‘’Jangan berteriak kalo kamu nggak mau mati!’’ Lelaki itu berpakaian serba hitam dan menutupi kepalanya, hanya mata saja yang kelihatan dan dia menodongkan pisau tajam kepadaku. Membuatku begitu takut dan dadaku terasa sesak. Ya Allah, apa yang harus kulakukan?‘’A—apa mau kamu?’’ kataku dengan terbata, menahan rasa takut yang hadir dan keringat dingin membasahi mukaku. Orang itu terus saja mendekat ke arahku. Hingga aku pun tak ingat apa-apa lagi.‘’A—aku di mana?’’ Kuedarkan pandangan ke sekelilingku.Tempat apa ini? Ruangan yang hanya memiliki cahaya remang-remang dan dipenuhi dengan karton saja. Jadi lelaki asing itu membawaku ke sini. Apa mau lelaki itu? Dan siapa dia?‘’Aduhh!’’ Rupanya tanganku yang berdarah.Kuyakin lelaki itu tadi menarik infus dengan paksa di tanganku hingga menimbulkan luka. Aku meringis kesakitan sembari masih memandangi luka di tanganku, darahnya bertetesan hingga jatuh ke karton yang tergeletak di tembok. Dengan tubuh yang masih terasa lemas, aku bangki
‘’Bukannya suamiku udah aku serahkan sama kamu, Chika!’’ ulangku kembali dengan ketus. Dia menatapku begitu sangat tajam dan terus saja mendekat ke arahku yang tengah berbaring. Aku takut jika wanita murahan ini melakukan sesuatu padaku. Apalagi aku dalam keadaan seperti ini. ‘’Ma—mau apa lagi kamu?’’ Dia malah diam membisu tetapi matanya menatapku lebih tajam, seperti singa yang akan menerkam mangsanya. Ya Allah! Tolong lindungi aku dari orang yang berniat jahat padaku.‘’CHIKAA!!!’’‘’Astaghfirullah! Ya Allah. Ternyata aku cuman mimpi.’’ Aku terbangun dengan keringat dingin yang bercucuran dan aku mengela napas lega. Ya, untung saja hanya mimpi.Bagaimana kalau mimpiku jadi kenyataan? Apalagi seorang Chika, si pelakor yang bisa saja melakukan apa pun itu demi mendapatkan apa yang dia mau. Ahh! Bukankah lelaki pengkhianat itu sudah akuserahkan sepenuhnya pada si wanita murahan itu. Bukannya itu yang dia mau? Lalu kenapa lagi dia menerorku dengan mengirimi pesan yang berupa ancaman p
‘’Ngapaian aku harus pindah ruangan, Ren?’’ ucapku dengan terheran, menatap lelaki yang baru saja dua hari ini aku kenal dia. Dia masuk dengan terburu-buru, tanpa mengucapkan salam dan tanpa menghubungiku. Itu membuatku terheran dengan tingkah lakunya.‘’Ada Deno dia mau ke sini. Dan barusan aku ngelihat dia sedang menanyakan ruangan kamu,’’ sahutnya dengan wajah cemas.‘’Yuk, kamu harus pindah ruangan dan aku udah ngasih tahu Dokter Irma, dia udah setuju.’’‘’Nggak, Ren. Aku nggak akan pindah,’’ kataku dengan kesal.Sedangkan bibi Sum masih memeluk anakku sambil menatap heran ke arahku. Mau ngapain lagi si lelaki itu ke sini? Bukannya aku sudah memberikannya kebebasan. Bukannya aku sudah memberikannya pada si wanita murahan itu?‘’Bi, tolong ya. Bawa Naisya pulang dulu. Aku nggak mau anakku ketemu Papanya sekarang,’’ titahku pada wanita yang setia menemaniku selama ini. Dia tampak mengangguk dan dengan pelan merubah posisi putriku.‘’Uang masih ada kan, Bi? Pake maxim online aja ya.
