‘’Aku mau bicara sama kamu. Kamu ada waktu nggak sekarang?’’ Pesan dari Fani? Berkali-kali kupandangi di aplikasi hijau itu.Tumben dia mengirimiku pesan. Apa dia mengajakku untuk ketemuan? Apa yang ingin dibicarakannya padaku? Tak biasanya dia mengirimiku pesan. Ya, sejak bekerja di kantor Mas Deno, Fani tak pernah menghubungiku. Hanya aku sesekali yang menghubunginya, itu pun aku menghubunginya karena semata-mata bertanya tentang si pelakor itu.‘’Aku nggak bisa, Fan. Kamu mau bicara apa? Lewat telpon saja ya,’’ balasku kemudian dan mengirimkan ke kontak wattsappnya itu. Tampak sudah centang dua, namun belum bewarna biru. Aku menghela napas berat.‘’Mungkin Fani nggak tahu, kalo aku udah seminggu lebih di rumah sakit,’’ gumamku lirih yang tak putusnya memandangi benda pipih yang tengah kugenggam. Masih tertayang pesan Fani di sana.Eh, ternyata sudah bewarna biru. Itu artinya sudah diread oleh Fani. Tampak dia tengah mengetik balasan.‘’Ini penting banget. Nggak bisalah lewat telpon
‘’Pa, jangan ke mana-mana ya,’’ lirih putriku yang tengah terbaring lemas di tempat tidur. Tampak bibir mungilnya itu sangat pucat.‘’Iya, Dik. Papa selalu di sini kok,’’ sahutku yang bergegas mendekatinya yang tengah terbaring. Kuusap kepalanya dengan pelan.‘’Ya Ampun panas banget lagi.’’ Membuat aku terperanjat merasakan suhu tubuhnya yang begitu panas sekali.‘’Naisya! Sayang, kamu nggak apa-apa kan, Nak?’’‘’Naisya!’’Astaga! Ternyata aku hanya mimpi. Berulang kali kuusap mukaku dengan kasar. Apa arti dari mimpiku ya? Atau memang putriku sedang sakit di sana, apalagi si Nelda tak kunjung pulang ke rumah. Aku menghela napas kasar dan mengacak rambutku. Sudah seminggu lebih aku tak pernah ketemu dengan putri kecilku itu. Aku yang ingin bertemu dengannya selalu dihalang oleh kekasihku dan berbagai cara yang dilakukan oleh Chika agar aku tak ketemu dengan putri semata wayangku itu.‘’Mas, kamu kenapa?’’ suara khas bangun tidurnya membuyarkan lamunanku. Ya, pintu kamar memang tak kutu
Membuat aku terkesiap mendengar ucapan kekasihku itu. Mumpung belum terlalu tinggi aku memanjat pagar, aku bergegas untuk turun dengan hati-hati dan mengejar wanita yang berpakaian selutut itu, menampakkan kulit putihnya nan mulus.‘’Sayang! Tunggu!’’ Aku bergegas menahan lengannya, dia juga berusa untuk menepis tanganku dengan kasar.Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk menahan tangannya, hingga dapat aku untu memeluknya dengan erat, membuat dia terpaku. Dan tentunya tak bisa lari dariku, inilah senjata terampuh bagiku untuk meluluhkan wanita yang kucintai.‘’Kamu nggak boleh bicara kayak gitu lagi ya. Aku nggak mau kehilangan kamu, Sayang,’’ kataku dengan lirih dan memeluknya dengan begitu erat. Dapat kurasakan debaran jantung kekasihku itu.‘’A—aku tahu udah bikin kamu sakit hati dan marah. Tapi, aku janji nggak bakalan lagi mengulangi kesalahanku,’’ imbuhku kemudian, sembari mengelus kepalanya.Dia terdengar menghela napas berat dan melepaskan pelukan dariku,’’Aku ma’afin kamu.
