Akira Hangga Aryanto memulai Senin pagi kali ini dengan semangat baru. Ini adalah hari pertamanya pindah ke perusahaan konsultasi baru.
The Converge.
Perusahaan jasa konsultasi dalam negeri yang bersaing secara skala besar dengan perusahaan top 4 konsultan dari luar negeri yang memiliki kantor di Indonesia.
Akira Hangga Aryanto, pria lajang berumur 29 tahun dengan darah campuran Jepang dari Ibunya – Miyaki Honda, dan setengah lagi dari ayahnya yang berasal dari desa kecil di Jawa Tengah.
Secara penampilan, dia adalah tipikal eksekutif muda yang banyak bertebaran di Jakarta. Mengais rezeki dan meniti karir di berbagai lini bisnis yang ditawarkan oleh Ibu Kota Indonesia, Jakarta.
Citra Akira sebagai eksekutif muda dengan gaji tinggi terukir jelas dari cara berpakaiannya yang biasanya selalu dilengkapi dengan kemeja, dasi sutra dan terkadang memakai jas hitam jika ada acara-acara formal, saat bertemu klien atau petinggi pemerintahan.
Jika dia pulang bekerja atau berada di waktu liburnya, pakaiannya berubah menjadi sesederhana kaos dengan warna monokromatik seperti hitam, putih dan abu-abu, celana kapri atau jeans serta dilengkapi dengan sneakers untuk membuatnya nyaman bergerak dan melakukan mobilitas.
Dua bulan lalu dia mendapatkan tawaran interview dari beberapa headhunter yang sibuk mencari seorang kandidat untuk posisi partner di sebuah perusahaan konsultasi bonafit di Jakarta.
“Ayolah, Pak Akira! Target akhir bulan saya, Pak. Tidak ada salahnya untuk mencoba melihat kesempatan ini dahulu kan, Pak?” bujuk sang rekruter yang pantang menyerah.
“Ya sudah, coba atur waktunya saja, Mas. Saya coba deh!” seru Akira akhirnya.
Dia cukup capek juga menolak pendekatan dari headhunters yang begitu gigih untuk menawarkan Akira proses interview dengan pendiri dan partner perusahaan konsultasi ini.
Akhirnya Akira mengiyakan jadwal interview, dan tak disangka mereka berhasil membujuk Akira untuk menerima tawaran menarik serta jenjang karir instan lebih cepat yang akan mereka berikan kepada Akira jika dia setuju untuk mengambil posisi ini.
[Mas Akira, minggu ini kita bisa latihan aikido lagi tidak?]
Sebuah pesan masuk, dan Akira mengecek ponselnya. Ternyata adik laki-lakinya, Akito. Tak lama satu pesan lain juga muncul. Kali ini dari adik perempuannya. Akina.
[Oniichan, bisa sisihkan waktumu untuk resital baletku dalam bulan ini?]
Melihat dia sudah ditagih kehadirannya oleh kedua adiknya, Akira berinisiatif untuk menelepon ibunya sekaligus mengecek keadaan rumah orangtuanya.
“Halo, Mama?” Sambungan pertama segera terangkat, dan Akira menyapa hangat ibunya.
“Moshi-moshi Akira-chan! kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya ibunya di balik sambungan telepon.
“Tidak ada apa-apa, Ma. Aku hanya ingin mengucapkan selamat pagi. Ah, dan juga … hari ini aku masuk kerja di tempat baru,” ujar Akira mengabarkan.
“Semoga sukses ya, Akira! Nanti kabari kami bagaimana kantor barumu, ne?” tanya sang ibu dengan logat jepang yang masih belum bisa sepenuhnya hilang.
“Iya, Ma. Mungkin minggu ini aku akan pulang mengunjungi rumah,” ucapnya sambil membawa tasnya dan bergegas masuk ke dalam mobilnya.
“Ah! Ide bagus. Nanti Mama siapkan kare daging kesukaanmu.” jawab Mama sambil tertawa riang.
Tak lama setelah itu, sambungan ditutup dan Akira siap untuk memulai harinya.
Memulai hari Senin seperti biasa, rutinitas pagi hari yang dijalani Akira pagi ini dia sudah rapi setelah sebelumnya dia berolahraga jogging di sekitar rumahnya, lalu mempersiapkan sarapan sendiri dan telah siap untuk berangkat kerja pukul tujuh pagi.
Kantor barunya yang berada di bilangan SCBD sebenarnya – jika tidak dalam waktu sibuk, jaraknya tidak terlalu jauh dengan kantornya yang lama di bilangan Thamrin.
Butuh waktu sekitar satu jam atau satu setengah jam saat macet begitu gila melanda jika dia berangkat naik mobil Pajero Sport berwarna putihnya. Mobil kesayangan yang berhasil dibeli lunas secara tunai setelah menabung tiga kali bonus tahunan dan juga hidup sedikit lebih berhemat.
