Akira mencoba menahan senyumnya melihat gestur perempuan yang entah sudah berapa kali sukses singgah dalam mimpi-mimpi indahnya di malam hari selama tiga bulan terakhir ini.
“Siapa bilang aku kikuk! Mungkin dirimu saja yang terlalu kegeeran!” jawab Giselle sambil bersungut-sungut.
Dia akhirnya duduk di sofa tunggal dan menghadap Akira yang sudah duduk dengan nyaman.
“Kamu … ” ucap Giselle di waktu yang bersamaan ketika Akira berkata, “Giselle …”
Mereka berdua kemudian terdiam sesaat, sebelum Akira akhirnya memecah suasana.
“Silakan kamu duluan, ingin bicara apa?” tanya Akira seraya melemparkan senyum sopannya.
Giselle mengerutkan keningnya, pertanda jika dia masih belum bisa mempercayai Akira seratus persen. Jelas sekali terlihat dari gestur tubuhnya.
Gadis cantik itu akhirnya menghela nafas panjangnya.
“Sebelum kita bicara lebih lanjut, saya cuma ingin menekankan, anggap saja malam itu tidak pernah terjadi.” ungkap Giselle dengan tegas.
Kali ini giliran Akira yang mengerutkan keningnya. Dia tidak setuju dengan apa yang baru saja Giselle ucapkan.
‘Menganggap apa yang mereka lakukan tidak pernah terjadi? Hah! Bagaimana bisa?’
“Kenapa kamu mengatakan hal demikian?” tanya Akira dengan nada sedikit keras. Meskipun dia mencoba sekuat tenaga untuk tidak mengungkapkan emosinya secara gamblang di hadapan gadis yang kini sudah mulai terlihat emosional.
“Ya anggap aja itu tidak pernah terjadi! Jadi kita nggak perlu bicarakan hal itu lagi, apalagi di lingkungan kantor seperti ini!” kilah Giselle.
Memang masuk akal permintaannya. Tapi ini rasanya seperti mengorek kembali luka dan harga diri Akira yang pernah tergores karena ditinggalkan begitu saja di kamar hotel pada pagi hari.
Tanpa ada penjelasan, ataupun perpisahan yang wajar di antara keduanya.
“Kamu ternyata dingin dan kejam juga ya,” ucap Akira secara gamblang.
“Kamu tahu, kalau laki-laki yang melakukan hal seperti yang kamu lakukan tiga bulan lalu kepada saya, pasti dia sudah dianggap sebagai fuckboy oleh para perempuan!” Akira menambahkan ucapannya barusan.
“Lalu apa sebutan untuk perempuan yang melakukan hal serupa? Seperti yang kamu lakukan waktu itu, huh?” tanya Akira sekali lagi, namun sangat menohok bagi Giselle.
Wajah Giselle langsung memerah ketika mendengar tuduhan Akira seperti itu.
“Jangan drama kayak begitu, deh!” ujar Giselle menumpahkan kekesalannya.
“Haha! Drama? Justru kamu yang memulai drama ini sejak pagi, dan bahkan sejak tiga bulan lalu kalau kamu mau bicara dengan jujur!” balas Akira tak kalah tajamnya. Dia menggelengkan kepalanya tak percaya.
Kenapa tuduhan ini malah berbalik menyerang dirinya?
Suara Giselle meninggi diserang seperti tadi, dia bahkan hampir berteriak, “Kan kamu duluan yang mengungkit hal tersebut!”
Untung saja ruangan ini kedap suara. Bisa gawat kalau perdebatan mereka didengar oleh rekan kantornya.
“Ya wajar saja diungkit sekarang! Kita kan baru bertemu lagi hari ini, setelah sebelumnya kamu kabur begitu saja!” jawab Akira tak kalah emosi.
“Aku bahkan nggak tahu gimana caranya menghubungi kamu. Memastikan apa kamu baik-baik saja? Apakah aku perlu bertanggung jawab setelah kejadian waktu itu? Atau setidaknya mengantarkan kamu pulang dan memastikan kamu tidak kecelakaan di tengah jalan karena keadaanmu yang begitu kacau di malam itu!” ujar Akira panjang lebar.
Giselle sudah siap untuk membantah ucapannya, namun Akira tidak memberikan ruang kepada perempuan itu untuk menyelanya sebelum dia bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran yang telah dipendamnya selama tiga bulan.
