Pernahkah kalian dilanda kekagetan luar biasa sampai-sampai merasakan sensasi otak membeku, lidah yang menjadi kelu, dan tidak bisa merespon seluruh sensori yang berjalan di setiap momen waktu?
Giselle merasakannya sekarang.
Dia tadi keluar ruangannya karena dia ingin pergi ke pantry untuk mengisi ulang chamomile tea miliknya yang mulai mendingin karena suhu AC pagi ini yang begitu brutal menurutnya.
“Ah, Giselle. Perkenalkan, ini Akira. Mulai hari ini dia akan menjadi bagian dari keluarga besar The Converge sebagai Partner. Dia menggantikan posisi Mas Dirga mulai saat ini.”
Suara riang Pak Hasan rasanya bak petir yang menyambar di siang bolong.
Ada dua hal besar yang menjadi titik perhatian Giselle seketika dia mendengar berita mengejutkan ini.
Pertama, mengenai posisi yang Giselle idam-idamkan.
Dan yang kedua, mengenai pria asing namun familiar yang berdiri di hadapannya; Giselle memprediksi bahwa dia sama kagetnya seperti dirinya sekarang.
Giselle menggelengkan kepalanya sekali lagi, mencoba untuk menghilangkan rasa kagetnya.
“Pak Hasan? Kenapa dia ada di sini?” Giselle menatap bosnya dengan tatapan terluka dan tak percaya.
“Kupikir Pak Hasan setuju untuk memberikan kesempatan ini kepada saya?” tembak Giselle langsung kepada atasannya.
“Kenapa tiba-tiba posisi ini sudah terisi?” tanya Giselle yang sekuat mungkin menutupi rasa terlukanya.
Persetan jika dia disebut tidak profesional pagi ini karena mengkonfrontasi kepada bosnya langsung di hadapan pria yang mendapatkan posisi partner di kantor ini.
“Bukannya Anda berjanji akan memberikan saya kesempatan untuk mengikuti bursa posisi ini?” Giselle menggugat balik keputusan yang dirasa Giselle begitu tiba-tiba dan sepihak.
“Dan kamu!” Giselle menatap penuh amarah pada pria asing yang Giselle ingat pernah melewati satu malam panas bersamanya di Hotel The Royal Ruby di kawasan Thamrin sekitar tiga bulan lalu.
Saking marahnya, dia sampai kehabisan kata-kata, dan menatap Akira dengan tatapan menantang.
“Giselle!” Pak Hasan menegur keras nada salh satu konsultan seniornya yang begitu tidak bersahabat kepada Akira.
Akira, si pria tampan yang kini merenggut posisi incarannya.
“Pak, I got blindsided! Aku tidak menyangka akan ditikung sedemikian rupa oleh … oleh … ugh!” Giselle sampai-sampai refleks menghentakkan kakinya sebagai tanda frustasi.
“Kita perlu bicara setelah ini!” suara Pak Hasan mengeras melihat tingkah polah Giselle yang out of the place. Tidak biasanya salah satu bawahan kebanggaannya bersikap kekanakan seperti ini.
‘Kenapa tidak bicara di sini saja, di depan si pencuri jabatan yang tiba-tiba datang tanpa dosa ke kantor The Converge!’ rutuk Giselle dalam hati.
Dia tentu saja tak berani mengungkapkannya secara terang-terangan, melihat Pak Hasan tidak menyukai cara Giselle menyampaikan keberatannya.
“Well… Akira, ini Giselle. Dia konsultan senior yang sudah bersama The Converge selama empat tahun.”
“Mungkin kalian bisa duduk bersama dan berbicara nanti. Untuk sekarang saya perlu bicara dengan Giselle dahulu.” Pak Hasan menghentikan tur kantor kepada Akira dan memilih untuk berbicara dengan Giselle terlebih dahulu.
Untuk meluruskan kesalahpahaman dan juga gesekan yang terjadi karena posisi partner yang terisi oleh orang di luar The Converge.
“Tentu Pak Hasan, santai saja.” Akira menyambut ucapan atasan barunya dengan ramah.
