'Melihatmu tertawa lepas seperti saat ini, mengapa membuat hatiku berbunga-bunga Nad. ' Ega membatin sambil mengulum kedua bibirnya, menahan senyum dengan susah payah. Ia sesekali mencuri pandang kearah Nadia yang masih asik ngobrol dengan Icha lewat sambungan video call. "Awas ya, kalau sampai Lo terima si Ega. Pokoknya gue gak restuin." "Ya gak mungkinlah Cha. Gila apa gue nerima dia. Gue gak mau ya terluka untuk yang kedua kalinya. " Nadia seperti sengaja meninggikan suaranya. Ingin memanas-manasi Ega pastinya. Dua orang sahabat ini tak ada sungkan-sungkannya membahas Ega. Padahal orangnya ada disamping Nadia. Ega juga bisa dengan jelas mendengar umpatan-umpatan yang di lontarkan Icha untuknya meski dari sepeaker handphone Nadia. Namun entah mengapa hal itu tak mengusik Ega sama sekali. Malah sebaliknya, Nadia dan Icha yang mengomelinya, namun Ega merasa lega. Sungguh perasaan yang aneh kan. 'Aku gak perduli, kamu maki-maki aku kayak gimana Nad. Yang jelas, aku bahagia sa
Flashback on "Jadi bener rumornya, Lo pacaran sama Ega?" Nadia tersentak, hampir saja dia tersedak es teh manis yang sedang ia minum. Faris tak menghiraukan itu. Ia hanya terlihat sangat penasaran dan tak sabaran menunggu jawaban dari Nadia. "Pacaran.... ngak, kita cuma temenan aja." Nadia meletakan sendok dan garpunya. Menyudahi sesi makan malam yang baru habis setengah itu. Dia merasa tak nyaman dengan pertanyaan Faris yang tiba-tiba. "Kalian semesra ini, lo masih gak ngakuin." Faris menyodorkan handphonenya yang menampilkan sebuah foto seorang gadis dengan seorang laki-laki sedang duduk berdampingan di sebuah ruangan penuh buku. Foto Ega dengan Nadia ternyata. Nadia hanya melirik sekilas kearah handphone tanpa ekspresi yang berlebihan. "Rame banget jadi pembahasan di group anak-anak sipil angkatan kita." Kata Faris menambahi. "Beneran Ris, gue sama Ega gak pacaran. Kita cuma temenan. Lagian mesra dari mana coba. Orang itu kita lagi ngerjain skripsi bareng. Tu lia
"Aku nginep disini ya Nad." Ega berucap dengan santai. Namun mampu membuat Nadia tersentak dan menghentikan kegiatannya memasukkan barang-barang kedalam almari. "Apaaaaa..... Nginep?" Nadia melotot, matanya membulat sempurna. ia menatap tajam kearah Ega yang sedang duduk manis di atas sofa. Satu-satunya tempat duduk yang Nadia miliki di kosnya. "Ya, aku nginep disini aja dari pada cari hotel." Ega berkata sambil memejamkan mata dan membaringkan tubuhnya diatas sofa. Seolah tak menghiraukan tanggapan Nadia yang tidak setuju. Memang, tidak ada aturan lisan maupun tertulis dari sang induk semang yang menyatakan larangan untuk membawa pasangan menginap di kos atau hanya sekedar singgah sebentar. Lagi pula, kos yang Nadia tempati saat ini tak memiliki label gender 'Kos Putri' atau 'Kos Putra', yang mengartikan bahwa kos ini adalah 'Kos Bebas'. Bahkan ada pasangan suami istri yang tinggal di samping kamar nadia. Ada juga beberapa pasangan yang belum menikah bahkan menempati k
Ega berusaha sekuat tenaga membuka mata. Setalah entah berapa lama ia tertidur lelap berkat obat yang Nadia paksa untuk dia minum semalam. Suhu tubuh Ega sudah menurun. Badannya juga mulai terasa lebih enteng. Dan semua itu berkat Nadia yang mengurusnya bukan. Mata Ega mencoba memindai seluruh sudut kamar Nadia. Walaupun hanya dengan cahaya temaram dari balik tirai jendela, Ega mampu dengan jelas melihat Nadia yang duduk bersimpuh dan sedikit mencondongkan tubuhnya di pinggir kasur tidur yang sama dengan Ega. Kepala Nadia bersandar di dekat lengan Ega. Dan yang membuat mata Ega membelalak sempurna, jari-jari tangannya terkait kuat dengan jari-jari milik Nadia. Ega mencoba mengingat kembali kejadian semalam. Memaksa memori di dalam otaknya untuk berputar kembali. Namun sayang, usahanya sia-sia. 'Ini nyata kan? Apakah ini pertanda jika kita memang ditakdirkan untuk bersama Nad?' Ega bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri sambil terus tersenyum tipis dan memandangi tangan yang ma
