‘’Ma, ma’afkan aku ya. Bukan aku nggak mau mempertahankan rumah tanggaku dengan Mas Deno. A—apalagi si perempuan itu juga hamil anak darinya,’’ jelasku seadanya dengan sesegukan. Aku menyeka buliran air mata yang sejak tadi hadir dengan kasar.‘’Aku mengatakan yang sebenarnya. Bukan aku bermaksud untuk menjelek-jelekkan Mas Deno ke Mama, tapi itu memang kejadian yang sebenarnya. Dan....aku nggak bisa lagi menutupi ini semua dari Mama. Aku nggak tahu lagi harus bicara apa.’’‘’Ma! Apa Mama marah ke aku?’’‘’Hallo, Ma!’’ Aku bergegas memandangi ponselku. Ya Allah ternyata sudah putus sambungan teleponnya. Apa mama mertua mendengar semua penjelasan aku? Atau beliau sendiri yang memutuskan sambungan sepihak karena marah padaku.‘’Nggak, nggak apa-apa. Aku cuma berkata yang sebenarnya ke Mama. Buat apa beliau marah? Seharusnya yang dimarahi itu adalah anaknya sendiri, bukan aku.’’Aku menghela napas berat, kuletakkan kembali benda pipih itu di sebelahku. Sudah berniat hendak istirahat namu
‘’Bu, ada Mas-Mas paket yang nanyain Ibu,’’ kata wanita separuh baya itu yang tergopoh-gopoh melangkah menghampiri aku yang tengah beberes rumah.Sebenarnya Bibi tak membolehkan aku, tapi aku tetap memaksa Bibi agar aku diperbolehkan untuk beberes rumah. Alasanku padanya biar tubuhku lebih terasa hangat setelah beberes. Karena selama ini aku hanya berdiam diri di ruang rawat saja.‘’Mas paket? Aku nggak mesan apa pun kok, Bi,’’ sahutku dengan terheran dan menatap wanita yang kuangggap sebagai keluargaku itu.‘’Tapi katanya untuk Ibu. Temui aja dulu sana, Bu.’’‘’Biar Bibi yang melanjutkan beberesnya. Kan Ibu baru keluar dari rumah sakit,’’ imbuhnya kemudian yang bergegas mengambil alih kemoceng dari tanganku.‘’Udah aku bilang, Bi. Biar tubuhku lebih hangat dan sebagai ganti olahraga pagi,’’ kataku sembari tertawa kecil.‘’Maraton aja biar tubuh terasa hangat, Bu. Nanti malah Bibi dimarahin sama Mas Reno lagi. Upps.’’ Dia membungkam mulutnya dengan telapak tangan, membuat aku terkesia
‘’Bi?’’ keluhku sembari menatap wanita itu.Kali ini aku tak sependapat dengan bibi, biar bagaimana pun juga Reno tak bisa seenaknya ke sini. Apalagi statusku masih seorang istri dari lelaki yang bernama Deno. Walaupun dia sudah mengkhianatiku selama empat tahun, dia sudah bermain gila dengan wanita lain di belakangku. Namun, secara agama dan hukum dia masih berstatus sebagai suamiku.‘’Kan Mama jadi marah, Bi. Mama nggak ngizinin,’’ keluh Naisya kemudian dengan buliran air mata hendak jatuh lagi di pipinya. Kali ini aku tak tahu lagi harus bicara apa.‘’Bu, izinin ya? Kasihan Naisya loh,’’ bisik wanita yang setia menemaniku itu. Aku menghela napas berat hingga akhirnya memutuskan untuk mengangguk pelan.‘’Nah, tuh Mama Adik ngizinin. Senang nggak, Dik?’’‘’Senang, Bi,’’ sahutnya yang mulai memancarkan senyuman di bibirnya.‘’Kali ini aku terpaksa mengizinkan lelaki lain bermain di rumah bersama anakku. Ya, aku memang nggak ada pilihan lain lagi. Daripada aku harus mengizinkan anakku
‘’Ke pasar? Jadi putriku dibawa Bibi juga ke pasar. Ah, nggak mungkin. Tapi sama siapa dia ditinggal?’’ kataku dalam hati bertanya-tanya.Ya, beberapa hari nan lalu aku masih berada di rumah sakit dan tak mungkin bibi menitipkan Naisya ke orang lain. Lalu sama siapa anakku ditinggal oleh bibi?‘Ah, sudahlah. Kan yang penting putriku nggak kenapa-napa' Aku berusaha menepis semua rasa penasaranku itu.‘’Bu? Ibu kenapa?’’‘’Ah, enggak kok, Bi. Aku baik-baik saja.’’‘’Tadi tuh aku cuman bingung aja. Biasanya kan Bibi nggak pernah masak yang beginian,’’ kataku sembari tersenyum memandangi hidangan yang telah disediakan oleh bibi.‘’Ibu nggak suka? Biar Bibi simpen aja. Nanti Bibi yang makan atau kita kasih aja ke tetangga kali ya?’’‘’Nggak, Bi. Aku sebenarnya suka banget malahan. Aku nggak makan jengkol itu selama ini karena ngehargai Mas Deno aja yang katanya nggak suka sama jengkol.’’‘’Eh, ternyata dia bohongi aku selama ini. Di luar malah ini makanannya sama si pelakor itu,’’ kesalku.