‘’Kamu nggak perlu melakukan ini semua sama aku, Ren.’’‘’Aku nggak mau kamu jadi incaran Mas Deno, karena aku,’’ imbuhku kemudian.Dia tampak menghela napas berat. Ya, aku hanya takut seandainya lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu akan macam-macam sama Reno, terlebih lagi tatkala dia mengancam Reno yang masih terdengar samar olehku beberapa hari nan lalu. Aku tak mau hanya karena aku membuat Reno jadi incaran lelaki pengkhianat itu, dia juga dengan beraninya menyelamatkan nyawaku dari dua lelaki asing yang menyekapku waktu itu.’’Nggak, Nel. Ini udah jadi resiko aku karena aku jagain kamu dan itu bukan karena kamu, melainkan karena keinginanku yang ingin selalu menjaga kamu,’’ sahutnya dengan lirih.‘’Please, Nel! Izinkan aku untuk tetap menjaga kamu. Ya, aku tahu kita nggak ada ikatan apa-apa.’’ Dia tampak menelungkupkan kedua tangan di dadanya. Aku menghela napas dengan berat.‘’Nah, itu kan kamu tahu. Kalo kita nggak ada ikatan apa-apa,’’ ketusku sambil mengalihkan p
‘’Apa? Bibi beneran?’’ tanyaku tak percaya menatap ke arah bibi dengan apa yang barusan kudengar langsung dari wanita yang setia menemaniku itu.‘’Iya, Bu. Bahkan Mas Reno sering mampir ke sini cuman menemui Naisya dan bermain dengannya,’’ katanya dengan santai dan membukakan pintu untukku.Membuat aku terdiam membisu. Bagaimana mungkin putri mungilku yang selama ini hanya dekat dengan papanya saja dan tak mau dekat dengan lelaki lain selain papanya, kini bisa sedekat itu dengan Reno si lelaki asing. Seringkali teman-teman dari lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu bermain ke rumah dan mengajak Naisya untuk bermain bersamanya, tapi nihil dia tak mau. Rasanya aku tak percaya, tetapi jika bibi yang bicara mau tak mau aku harus percaya. Karena apa yang dikatakan bibi tak pernah dusta yang keluar dari mulutnya selama kenal dengankuEh by the way, aku selama di rumah sakit tak pernah tahu-menahu jika Reno sering berkunjung ke rumah dan bermain dengan putri semata wayangku. Ahh, d
‘’Ma, ma’afkan aku ya. Bukan aku nggak mau mempertahankan rumah tanggaku dengan Mas Deno. A—apalagi si perempuan itu juga hamil anak darinya,’’ jelasku seadanya dengan sesegukan. Aku menyeka buliran air mata yang sejak tadi hadir dengan kasar.‘’Aku mengatakan yang sebenarnya. Bukan aku bermaksud untuk menjelek-jelekkan Mas Deno ke Mama, tapi itu memang kejadian yang sebenarnya. Dan....aku nggak bisa lagi menutupi ini semua dari Mama. Aku nggak tahu lagi harus bicara apa.’’‘’Ma! Apa Mama marah ke aku?’’‘’Hallo, Ma!’’ Aku bergegas memandangi ponselku. Ya Allah ternyata sudah putus sambungan teleponnya. Apa mama mertua mendengar semua penjelasan aku? Atau beliau sendiri yang memutuskan sambungan sepihak karena marah padaku.‘’Nggak, nggak apa-apa. Aku cuma berkata yang sebenarnya ke Mama. Buat apa beliau marah? Seharusnya yang dimarahi itu adalah anaknya sendiri, bukan aku.’’Aku menghela napas berat, kuletakkan kembali benda pipih itu di sebelahku. Sudah berniat hendak istirahat namu
‘’Bu, ada Mas-Mas paket yang nanyain Ibu,’’ kata wanita separuh baya itu yang tergopoh-gopoh melangkah menghampiri aku yang tengah beberes rumah.Sebenarnya Bibi tak membolehkan aku, tapi aku tetap memaksa Bibi agar aku diperbolehkan untuk beberes rumah. Alasanku padanya biar tubuhku lebih terasa hangat setelah beberes. Karena selama ini aku hanya berdiam diri di ruang rawat saja.‘’Mas paket? Aku nggak mesan apa pun kok, Bi,’’ sahutku dengan terheran dan menatap wanita yang kuangggap sebagai keluargaku itu.‘’Tapi katanya untuk Ibu. Temui aja dulu sana, Bu.’’‘’Biar Bibi yang melanjutkan beberesnya. Kan Ibu baru keluar dari rumah sakit,’’ imbuhnya kemudian yang bergegas mengambil alih kemoceng dari tanganku.‘’Udah aku bilang, Bi. Biar tubuhku lebih hangat dan sebagai ganti olahraga pagi,’’ kataku sembari tertawa kecil.‘’Maraton aja biar tubuh terasa hangat, Bu. Nanti malah Bibi dimarahin sama Mas Reno lagi. Upps.’’ Dia membungkam mulutnya dengan telapak tangan, membuat aku terkesia
