untuk menikah bukan.' 'Gak ada salahnya mencoba perjodohan ini.' 'Tapi anak om Firman seperti apa wajahnya, cakep tidak ya. Dia bakal Nerima perjodohan ini tidak ya?' Nadia terus berdialog dengan dirinya sendiri. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Hingga terdengar pintu diketuk, dan sesaat kemudian terbuka. Menampilkan sosok laki-laki tampan dengan perawakan tinggi dan berisi. Membuat Nadia syok seketika. "Nahh....Ini dia yang kita tunggu-tunggu dari tadi. Anak laki-laki yang satu-satunya om miliki. Gimana nak Nadia?" Tubuh Nadia menegang, seketika dia bangkit dari duduknya. Menatap mata itu dengan penuh rasa kebencian. Nadia tak menghiraukan keberadaan ayah dan Om Firman disana. "Tunggu... Kalian sudah selaing kenal?" Tanya om Firman entah kepada siapa. "Iya pa, Ega sama Nadia satu kampus dulu." Ega yang menjawab. Kalimat biasa yang berefek besar bagi Nadia. Entah suara Ega yang dengan lancar mengucap nama 'Nadia' terdengar begitu menyayat di hati Nadia. Nadia masih mematung dengan mata yang terpejam. ingatan-ingatan tentang pertemuan terakhirnya dengan Ega seolah ditarik kembali kedalam otaknya saat ini. Ternyata lima tahun bukanlah waktu yang cukup untuk Nadia melupakan kenangan buruknya bersama Ega. Sedang Ega terlihat lebih santai. Berjalan melewati Nadia yang masih mematung, mendekat kearah Prasetyo dan Firman berada. Kemudian Ega mencium tangan Prasetyo dengan penuh rasa hormat. "Hanega Eka Pratama om, panggil saja Ega." Ucap Ega dengan sangat lancar memperkenalkan diri yang dijawab anggukan pelan oleh Prasetyo. "Papa sama om Pras teman semasa kuliah dulu Ga,. Papa gak nyangka bisa ketemu di rumah sakit ini." Kata om Firman dengan wajah yang penuh kebahagiaan. "Om sama papamu ini malah sering dibilang kalau kami ini anak kembar, karena saking seringnya kemana-mana bersama. Padahal gak ada mirip-miripnya kan?" Kompak Prasetyo dan Firman tertawa terbahak-bahak mengenang masa-masa kuliah mereka. "Gini Ga, kamu sama Nadia sudah saling kenal, kalian juga sudah berusia matang dan pantas menikah, papa sama om Pras berencana menjodohkan kalian. Giman menurutmu? Kamu mau sama Nadia?" Ega tak menjawab, dia hanya melihat kearah Nadia yang tertunduk lesu. Pertemuannya kembali dengan Nadia yang tak terduga ini membuat situasi rumit. "Kok diem aja nak Ega, Giman mau gak kami jodohkan dengan Nadia?" kini Prasetyo yang bertanya. "Mau tunggu apa lagi Ga, umur sudah mo kepala tiga, finansialmu sudah okey kan. Tinggal nikah ini." Ucap Firman yang semakin membuat hati Ega kalut. Bingung harus menjawab apa. "Kalian ini kompak banget, ditanya gak ada yang jawab malah diem aja." Prasetyo terlihat tak sabaran menunggu jawaban anak laki-lakinya dan anak perempuan sahabatnya itu. "Iya ni, Nadia juga kenapa diem aja Nduk. Diam tandanya setuju lho." Lebih parah lagi, Prasetyo malah dengan enaknya mengartikan diamnya Nadia dengan sebuah persetujuan. "Ega setuju pa, om." "Apaaaa...." Mata Nadia terbelalak mendengar ucapan Ega yang singkat dan tiba-tiba itu. " Iya, Aku setuju dijodohkan sama kamu, nikah sama kamu." Tambah Ega lagi sambil melihat kearah Nadia yang masih syok. "Apaaaa...." "Nadia jangan apa-apa aja Nduk, jawab juga setuju gitu. " "Yah.... jangan paksa Nadia seperti ini." Pinta Nadia memelas. "Nak Ega sudah setuju dijodohkan sama kamu, trus apa lagi? Ayah akan sangat bahagia jika kamu mau segera menikah apalagi dengan anak sahabat ayah." Skakmat, kalimat yang keluar dari mulut Prasetyo membuat Nadia kalah