‘’Mas! Kamu nggak ke kantor hari ini?’’ kataku sembari menggunjangkan tubuh atletisnya itu.Sudah jam 07.00, namun dia tak kunjung bangun. Tak biasanya dia susah untuk dibanguni. Setelah keselingkuhannya terungkap, dia pun menginap di rumahku karena tak ada lagi tempat untuk menginap. Jika ke rumah orang tuanya tak mungkin, yang ada dia dicurigai dan dimarahi sama mereka. Apalagi mama dan papanya itu begitu sangat menyayangi si sok alim.Aku heran kok bisa-bisanya itu orang disayang sama mertuanya, padahal pandai berhias pun tidak. Sedangkan mas Deno sudah mengatakan padaku kalau dia sudah bosan dengan calon mantan istrinya itu.‘’Nanti aku susul aja deh ya. Aku masih ngantuk,’’ katanya yang menggeliat dan kembali menarik selimutnya.‘’Lah, Mas hari ini kan kita ada meeting dengan clien perusahaannya Pak Dayat. Kamu atasan loh,’’ ketusku yang bergegas menarik kembali selimutnya. Namun, dia tetap berusaha menarik kembali selimut tebal itu.‘’Apaan sih, Chik. Aku masih ngantuk loh, apal
‘’Maksud Ibu apa ya?’’ tanyaku berpura-pura tak tahu. Jangan-jangan wanita separuh baya ini tadi melihat mas Deno berada di dalam rumahku. Atau dia malah mengintip?‘’Itu ada laki-laki di dalam rumah kamu tadi. Apa itu suami kamu, Chik?’’ selidiknya sambil menatapku.‘’Ibu salah liat kali. Mana mungkin ada lelaki di rumahku. Kan aku belum punya suami,’’ sanggahku cepat. Dia masih menatapku heran.‘’Kepo banget nih orang tua. Terserah akulah! Mau bawa laki-laki nginep di sini atau tidur dengannya. Kok malah suka ngurusin hidup orang lain sih,’’ rutukku dalam hati. Dan menatap malas wanita yang namanya bu Ningrum itu, tetangga sebelah kiri rumahku.‘’Benaran kan, Chik? Lagian kalo kamu mau bawa temen laki-lakimu ke sini, bawa siang hari aja. Kami ini diberi tugas untuk menjagamu,’’ katanya yang membuat aku makin kesal.‘’Lah, udah aku bilang barusan. Kalo aku nggak ada bawa laki-laki ke sini, sok ngatur hidup orang lain aja!’’ ketusku yang bergegas melangkah menuju garasi. Wanita separu
‘’Aku mau bicara sama kamu. Kamu ada waktu nggak sekarang?’’ Pesan dari Fani? Berkali-kali kupandangi di aplikasi hijau itu.Tumben dia mengirimiku pesan. Apa dia mengajakku untuk ketemuan? Apa yang ingin dibicarakannya padaku? Tak biasanya dia mengirimiku pesan. Ya, sejak bekerja di kantor Mas Deno, Fani tak pernah menghubungiku. Hanya aku sesekali yang menghubunginya, itu pun aku menghubunginya karena semata-mata bertanya tentang si pelakor itu.‘’Aku nggak bisa, Fan. Kamu mau bicara apa? Lewat telpon saja ya,’’ balasku kemudian dan mengirimkan ke kontak wattsappnya itu. Tampak sudah centang dua, namun belum bewarna biru. Aku menghela napas berat.‘’Mungkin Fani nggak tahu, kalo aku udah seminggu lebih di rumah sakit,’’ gumamku lirih yang tak putusnya memandangi benda pipih yang tengah kugenggam. Masih tertayang pesan Fani di sana.Eh, ternyata sudah bewarna biru. Itu artinya sudah diread oleh Fani. Tampak dia tengah mengetik balasan.‘’Ini penting banget. Nggak bisalah lewat telpon
‘’Pa, jangan ke mana-mana ya,’’ lirih putriku yang tengah terbaring lemas di tempat tidur. Tampak bibir mungilnya itu sangat pucat.‘’Iya, Dik. Papa selalu di sini kok,’’ sahutku yang bergegas mendekatinya yang tengah terbaring. Kuusap kepalanya dengan pelan.‘’Ya Ampun panas banget lagi.’’ Membuat aku terperanjat merasakan suhu tubuhnya yang begitu panas sekali.‘’Naisya! Sayang, kamu nggak apa-apa kan, Nak?’’‘’Naisya!’’Astaga! Ternyata aku hanya mimpi. Berulang kali kuusap mukaku dengan kasar. Apa arti dari mimpiku ya? Atau memang putriku sedang sakit di sana, apalagi si Nelda tak kunjung pulang ke rumah. Aku menghela napas kasar dan mengacak rambutku. Sudah seminggu lebih aku tak pernah ketemu dengan putri kecilku itu. Aku yang ingin bertemu dengannya selalu dihalang oleh kekasihku dan berbagai cara yang dilakukan oleh Chika agar aku tak ketemu dengan putri semata wayangku itu.‘’Mas, kamu kenapa?’’ suara khas bangun tidurnya membuyarkan lamunanku. Ya, pintu kamar memang tak kutu
