Hari sudah melewati tengah malam. Namun Nadia masih terjaga. Fikirannya tak terkontrol. Membayangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi setalah keputusan Ega untuk menetap di Jogja. Hati Nadia terusik. Kekacauan hidup yang sempat tertata harus kembali menghadapi dilema rasa. "Please Nad, tidur. Gak usah mikirin Ega terus." Nadia berdialog dengan dirinya sendiri dalam gelap. Tubuhnya sudah tertutup selimut untuk menghalau dinginnya suhu ruangan kamar yang ber AC itu. Beberapa kali dia menarik selimut untuk menutupi kepalanya kemudian dibuka kembali. Gemas dengan kisah hidup yang harus ia jalani ini. ----- "Nadia bangun. Ini sudah siang. Kamu gak kerja?" "Nadiaaaa.... Buka pintunya!" "Nadia, sudah siang lho ini." Ega mengetuk pintu kamar kos Nadia sambil terus memangilnya berulang kali. Dia sudah tak perduli lagi dengan penghuni kos lain yang mungkin saja terganggu oleh perbuatannya. Bagi Ega, yang terpenting sekarang adalah membuat Nadia terbangun agar tidak telat be
Dari kejauhan, Ega bisa melihat Nadia berlari kearahnya sambil sesekali mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Nadia masih terlihat cantik, selalu cantik, meskipun dijam pulang kerja seperti sekarang. Hanya saja kecantikan itu sedikit terinterupsi oleh kecemasan hatinya saat ini. "Langsung jalan?" Tanya Ega pada Nadia yang telah berada tepat didepannya. Nadia berusaha terlihat biasa saja meski dengan gampang Ega tau betapa risaunya hati Nadia saat ini. "Iya" Nadia menjawab singkat. Ia segera naik kedalam mobil milik Ega. Pun Ega yang sedikit berlari memutar ke sisi lain mobil dan bergegas masuk kedalamnya. "Kamu gak mau ambil baju atau barang dulu di kos?" Tanya Ega kembali sambil menyalakan mesin mobil siap untuk melaju. "Gak usah, langsung jalan aja!" Titah Nadia pada Ega yang siap melajukan mobilnya. Nadia terlihat tak sabaran dan gelisah. Kedua tangannya bertautan cukup erat. Seolah menahan emosi yang siap meluap. "Okey." Ega menurut saja. Ia membagi fokusnya me
"Cantik." Nadia berbisik lirih kepada dirinya sendiri. Matanya berbinar-binar melihat bayi mungil yang tertidur pulas di box bayi itu. "Kapan tante bisa gendong kamu sayang." Nadia terlihat gemas dan tak sabar. Bagaimana tidak, dia hanya bisa melihat bayi itu dari balik kaca tinggi yang menyekat ruang bayi dan ruang rawat inap untuk ibu melahirkan. "Sabar Nad, dia baru lahir satu jam yang lalu. ibunya juga belum gendong." Nadia melirik ke arah Ega yang berkata sambil mengulas senyum itu. Mereka saling menatap untuk sesaat. Ada perasaan lega dihati Nadia yang terpancar dari wajahnya. Begitupun Ega merasa hal yang sama. Meskipun Icha belum keluar dari ruang pemulihan, namun masa kritis saat operasi Caesar sudah terlampaui. Bayinya pun lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apapun. Menurut informasi yang didapat dari suami Icha, bahwa operasi Caesar tak bisa dihindarkan karena Icha mengalami pendarahan yang cukup hebat setelah terpeleset di kamar mandi dirumah orang tuanya sore
Flashback on Malam sudah larut. Bahkan jarum jam menunjukkan beberapa menit lagi lewat tengah malam. Namun Ega masih terjaga. Dia sengaja begadang demi menyelesaikan revisi skripsinya yang harus ia bawa menghadap dosen pembimbing besok pagi. Di sela-sela rasa kantuk yang mendera, tiba-tiba saja Ega teringat Nadia. Fokus yang ia tujukan pada layar laptop di depannya sedari tadi teralihkan begitu saja oleh ingatannya akan senyuman manis Nadia sore tadi. Saat mereka menghabiskan waktu bercanda dan tertawa bersama di salah satu cafe yang tak terlalu jauh dengan kampus mereka. Diliriknya handphone yang tergeletak di atas kasur. Ada dorongan di hati Ega untuk menghubungi gadis yang mengganggu pikirannya itu. Diraihnya handphone itu, kemudian Ega membuka aplikasi ruang obrolan yang ternyata Nadia berada di baris paling atas. Menandakan Nadia adalah orang terakhir yang berkomunikasi dengannya. Dan hal itu membuat Ega senyum-senyum sendiri. (Ega) 'Nadia' Tangan Ega mendadak kak
