"Mas?" Arunika mengucek mata untuk memastikan bahwa sosok tinggi tegap yang berjalan gagah mendekatinya adalah benar Abhimanyu. Suaminya itu masih memakai jas pengantin berwarna putih.
"Kenapa kamu lari, Run? Apa kamu tidak ingin melihat kebahagiaan kami di atas pelaminan?" cecar Abhimanyu. Mata coklat terangnya menatap Arunika dengan sorot tajam. "A-aku tidak enak badan," kilah Arunika. Dia beringsut mundur seraya menarik selimut hingga menutupi dada sampai-sampai punggungnya membentur kepala ranjang. "Kamu kan yang menginginkan pernikahan ini? Seharusnya kamu mendampingi Mama terima tamu," desis Abhimanyu seraya menaiki ranjang. "Su-sudah kubilang, aku sakit." Tubuh Arunika merosot, lalu bersembunyi di balik selimut. Abhimanyu seolah tak percaya. Dia malah beringsut ke atas tubuh Arunika dan mengungkungnya. Mata elangnya menguliti paras cantik wanita yang telah menemani perjalanan hidupnya selama tiga tahun itu. Abhimanyu mengingat dengan jelas pertemuan pertamanya dengan Arunika, tepat pada saat dia terpuruk akibat dikhianati oleh Delia. Tak membutuhkan waktu lama hingga akhirnya Abhimanyu jatuh cinta pada wanita berkarakter lembut dan kalem itu. Setahun mereka berpacaran secara sembunyi-sembunyi sebab keluarga besar Arunika tak menyetujui hubungan tersebut. Abhimanyu tak putus asa. Dia nekat melamar Arunika yang berakhir dengan diusirnya sang kekasih oleh kedua orang tuanya. Kini, wanita yang telah dia perjuangkan, meringkuk ketakutan di bawah tubuhnya. Entah apa yang Arunika sembunyikan. "Katakan semuanya, Run," desak Abhimanyu. "Katakan apa?" Arunika menggeleng pelan. Darahnya berdesir tatkala Abhimanyu nakal menelusupkan tangan ke balik piyama dan mempermainkan dada Arunika. "Alasan di balik semua ini. Aku masih tidak percaya kamu berubah hanya dalam semalam," ujar Abhimanyu. Sorot matanya menjadi sayu ketika tangannya terus bergerak ke bawah dan berhenti di pangkal paha Arunika. "Apa pun alasanku, sudah tak penting lagi. Yang penting Mas sudah sah menjadi suami Delia." Arunika memejamkan mata. Sebulir air bening mengalir dari sudut mata. "Apa Mama yang memaksamu? Atau Delia yang mempengaruhi dan mengiming-imingimu dengan sesuatu?" cecar Abhimanyu sambil tangannya tak berhenti mengobrak-abrik inti tubuh Arunika. "Mas ... ah! Hentikan!" pinta Arunika memelas. Namun, Abhimanyu malah semakin ganas, membuat wanita berkulit putih itu semakin tak keruan. Akal sehat Arunika tak berfungsi. Apalagi ketika Abhimanyu menyerangnya dengan ciuman membabi buta. Arunika hanya bisa pasrah dan membiarkan Abhimanyu menikmati tubuhnya semalam suntuk. Dia terlalu lelah untuk melawan. Arunika bahkan tak mempedulikan ponsel yang berdering hingga belasan kali. Wanita malang itu baru turun dari tempat tidur saat matahari terbit. Dengan lesu, dia memunguti pakaian yang tercecer lalu buru-buru mengenakannya. Sekilas, Arunika melirik Abhimanyu yang masih tertidur pulas dalam posisi tengkurap. Separuh badan sang suami yang atletis, terekspos sempurna. Arunika menjerit dalam hati. Mulai detik ini, dia harus berbagi tubuh indah itu dengan Delia. Ada rasa tak rela. Ada keinginan untuk menceritakan semua pada Abhimanyu. Termasuk saat Masayu mengancam bunuh diri jika keinginannya tak dituruti. Namun, Arunika sadar. Segalanya sudah terlambat. Tak ada gunanya dia mengungkapkan semua pada Abhimanyu saat ini. Yang ada, Arunika malah akan membuat masalah semakin runyam. Di saat pikiran semakin kusut, tiba-tiba ponselnya berdering kembali. Malas-malasan