Dia sering membawa kopi sendiri, tidak foya-foya makan malam atau makan siang dengan sekali close bill seharga dua juta rupiah, dan tidak pergi menghamburkan uang dengan menghabiskannya demi gengsi membuka table atau mentraktir temannya pergi ke Bali demi menjaga gengsi. Dia juga menahan diri dengan tidak pergi berlibur ke Jepang mengunjungi nenek dan kakeknya setahun yang lalu.
Hasilnya, dia bisa mengganti mobil sedan tua bekas merek Mercedes yang pertama kali dibeli semasa dia menjadi lulusan baru, dan menukarnya dengan mobil baru ini. Kini dia hanya perlu memikirkan cara dan menabung serta berinvestasi ekstra keras untuk melunasi kpr-nya yang masih tersisa sekitar tiga tahun lagi.
Kantor The Converge terletak di Pristine Tower lantai empat puluh lima.
Pristine Tower merupakan salah satu gedung tertinggi di kawasan sentra bisnis ini, dan menjadi landmark baru dari sentra bisnis Sudirman.
Menurut Pak Hasan, dia akan diberikan ruang khusus tempat partner sebelumnya resign. Nanti dia akan memiliki tim yang terdiri dari satu konsultan senior dan beberapa konsultan junior yang bisa ditambah atau dikurangi tergantung volume dan tingkat kerumitan proyek, serta beberapa staf umum yang bisa diperbantukan secara ad-hoc.
Saat Akira masuk ke dalam lift untuk menuju lantai empat puluh lima, dia merasakan beberapa orang, atau perempuan lebih tepatnya berbisik-bisik dan berusaha sebisa mungkin berbicara satu sama lain tanpa terdengar orang lain.
“Astaga, ganteng banget!” Bisik satu orang perempuan di sudut kanan belakang lift.
“Lantai berapa itu turunnya? Coba cek deh!” ujar satu orang lainnya yang ternyata suaranya lebih kencang sehingga membuat beberapa orang yang berada di dalam lift cekikikan dan menoleh ke sumber suara.
Di dalam lift hanya ada tiga laki-laki termasuk Akira. Dua di antaranya adalah pria senior berumur di atas empat puluh tahun. Dan yang terakhir yang baru masuk adalah Akira.
Akira tentu saja mencoba untuk tetap tenang. Belum tentu yang menjadi objek pembicaraan ini adalah dirinya. Siapa tahu mereka memang menyukai tipe-tipe pria matang seperti dua pria penghuni lift ini.
“Mukanya mirip banget kaya idol K-Pop! Astaga!” desis satu orang perempuan yang ikut nimbrung bergosip di belakang.
That’s it!
Telinga Akira akhirnya memerah. Merasa sepertinya hampir lima puluh persen dia yakin kalau perempuan tersebut bergosip tentang dirinya.
Rasanya idol Kpop tidak mungkin mirip dengan wajah asli Indonesia seperti kedua pria yang berada satu lift dengannya, kan?
Hanya wajah keturunan Jepang-nya yang mungkin menyerupai idol dari Korea Selatan tersebut.
Wajahnya putih seputih susu, keturunan ibunya yang asli Jepang. kelemahannya adalah jika dia malu, mabuk, atau capek setelah workout, wajahnya pasti memerah seperti kepiting rebus.
Sulit menyembunyikan perasaannya jika dia dihadapkan oleh situasi yang membuatnya kikuk atau gelagapan dan sukses memompa adrenalin serta jantungnya.
Akira merasa sedikit tersanjung, bisa disamakan dengan Idol dari Negeri Gingseng yang pastinya memiliki jutaan penggemar. Tapi tetap saja, dia merasa risih dibicarakan secara terbuka – atau lebih tepatnya secara bisik-bisik di dalam ruang tertutup seperti ini.
Dan sepertinya tidak hanya dia saja yang risih, salah satu pria yang berdiri di belakang Akira akhirnya berdehem keras dan memecah kehebohan yang terjadi di sudut belakang lift. Membuat mereka sadar tempat dan menutup mulutnya.
Lantai empat puluh lima, akhirnya Akira bisa keluar dari lift dan meninggalkan grup gosip tersebut!
Dia berjalan lurus sesuai dengan papan indeks perusahaan yang terpampang di dinding lantai empat puluh lima.
Akira melihat kantor The Converge yang mengambil tiga unit sekaligus sebagai tempat operasionalnya. Dari luar dia melihat kantor tempatnya bernaung mulai hari ini, yang bergaya modern minimalis dengan sentuhan earth tone yang didominasi warna kayu serta beberapa tanaman dan bunga potong hias yang menjadi ornamen di foyer dan ruang resepsi tamu.