telak membuat Nadia terdiam seketika. Hal ini bukan sekedar tentang perjodohan, tapi tentang kebahagiaan ayah Nadia yang sedang dipertaruhkan. Memang selama ini Prasetyo selalu mendesak Nadia untuk segera menikah. Namun Nadia selalu beralasan dan bisa mengelak. Padahal umurnya sudah menunjukkan kesiapan untuk menikah bukan. "Demi kebahagiaan ayah nduk. Ayah akan sangat lega sekali kalau kamu sudah menikah. Rasanya beban dipundak ayah akan terangkat bila melihatmu segera menikah. Apalagi ayah sudah sakit-sakitan kayak gini."Ayah, Om Firman, Nadia minta waktu sebentar untuk ngobrol berdua sama Ega, boleh." "Oohh...tentu, boleh." Tanpa menoleh, Nadia melangkahkan kakinya cepat-cepat keluar dari bangsal dimana Ayahnya dirawat. Diikuti oleh Ega dengan langkah yang lebar mengimbangi Nadia yang sudah menghilang dibalik pintu. "Liat mereka Pras...Cocok kan?" Kedua sahabat itu kompak tersenyum. Membayangkan dimasa depan nanti bisa berbesanan. ----- Nadia sudah duduk di sebuah bangku panjang taman dibawah pohon besar yang rindang itu. Bukannya menyusul, Ega malah seketika menghentikan langkahnya. Ia terus melihat ke arah punggung Nadia yang terlihat jelas karena rambut panjang yang Nadia miliki dulu telah ia pangkas sepundak. Membuat Nadia terlihat lebih segar dan dewasa. Setelah puas memandangi punggung Nadia, Ega melangkah kembali mendekat ke arah dimana Nadia berada. Kemudian Ega duduk disamping Nadia yang memandang lurus kedepan. Ega engan untuk memulai pembicaraan. Bukankah Nadia yang be
Nadia mengambil sebuah kertas yang terselip di dalam dompetnya. Lalu ia serahkan kertas hasil USG yang mulai usang itu kepada Ega yang termangu melihat ke arahnya. "Ini......." Tangan Ega bergetar menerima kertas itu. Hatinya bergemuruh, menimbulkan rasa sakit nan sesak di dadanya. "Iya....anakmu. Usianya baru sembilan Minggu. Dia gak bisa bertahan karena ibunya yang lemah dan bodoh ini." Nadia berucap dengan menahan tangisnya. Mengenang kembali kejadian dimana dia harus merelakan janin itu karena pendarahan hebat yang dialaminya sungguh sangatlah menyakitkan. Mendengar itu, dunia Ega terasa berhenti. Ia masih terus memandangi kertas itu dengan mata yang mulai memanas. Lehernya terasa dicekik, hingga tak mampu berkata apapun. Sedetik kemudian Ega tertunduk. Tubuhnya seperti tak memiliki tenaga lagi. Kemudian, airmatanya mulai menetes, membasahi pipinya. Baru kali ini Ega merasa teramat terluka. Baru kali ini Ega menangis menyesali kesalahan dan kebodohannya. ----- "Eg
"Ting tong... Ting tong..." 'Masih sepagi ini, tapi udah ada aja yang bertamu.' Gerutu Nadia dalam hati. Namun ia tetap melangkah ke arah pintu utama rumah orang tuannya demi membukakan pintu tamu yang dengan lancang mengganggu rencana bermalas-malasan Nadia. Nadia memang berencana istirahat total hari ini. Tidur sepanjang hari menjadi pilihannya mengembalikan tenaga setelah tiga hari berturut-turut harus tidur dirumah sakit menunggu sang Ayah. Apalagi semalam Nadia pulang dari rumah sakit saat sudah larut malam. Membuat Nadia diserang rasa ngantuk. "Haiii....Nadia..." Wajah cerah dengan senyum manis menyapa Nadia setelah membuka pintu. Ega dengan setelan kaos putih oversize dan celana jeans navi itu terlihat segar dan semakin tampan adalah tamu Nadia pagi ini. Nadia hanya terpaku dan memasang muka masam melihat Ega di depannya yang masih saja menampilkan senyum termanisnya. Ega sudah membuka mulutnya untuk menjelaskan kehadiran dirinya dirumah Nadia pagi ini, namun dering h