Arunika meraih telepon genggam yang tergeletak di nakas. Deretan nomor tak dikenal memenuhi layar. Dahi Arunika berkerut, menerka-nerka siapa pemilik nomor itu. Ragu-ragu dia menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga. "Halo," sapanya. "Arun," balas suara yang terdengar familiar di seberang sana. Jantung Arunika berdebar kencang. Buru-buru dia menjauh ke sudut kamar agar Abhimanyu tak terbangun. "A-Arga?" Arunika terbata. "Kamu tahu nomorku dari siapa?" tanyanya setengah berbisik. "Ada, deh." Arga terkekeh. "Aku sudah mendengar semuanya. Suami yang kamu bela mati-matian dulu itu ternyata menikah lagi. Beritanya tersebar ke mana-mana. Ibumu juga sudah tahu." "A-apa?" Arunika terlihat tegang. "I-ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku ...." "Aku ingin bertemu. Siapa tahu aku bisa membantu," tawar Arga. "Tidak! Aku tidak butuh bantuan siapa pun," tolak Arunika lirih. Sesekali dia menoleh kepada Abhimanyu. Timbul rasa takut jika suaminya itu terbangun dan mendengar percakapannya. "Ibumu bersedia menerimamu kembali asalkan kamu rela meninggalkan suami tidak berguna itu sekarang," ujar Arga tak putus asa. "Jaga mulutmu, Arga! Orang tua kita memang berteman, tapi bukan berarti kamu boleh berkata kurang ajar terhadap Mas Abhim!" hardik Arunika tertahan. Sesaat kemudian, dia kembali menoleh ke arah sang suami. Arunika mengempaskan napas lega ketika melihat Abhimanyu masih terlelap. "Coba pikir dulu baik-baik dengan pikiran jernih, Run. Kamu adalah seorang putri dari keluarga terhormat. Tidak selayaknya kamu diperlakukan seperti ini," tutur Arga. "Katakan pada Ibu, aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri, tanpa bantuan siapa pun," ujar Arunika sebelum mengakhiri telepon secara sepihak. Dia lalu melemparkan ponsel ke sofa dekat jendela dan bergegas masuk ke kamar mandi. Satu hal yang tak Arunika sadari adalah Abhimanyu sudah terbangun sejak tadi. Pria tampan blasteran Timur Tengah itu ternyata hanya pura-pura tidur. Setelah memastikan bahwa Arunika benar-benar berada di kamar mandi, Abhimanyu bergegas bangkit dan melangkah ke arah sofa. Dia memungut ponsel Arunika yang tergeletak begitu saja. Hati-hati Abhimanyu mengusap layarnya. Dia bersyukur dalam hati karena Arunika tak pernah mengunci telepon genggamnya. Abhimanyu lalu memeriksa daftar panggilan dan memencet nomor teratas. Sambil berdebar, dia menunggu pemilik nomor itu mengangkat teleponnya. Tak berselang lama, panggilannya itu diterima. Terdengar sebuah suara berat dari seberang sana, menyapa Abhimanyu. Pemilik suara itu mengira bahwa dirinya adalah Arunika. "Bagaimana, Run? Apa kamu berubah pikiran? Kamu mau menerima tawaranku?" tanya seseorang yang tak lain adalah Arga."Siapa ini?" tanya Abhimanyu, datar dan dingin."Oh, Pak Abhimanyu Cakra rupanya. Apa kabar?" Arga malah balas menyapa, seolah tak menghiraukan pertanyaan Abhimanyu. "Sekali lagi kutanya, siapa kamu? Ada perlu apa menelepon istriku pagi-pagi?" desis pria tampan itu. Raut wajahnya tampak begitu menakutkan."Istri yang mana, Pak? Arunika atau istri baru anda?" Arga seakan menguji kesabaran Abhimanyu, membuatnya menjauhkan telepon genggam dari telinga, lalu mengakhiri panggilan begitu saja.Jemari Abhimanyu cekatan menyalin nomor telepon tersebut. Dia lalu membuka aplikasi pencari kontak. Dari aplikasi tersebut, Abhimanyu menemukan bahwa nomor tak dikenal itu ternyata adalah milik Arga Wasesa Dharmawan. "Aku seperti pernah mendengar nama itu," gumamnya.Abhimanyu terdiam. Dia mencoba menggali ingatan. Angannya berputar kembali ke beberapa tahun silam ketika Abhimanyu mendatangi kediaman Hadiwinata untuk melamar Arunika. Di sana, terdapat kedua orang tua Arunika dan seorang pria seusia d