Mba Nelda? Kok bengong? Lagi ngelihatin apa?’’ tulis seseakun yang membuat aku kembali menatap layar yang tengah siaran langsung itu.‘’Ah iya, ma’af guys. Kayaknya untuk hari ini aku cukupkan sampe di sini dulu. Kapan-kapan aku akan ngobrol online lagi dengan kalian ya. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.’’‘’Terima kasih banyak buat kalian yang menyempatkan waktu untuk menonton live aku, sehat selalu ya dan semoga selalu dalam lindungan Allah. Aku pamit dulu, assalamua’laikum,’’ kataku sembari melambaikan tangan layar ke camera dan segera mengakhiri live di aplikasi itu.Dengan pelan aku menutup kembali laptop dan membiarkan benda pipihku terletak di meja itu. Aku bergegas melangkah ke ruang bermain putri mungilku. Dengan mengendap-endap aku menuju pintu yang tengah terbuka itu.‘’Adik senang Om bisa ke sini lagi. Om kata Mama dan Bibi selalu sibuk,’’ sungutnya terdengar olehku dari luar.‘’Iya, Dik. Ma’afkan Om ya. Om kadang sibuk kerja. Tapi kan ada Mama sama Bibi yang akan b
‘’Ya Allah, apa Ibu belum minum obat kali ya?’’Aku coba berpikir sejenak,’’Ah iya. Ya Allah ternyata belum, Bi. Aku lupa.’’‘’Ma’af, Bu. Bibi pun lupa mengingatkan. Kalo gitu Ibu makan obatnya di kamar saja atau di mana? Biar Bibi bawain air matang,’’ ujarnya kemudian.‘’Nggak apa-apa, Bi. Bibi kan sibuk juga. Bawa ke kamar aja. Dan nasi juga ya, Bi,’’ pintaku pada wanita yang kuanggap sebagai keluargaku itu.‘’Siap, Bu. Bibi ambilin dulu ya.’’Aku menyahut dengan anggukan. Tampak si bibi sudah bergegas melangkah. Sedangkan aku kembali ke kamar tidurku. Pantas saja kepalaku terasa pusing kembali, obatku belum dikonsumsi untuk pagi ini saking lupanya aku. Tak berselang lama wanita separuh baya itu sudah membawakanku nasi, obat dan segelas air putih.‘’Makan dulu ya, Bu. Setelah itu baru istirahat,’’ ujarnya yang bergegas meletakkan nampan yang berisi nasi dan sambal di nakas.‘’Iya, Bi. Makasih banyak ya.’’‘’Sama-sama, Bu.’’‘’Kalo gitu Bibi cek dulu Naisya ya,’’ katanya kemudian.Ak
Malam ini mataku enggan untuk terpejam. Teringat isi pesan wanita yang masih berstatus jadi mertuaku itu. Katanya dia akan berkunjung ke rumah karena rindu dengan cucunya. Aku bingung harus bagaimana, tak mungkin aku melarangnya berkunjung ke rumahku. Biar bagaimana pun juga Naisya adalah cucu satu-satunya dan aku masih berstatus sebagai istri dari anak semata wayangnya.Tapi suamiku sudah lama pergi dari rumah dan sampai saat ini tak kunjung pulang lagi. Nanti mama malah bertanya lelaki itu dan apa yang hendak aku jawab? Apalagi beliau itu asam lambung kronis yang tak boleh banyak pikiran dan beliau dulu juga berharap agar kami hidup selamanya bersama. Mertuaku itu begitu baik sekali padaku, bahkan dia menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri bukan menantu.‘’Ya Allah, aku harus bagaimana ini? Apa ini waktunya aku jujur ke Mama?’’Aku mengusap muka berkali-kali dan menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Kupandangi Naisya sudah terlelap. Ya, karena seharian dia tak tidur siang karen
‘’Ya Allah, Nel? Kamu kok begitu sama suami sendiri?’’ Mama mertua sungguh terkesiap melihat pemandangan ini.Ya, memang tak pernah beliau melihat aku berlaku tak baik pada suamiku. Apalagi sampai menepis tangan anaknya dengan kasar di depan orang tua kandung. Orang tua mana pun pasti akan merasa kesal, bahkan marah melihat anaknya diperlakukan seperti itu jika tak tahu apa alasannya. Ah, entah kapan aku akan bisa berkata jujur pada kedua mertuaku itu. Tapi aku tak sanggup lagi untuk menutupi semua ini. Yang ada semakin membuat hatiku teriris. Tidak! Aku harus mengatakan yang sejujurnya.‘’Hemm, Mas Deno ini sebenarnya.....‘’‘’Kamu pusing, Sayang? Aku anter ke kamar ya?’’ Aku menggeleng cepat. ’’Nggak, aku duduk aja.’’ Aku kembali menghenyak di kursi.Kali ini aku gagal lagi. Tampaknya dia berusaha menghalangiku berkata yang sejujurnya tentang masalah yang menimpa rumah tangga kami. Dasar lelaki pengkhianat! Dia menyembunyikan semua ini alasannya tak mau membuat kedua orang tuanya