‘’Bi?’’ keluhku sembari menatap wanita itu.Kali ini aku tak sependapat dengan bibi, biar bagaimana pun juga Reno tak bisa seenaknya ke sini. Apalagi statusku masih seorang istri dari lelaki yang bernama Deno. Walaupun dia sudah mengkhianatiku selama empat tahun, dia sudah bermain gila dengan wanita lain di belakangku. Namun, secara agama dan hukum dia masih berstatus sebagai suamiku.‘’Kan Mama jadi marah, Bi. Mama nggak ngizinin,’’ keluh Naisya kemudian dengan buliran air mata hendak jatuh lagi di pipinya. Kali ini aku tak tahu lagi harus bicara apa.‘’Bu, izinin ya? Kasihan Naisya loh,’’ bisik wanita yang setia menemaniku itu. Aku menghela napas berat hingga akhirnya memutuskan untuk mengangguk pelan.‘’Nah, tuh Mama Adik ngizinin. Senang nggak, Dik?’’‘’Senang, Bi,’’ sahutnya yang mulai memancarkan senyuman di bibirnya.‘’Kali ini aku terpaksa mengizinkan lelaki lain bermain di rumah bersama anakku. Ya, aku memang nggak ada pilihan lain lagi. Daripada aku harus mengizinkan anakku
Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Setahun kemudian..Hari ini adalah ulang tahun Reno, lelaki yang selama ini kukira tidak baik. Lelaki yang selama ini aku ragukan ketulusan hatinya. Ternyata dia memang lelaki yang baik dan peduli padaku, terutama pada Naisya. Dia banyak sekali berkorban untukku dan juga anakku. Akibat kepeduliannya itu membuat sikap dinginku lenyap, apalagi Naisya sangat senang bermain dengan lelaki itu. Hingga sosok almarhum Papanya bisa digantikan oleh Reno. ‘’Udah setahun lebih tanpa kehadiran Mas Deno di sisiku dan juga Naisya. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Mas. Dan diampuni segala dosa-dosamu,’’ lirihku sambil mematut diri di cermin.Ya, sudah setahun lebih lamanya aku menjanda. Sedangkan sahabatku Fani sudah menikah duluan dengan Fahmi, lelaki pilihan Mamanya. Yang ternyata dia adalah lelaki baik.Seiring berjalannya waktu rasa luka masa lalu itu dengan pelan mulai sembuh, disembuhkan oleh lelaki baik yang bernama Reno. Malaikat yang dititipkan Allah untukku.‘’Ma, yuk kita jalan sekaran
Dua hari kemudian..Anak semata wayangku sudah bisa dibawa pulang, Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, walaupun dia sering memanggil nama Papanya. Terutama di saat tengah tertidur pulas. Sesuai prediksi Dokter Nira, anakku itu kemungkinan tengah merindu berat pada Papanya. Ditambah dia kekurangan istirahat, dia sering begadang karena tak bisa tidur beberapa hari kemarin.Aku pun sudah mencoba menghubungi nomor kontak Mas Deno, tapi nihil. Lelaki itu malah mereject telepon dariku, bahkan sudah berulangkali aku hubungi namun sekali pun tak diangkatnya. Apa dia tak kepikiran Naisya di sana? Apa dia tak mengalami hal yang sama seperti Naisya yang tengah rindu berat padanya? Atau karena dia sedang asyik bersama si pelakor itu? Jadi lupa sama anaknya? Aku menghela napas lega. Biarkan saja lelaki itu, toh dia tak kan mau peduli pada anakku. Biarkan saja aku yang membesarkan dan mendidik Naisya.****Hari ini aku bersyukur sekali, karena anakku bisa dibawa pulang. Aku mengusap kepala putr