"Assalamualaikum tante, om."Setelah mengetuk pintu dan membukanya perlahan, Ega melangkah memasuki ruangan dimana Ayah Nadia dirawat sambil memberi salam. "Waalaikumsalam." Prasetyo dan Diana serentak menjawab salam dari Ega yang baru saja membuka pintu ruang inap ayah Nadia itu. "Maaf, mas siapa ya?" Tanya Diana, ibu Nadia penasaran. "Ini Ega Bu, anaknya Firman. Teman semasa kuliah ayah dulu." Jelas Prasetiyo. "Oohh...ini calon mantu ibu. Ganteng banget kamu nak Ega. Nadia mana nak? Harusnya kamu kesini sama Nadia kan?" Diana clingukan mencari sosok anak perempuannya yang belum nampak. "Ini Nadia Bu." Belum Ega menjawab, Nadia sudah lebih dulu muncul dibelakang Ega. "Dari mana kamu Nad, kok gak bareng datangnya." "Ada telfon dari kantor Bu." Jawab Nadia malas. "Oohhh....kerjaan terus yang kamu pikir Nadia, Nadia. Trus kapan kencannya?" Nadia manyun mendengar perkataan ibunya yang menyudutkannya itu. Heran, itu terus yang dibahas tiap ibu bertemu Nadia. Diana
Setelah semua urusan administrasi selesai, akhirnya Prasetyo sudah diperbolehkan pulang. Semua barang-barang sudah di tata kedalam tas dan koper. Obat-obatan untuk Prasetyo juga sudah diberikan oleh perawat beberapa saat yang lalu. Tak mau menunggu lagi, segera mereka meninggalkan bangsal yang selama lima hari ini Prasetyo tempati. Tak butuh waktu lama untuk sampai kerumah Nadia yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah sakit. Apalagi sudah melewati jam makan siang. Tentu kondisi lalu lintas tidak begitu macet. Sangat mempermudah perjalanan mereka siang itu. "Semua sudah turun ya nak Ega?" Tanya ibu sambil mengecek barang-barangnya yang sudah Ega keluarkan dari mobilnya. "Sudah Tante." "Ya udah, kamu lanjut kencan sana sama Nadia sekalian cari makan siang. Tante kan belum masak, bisa kelaparan nanti kamu nunggu Tante selesai masak." "Tapi Tante,.saya belum pamit om..." "Ahh...nanti Tante bilang sama om Pras, kamu jajan sana sama Nadia." Perintah Diana kepada Ega ter
"Gak...aku gak mau kamu anter ke Jogja. Aku bisa nyetir sendiri. Ngapain pakai anter-anter segala." "Om Prasetyo yang minta Nad. Aku gak bisa nolak lah." "Tolak tinggal tolak aja. Kan bisa kamu alesan apa gitu, sibuk lah, ada acara lah. Atau apapun yang penting kamu gak usah anter aku. Pokoknya aku gak mau kamu anter. Titik. "Tut..Tut..Tut ..." Sambungan telfon diputus sepihak oleh Nadia yang marah maksimal. Marah kepada Ega dan juga marah kepada ayahnya yang sudah bertindak seenaknya itu. ---- Nadia melangkah keluar kamarnya. Mencari-cari dimana sang Ayah berada. Dia ingin sekali meluapkan emosinya kepada Prasetyo. Namun keinginannya itu urung Nadia lakukan setelah melihat laki-laki yang paling dia cintai itu sedang terduduk lemah di sofa ruang keluarga dan siap meminum obat yang Ibu sodorkan. Benar-benar simalakama. Bila Nadia menerima, dia akan bersama laki-laki yang paling ia benci yaitu Ega di sepanjang perjalananya dari solo ke Jogja. Tapi bila menolak, Nadia t
Kata orang, 'hidup adalah pilihan'. Namun itu tidak berlaku untuk Nadia. Bila diizinkan memilih, Nadia tak ingin berurusan sedikitpun dengan Ega. Laki-laki yang sedang berada di sampingnya saat ini. Masa lalu yang sangat melukai Nadia dulu itu, sudah susah payah ia atasi hingga mampu bertahan lima tahun ini. Nadia berjuang sendiri, menghadapi pahit kehidupan yang tak mampu ia bagi beban beratnya kepada orang-orang terdekatnya. Ia memilih terasing, menikmati segala luka dan derita. Namun sekali lagi, takdir yang tidak bisa Nadia tentukan, tidak bisa Nadia pilih itu seolah mempermainkan dengan begitu bercandanya. Membuat luka yang sudah mengering terasa perih kembali saat ia harus dipertemukan lagi dengan Hanega Eka Pratama. Dan yang lebih menyakitkan, orang-orang terkasihnya begitu bersemangat mendorongnya untuk bisa bersama dan berjodoh dengan Ega. Takdir macam apa ini? Ayah, Ibu, Kak Nay, Mas Wisnu dan si kecil ganteng Zian kompak melambaikan tangan. Sambil tersenyum mereka m
