Kembali bekerja di kantor menghadapi masalah yang sama. Belum lagi sikap CEO Kaivan seharian kemarin tak ada kabar berita seakan menghapus kebersamaan beberapa bulan bukan cuma sebagai atasan dan bawahan namun teman akrab. Pukul 10 pagi ketukan sepatu berbeda terdengar di telinga Amirah Lashira. High heels seorang gadis cantik sedang berjalan mesra berdua bossnya. Wanita sama dirangkul Kaivan di pesta pernikahan Aabid dan Khirani. Itulah alasan kuat yang ditebaknya mengapa sang CEO tidak sekalipun berniat membalas seluruh pesan dan panggilan gawai sekretarisnya. Mereka bersenang-senang melupakan hasil kerja kerasnya membantu prosesi pernikahan hingga berakhir. "Selamat pagi Tuan Kaivan dan Nona .. " sapanya ramah menyindir keterlambatan pimpinan di luar kebiasaan. "Hey Ra, siapkan kopi dan minuman dingin untuk kekasihku!" teriak Kaivan tanpa memandangnya langsung membuka pintu kantor mengajak gadis cantik itu ke dalam. Canda tawa mengulas kenangan saat lampau hubungan mereka dan
Sudah tiga hari berlalu Kaivan baru menyadari sekretaris Amirah tak hadir lagi di meja kerjanya. Terlalu sibuk urusan pribadi sampai melupakan tanggung jawab sebagai CEO perusahaan.Semua bermula karena balas dendam ditujukan ke seorang janda yang membuat kemarahannya belum usai sampai detik ini. Menyaksikan Alagar leluasa mencium mantan istri tanpa pemberontakan berarti.Dasar brengsek kalian berdua! Makinya terus berulang-ulang. Sesaat petugas kantor membawakan secangkir kopi barulah mengetahui putra tunggal Amirah sedang sakit."Selamat pagi Tuan Boss, maaf menyampaikan pesan Ibu sekretaris ijin tidak masuk kantor katanya merawat Bagaskara masih demam tinggi."Oh. Kaivan lama terdiam.Pak Arifin pamit keluar ruangan menutup pintu rapat membiarkan sang CEO sunyi sepi sendiri. Tamu gadis muda itu tak bersama lagi. Semua kembali normal tak ada suara tawa dan desahan kepalsuan. Menghilang tanpa jejak seperti Amirah Lashira.Jari Kaivan langsung menekan nomor panggilan seseorang diacuhk
"Ra, kamu ada di mana sekarang?" buru Kaivan tak tenang melihat keadaan rumahnya sepi tanpa kehidupan. "Apa dirimu mencoba melarikan dariku lagi?!"Sial. Seharusnya ia menemui pagi tadi bukan sepulang kerja begini. Belum lagi rapat internal perusahaan yang memakan waktu lebih lama dan jalanan macet menjelang akhir pekan padat merayap.Deru nafas berat Amirah terdengar sedang menanggung beban yang sarat. "Maaf Tuan Kaivan, aku sedang di Yogyakarta karena panggilan darurat Pakde Bambang tiba-tiba saja dilarikan ke rumah sakit siang tadi.""Oh sorry, aku kira kau kemana," sesalnya menuding sekretaris sengaja menutup pintu hati hingga rumahnya. "Pakde-mu kenapa, bukannya waktu datang ke pernikahan adikku kelihatan baik-baik saja?""Aku juga ga tak tahu, pembuluh darah otak sudah pecah sekarang keadaan sedang tak sadarkan diri," jelas Amirah. "Beliau pengganti orang tuaku selama ini sepatutnya membalas budi baik.""Kau perlu bantuan?" tawar Kaivan serius.Amirah tegas menolak. "Tidak Tuan,
Tepat bersamaan Kaivan tiba di kediaman Tuan Mahardika mengunjungi adiknya Khirani dan Aabid selepas bulan madu di Eropa. Om Sudirman adik papa juga berada di sana membahas urusan perusahaan keluarga yang akhirnya melibatkan putra sulung kebanggaan mereka."Mas Ivan ini oleh-oleh buatmu juga Mba Amirah dan Bagaskara," seru Khirani memberikan souvenir tanda terima kasih ke mereka yang membantu prosesi pernikahan sampai selesai.Kaivan menolaknya. "Kamu kirim langsung saja ke Amirah!""Dih Mas 'kan sekantor masa sih ga mau serahin ke sekretarismu yang cantik dan baik hati itu," desak adik bungsu kesal. "Kalau memang ga mau bilang aja huh!""Ran, ga boleh gitu dong sama kakakmu." Aabid merangkul istrinya duduk manis di sofa melepas kerinduan bersama keluarga baru mertua. "Nanti biar aku yang mengantar ke rumahnya sekalian menengok Bagas.""Mereka lagi di Yogya menengok Pakde Bambang sedang sakit katanya," kelit Kaivan pedas diabaikan oleh sekretaris sendiri. Panggilan telepon tak pernah