“Tunggu dulu! Biarkan aku selesai bicara, jangan potong ucapanku,” ungkap Akira sambil mengangkat telunjuknya, tanda universal yang artinya dia tak ingin disela di tengah-tengah ucapannya.
Giselle yang tidak suka dengan gestur semacam itu, tak kuasa menahan emosi dan akibatnya wajahnya menjadi semakin merah.
“Hei! Hentikan gesturmu yang seperti itu! Sangat menggurui, dan aku tak suka itu!” bantah Giselle sambil menepis telunjuk Akira.
Akira kaget dengan tepisan tangan Giselle. Baru kali ini dia berdebat hebat dengan perempuan sampai seperti ini.
Kalau mama dan Akina – adik perempuan satu-satunya melihat ini, sudah pasti Akira akan didamprat oleh mereka.
Akhirnya Akira menghela nafasnya. Sadar jika emosinya sudah mulai naik ke permukaan dan itu menyebabkan diskusi mereka menjadi tidak kondusif lagi.
“Baiklah, maafkan aku.” Akira akhirnya memilih untuk menurunkan egonya. Mengatur kembali suaranya dan juga mengubah gesturnya agar tidak terlihat ‘mengintimidasi’ dan ‘mendominasi’ lawan bicaranya yang masih bersikap defensif atas ucapan-ucapan Akira barusan.
“Bisa aku bicara dahulu? Aku rasa aku perlu sampaikan semuanya dan kamu bisa menanggapinya nanti. Diskusi seperti ini lebih baik kan, Giselle?” tanya Akira. Dia meminta izin kepada perempuan tersebut agar dia bisa melanjutkan ucapannya dan mencoba meminimalisir debat kusir penuh emosi.
“Okay. Tapi jangan menyudutkanku lagi seperti itu!” balas Giselle sambil bersungut kecil. Untungnya Akira melihat jika Giselle pun juga sudah bisa mengendalikan emosinya.
Akira mengangkat kedua tangannya. Pertanda dia menyerah dan tak ingin berdebat seperti tadi. Dia akan berbicara dengan kepala dingin.
“Giselle … dengar, jika kamu ingin aku meminta maaf atas kejadian yang terjadi tiga bulan lalu, okay, aku akan meminta maaf secara gentleman. Tapi kamu juga perlu tahu, aku tidak suka dicampakkan seperti itu. Jika kamu tidak suka dengan apa yang kita lakukan, kamu bisa bicara dengan jujur denganku saat itu juga, dan aku akan meminta maaf. Bahkan jika kamu memintaku untuk bertanggung jawab, akan aku lakukan!” jelas Akira panjang lebar.
Dia dididik untuk menghormati perempuan oleh ibunya, Miyaki Honda.
One night stand yang terjadi tiga bulan lalu adalah yang pertama dan terakhir kalinya untuk Akira. Maka dari itu, dia perlu menavigasi tak hanya perasaan Giselle, tapi juga perasaannya sendiri.
“Aku bahkan tak tahu di mana letak kesalahanku jika kamu tidak mengatakan apa-apa, apalagi ketika kamu memilih kabur di pagi itu.” tandas Akira.
“Dan sekarang, aku ingin bertanya kepadamu, apa yang kamu inginkan?” pertanyaan Akira disambut dengan tatapan dalam tanpa kata dari Giselle.
Giselle terdiam mendengar ucapan panjang Akira.
Mulutnya terbuka dan tertutup, seperti bingung untuk menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya.
“Aku … minta maaf atas apa yang terjadi pagi itu,” ujar Giselle akhirnya dengan terbata-bata.