'Melihatmu tertawa lepas seperti saat ini, mengapa membuat hatiku berbunga-bunga Nad. ' Ega membatin sambil mengulum kedua bibirnya, menahan senyum dengan susah payah. Ia sesekali mencuri pandang kearah Nadia yang masih asik ngobrol dengan Icha lewat sambungan video call. "Awas ya, kalau sampai Lo terima si Ega. Pokoknya gue gak restuin." "Ya gak mungkinlah Cha. Gila apa gue nerima dia. Gue gak mau ya terluka untuk yang kedua kalinya. " Nadia seperti sengaja meninggikan suaranya. Ingin memanas-manasi Ega pastinya. Dua orang sahabat ini tak ada sungkan-sungkannya membahas Ega. Padahal orangnya ada disamping Nadia. Ega juga bisa dengan jelas mendengar umpatan-umpatan yang di lontarkan Icha untuknya meski dari sepeaker handphone Nadia. Namun entah mengapa hal itu tak mengusik Ega sama sekali. Malah sebaliknya, Nadia dan Icha yang mengomelinya, namun Ega merasa lega. Sungguh perasaan yang aneh kan. 'Aku gak perduli, kamu maki-maki aku kayak gimana Nad. Yang jelas, aku bahagia sa
"Brakkkk...." Bunyi pintu yang ditutup tiba-tiba oleh Nadia itu terdengar cukup nyaring. Hampir saja membuat Ega melonjak karena kaget. "Nad...kok ditutup pintunya?" Tanya Ega yang dibuat penasaran oleh sikap Nadia. Bisa-bisanya ia ditinggal begitu saja. "Maaf Ega, kamu diluar sebentar ya." Pinta Nadia dari balik pintu yang terdengar samar oleh telinga Ega. Kemudian Nadia bersandar pada pintu. Kedua tangannya memegangi dadanya. Seolah ia memegangi jantungnya yang berdebar terlalu cepat agar tak keluar dari tubuhnya. "Kenapa Nad. Ada masalah? Kamu gak sakit kan? Kamu marah sama aku? Atau..." Ega melontarkan tanya bertubi-tubi. Ia teramat khawatir bila terjadi sesuatu yang tak mengenakkan pada Nadia. "Aku baik-baik aja Ga. Cuma.... Aku butuh waktu sebentar." Pinta Nadia kembali. "Okey. Aku tunggu." Ega mencoba bersabar. Meskipun hati dan pikirannya tak karuan saat ini. Namun ada rasa lega telah mengungkapkan perasaanya kepada Nadia. Namun lega saja tak cukup untuk Ega. Saa
Samar-samar terdengar suara adzan berkumandang. Membangunkan Nadia yang terlelap dari tidurnya. Keinginan Nadia untuk tidur lebih lama nyatanya tak bisa terwujud. Padahal ia hanya ingin sejenak melupakan masalahnya dengan berisitirahat. Sejenak mengistirahatkan hati dan pikirannya dari berbagai macam spekulasi yang ia buat sendiri atas kelanjutan hubungannya dengan Ega nanti. Namun hal itu pun tak bisa, sungguh kasihan Nadia. Semalaman ia tak lelap tidur. Pikirannya dihantui rasa harap-harap cemas. Harapannya pun telah pupus, karena sejak semalam sampai pagi ini tak ada kabar satu pun dari Ega yang muncul dari layar handphone Nadia. Mungkin sudah beribu kali Nadia mengecek benda pipih berwarna hitam itu. Hal yang sama berulang kali ia lakukan tanpa hasil sampai pagi ini. "Ega...apa kamu benar-benar menyerah?" Nadia berbicara pada dirinya sendiri dengan suara lirih dan serak. Sampai detik ini, Nadia hanya menunggu Ega menghubunginya. Tanpa mau memaksa keegoisanya untuk berinisiat