Tanpa berkata apapun aku bergegas berpindah posisi duduk. Aku memeluk putriku di kursi belakang. Sedangkan lelaki yang bernama Reno itu langsung melajukan si roda empat. Ya, kali ini aku tak boleh egois. Yang paling penting sekarang Naisya tiba di rumah sakit dan mendapatkan perawatan dari dokter. Aku terus saja mengecup kening putriku yang tengah dalam pangkuan. Kubelai rambutnya.‘’Sayang, Adik pasti kuat. Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita pasti akan sampe di rumah sakit,’’ kataku lirih.Kuraba kepalanya, membuat aku semakin cemas. Panas anakku malah semakin naik.‘’Ya Allah! Kuatkan anakku. Sembuhkan dia.’’‘’Nel, kamu yang tenang ya. Banyakin berdo’a,’’ kata lelaki yang tengah fokus menyetir itu sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion.Entah kenapa kali ini membuat hatiku lebih tenang. Ada apa denganku?Tak berselang lama mobilku sudah tiba di depan rumah sakit. Lelaki itu bergegas turun. Aku yang akan membuka pintu mobil membuat tanganku terhenti. Karena lelaki itu sud
‘’Astaghfirullah! Dik, kok kamu panas banget, Nak.’’ Aku mengusap kepala Naisya. Membuat aku terkesiap dan panik dibuatnya. ‘’Bibi!’’ ‘’Bi! Cepat ke sini!’’ ‘’Iya, Bu?’’ Wanita separuh baya itu terperanjat memandangi aku. ‘’Naisya, Bi. Kepalanya panas banget.’’ ‘’Tenang ya, Bu. Biar Bibi coba kompres dulu.’’ Aku sungguh tak tenang dibuatnya. Bagaimana tidak, tubuhnya begitu panas. ‘’Pa—Pa.’’ Membuat mataku membulat. Papa? Matanya masih terpejam namun dia memanggil mas Deno. Anakku ketika demam tak pernah memanggil papanya. Apa dia begitu rindu pada mas Deno? Ya Allah. Aku harus bagaimana? ‘’Bu, biar Bibi yang mengompres,’’ kata wanita separuh baya itu yang tengah melangkah memasuki kamar dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baskom dan handuk kecil. Di saat anakku demam panas seperti ini bayangan wajah Mas Deno pun hadir di benakku. Ada apa ini? Bisa-bisanya aku teringat sama lelaki itu di saat genting seperti ini. ‘’Nggak, Nel. Kamu harus fokus ke anakmu. Nggak usa
‘’Hei, loh bisa diem nggak?’’ Tangan lelaki itu menamparku dengan spontan. Membuat aku meringis kesakitan. Andaikan saja aku punya tenaga dan tanganku tak diikat, mungkin aku akan membalas semuanya. ‘’Jangan dihabisin tenaga kalian. Tutup saja mulutnya,’’ titah wanita licik itu yang membuat mataku melotot.‘’Baik, Bu.’’ Dia bergegas melakban mulutku membuat aku sulit untuk bicara.‘’Dasar brengsek! Awas aja kalian semua. Aku bakal balas lebih kejam dari ini,’’ ancamku dalam hati. Lelaki yang tengah menyetir itu tersenyum puas menatapku, begitupun dengan lelaki yang duduk di sebelahku. Awas saja kalian! Akan kubalas semua perlakuan kejam ini.‘Aku mau dibawa ke mana sebenarnya?Tiada putusnya mataku memandangi di sekeliling jalan ini lewat kaca jendela. Begitu sepi, hanya satu atau dua saja kendaraan yang lewat. Aku semakin cemas dibuatnya. Mau apa mereka? Apa mereka punya rencana lebih jahat lagi padaku? Chika, kamu di mana Sayang. Andaikan saja kamu tahu apa yang dilakukan oleh Mam
POV Deno‘’Untuk apa kalian memberiku makan? Lebih baik bunuh saja akuu!’’ teriakku lantang.Sudah seminggu aku disekap di sini. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi kuhadapi, hingga membuat wajahku babak belur seperti ini. Mukaku begitu terasa sakit. Kukira mertuaku itu akan membawaku pergi ke luar kota, namun tak sesuai ekspektasi. Sungguh dia pandai sekali bersandiwara membuat aku percaya.Ternyata aku dibawa ke rumah kosong yang sudah tua. Masih teringat olehku ketika aku berada di mobil, asistennya membekap mulutku hingga membuat aku pingsan. Aku yakin ada resep yang ditaburkannya pada sapu tangan itu. Tak berselang lama tiba-tiba aku sudah sadar dengan keadaan air yang membasahi muka dan seluruh tubuhku. Aku yakin wanita licik itu yang menyiramkannya. Kenapa aku jadi bodoh seperti ini. Sialan!‘’Awas aja kalo aku bisa keluar dari sini. Aku akan balas semuanya,’’ geramku dalam hati yang memandangi kedua lelaki bertubuh kekar itu.‘’Ngapain loh melototin kita kayak gitu? Mau kabur,