Termenung Amirah sendirian di depan nisan kayu bertulis Bambang Hadiningrat yang baru saja dikebumikan pagi ini. Hati sedih dan resah pengganti papa Bisma Nareswara telah tiada. Tempat berbagi keluh kesah dan bercerita pergi meninggalkannya. Selamat jalan Pakde-ku tersayang! Bisiknya pelan. Kemudian beranjak ditemani Kaivan yang mengawasi dari semalam mengurusi keperluan pemakaman. Om Dirman telah mengantar keluarganya lebih dahulu yang tinggal hanya mereka berdua. "Ayo Ra, kita pulang," ajaknya sambil menggenggam tangan mungil Amirah. "Mas Kaivan kok ga pulang?" tanyanya bingung. Bossnya menggeleng. "Kau dan Bagas kembali ke Jakarta bersamaku walau harus aku seret ke dalam pesawat sekalipun!" ancamnya tegas tak main-main lagi. Amirah malah balas menggeleng. "Ga Mas, aku ga mau, urusan mendiang Pakde masih banyak." "Biarkan aku membantumu kali ini, Ra," pinta Kaivan sungguh-sungguh. "Kau tak bisa melakukan sendirian!" Raut wajah sekretarisnya berubah pias menunduk malu. Kata-
"Nyonya Amirah dan Tuan Guntur sudah kami sampaikan apa sebenarnya yang terjadi dengan perusahaan ini, berharap ada penyelesaian dari pihak keluarga selepas Tuan Bambang Hadiningrat tiada."Penuturan Pak Rahman manajer keuangan begitu lugas menjabarkan aset kepemilikan atas nama putra - putri Bambang Hadiningrat dan Bisma Nareswara. Pengelolaan perusahaan mengalami kemunduran meskipun ada tambahan modal dari bank namun tak juga berkembang pesat."Kami berusaha agar perusahaan tetap berjalan maksimal," sahut Guntur. "Tolong jelaskan berapa pinjaman kantor ini ke bank dan tujuannya untuk apa?!"Deheman pelan manajer keuangan terasa berat mengatakan sesuatu di depan keluarga pewaris. Raut wajah gelisah menatap rekan kerja yang lain seolah membutuhkan kekuatan supaya berterus terang. Dukungan pun diterima dengan anggukan dari empat manajer lainnya."Utang pinjaman sebesar tiga milyar atas dasar mengembangkan perusahaan mengikuti beberapa pameran di luar negeri dan meningkatkan produksi ba
"Mas ga bisa bertindak semaumu dong," berondong Amirah emosi. "Ini urusan keluargaku seharusnya kau tidak usah banyak ikut campur!"Kaivan menatapnya tajam. Dari pulang pertemuan sampai malam mereka masih mengusik soal mencari uang melunasi utang piutang perusahaan."Memangnya kamu punya solusi berbeda selain ide dariku tadi?""Ya, jual saja rumah warisan Papa dan Mamaku sesuai harga normal supaya aku tak punya ikatan utang budi denganmu," ketus Amirah membela diri.Bude Tantri, Guntur dan Ayu terdiam di kursi masing-masing memandang dua orang meributkan hal penting tetapi tidak tahu cara memisahkan mereka yang keras kepala mau menang sendiri."Ra, kamu ga perlu menjual rumah itu," sergah Kaivan menurunkan emosi. "Pinjam dariku tak masalah, kalian bisa bayar sesuai kemampuan dan tidak pakai bunga bank apalagi utang budi yang kau bilang barusan!"Hufft-! Amirah tak mampu menahan saliva.Uang tiga milyar di depan mata. Kaivan memang bukan luar biasa.Lebih kaya raya daripada mantan suam
Berita lamaran Kaivan menyeruak saat Tuan Mahardika menerima panggilan dari Yogyakarta. Adik Sudirman memberi kabar mengejutkan ternyata putranya belum kembali sejak tiga hari lalu. "Mas Dika," panggilnya. "Besok keluargamu datang ke sini, anak sulungmu tadi malam melamar ponakan dari mendiang Bambang Hadiningrat." "Dik, ojo macam-macam masa Ivan ga omong langsung ke orang tuanya kalau mau menikah?!" tampik Tuan Mahardika merasa dipermainkan. Dasar anak nakal! Kecamnya marah. "Ini serius, Mas!" jawab Sudirman jujur. "Kaivan baru menemuiku meminta restu mewakili keluarga besar kalau kau tak mau datang, ya aku saja yang menjadi walinya." "Umm ... ya ga bisa gitu dong!" protes Mahardika. "Opo aku ga dianggap bapaknya huh?!" Tawa adiknya pecah di ujung sambungan telepon mereka. "Wes, Mas Dika dan Mba Rima tinggal restui saja, kasihan anakmu jadi perjaka tua sudah disusul adiknya kemarin!" Sudirman sialan! Teganya mengatakan demikian ke ponakannya sendiri. "Enak saja kamu bilang, Ka