Perjalanan yang Ega dan Nadia rencanakan hancur sudah. Mereka kira dengan melakukan perjalanan itu bisa membuat mereka lebih mengenal satu dan yang lain. Namun kenyataanya terbalik. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan berakhir dengan tangis kepiluan. Ega dan Nadia telah merencanakan untuk menghabiskan waktu bersama seharian ini. Namun nyatanya, saat hari masih terang mereka terpaksa harus berpisah demi meredam emosi masing-masing. Ega tak ingin bila kebersamaan mereka hanya akan membuat mereka semakin tak nyaman. Maka dari itu, Ega memutuskan untuk segera meninggalkan Nadia didepan kosnya begitu saja. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan Nadia?" Mata Nadia menatap ke langit-langit kamarnya yang berwarna putih itu dengan tubuh yang telentang diatas kasurnya. Sedang angannya menerawang mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu. Saat Ega meluapkan keresahan hati kepadanya. "Kenapa rasanya...." Nadia menutup matanya. Ada bimbang di dalam hatinya yang teramat besar. Nam
Genggaman itu seharusnya bisa menguatkan keduanya. Memberikan energi baru untuk Nadia maupun Egi yang nyatanya sama-sama lelah telah sekian lama memendam luka atas keegoisan masa muda. Mereka telah saling membuka diri. Saling menyelami pribadi yang dulu tak sempat mereka pahami. Mereka telah saling memaafkan, atas kenangan pahit yang menggerus masa dan asa. Mereka telah mencoba untuk saling menerima, dengan seluruh kurang dan lebihnya. Namun memang tak semudah itu memulai kisah baru dengan orang yang terpaut masa lalu bukan. Karena hati yang dulu pernah koyak, tak akan bisa lagi sama meski sudut lain didalam relungnya menginginkan untuk bersama. Karena bayang-bayang masa lalu akan terus melekat pada mereka dan sulit untuk ditanggalkan dengan mudahnya. ----- Tangan yang beberapa saat yang lalu sempat terpaut erat kini telah terlepas. Bukan Ega atau Nadia, namun keduanya secara bersamaan melepas tautan itu. Seolah mereka sepakat tak memaksa diri untuk saling memahami. Nadi
"Egaaa.... udah deh senyum-senyumnya. Ngeselin." Nadia merajuk sambil berulang kali memukul lengan Ega. Ia teramat kesal dengan Ega yang tak mendengar perintahnya. "Iya-iya...Udah ini." Ega mengulum bibirnya susah payah untuk menghentikan senyumnya. Namun hal itu malah semakin membuat Nadia kesal. "Udah apanya. Masih itu." Nadia masih tak terima. Ia melipat kedua tangannya di dada dan melayangkan tatapan tajam kepada Ega yang masih menyetir. "Seneng kamu ya dapet dukungan penuh." Lanjut Nadia. "Seneng dong dapet dukungan penuh dari calon papa mertua. Jadi makin lancar kan jalanku untuk dapetin kamu." Ucap Ega sangat percaya diri yang dibalas tatapan tajam oleh Nadia. Namun Ega tak menghiraukan itu. "Udah yuk turun. Kita udah sampai ini. Aku udah lama banget pingin kesini sama kamu Nad." Mobil berhenti disebuah lahan parkir luas pinggir pantai yang telah berjejer mobil-mobil para pengunjung lain. Disana juga terdapat deretan kios-kios kecil yang menjual aneka ragam olahan h
Mobil benar-benar melaju cukup pelan. Selain karena kemacetan kota Jogja, namun juga karena Ega sengaja melakukan itu. Dia sangat menikmati perjalanan ini, begitupun Nadia. Seolah perjalanan ini adalah rencana tamasya yang telah lama ingin mereka wujudkan. Hingga tampak raut-raut wajah kebahagiaan yang terpancar dari Ega maupun Nadia. Mereka saling bercerita tentang banyak hal disepanjang perjalanan. Tanpa ragu ataupun malu. Sepertinya Ega dan Nadia telah sama-sama membuka diri untuk saling mengenal dan saling mengerti sebelum benar-benar berkomitmen untuk bersama lagi. "Trus.....nasib ilmu arsitekturmu gimana? Gak kepake dong. Sayang banget." Tanya Nadia penuh dengan rasa penasaran. Bukan tanpa alasan Nadia menanyakan hal itu. Karena selama Ega membagi cerita tentang dirinya, tak pernah sekalipun menyinggung tentang keinginannya dulu semasa kuliah untuk menjadi seorang arsitek handal. "Masih kepake kok Nad. Kadang aku bantu temen kalau mereka ada proyek dan pas aku lagi gak