"Nadiaaaa.....kenapa Lo dateng sama diaa.." Semua orang yang ada di ruangan itu kompak membelalakkan mata setelah mendengar suara Icha yang melengking. "Aaauuuu...." Icha mengaduh. Merasakan perih yang seketika menjalar di perutnya. Rupanya ia lupa untuk sesaat, bia ia baru saja beres operasi Caesar. Luka sayatan di perutnya yang tertutup perban itu pastinya masih basah. Sedikit gerakan saja pasti akan memberikan efek nyeri yang luar biasa. "Sayang..,kok teriak gitu. Jadi sakit kan perutnya." Suami Icha sigap mengelus-elus perut Icha dengan sangat lembut. "Haiii Cha." Ega mencoba menyapa Icha dengan ekspresi garing sambil meringis menampilkan barisan gigi putihnya yang rapi. "Haii haii....gak usah sok deket Lo." Jawab Icha masih ketus. Ia tak memperdulikan lagi pandangan orang tua dan mertuanya yang juga sedang berada di dalam ruangan itu. Ia juga tak mendengarkan perkataan suaminya. Sungguh sifat buruk Icha yang gampang emosian serasa bertambah beberapa kali lipat dari biasa
Ega benar-benar seperti ditelan bumi. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Nadia di depan rumah orang tua Nadia saat itu Ega tak pernah lagi mengirim kabar. Padahal sebelumnya, Ega sering menghubungi Nadia dengan begitu semangat. Dia yang menerima perjodohan, dan terang-terangan mendekati Nadia bahkan sampai memutuskan untuk menetap di Jogja agar bisa dekat dengan Nadia, tapi dia juga yang menghilang begitu saja. 'Kenapa dengan Ega? Apa dia baik-baik saja?' Batin Nadia yang selalu menghantuinya akhir-akhir ini. Seharusnya Nadia lega dengan keadaan ini, karena tak perlu lagi repot-repot menjauh dari Ega. Bukankah Nadia menolak perjodohan itu? Bukankan Nadia sangat membenci Ega dan menghindari pertemuan dengan laki-laki itu? Namun kenapa Nadia malah menghawatirkan Ega? Kenapa Nadia malah penasaran dengan keberadaan dan keadaan Ega? "Woy..Neng cantik...ngelamun aja? Udah malem ni, kamu gak mau pulang? Mo nginep sini?" Tepukan yang cukup keras pada pundak Nadia dari rekan sekantorny
"Makasih udah anter aku sampai kos." Ucap Nadia datar setelah Ega selesai memarkirkan mobil Nadia di area parkir kos dan mematikan mesinnya. "Tunggu." Ega meraih tangan Nadia yang hendak membuka pintu mobil dan keluar dari sana. "Aku anter sampai dalem. Kamu gak boleh naik tangga dengan kaki seperti itu." Pinta Ega pada Nadia. Membuat mereka saling pandang untuk sejenak. Tanpa menunggu lama, Ega turun dari mobil. Melangkah mengitari mobil dan membuka pintu untuk Nadia. "Ayok." Ega sudah mengulurkan kedua tangannya. Sedang Nadia masih mematung. Menerima sikap manis dan perhatian dari Ega seperti ini sungguh membuat hati Nadia gentar untuk terus membencinya. "Aku bisa jalan sendiri Ga." Nadia menepis uluran tangan Ega dengan lembut. Mencoba menolak segala bentuk sikap Ega yang membuat hatinya tak karuan itu. Ega menggeleng tegas mendengar perkataan Nadia itu. Ia seperti tak mau dibantah. Dan sejurus kemudian, tanpa menunggu persetujuan Nadia, Ega sudah menggendong tubuh Nadia
"Mau sampai kapan kita kayak gini Nad? Kamu gak capek berdiri terus? Gak mau duduk aja? Nanti aku peluk lagi." Sudah lebih dari sepuluh menit Ega dan Nadia berada di posisi yang sama, berpelukan. Dan entah sudah berapa kali Ega dengan leluasa mencium pucuk kepala Nadia. Sungguh ini kemajuan pesat bagi hubungan mereka. "Aku malu." Jawab Nadia dengan suara yang sangat lirih. "Malu? Sama siapa?" Tanya Ega gemas melihat tingkah Nadia yang menjadi sangat manja kepadanya. Bahkan, Ega belum pernah menemui Nadia yang manja seperti ini lima tahun yang lalu. "Kamu." Dengan wajah yang terbenam di dada Ega, suara Nadia masih bisa terdengar jelas oleh Ega meski sangat lirih. "Kenapa malu?" Tanya Ega kembali. Masih dengan menciumi rambut Nadia yang beraroma mawar. Sepertinya wangi itu akan menjadi favorit Ega nantinya. "Segalak dan sejuteknya aku ke kamu, kenapa tiba-tiba minta peluk kamu kayak gini. Bikin aku malau Ga." Nadia sedikit merenggangkan dekapannya. Membuat suaranya lebih je