“Kantor baru! Here we go!” ucapnya dengan penuh semangat sebelum membuka pintu kaca kantor dan melangkah masuk dengan percaya diri.
“Uh… se … selamat pagi, uh …” Salah seorang resepsionis yang tergagap ketika melihat Akira datang ke dalam kantor membuat dirinya menahan senyum. Dia beberapa kali mengalami kejadian seperti ini, tapi tetap saja dia selalu tidak terbiasa! “Halo selamat pagi! Saya Akira, ini hari pertama saya di sini. Saya ingin bertemu dengan Pak Hasan …” ucap Akira sambil melempar senyum dan dibalas dengan raut wajah memerah dari sang resepsionis. Setelah memberitahukan namanya dan menyatakan tujuannya untuk bertemu dengan Pak Hasan, dia dibawa ke ruangan pribadi Senior Partner. “Akira! Akhirnya! Selamat datang di The Converge. Senang sekali kamu akhirnya bergabung dalam tim kami.” Pak Hasan yang tadinya sedang duduk sambil membaca sebuah berkas mendadak berdiri dan menyambutnya dengan hangat. “Ayo duduk dulu, kita bisa berbincang sebentar sebelum saya mengenalkan kamu dengan rekan-rekan kerja di sini,” ujar Pak Hasan dengan sumringah. Akira tersenyum dan sukses membuat lesung pipinya tercetak
Pernahkah kalian dilanda kekagetan luar biasa sampai-sampai merasakan sensasi otak membeku, lidah yang menjadi kelu, dan tidak bisa merespon seluruh sensori yang berjalan di setiap momen waktu?Giselle merasakannya sekarang. Dia tadi keluar ruangannya karena dia ingin pergi ke pantry untuk mengisi ulang chamomile tea miliknya yang mulai mendingin karena suhu AC pagi ini yang begitu brutal menurutnya. “Ah, Giselle. Perkenalkan, ini Akira. Mulai hari ini dia akan menjadi bagian dari keluarga besar The Converge sebagai Partner. Dia menggantikan posisi Mas Dirga mulai saat ini.”Suara riang Pak Hasan rasanya bak petir yang menyambar di siang bolong. Ada dua hal besar yang menjadi titik perhatian Giselle seketika dia mendengar berita mengejutkan ini. Pertama, mengenai posisi yang Giselle idam-idamkan.Dan yang kedua, mengenai pria asing namun familiar yang berdiri di hadapannya; Giselle memprediksi bahwa dia sama kagetnya seperti dirinya sekarang. Giselle menggelengkan kepalanya sekal
“Selamat pagi Giselle,” ujar Akira yang disambut dengan delik kesal dari pemilik bulu mata lentik si empunya nama. “Saya sedang tidak ingin berbasa-basi, Akira … ” jawab Giselle memutar bola matanya. Akira bersedekap dan menunggu lanjutan kalimat Giselle yang memang terdengar begitu hostil dan tidak bersahabat. “Kamu tahu itu posisi yang saya incar sejak Mas Dirga resign!” seru gadis itu. Rasa kesalnya tidak dia coba tutupi, dan justru diperjelas dengan dentaman tumbler stainless steel-nya yang beradu dengan meja kerjanya yang kental dengan desain khas Skandinavia lewat potongan bersih dan fungsionalnya. “Tentu saja saya nggak tahu soal itu,” kilah Akira. “Saya rasa itu urusan internal antara kamu dan Pak Hasan yang seharusnya kamu selesaikan internal dengan beliau, bukan gontok-gontokan begini sama saya,” tandas Akira. Giselle tahu itu. Tapi tetap saja dia merasa kesal serta kecewa. Satu orang yang bisa dia jadikan sebagai pelampiasan ya orang yang berada di depannya ini. Berd
Akira mencoba menahan senyumnya melihat gestur perempuan yang entah sudah berapa kali sukses singgah dalam mimpi-mimpi indahnya di malam hari selama tiga bulan terakhir ini. “Siapa bilang aku kikuk! Mungkin dirimu saja yang terlalu kegeeran!” jawab Giselle sambil bersungut-sungut. Dia akhirnya duduk di sofa tunggal dan menghadap Akira yang sudah duduk dengan nyaman. “Kamu … ” ucap Giselle di waktu yang bersamaan ketika Akira berkata, “Giselle …”Mereka berdua kemudian terdiam sesaat, sebelum Akira akhirnya memecah suasana. “Silakan kamu duluan, ingin bicara apa?” tanya Akira seraya melemparkan senyum sopannya. Giselle mengerutkan keningnya, pertanda jika dia masih belum bisa mempercayai Akira seratus persen. Jelas sekali terlihat dari gestur tubuhnya. Gadis cantik itu akhirnya menghela nafas panjangnya. “Sebelum kita bicara lebih lanjut, saya cuma ingin menekankan, anggap saja malam itu tidak pernah terjadi.” ungkap Giselle dengan tegas. Kali ini giliran Akira yang mengerutka