Rasa sakit itu seolah berlipat-lipat ganda saat kita melihat orang yang kita sayang sedang dirundung kesedihan. Seperti itulah yang terlihat saat ini. Seolah mendung hitam masih bergelayut dimata Ega. ia terlihat masih larut dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam. "Ega kita mau kemana?" Mobil telah melaju beberapa saat yang lalu. Meninggalkan area parkir rumah makan itu. Namun rasanya jiwa Ega masih tertinggal disana. Ia masih terpaut dalam cerita dan rasa bersalah tentang adiknya juga kisahnya bersama Nadia dulu. Hingga ia tak mampu mendengar Nadia yang mengajaknya bicara. "Kok kamu diem aja gak jawab?" Ia melihat kearah Ega yang tengah mengemudi dengan tatapan kosong. Membuat Nadia mulai resah karena tak kunjung mendapat respon dari Ega. "Egaaa.. please hentikan mobilnya. Aku gak mau celaka karena kamu sembrono kayak gini." Nadia menaikkan nada bicaranya demi menyadarkan Ega. Ega terperanjat. ia menginjak pedal rem dengan tiba-tiba. Mobilpun berhenti seketika. Berun
Entah siapa yang lebih dulu memulai hingga bisa sampai pada sebuah kesepakatan untuk bertemu diwaktu yang cukup pagi ini. Baik Ega maupun Nadia begitu bersemangat untuk bangun lebih awal padahal keduanya tak bisa tidur nyenyak semalam. Namun hasrat untuk segera bertemu kembali seperti menggelorakan jiwa mereka. Mengalahkan rasa kantuk yang mendera keduanya. "Kita sarapan dulu ya Nad?" Tanpa menunggu persetujuan dari Nadia, Ega melajukan mobil untuk berbelok di hamparan halaman luas sebuah rumah makan yang menyediakan menu-menu masakan Jawa. Juru parkir pun dengan sigap memandu Ega untuk mensejajarkan mobil miliknya dengan mobil-mobil pengunjung lain. "Kenapa?" Ega menatap Nadia yang masih duduk manis tanpa pergerakan. Padahal mesin mobil sudah mati, seharusnya mereka segera turun bukan. Nadia tak menjawab, ia tersenyum tipis dan menunjukkan raut keraguan. "Satu, yang harus aku ingat sekarang." Ega menjeda kalimatnya. Ia melepaskan sabuk pengaman. Lalu tersenyum kepada Nadia y
Sungguh diluar dugaan, Nadia begitu lancar mengutarakan keresahan hatinya di depan Ega. Ia bahkan tak menolak saat dipeluk oleh laki-laki itu. Semudah itukah hatinya luluh? Semudah itukan ia menerima kehadiran Ega? Semudah itukah ia melupakan rasa sakit yang selalu menghantuinya selama ini? "Kenapa pelukan Ega senyaman itu?" Nadia berdialog dengan dirinya sendiri di dalam hati. Rasa nyaman berada dalam dekapan Ega seolah masih tertinggal ditubuhnya yang saat ini telah terbungkus selimut. Hingga membuat ia sesekali tersenyum mengenang adegan yang benar-benar tak pernah terfikir olehnya. Tak henti-hentinya ia terus memutar memori kebersamaan yang baru saja ia lalui dengan Ega beberapa saat yang lalu itu. "Tingggg..." Sebuah bunyi notifikasi di handphonenya menghentikan lamunannya. Menginterupsi konsentrasi yang sedari tadi tertuju pada ingatan-ingatan tentang Ega. Cepat-cepat Nadia meraih handphone yang tergeletak di atas meja kecil itu. Segera mengecek adakah hal penting yang mem