Abhimanyu berjalan gontai menuju balkon kamar hotel sambil menggenggam sebungkus rokok. Sesampainya di luar, dia menoleh ke belakang, memperhatikan Delia yang tertidur pulas setelah mendapatkan nafkah batin darinya. Entah kehidupan macam apa yang akan Abhimanyu jalani. Dia bercinta dengan Delia, tapi benaknya penuh oleh bayangan Arunika. Seolah Arunika lah yang berada di hadapannya saat itu. "Brengsek!" Abhimanyu memukul pagar balkon yang terbuat dari besi dengan tangan kanan. "Kamu pengkhianat, Run. Kamu sudah menghancurkan kebahagiaan kita," racaunya. Abhimanyu mengacak-acak rambut, lalu mengeluarkan rokok sebatang dan menyulutnya. Saat asyik menghisap dan membuang asap rokok ke udara itulah dirinya mendengar telepon genggam berdering. Abhimanyu bergegas masuk dan meraih ponselnya, berharap panggilan itu datang dari Arunika. Akan tetapi, dia harus kecewa. Ternyata, Masayu lah yang menghubungi. "Ada apa, Ma?" tanya Abhimanyu datar. "Aku tidak melihat Arunika. Ke mana dia
Sejak mendapat telepon dari Arunika, Abhimanyu sama sekali tak bisa tidur. Padahal waktu sudah merangkak ke dini hari. Apalagi Delia terus berusaha memeluk dan menelusupkan kepalanya ke dada bidang Abhimanyu, membuatnya risi. Berkali-kali dia menjauhkan Delia dari tubuhnya, tapi wanita itu selalu kembali beringsut mendekat. Abhimanyu yang putus asa, akhirnya hanya bisa mengubah posisi, membalikkan badan memunggungi Delia. Meskipun pada akhirnya Delia melingkarkan tangan ke perutnya."Ck!" Abhimanyu tak lagi berusaha menjauhkan tangan Delia. Dia membiarkan istri keduanya itu berbuat semaunya."Arun ...." Tiba-tiba, tanpa sadar Abhimanyu menyebut nama itu. Padahal dia sedang teramat marah pada Arunika."Seharusnya aku tetap pergi memeriksa keadaanmu, Run," sesal Abhimanyu dalam hati. Semalam dia sengaja menuruti Delia, untuk memberi pelajaran pada Arunika.Namun, sekarang Abhimanyu sangat menyesali keputusan itu. Arunika memang memiliki penyakit bawaan. Wanita cantik itu kerap sakit ke
Arunika membuka mata saat merasakan seseorang mengusap-usap punggung tangannya. "Mama?" desis Arunika lemah. Matanya sayu menatap Masayu yang berdiri di samping ranjang. "Mas Abhim mana?" "Dia masih di hotel," tutur Masayu datar. Tak ada senyum di sana, hanya pandangan mata yang lurus tertuju pada Arunika dengan sorot yang tak dapat diartikan. "Mas Abhim tahu saya dirawat di sini?" tanya Arunika. Masayu mengangguk. "Dia yang menyuruhku kemari," ujarnya. "Oh." Arunika tersenyum getir. Dia tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya. "Oh, ya. Mama juga ingin menyampaikan sesuatu. Mulai saat ini, jangan terlalu sering mengganggu Abhimanyu. Mama takut jika hal seperti ini akan membuat Delia tak suka dan akhirnya berimbas pada bantuan keuangannya untuk perusahaan," tutur Masayu panjang lebar. "Saya mengerti," ucap Arunika. Dia tak sanggup menahan setetes air mata yang lolos membasahi pipi. "Semoga masalah perusahaan bisa cepat beres." "Semoga saja." Masayu menarik napas panjan
