‘’Nggak seperti yang ada di benakmu itu. Kamu yang ternyata berhati busuk, Nelda. Buktinya kamu memfitnah Chika sampe namanya buruk di sosial media.’’Aku membungkam mulut saking terperanjatnya sambil menggeleng. Seorang Fani tak pernah berkata sekasar ini padaku. Jangankan untuk berkata kasar, menyakiti hatiku saja dia tak pernah. Begitulah dia semasa sekolah denganku. Kini dia berubah total. Dia lebih berpihak pada wanita murahan. Apa karena wanita murahan itu membiayai semua biaya rumah sakit papanya? Membuat Fani lebih berpihak pada si pelakor dibandingkan aku? Tidak, aku tahu betul bagaimana seorang Fani yang kukenal selama ini.‘’Jadi karena dia membiayai rumah sakit Om, kamu jadi berpihak padanya? Fan, kenapa kamu nggak bilang sama aku? Kalo kamu bilang sama aku, aku pasti bantu kamu kok untuk membayar semua biaya administrasi Om. Ngapain kamu harus minta bantuan pada si pelakor itu.’’‘’Cukup, Nelda! Jangan kamu ngerendahin Chika lagi!’’ Suaranya makin menggelegar sambil menun
‘’Kamu beneran kan, Fan?’’ Dia mengangguk cepat.Aku sungguh bahagia sekali, sahabatku sudah kembali seperti dulu lagi. Fani yang kukenal beberapa tahun nan lalu. Kalau begitu, aku harus beritahu bibi Sumi supaya beliau menyiapkan sesuatu atau masakan untuk sahabatku ini. Apalagi dia tak pernah ke rumahku ini. Dulu, dia hanya sering ke rumah lamaku, rumah yang kami tempati dulu bersama papa dan mamaku sebelum beliau meninggal dunia.Aku bergegas merogoh tas.‘’Sebentar ya, Fan.’’Aku langsung memencet nomor kontak si bibi.Berdering..‘’Assalamua’laikum, Bi.’’‘’Bi, aku sebentar lagi mau otewe pulang ke rumah. Bibi siapkan masakan yang enak ya. Aku bawa sahabatku nih, yang sering aku ceritain ke Bibi itu,’’ kataku sambil merangkul pinggang Fani lalu tersenyum menatapnya.‘’Ihh, jangan repot-repotlah, Nel.’’ Aku meletakkan jari telunjuk di bibirku. Pertanda aku menyuruh Fani untuk diam.‘’Bibi ingat kan?’’‘’Alhamdulillah kalo gitu, Bi. Tapi, nggak usah buru-buru menyiapkannya ya, Bi.’
‘’Sampah itu harus dibuang pada tempatnya, Fan.’’‘’Aku mengerti, Nel. Ya.. Walaupun aku nggak tahu bagaimana rasa sakit yang kamu rasakan. Tapi, aku yakin rasanya sangat sakit,’’ kata Fani lirih.Aku membenarkan ucapannya dalam hati. Kini tak ada sahutan dariku, aku hanya fokus menyetir. Karena sebentar lagi akan sampai juga di rumah. Lebih baik aku bercerita di rumah saja bersama Fani.Tak berselang lama si roda empat sudah tiba di depan rumahku. Tampak pagar besi tertutup. Langsung kubunyikan klakson dan menurunkan kaca mobil.‘’Wah, rumah kamu bagus banget, Nel,’’ pujinya yang terus memandangi rumahku.‘’Alhamdulillah. Iya, Fan. Tapi kan nggak selamanya jadi milik kita. Ini hanya titipan, bukan?’’Aku tersenyum memandangi sahabatku yang tak berkedip netranya memandangi rumahku. Hingga si Bibi Sumi tampak tergopoh-gopoh, bergegas membuka pagar.‘’Kamu selalu saja begitu, Nel. Nggak pernah berubah. Kata-katamu itu nggak bisa aku bantah,’’ ungkap Fani sambil tersenyum lebar beralih m
‘’Aku akan bantu cari tahu semua ini, Fan,’’ gumamku dalam hati.***Sahabatku menceritakan semua yang terjadi antara dia dan mamanya. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang membuat Tante Siska itu menyimpan rasa dendam pada Chika. Tapi aku tak tahu, entah apa. Di satu sisi aku menyalahkan Fani juga, kenapa dia tak berunding dengan mamanya terlebih dahulu sebelum membawa si pelakor itu menginap ke rumahnya.Ya, walaupun wanita itu sudah membantu semua biaya administrasi papanya. Ah, aku tak tahu isi pikiran wanita jalang itu. Bisa-bisanya dia mendekati sahabatku, aku yakin dia-lah yang mempengaruhi Fani selama ini. Dasar wanita licik dan murahan!Mataku beralih menatap sang sahabat yang tengah tertidur pulas di tempat tidurku. Ya, dia lelah setelah menangis sejadi-jadinya, setelah menumpahkan segala rasa yang ada di hatinya. Apalagi dia ada masalah sama Tante Siska, yang tak pernah sekalipun memarahinya. Pikiran dan tubuh Fani butuh istirahat untuk sementara.‘’Kasihan sekali kamu,