Tak lama dia memandang gadis cantik yang parasnya tidak berubah tiga bulan lalu saat dia terakhir kali melihatnya. Di bawah tubuhnya, secara antusias menghabiskan semalam suntuk bercinta bersamanya.
Akira melemparkan senyum tipis dan dingin kepada Giselle.
“Giselle, senang bertemu dengan kamu. Kita perlu bicara nanti. Tolong luangkan waktu, ya.” Akira sengaja menekankan kalimat tersebut.
Yang tentu saja membuat Giselle semakin meradang.
Hidungnya kembang kempis menahan gejolak emosi yang timbul pagi ini.
“Ayo Giselle, ke ruangan saya sekarang.” Pak Hasan menoleh ke arah Giselle dan menunggu gadis itu mengikutinya.
Dia hanya bisa menghela nafasnya.
Pagi yang menyebalkan!
***
“Ada apa dengan sikapmu hari ini, Giselle? Ini bukan seperti dirimu yang biasanya.” Belum sempat Pak Hasan duduk di sofa ruangannya, dia telah membalikkan badan dan menatap Giselle yang baru masuk ruangan dan menutup pintu ruang kerja Pak Hasan.
Giselle menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Saya pikir Pak Hasan akan bicara mengenai hal ini dulu kepada saya. Pak Hasan kan tahu benar, saya juga menginginkan posisi tersebut,” ujar Giselle dengan tenang.
“Kenapa tidak membuat semacam beauty contest untuk memperlihatkan siapa yang lebih mumpuni dan layak mengisi jabatan tersebut?” tantang Giselle.
“Pak, saya tahu saya masih terbilang muda. Tapi Bapak lihat sendiri kan, saya sering membawa proyek dengan nilai fantastis masuk ke dalam The Converge. Klien pun puas dengan hasil yang kita berikan kepada mereka,” ujarnya panjang lebar.
Pak Hasan mendengar keluhan Giselle dengan atentif.
“Giselle… saya tahu kamu salah satu konsultan berbakat dalam The Converge. Dan saya sangat bangga dengan pencapaianmu,” ujar Pak Hasan.
“Tapi … ” Giselle mendengar pasti ada penyangkalan dari kalimat Pak Hasan selanjutnya.
“Saya merasa kamu masih belum cukup jam terbang untuk mengisi posisi partner. Sejujurnya masih banyak yang masih kamu perlu eksplor,” ucap Pak Hasan akhirnya.
“Memang jam terbangnya Akira dan portofolionya seimpresif apa Pak?”
“Sampai-sampai Anda memilih dia dibanding saya?” tembak Giselle langsung.
Iya, Giselle bukanlah tipikal pekerja perempuan yang manut-manut saja mendengar keputusan atasannya.
Jika dalam logikanya alasan tersebut masih kurang masuk akal, maka dia akan mendebat dan menggugatnya hingga mendapatkan jawaban yang memuaskan dirinya.
Banyak yang bilang jika Giselle orangnya sungguh mengesalkan.
Tapi Giselle tak peduli. Dia memang harus sekeras batu untuk memecah dominasi pria yang ada dalam industrinya, jika dia ingin tetap bertahan dan tidak diinjak-injak.
“Umur dia baru dua puluh sembilan tahun. Tapi di firma sebelumnya, dia yang berhasil bernegosiasi dan mendapatkan kontrak eksklusif bersama Danudihardjo Enterpise selama dua tahun berturut-turut.” Pak Hasan mengedikkan bahunya dengan santai.
“Sebuah pencapaian yang luar biasa karena perusahaan lamanya bisa secure kontrak oleh salah satu Enterprise dan konglomerasi terbesar di Indonesia.” Akhirnya bosnya menjawab rasa penasaran Giselle.
Oh, bagus juga ternyata portofolionya!
Mau tak mau Giselle perlu mengakui pencapaian pria yang entah kebetulan dari mana pernah menjadi partner one night stand-nya pertama dan terakhir kalinya di tiga bulan lalu.
Tapi Giselle tak mau kalah.