Arunika terdiam. Dia tak tahu bagaimana menanggapi kalimat Abhimanyu. "Ke Eropa? Berapa lama?" tanyanya beberapa saat kemudian dengan mata berkaca-kaca."Terserah Delia. Bisa dua minggu atau sebulan," jawab Abhimanyu."Lama sekali, ya." Arunika tersenyum getir. Sejak menikah dengan Abhimanyu, dia tak pernah berpisah terlalu lama dari sang suami. Bahkan setiap perjalanan bisnis ke luar kota, Abhimanyu selalu mengajak Arunika."Kenapa menangis?" Abhimanyu memperhatikan wajah cantik yang tampak sedikit kurus itu lekat-lekat."Kita belum sempat jalan-jalan ke Eropa. Mungkin tidak akan sempat," sahut Arunika sambil menyeka air mata."Apa maksudmu?" Abhimanyu yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu, kini melangkah masuk dan mendekat pada Arunika."Kita tidak akan mungkin bisa seperti dulu lagi," jelas Arunika."Bukankah yang penting kamu tidak perlu hidup miskin? Asalkan kebutuhan materimu tercukupi, tak masalah jika kita tidak bisa kembali seperti dulu lagi. Iya, kan?" sindir Abhima
Arunika memaksakan diri bangkit dari ranjang. Dia merasa sudah cukup menangis dan bersembunyi di balik selimut. Apalagi saat menyadari bahwa jam digital menunjukkan pukul sepuluh malam. Dengan langkah gontai, Arunika berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Akan tetapi, rasa sedihnya kembali menyeruak tatkala melihat sikat gigi couple miliknya dan Abhimanyu. Angan Arunika melayang ke saat sebelum terjadi badai besar dalam rumah tangganya. Abhimanyu lah yang memiliki ide untuk menyamakan peralatan mandi. Pria tampan itu beralasan, supaya mereka bisa lebih bersemangat saat melakukan ritual di kamar mandi bersama-sama. Arunika tersenyum kelu. Sebuah pertanyaan besar terus bergaung di benaknya. Akankah keadaan bisa kembali seperti semula, atau dia akan kehilangan Abhimanyu selamanya. Dalam kegelisahan itu, seseorang mengetuk pintu kamar cukup kencang, membuyarkan lamunan Arunika. Sambil menyeka wajahnya yang basah menggunakan handuk, Arunika bergegas menuju pintu dan membuka k
"Aku suka dengan balkonnya yang langsung berhadapan dengan taman. Sinar matahari juga tak terhalang sama sekali," celoteh Delia. "Tidak bisa," tolak Arunika. "Run!" Masayu meraih tangan Arunika dan meremasnya. "Kalau Delia mau pindah ke ruangan itu, ya biar saja. Toh, kamu juga belum tentu hamil dalam waktu dekat ini. Aku tidak mau, perkara kecil seperti ini memicu pertengkaran." Arunika yang sedari tadi melotot ke arah Delia, langsung memusatkan perhatiannya pada Masayu. "Tapi, Ma ...." "Kalau di atas, kamar kita kan bisa berdekatan, Mbak. Mas Abhim juga bisa bolak-balik ke kamar Mbak Arun dengan leluasa. Coba seandainya kamar kami masih di lantai bawah. Pasti ribet. Ya kan, Mas?" potong Delia seraya menoleh pada suaminya. "Betul juga," celetuk Abhimanyu sambil manggut-manggut. "Ya, sudah. Aku akan menyuruh asisten rumah tangga menyiapkan semuanya." "Ah, terima kasih, Mas." Delia merentangkan kedua tangan, lalu memeluk Abhimanyu erat-erat. Melihat hal itu, suasana hati Arunika
"Saya tidak menyangka, Mama bisa begitu tega terhadap saya," ujar Arunika dengan suara bergetar. "Ini cuma permintaan sederhana, Run," sanggah Masayu. "Saya sudah merelakan Abhimanyu untuk Delia, dan sekarang saya harus tunduk pada madu saya. Begitukah yang Mama inginkan?" Lirih suara Arunika menahan tangis. "Apa kamu punya cara lain, Run? Bisakah kamu menggantikan posisi Delia, menyelamatkan perusahaan Abhimanyu dan mencegah kita bangkrut? Kalau tidak, sebaiknya kamu menurut. Sejak menikah juga kamu tidak bisa membantu apa-apa," cibir Masayu. Suaranya memang pelan, tapi cukup untuk mengoyak perasaan. "Ah, iya. Mama benar sekali. Saya memang tidak bisa membantu apa-apa dan hanya bisa menyusahkan Mas Abhim. Rupanya cinta dan kasih sayang yang tulus memang tidak pernah cukup." Arunika tersenyum getir. Sakit kepala dan sensasi berputar itu datang lagi. Entah karena terlalu lelah atau terlalu banyak berpikir. Arunika tak dapat berpikir jernih. Dia memegangi kepalanya, lalu mengem