'’Bu? Mau ke mana?’’ Ternyata ada si bibi yang tengah menjemur pakaian. Dia menghentikan tangannya lalu menatapku.‘’Ke luar sebentar, Bi. Jaga Naisya ya.’’ Aku langsung melangkah ke garasi.‘’Siap, Bu. Hati-hati bawa mobilnya.’’ Aku menoleh lalu menyahut dengan anggukan sambil tersenyum.***Tak berselang lama si roda empatku sudah tiba di depan café nan sederhana. Segera kusharelok ke Tante. Bergegas kuparkirkan si roda empat. Lalu langsung turun dan melangkah memasuki café. Aku memilih meja yang terletak di belakang sekali, tepat di dekat kolam. Biar refresh dan santai, juga jauh dari keramaian.Kufotokan di mana tempatku berada dan segera mengirimkannya pada wanita separuh baya itu. Ceklis dua bewarna biru, itu artinya sudah dibaca olehnya. Sambil menghalau rasa bosan aku memilih berselancar di media sosial. Banyak sekali pesan dan komentar yang kuterima dari follower.Ada yang bertanya kenapa aku tak seaktif dulu lagi menulisnya, ada yang bertanya kapan aku akan kembali update k
Membuat mataku membulat. Lidahku seketika kelu dibuatnya. Tante Siska mengajakku untuk bekerja sama balas dendam? Aku mengerti bagaimana rasa pedih dan sakit hati wanita separuh baya itu. Aku tahu beliau tentu sangat terpukul atas kehilangan kembarannya yang meninggal akibat bunuh diri.Pun juga, aku merasakan hal yang sama. Hatiku begitu sakit dan hancur ketika wanita pelakor itu berselingkuh dengan suamiku selama bertahun-tahun hingga wanita tak beres itu mengandung benih suamiku. Sakit, sungguh sakit yang aku rasakan. Tapi, aku bukan tipe orang yang suka balas dendam. Seberapa pun tergores dan hancurnya hatiku, aku tak kan mau untuk balas dendam. Biarkan Allah saja yang akan membalas semua perbuatan mereka. Setiap perbuatan pasti ada balasan dari Sang Maha Kuasa. Cepat atau lambat balasan pasti datang. ‘’Nelda?’’ Membuat aku tersadar dari lamunanku.Aku menarik napas pelan lalu menghembuskannya dengan perlahan. Kucoba untuk menyusun kata-kata yang tepat untuk menanggapi ucapan Tan
POV Deno‘’Untuk apa kalian memberiku makan? Lebih baik bunuh saja akuu!’’ teriakku lantang.Sudah seminggu aku disekap di sini. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi kuhadapi, hingga membuat wajahku babak belur seperti ini. Mukaku begitu terasa sakit. Kukira mertuaku itu akan membawaku pergi ke luar kota, namun tak sesuai ekspektasi. Sungguh dia pandai sekali bersandiwara membuat aku percaya.Ternyata aku dibawa ke rumah kosong yang sudah tua. Masih teringat olehku ketika aku berada di mobil, asistennya membekap mulutku hingga membuat aku pingsan. Aku yakin ada resep yang ditaburkannya pada sapu tangan itu. Tak berselang lama tiba-tiba aku sudah sadar dengan keadaan air yang membasahi muka dan seluruh tubuhku. Aku yakin wanita licik itu yang menyiramkannya. Kenapa aku jadi bodoh seperti ini. Sialan!‘’Awas aja kalo aku bisa keluar dari sini. Aku akan balas semuanya,’’ geramku dalam hati yang memandangi kedua lelaki bertubuh kekar itu.‘’Ngapain loh melototin kita kayak gitu? Mau kabur,
‘’Hei, loh bisa diem nggak?’’ Tangan lelaki itu menamparku dengan spontan. Membuat aku meringis kesakitan. Andaikan saja aku punya tenaga dan tanganku tak diikat, mungkin aku akan membalas semuanya. ‘’Jangan dihabisin tenaga kalian. Tutup saja mulutnya,’’ titah wanita licik itu yang membuat mataku melotot.‘’Baik, Bu.’’ Dia bergegas melakban mulutku membuat aku sulit untuk bicara.‘’Dasar brengsek! Awas aja kalian semua. Aku bakal balas lebih kejam dari ini,’’ ancamku dalam hati. Lelaki yang tengah menyetir itu tersenyum puas menatapku, begitupun dengan lelaki yang duduk di sebelahku. Awas saja kalian! Akan kubalas semua perlakuan kejam ini.‘Aku mau dibawa ke mana sebenarnya?Tiada putusnya mataku memandangi di sekeliling jalan ini lewat kaca jendela. Begitu sepi, hanya satu atau dua saja kendaraan yang lewat. Aku semakin cemas dibuatnya. Mau apa mereka? Apa mereka punya rencana lebih jahat lagi padaku? Chika, kamu di mana Sayang. Andaikan saja kamu tahu apa yang dilakukan oleh Mam