Portfolionya juga tak kalah mentereng. Dia berhasil mendapatkan satu proyek konsultasi besar dengan Sudibyo Corporation. Salah satu perusahaan yang menjadi media darling di Indonesia karena lingkungan kerja yang begitu diidam-idamkan dan lebih manusiawi di bidang industrinya.
“Terus bagaimana dong, Pak? Masa tidak ada kesempatan bagi saya untuk membuktikan kemampuan saya kalau saya layak dan mumpuni untuk posisi tersebut?” tuntut Giselle.
Dia tak akan menyerah begitu saja dan membiarkan orang asing itu mengambil posisi yang telah diincarnya.
“Akira masih dalam masa probation. Coba kamu bekerja sama dengan Akira dahulu selama tiga bulan.” Pak Hasan akhirnya mencoba memberikan alternatif kepada Giselle.
“Tapi kamu juga harus fair. Jika kamu secara rasional melihat dan mengakui jika pilihan saya untuk menempatkan Akira sebagai partner adalah keputusan yang tepat, maka kamu harus bersedia bekerja bersama dia dan menjadi tandem-nya dalam mengerjakan berbagai proyek.”
Giselle menganggukkan kepalanya.
“Ok, deal Pak. Dan jika ternyata Akira tidak memenuhi ekspektasi saya dan Bapak, maka posisi itu bisa untuk saya, ya!” Giselle langsung menodongkan alternatif kepada Pak Hasan.
Rasanya itu cukup fair untuk situasi sekarang ini.
Pak Hasan terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk setuju.
“Tentu. Saya setuju dengan usulmu, Pak.” Giselle mengepalkan tangannya dengan optimis dan tersenyum mendengar persetujuan Pak Hasan.
Okay, game on!
Langkah selanjutnya adalah mencoba ‘mendepak’ Akira, dan mencari kelemahan untuk dia serang.
Giselle keluar ruangan Pak Hasan, dan bertekad menemui Akira.
Tapi apa yang harus dia lakukan untuk menjalankan misinya?
Sambil memutar otak dengan keras, dia berjalan menuju ruangannya untuk menaruh tumbler-nya yang tadi dia bawa-bawa tanpa isi karena kehebohan tadi pagi.
Tapi belum sampai di ruangannya, dia dihadang oleh pria yang menghancurkan mood-nya pagi ini.
“Giselle, bisa kita berbincang sekarang?” Akira berdiri sambil bersandar di dinding pintu ruangan Giselle.
Giselle menunjuk ruangannya dengan tumbler kosongnya.
“Di ruanganku,” jawab Giselle singkat.
Akira menatapnya dalam, dan membalasnya lewat gerakan tangannya dengan gestur ala gentleman.
“Tentu saja. Silakan … ladies first … ”
“Selamat pagi Giselle,” ujar Akira yang disambut dengan delik kesal dari pemilik bulu mata lentik si empunya nama. “Saya sedang tidak ingin berbasa-basi, Akira … ” jawab Giselle memutar bola matanya. Akira bersedekap dan menunggu lanjutan kalimat Giselle yang memang terdengar begitu hostil dan tidak bersahabat. “Kamu tahu itu posisi yang saya incar sejak Mas Dirga resign!” seru gadis itu. Rasa kesalnya tidak dia coba tutupi, dan justru diperjelas dengan dentaman tumbler stainless steel-nya yang beradu dengan meja kerjanya yang kental dengan desain khas Skandinavia lewat potongan bersih dan fungsionalnya. “Tentu saja saya nggak tahu soal itu,” kilah Akira. “Saya rasa itu urusan internal antara kamu dan Pak Hasan yang seharusnya kamu selesaikan internal dengan beliau, bukan gontok-gontokan begini sama saya,” tandas Akira. Giselle tahu itu. Tapi tetap saja dia merasa kesal serta kecewa. Satu orang yang bisa dia jadikan sebagai pelampiasan ya orang yang berada di depannya ini. Berd