Meminta maaf adalah satu hal yang cukup menyulitkan bagi ego Giselle. Dia tidak terbiasa untuk meminta maaf, karena apa yang dia lakukan dia rasa tak pernah salah. Dia melakukan berbagai macam hal penuh tekad dan perhitungan. Tujuannya untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan yang bisa saja berdampak pada orang lain, yang mengakibatkan dia harus meminta maaf sebagai bentuk tanggung jawab. Dan mengutarakan permintaan maaf kepada Akira membuatnya harus menekan egonya dalam-dalam. Dia tahu apa yang dia lakukan malam itu adalah sebuah kesalahan. Dan kini dia dikonfrontasi oleh Akira sendiri, hingga dia harus mengakui kesalahannya dan perbuatannya yang jelas membuat orang sakit hati. Akira pun sepertinya kaget dengan pernyataan maaf yang barusan Giselle ucapkan dengan terbata-bata. Dia menaikkan alis kanannya yang terlihat tebal membingkai tatapan tajamnya. “Apa yang kulakukan waktu itu tindakan pengecut,” ujar Giselle pelan. “Dan aku minta maaf untuk itu, okay?” dia menekankan sekali
“Ah, halo selamat pagi Pak Darius! Bagaimana kabarnya Pak?” ujar Akira saat menerima sambungan telepon. Sorry … Akira merapalkan kata tersebut kepada Giselle, dan menunjuk ponselnya yang menginterupsi percakapan mereka. Giselle hanya bisa menghela nafasnya seraya memijat keningnya. “Ah iya benar, saya resign dari kantor sebelumnya nih, Pak Darius. Sekarang saya di The Converge sebagai partner. Ini hari pertama saya lho Pak,” Akira tertawa membalas ucapan lawan bicaranya. “Oh … boleh Pak, nanti saya atur waktu dengan PA Pak Darius agar bisa menjadwalkan meeting dengan Anda, Pak.” Setelah berbasa-basi sebentar, Akira menutup sambungan ponselnya dan akhirnya menaruh kembali ponsel miliknya di atas meja kaca ruang Giselle. “Okay, kita bisa lanjutkan lagi,” ujar Akira. Tapi sepertinya Giselle sudah malas berdebat dengannya dan menyadari jika sejak pagi tadi, mereka berdua menghabiskan energi untuk berdebat hal-hal yang sebenarnya tidak penting, tapi tetap menguras energi dan emosi
GISELLEGiselle langsung kabur begitu dia mendengar denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai 20 tempat restoran Jepang kesukaannya berada. Pertanyaan singkat yang Akira lontarkan sebenarnya membuat Giselle kelabakan. Kenapa dia membenci Akira?Sebenarnya kata membenci terlalu kuat untuk menjelaskan emosi yang Giselle rasakan jika dia berhadapan dengan Akira. Dia tidak membencinya, hanya saja dia merasa perasaannya menjadi campur aduk ketika bertemu partner ons yang ternyata kini menjadi bos barunya, terlebih lagi mengambil posisi yang sudah Giselle incar untuk kenaikan jenjang karirnya. “Bu Giselle, berarti nanti kerja bareng Pak Akira dong ya?” Rindi bertanya kepada Giselle di sela-sela waktu mereka menunggu untuk mendapatkan ruang khusus di restoran ini yang mengakomodir rombongan The Converge yang mencapai sekitar sepuluh orang. Giselle hanya tersenyum rikuh. Ya memang dia akan bekerja bersama lelaki itu. Dan itu pula sumber bad moodnya sejak tadi pagi. “Kok bis
AKIRAAkhir pekan minggu ini Akira akhirnya memutar kendaraannya ke rumah orang tuanya yang terletak di kawasan Jakarta Selatan setelah berjanji akan kembali pulang waktu pembicaraan teleponnya bersama mama hari Senin lalu. Akira keluar dari rumah orang tuanya sejak dia mulai merantau berkuliah di Tokyo Daigaku atau Universitas Tokyo di Jepang saat berumur delapan belas tahun. Di Tokyo dia tinggal bersama sepupunya, Daisuke Honda yang lebih tua empat tahun dibanding dirinya. Empat tahun yang cukup gila di sana, sebelum akhirnya ditambah lagi dua tahun untuk mengejar program master sambil bekerja di perusahaan Deloitte Tohmatsu, sebuah perusahaan konsultansi terbesar di dunia. Total dia tinggal di Jepang selama enam tahun, dengan hasil mengantongi gelar master di bidang manajemen dan pengalaman bekerja selama dua tahun di perusahaan konsultasi yang akhirnya menjadi pijakan karirnya ketika kembali ke Indonesia. Umur dua puluh empat tahun, dia kembali ke Indonesia dan berkarir di per