Membuat aku terkesiap mendengar ucapan kekasihku itu. Mumpung belum terlalu tinggi aku memanjat pagar, aku bergegas untuk turun dengan hati-hati dan mengejar wanita yang berpakaian selutut itu, menampakkan kulit putihnya nan mulus.‘’Sayang! Tunggu!’’ Aku bergegas menahan lengannya, dia juga berusa untuk menepis tanganku dengan kasar.Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk menahan tangannya, hingga dapat aku untu memeluknya dengan erat, membuat dia terpaku. Dan tentunya tak bisa lari dariku, inilah senjata terampuh bagiku untuk meluluhkan wanita yang kucintai.‘’Kamu nggak boleh bicara kayak gitu lagi ya. Aku nggak mau kehilangan kamu, Sayang,’’ kataku dengan lirih dan memeluknya dengan begitu erat. Dapat kurasakan debaran jantung kekasihku itu.‘’A—aku tahu udah bikin kamu sakit hati dan marah. Tapi, aku janji nggak bakalan lagi mengulangi kesalahanku,’’ imbuhku kemudian, sembari mengelus kepalanya.Dia terdengar menghela napas berat dan melepaskan pelukan dariku,’’Aku ma’afin kamu.
Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Setahun kemudian..Hari ini adalah ulang tahun Reno, lelaki yang selama ini kukira tidak baik. Lelaki yang selama ini aku ragukan ketulusan hatinya. Ternyata dia memang lelaki yang baik dan peduli padaku, terutama pada Naisya. Dia banyak sekali berkorban untukku dan juga anakku. Akibat kepeduliannya itu membuat sikap dinginku lenyap, apalagi Naisya sangat senang bermain dengan lelaki itu. Hingga sosok almarhum Papanya bisa digantikan oleh Reno. ‘’Udah setahun lebih tanpa kehadiran Mas Deno di sisiku dan juga Naisya. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Mas. Dan diampuni segala dosa-dosamu,’’ lirihku sambil mematut diri di cermin.Ya, sudah setahun lebih lamanya aku menjanda. Sedangkan sahabatku Fani sudah menikah duluan dengan Fahmi, lelaki pilihan Mamanya. Yang ternyata dia adalah lelaki baik.Seiring berjalannya waktu rasa luka masa lalu itu dengan pelan mulai sembuh, disembuhkan oleh lelaki baik yang bernama Reno. Malaikat yang dititipkan Allah untukku.‘’Ma, yuk kita jalan sekaran
Dua hari kemudian..Anak semata wayangku sudah bisa dibawa pulang, Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, walaupun dia sering memanggil nama Papanya. Terutama di saat tengah tertidur pulas. Sesuai prediksi Dokter Nira, anakku itu kemungkinan tengah merindu berat pada Papanya. Ditambah dia kekurangan istirahat, dia sering begadang karena tak bisa tidur beberapa hari kemarin.Aku pun sudah mencoba menghubungi nomor kontak Mas Deno, tapi nihil. Lelaki itu malah mereject telepon dariku, bahkan sudah berulangkali aku hubungi namun sekali pun tak diangkatnya. Apa dia tak kepikiran Naisya di sana? Apa dia tak mengalami hal yang sama seperti Naisya yang tengah rindu berat padanya? Atau karena dia sedang asyik bersama si pelakor itu? Jadi lupa sama anaknya? Aku menghela napas lega. Biarkan saja lelaki itu, toh dia tak kan mau peduli pada anakku. Biarkan saja aku yang membesarkan dan mendidik Naisya.****Hari ini aku bersyukur sekali, karena anakku bisa dibawa pulang. Aku mengusap kepala putr