Akira mencoba menahan senyumnya melihat gestur perempuan yang entah sudah berapa kali sukses singgah dalam mimpi-mimpi indahnya di malam hari selama tiga bulan terakhir ini. “Siapa bilang aku kikuk! Mungkin dirimu saja yang terlalu kegeeran!” jawab Giselle sambil bersungut-sungut. Dia akhirnya duduk di sofa tunggal dan menghadap Akira yang sudah duduk dengan nyaman. “Kamu … ” ucap Giselle di waktu yang bersamaan ketika Akira berkata, “Giselle …”Mereka berdua kemudian terdiam sesaat, sebelum Akira akhirnya memecah suasana. “Silakan kamu duluan, ingin bicara apa?” tanya Akira seraya melemparkan senyum sopannya. Giselle mengerutkan keningnya, pertanda jika dia masih belum bisa mempercayai Akira seratus persen. Jelas sekali terlihat dari gestur tubuhnya. Gadis cantik itu akhirnya menghela nafas panjangnya. “Sebelum kita bicara lebih lanjut, saya cuma ingin menekankan, anggap saja malam itu tidak pernah terjadi.” ungkap Giselle dengan tegas. Kali ini giliran Akira yang mengerutka
Meminta maaf adalah satu hal yang cukup menyulitkan bagi ego Giselle. Dia tidak terbiasa untuk meminta maaf, karena apa yang dia lakukan dia rasa tak pernah salah. Dia melakukan berbagai macam hal penuh tekad dan perhitungan. Tujuannya untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan yang bisa saja berdampak pada orang lain, yang mengakibatkan dia harus meminta maaf sebagai bentuk tanggung jawab. Dan mengutarakan permintaan maaf kepada Akira membuatnya harus menekan egonya dalam-dalam. Dia tahu apa yang dia lakukan malam itu adalah sebuah kesalahan. Dan kini dia dikonfrontasi oleh Akira sendiri, hingga dia harus mengakui kesalahannya dan perbuatannya yang jelas membuat orang sakit hati. Akira pun sepertinya kaget dengan pernyataan maaf yang barusan Giselle ucapkan dengan terbata-bata. Dia menaikkan alis kanannya yang terlihat tebal membingkai tatapan tajamnya. “Apa yang kulakukan waktu itu tindakan pengecut,” ujar Giselle pelan. “Dan aku minta maaf untuk itu, okay?” dia menekankan sekali
“Ah, halo selamat pagi Pak Darius! Bagaimana kabarnya Pak?” ujar Akira saat menerima sambungan telepon. Sorry … Akira merapalkan kata tersebut kepada Giselle, dan menunjuk ponselnya yang menginterupsi percakapan mereka. Giselle hanya bisa menghela nafasnya seraya memijat keningnya. “Ah iya benar, saya resign dari kantor sebelumnya nih, Pak Darius. Sekarang saya di The Converge sebagai partner. Ini hari pertama saya lho Pak,” Akira tertawa membalas ucapan lawan bicaranya. “Oh … boleh Pak, nanti saya atur waktu dengan PA Pak Darius agar bisa menjadwalkan meeting dengan Anda, Pak.” Setelah berbasa-basi sebentar, Akira menutup sambungan ponselnya dan akhirnya menaruh kembali ponsel miliknya di atas meja kaca ruang Giselle. “Okay, kita bisa lanjutkan lagi,” ujar Akira. Tapi sepertinya Giselle sudah malas berdebat dengannya dan menyadari jika sejak pagi tadi, mereka berdua menghabiskan energi untuk berdebat hal-hal yang sebenarnya tidak penting, tapi tetap menguras energi dan emosi
GISELLEGiselle langsung kabur begitu dia mendengar denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai 20 tempat restoran Jepang kesukaannya berada. Pertanyaan singkat yang Akira lontarkan sebenarnya membuat Giselle kelabakan. Kenapa dia membenci Akira?Sebenarnya kata membenci terlalu kuat untuk menjelaskan emosi yang Giselle rasakan jika dia berhadapan dengan Akira. Dia tidak membencinya, hanya saja dia merasa perasaannya menjadi campur aduk ketika bertemu partner ons yang ternyata kini menjadi bos barunya, terlebih lagi mengambil posisi yang sudah Giselle incar untuk kenaikan jenjang karirnya. “Bu Giselle, berarti nanti kerja bareng Pak Akira dong ya?” Rindi bertanya kepada Giselle di sela-sela waktu mereka menunggu untuk mendapatkan ruang khusus di restoran ini yang mengakomodir rombongan The Converge yang mencapai sekitar sepuluh orang. Giselle hanya tersenyum rikuh. Ya memang dia akan bekerja bersama lelaki itu. Dan itu pula sumber bad moodnya sejak tadi pagi. “Kok bis