Meminta maaf adalah satu hal yang cukup menyulitkan bagi ego Giselle. Dia tidak terbiasa untuk meminta maaf, karena apa yang dia lakukan dia rasa tak pernah salah. Dia melakukan berbagai macam hal penuh tekad dan perhitungan. Tujuannya untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan yang bisa saja berdampak pada orang lain, yang mengakibatkan dia harus meminta maaf sebagai bentuk tanggung jawab. Dan mengutarakan permintaan maaf kepada Akira membuatnya harus menekan egonya dalam-dalam. Dia tahu apa yang dia lakukan malam itu adalah sebuah kesalahan. Dan kini dia dikonfrontasi oleh Akira sendiri, hingga dia harus mengakui kesalahannya dan perbuatannya yang jelas membuat orang sakit hati. Akira pun sepertinya kaget dengan pernyataan maaf yang barusan Giselle ucapkan dengan terbata-bata. Dia menaikkan alis kanannya yang terlihat tebal membingkai tatapan tajamnya. “Apa yang kulakukan waktu itu tindakan pengecut,” ujar Giselle pelan. “Dan aku minta maaf untuk itu, okay?” dia menekankan sekali
“Ah, halo selamat pagi Pak Darius! Bagaimana kabarnya Pak?” ujar Akira saat menerima sambungan telepon. Sorry … Akira merapalkan kata tersebut kepada Giselle, dan menunjuk ponselnya yang menginterupsi percakapan mereka. Giselle hanya bisa menghela nafasnya seraya memijat keningnya. “Ah iya benar, saya resign dari kantor sebelumnya nih, Pak Darius. Sekarang saya di The Converge sebagai partner. Ini hari pertama saya lho Pak,” Akira tertawa membalas ucapan lawan bicaranya. “Oh … boleh Pak, nanti saya atur waktu dengan PA Pak Darius agar bisa menjadwalkan meeting dengan Anda, Pak.” Setelah berbasa-basi sebentar, Akira menutup sambungan ponselnya dan akhirnya menaruh kembali ponsel miliknya di atas meja kaca ruang Giselle. “Okay, kita bisa lanjutkan lagi,” ujar Akira. Tapi sepertinya Giselle sudah malas berdebat dengannya dan menyadari jika sejak pagi tadi, mereka berdua menghabiskan energi untuk berdebat hal-hal yang sebenarnya tidak penting, tapi tetap menguras energi dan emosi
GISELLEGiselle langsung kabur begitu dia mendengar denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai 20 tempat restoran Jepang kesukaannya berada. Pertanyaan singkat yang Akira lontarkan sebenarnya membuat Giselle kelabakan. Kenapa dia membenci Akira?Sebenarnya kata membenci terlalu kuat untuk menjelaskan emosi yang Giselle rasakan jika dia berhadapan dengan Akira. Dia tidak membencinya, hanya saja dia merasa perasaannya menjadi campur aduk ketika bertemu partner ons yang ternyata kini menjadi bos barunya, terlebih lagi mengambil posisi yang sudah Giselle incar untuk kenaikan jenjang karirnya. “Bu Giselle, berarti nanti kerja bareng Pak Akira dong ya?” Rindi bertanya kepada Giselle di sela-sela waktu mereka menunggu untuk mendapatkan ruang khusus di restoran ini yang mengakomodir rombongan The Converge yang mencapai sekitar sepuluh orang. Giselle hanya tersenyum rikuh. Ya memang dia akan bekerja bersama lelaki itu. Dan itu pula sumber bad moodnya sejak tadi pagi. “Kok bis
AKIRAAkhir pekan minggu ini Akira akhirnya memutar kendaraannya ke rumah orang tuanya yang terletak di kawasan Jakarta Selatan setelah berjanji akan kembali pulang waktu pembicaraan teleponnya bersama mama hari Senin lalu. Akira keluar dari rumah orang tuanya sejak dia mulai merantau berkuliah di Tokyo Daigaku atau Universitas Tokyo di Jepang saat berumur delapan belas tahun. Di Tokyo dia tinggal bersama sepupunya, Daisuke Honda yang lebih tua empat tahun dibanding dirinya. Empat tahun yang cukup gila di sana, sebelum akhirnya ditambah lagi dua tahun untuk mengejar program master sambil bekerja di perusahaan Deloitte Tohmatsu, sebuah perusahaan konsultansi terbesar di dunia. Total dia tinggal di Jepang selama enam tahun, dengan hasil mengantongi gelar master di bidang manajemen dan pengalaman bekerja selama dua tahun di perusahaan konsultasi yang akhirnya menjadi pijakan karirnya ketika kembali ke Indonesia. Umur dua puluh empat tahun, dia kembali ke Indonesia dan berkarir di per
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.