“Aki, bagaimana sekolah dan baletmu?” tanya Akira setelah selesai menyantap makan malamnya. Kini dia berpindah dan mengambil satu bagian cheesecake dan mulai mencicipinya. Memang cheesecake dari Dore adalah salah satu kek kesukaan mereka. Setelah kek dari toko kue Chateraise yang biasa dibeli Akira ketika masih tinggal di Tokyo. Untung saja di sini sudah ada cabangnya, sehingga dia bisa menuntaskan sweet tooth-nya jika Akira dan keluarga sedang mengidam-idamkan kek yang asli diimpor dari Jepang tersebut. Aki – nama panggilan Akina yang biasa dia gunakan untuk menyebut adik perempuannya itu – mengedikkan bahunya. “Ya begitu saja, nggak ada yang cukup menarik di sekolah. Terkadang aku bosan pergi ke sekolah,” ujar Aki dengan sedikit malas. “Tapi kalau soal balet, minggu depan aku sudah siap untuk resital baletku! Aku berharap ini bisa menambah portfolioku untuk seleksi di Juilliard Dance School kelak,” ujar Aki dengan menggebu-gebu. Jika berbicara tentang balet, wajah Aki langsung b
GISELLE “Papi, kita besok ke Singapura bisa nggak ya?” suara Elina, ibu tiri Giselle terdengar nyaring dan begitu melengking bagi Giselle. Elina yang merupakan istri ketiga ayah duduk di samping ayahnya yang berada di ujung meja. Sedangkan Giselle duduk di sisi terluar meja makan. Di sampingnya ada kakak tirinya dari istri pertama ayah, Kak Damar. Setiap satu bulan sekali, Giselle harus kembali ke rumah utama dan menjalani rutinitas membosankan ini, makan malam bersama keluarga. Tapi sayangnya, keluarga Natapradja bukanlah keluarga harmonis seperti potret sinetron terkenal Keluarga Cemara. Keluarga Natapradja adalah potret keluarga disfungsional yang membuat setiap anggota keluarga mengeluarkan sisi terburuk mereka saat bertemu dan saling sapa. Elina, istri ketiga ayah berumur 30 tahun. Hanya berbeda empat tahun dari Giselle. Elina dahulu adalah sekretaris pribadi ayah. Mereka berdua berselingkuh dari mama kandung Giselle yang merupakan istri kedua Anton Natapradja – ayah Gi
“Ayah!” teriak Giselle.“Ayah tahu kamu sudah putus dengan mantanmu itu, siapa namanya? Tristan?” Ayah membalikkan tubuhnya dan kembali menghadap Giselle yang melongo mendengar ucapan ayahnya tadi.“Bukan itu masalahnya! Tapi kenapa Ayah tiba-tiba bicara seperti itu? Jangan bilang Ayah berencana untuk menjodohkan aku?” tembak Giselle dengan nada yang keras.“Aku tidak setuju!” Giselle menggelengkan kepalanya.Dia meraih tas Chanel klasik berwarna hitam dan berjalan mendekati ayahnya.Model tasnya jelas saja sudah ketinggalan zaman dibanding milik teman-teman perempuannya, karena dia membelinya tiga tahun lalu saat dia berkunjung ke Amsterdam dalam r
AKIRAHari Minggu sore ini dia baru saja selesai berlatih Aikido bersama adiknya, Akito. Tubuhnya masih mengenakan Aikido Gi atau seragam Aikido berwarna putih dengan hakama, atau celana lebar berwarna hitam. Jika dilihat-lihat, penampilannya dan adiknya kini persis seperti tokoh-tokoh di manga yang sedang sibuk berlatih bela diri. Sudah beberapa kali dia kena banting ketika berlatih bersama adiknya ini. Tapi tentu saja karena dia sudah lama berlatih Aikido dia bisa melakukannya tanpa membuat tubuhnya cedera. “Akito, kulihat kamu semakin mahir dalam aikido, pasti semakin sering latihan, ya?” tanya Akira disela-sela nafasnya yang memburu. Seni bela diri Aikido memang terlihat tidak seagresif bela diri dari Jepang lainnya, namun Akira senang berlatih karena begitu besar membantunya meregulasi emosi dan juga egonya. Mengedepankan cara nonkekerasan untuk menurunkan eskalasi masalah. “Hmm … tidak sesering dulu waktu SMA, Mas Akira. Tapi terkadang aku selingi dengan judo, jadi mungkin
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.