AKIRAAkhir pekan minggu ini Akira akhirnya memutar kendaraannya ke rumah orang tuanya yang terletak di kawasan Jakarta Selatan setelah berjanji akan kembali pulang waktu pembicaraan teleponnya bersama mama hari Senin lalu. Akira keluar dari rumah orang tuanya sejak dia mulai merantau berkuliah di Tokyo Daigaku atau Universitas Tokyo di Jepang saat berumur delapan belas tahun. Di Tokyo dia tinggal bersama sepupunya, Daisuke Honda yang lebih tua empat tahun dibanding dirinya. Empat tahun yang cukup gila di sana, sebelum akhirnya ditambah lagi dua tahun untuk mengejar program master sambil bekerja di perusahaan Deloitte Tohmatsu, sebuah perusahaan konsultansi terbesar di dunia. Total dia tinggal di Jepang selama enam tahun, dengan hasil mengantongi gelar master di bidang manajemen dan pengalaman bekerja selama dua tahun di perusahaan konsultasi yang akhirnya menjadi pijakan karirnya ketika kembali ke Indonesia. Umur dua puluh empat tahun, dia kembali ke Indonesia dan berkarir di per
“Aki, bagaimana sekolah dan baletmu?” tanya Akira setelah selesai menyantap makan malamnya. Kini dia berpindah dan mengambil satu bagian cheesecake dan mulai mencicipinya. Memang cheesecake dari Dore adalah salah satu kek kesukaan mereka. Setelah kek dari toko kue Chateraise yang biasa dibeli Akira ketika masih tinggal di Tokyo. Untung saja di sini sudah ada cabangnya, sehingga dia bisa menuntaskan sweet tooth-nya jika Akira dan keluarga sedang mengidam-idamkan kek yang asli diimpor dari Jepang tersebut. Aki – nama panggilan Akina yang biasa dia gunakan untuk menyebut adik perempuannya itu – mengedikkan bahunya. “Ya begitu saja, nggak ada yang cukup menarik di sekolah. Terkadang aku bosan pergi ke sekolah,” ujar Aki dengan sedikit malas. “Tapi kalau soal balet, minggu depan aku sudah siap untuk resital baletku! Aku berharap ini bisa menambah portfolioku untuk seleksi di Juilliard Dance School kelak,” ujar Aki dengan menggebu-gebu. Jika berbicara tentang balet, wajah Aki langsung b
GISELLE “Papi, kita besok ke Singapura bisa nggak ya?” suara Elina, ibu tiri Giselle terdengar nyaring dan begitu melengking bagi Giselle. Elina yang merupakan istri ketiga ayah duduk di samping ayahnya yang berada di ujung meja. Sedangkan Giselle duduk di sisi terluar meja makan. Di sampingnya ada kakak tirinya dari istri pertama ayah, Kak Damar. Setiap satu bulan sekali, Giselle harus kembali ke rumah utama dan menjalani rutinitas membosankan ini, makan malam bersama keluarga. Tapi sayangnya, keluarga Natapradja bukanlah keluarga harmonis seperti potret sinetron terkenal Keluarga Cemara. Keluarga Natapradja adalah potret keluarga disfungsional yang membuat setiap anggota keluarga mengeluarkan sisi terburuk mereka saat bertemu dan saling sapa. Elina, istri ketiga ayah berumur 30 tahun. Hanya berbeda empat tahun dari Giselle. Elina dahulu adalah sekretaris pribadi ayah. Mereka berdua berselingkuh dari mama kandung Giselle yang merupakan istri kedua Anton Natapradja – ayah Gi
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.