"Nadia.... Boleh gak kalau kita mampir ke suatu tempat sebelum aku anter kamu ke kantor? Janji deh gak bikin kamu telat masuk kerja. Cuma sebentar Nad." Mereka baru saja masuk kedalam mobil. Mesinya pun belum Ega nyalakan. Namun Ega sudah membuat Nadia mengerutkan kedua alisnya. "Emang mau kemana?"Tanya Nadia dengan nada suara santai sambil memasang seatbealt nya. "Aku ingin bertemu dia Nad." Pinta Ega dengan sungguh-sungguh. Membuat Nadia semakin penasaran, siapa orang yang ingin Ega temui sepagi ini. "Siapa?" "Belahan jiwaku." Emang dasar si Ega ini brengsek kan. Niatnya saja mau meluluhkan hati Nadia. Membawa Nadia kembali kepelukannya. Tapi, nyatanya Ega punya yang lain kan. "Hanega Eka Pratama....kamu tu ya, udah punya belahan jiwa, kok bisa-bisanya nerima perjodohan kita. Gak kasihan kamu sama pacar kamu? Gak kasihan sama orang tua kita?" Nadia mendelik. Nada suaranya sudah tak sesantai tadi. Ia merasa kesal, karena sudah masuk dalam perangkap Ega yang menyebalkan
"Lho...Hanega, kok kamu di sini. Bukan kah seharusnya kamu di Solo. Katanya mau mulai bisnis disana kan?" Kakek Ega begitu terkejut mendapati cucu kesayangannya turun dari sebuah taksi bandara. Berjalan menuju kearahnya, dan mencium punggung tangan laki-laki tua itu penuh rasa hormat. Kemudian Ega berjalan gontai melewati kakek yang mematung di teras rumah mewahnya. "Gak jadi Kek, berubah pikiran aku." Ega menjawab dengan tanpa melihat kearah Kakek. Entah mengapa ia merasa lelah sekali. Padahal hanya melakukan perjalanan dari Jogja ke Jakarta dengan menggunakan pesawat yang memakan waktu tak lebih dari satu setengah jam itu. Ega menjatuhkan tubuhnya di sebuah sofa hitam panjang di ruang keluarga. Berbaring tengkurap dan menenggelamkan wajahnya pada satu bantal empuk yang ia ambil dari barisan bantal persegi yang tertata rapi pada salah satu sisi sofa. Ega tak menghiraukan kakeknya yang ternyata mengikutinya dari belakang. Ia hanya ingin segera beristirahat. Melepaskan semua pe
Makan tak enak, tidur tak nyenyak, fokus tak bisa maksimal, tiba-tiba meras gelisah, menjadi penyakit Nadia akhir-akhir ini. Tak bisa dipungkiri fisiknya tak ada masalah, namun batinnya seperti terusik setelah kedatangan Ega beberapa waktu yang lalu. Nadia pikir, setelah Ega pamit di parkiran tempatnya bekerja hari itu, semuanya akan baik-baik saja. Kehidupannya akan kembali seperti semula sebelum kehadiran Ega yang tak terduga. Nyatanya tidak demikian. Nadia salah memprediksi. Nyatanya, Nadia tak bisa menghilangkan bayang-bayang Ega dengan mudah. Bahkan fikirannya selalu dipenuhi oleh laki-laki yang selama ini Nadia hindari itu. Bahkan, meskipun Nadia sedang berada di tengah-tengah makan malam bersama teman-teman sekantornya seperti saat ini pun, ia masih terus memikirkan Ega. Tiba-tiba handphone Nadia berdering. Ada panggilan masuk dari Prasetyo, sang ayah. Menginterupsi lamunan Nadia yang masih berputar-putar tentang Ega. "Sorry...Gue keluar dulu ya, ada telfon." Izin Nadi
Hari semakin larut. Dan berlama-lama dengan Ega dalam satu ruang yang sama tidaklah hal yang baik untuk Nadia. Apalagi Nadia sedang mengalami gejala nervous bila berdekatan dengan laki-laki yang paling ia benci itu. Bila tak segera diakhiri sesi ini, Nadia bisa saja tak terkendali. "Jadi....Kamu kesini mau apa? Ada yang penting? Sebenarnya kan kamu bisa telfon, jadi gak harus kesini dan nunggu aku sampai selarut ini." Tanya Nadia sambil memainkan handphone miliknya. Menghindari bertatapan langsung dengan mata Ega yang sedari tadi memandangnya tanpa henti. "Aku gak bisa Nad kalau cuma telfon. Aku ingin ketemu kamu langsung. Tapi aku juga gak mau ganggu acaramu. Menunggu kamu pulang kerja seperti saat ini bukan hal yang buruk aku pikir." Ega tersenyum mengakhiri kalimatnya. Melihat sikap Nadia yang salah tingkah seperti ini seolah membawanya kembali kemasa-masa beberapa tahun yang lalu. *Flashback on* "Nadia...." "Hemmm...." "Lo udah lama kenal sama Faris? Gue liat kal