Tanpa berkata apapun aku bergegas berpindah posisi duduk. Aku memeluk putriku di kursi belakang. Sedangkan lelaki yang bernama Reno itu langsung melajukan si roda empat. Ya, kali ini aku tak boleh egois. Yang paling penting sekarang Naisya tiba di rumah sakit dan mendapatkan perawatan dari dokter. Aku terus saja mengecup kening putriku yang tengah dalam pangkuan. Kubelai rambutnya.‘’Sayang, Adik pasti kuat. Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita pasti akan sampe di rumah sakit,’’ kataku lirih.Kuraba kepalanya, membuat aku semakin cemas. Panas anakku malah semakin naik.‘’Ya Allah! Kuatkan anakku. Sembuhkan dia.’’‘’Nel, kamu yang tenang ya. Banyakin berdo’a,’’ kata lelaki yang tengah fokus menyetir itu sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion.Entah kenapa kali ini membuat hatiku lebih tenang. Ada apa denganku?Tak berselang lama mobilku sudah tiba di depan rumah sakit. Lelaki itu bergegas turun. Aku yang akan membuka pintu mobil membuat tanganku terhenti. Karena lelaki itu sud
‘’Astaghfirullah! Dik, kok kamu panas banget, Nak.’’ Aku mengusap kepala Naisya. Membuat aku terkesiap dan panik dibuatnya. ‘’Bibi!’’ ‘’Bi! Cepat ke sini!’’ ‘’Iya, Bu?’’ Wanita separuh baya itu terperanjat memandangi aku. ‘’Naisya, Bi. Kepalanya panas banget.’’ ‘’Tenang ya, Bu. Biar Bibi coba kompres dulu.’’ Aku sungguh tak tenang dibuatnya. Bagaimana tidak, tubuhnya begitu panas. ‘’Pa—Pa.’’ Membuat mataku membulat. Papa? Matanya masih terpejam namun dia memanggil mas Deno. Anakku ketika demam tak pernah memanggil papanya. Apa dia begitu rindu pada mas Deno? Ya Allah. Aku harus bagaimana? ‘’Bu, biar Bibi yang mengompres,’’ kata wanita separuh baya itu yang tengah melangkah memasuki kamar dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baskom dan handuk kecil. Di saat anakku demam panas seperti ini bayangan wajah Mas Deno pun hadir di benakku. Ada apa ini? Bisa-bisanya aku teringat sama lelaki itu di saat genting seperti ini. ‘’Nggak, Nel. Kamu harus fokus ke anakmu. Nggak usa
‘’Hei, loh bisa diem nggak?’’ Tangan lelaki itu menamparku dengan spontan. Membuat aku meringis kesakitan. Andaikan saja aku punya tenaga dan tanganku tak diikat, mungkin aku akan membalas semuanya. ‘’Jangan dihabisin tenaga kalian. Tutup saja mulutnya,’’ titah wanita licik itu yang membuat mataku melotot.‘’Baik, Bu.’’ Dia bergegas melakban mulutku membuat aku sulit untuk bicara.‘’Dasar brengsek! Awas aja kalian semua. Aku bakal balas lebih kejam dari ini,’’ ancamku dalam hati. Lelaki yang tengah menyetir itu tersenyum puas menatapku, begitupun dengan lelaki yang duduk di sebelahku. Awas saja kalian! Akan kubalas semua perlakuan kejam ini.‘Aku mau dibawa ke mana sebenarnya?Tiada putusnya mataku memandangi di sekeliling jalan ini lewat kaca jendela. Begitu sepi, hanya satu atau dua saja kendaraan yang lewat. Aku semakin cemas dibuatnya. Mau apa mereka? Apa mereka punya rencana lebih jahat lagi padaku? Chika, kamu di mana Sayang. Andaikan saja kamu tahu apa yang dilakukan oleh Mam
POV Deno‘’Untuk apa kalian memberiku makan? Lebih baik bunuh saja akuu!’’ teriakku lantang.Sudah seminggu aku disekap di sini. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi kuhadapi, hingga membuat wajahku babak belur seperti ini. Mukaku begitu terasa sakit. Kukira mertuaku itu akan membawaku pergi ke luar kota, namun tak sesuai ekspektasi. Sungguh dia pandai sekali bersandiwara membuat aku percaya.Ternyata aku dibawa ke rumah kosong yang sudah tua. Masih teringat olehku ketika aku berada di mobil, asistennya membekap mulutku hingga membuat aku pingsan. Aku yakin ada resep yang ditaburkannya pada sapu tangan itu. Tak berselang lama tiba-tiba aku sudah sadar dengan keadaan air yang membasahi muka dan seluruh tubuhku. Aku yakin wanita licik itu yang menyiramkannya. Kenapa aku jadi bodoh seperti ini. Sialan!‘’Awas aja kalo aku bisa keluar dari sini. Aku akan balas semuanya,’’ geramku dalam hati yang memandangi kedua lelaki bertubuh kekar itu.‘’Ngapain loh melototin kita kayak gitu? Mau kabur,