"Ya, ampun. Mas Abhim ...." Arunika menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan. Terharu, bahagia, sekaligus malu, bercampur menjadi satu. "Yuk, Sayang." Abhimanyu mengulurkan tangan pada Arunika. Dia membawa sang istri tercinta masuk ke dalam sebuah bangunan lima lantai yang dulu pernah mereka jadikan tempat resepsi pernikahan. "Mas masih ingat dengan hotel ini?" Arunika terkikik geli. "Mana mungkin aku lupa, Run. Dulu, kita berikrar sehidup semati sekaligus mengadakan pesta di ballroom hotel ini." Abhimanyu mencolek ujung hidung istrinya gemas. "Malam pertama juga di hotel ini," ujar Arunika malu-malu. "Kamar Suite 301," timpal Abhimanyu. "Aku sudah memesannya untuk malam ini dan besok." "Yang benar saja, Mas!" Arunika terbelalak tak percaya. "Untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita yang tertunda, Sayang." Abhimanyu berbisik lirih, tepat di telinga Arunika. Getaran halus seakan bermuatan aliran listrik, merambat ke seluruh pembuluh darah, menciptakan sensasi luar b
Abhimanyu semakin mengeratkan genggaman di tangan istrinya saat mereka berjalan melintasi ruang tamu mewah kediaman Gayatri. Namun, langkahnya seketika terhenti ketika berpapasan dengan Arga yang baru saja masuk.Pria tampan itu seperti sudah biasa mendatangi rumah sang mertua. Terbukti dengan sikapnya yang bebas dan santai. Akan tetapi, bukan itu yang membuat Abhimanyu terkejut. Melainkan sosok wanita berpakaian rapi yang berdiri di samping Arga."Bi Ijah?" desis Abhimanyu dengan sorot tak percaya."P-pak Abhimanyu?" sahut Evelyn. Dia begitu salah tingkah ketika majikannya itu menatap dirinya penuh selidik."Sedang apa di sini?" tanya Abhimanyu curiga."Aku bisa menjelaskan, Mas," ujar Arunika lembut sembari mengusap lengan suaminya."Apa?" Abhimanyu mengalihkan perhatian pada sang istri, lalu menoleh pada Evelyn, kemudian kembali menatap Arunika. "Apa aku ketinggalan sesuatu? Atau kalian yang menyembunyikan sesuatu?" sindirnya."Bukan begitu." Arunika menghela napas panjang. Dapat d
Abhimanyu berkali-kali mengusap telapak tangannya demi menghilangkan rasa gugup yang semakin mendera. Pertemuannya yang berlangsung alot dengan RImba tadi sama sekali tak ada apa-apanya dibanidingkan detik-detik memasuki gerbang besar kediaman keluarga Hadiwinata. Perjalanannya memasuki rumah paling mewah saat itu cukup lancar. Para satpam rumah terlihat begitu hormat padanya. Mereka bahkan menawarkan untuk memarkirkan mobil Abhimanyu, sehingga pria itu dapat leluasa memasuki rumah dan menemui mertuanya di ruang kerja. Sesampainya di sana, Abhimanyu sudah disambut oleh Gayatri dan putra tertua, Sagara. Mereka memandang aneh ke arahnya, membuat Abhimanyu salah tingkah. "Se-selamat siang," sapanya. Sekilas, ekor mata pria tampan itu melirik ke arah Arunika dan Fahad yang duduk di sofa. "Selamat sore," sapa Abhimanyu sedikit gugup. "Jadi, kamu adalah anak kandung Tuan Fahad Omar Al Attas?" tanya Sagara dingin, tanpa membalas sapaan Abhimanyu. "Iya, betul. Aku juga baru tahu aka
Abhimanyu melangkah gagah menuju ruangan penyidik. Di sana, Delia sudah menunggu bersama beberapa orang pengacaranya dan seorang pria yang membuat Abhimanyu langsung terpaku."Kenalkan, Bhim. Namanya Wildan. Dia yang akan membantu kita bernegosiasi dengan pihak kepolisian," tutur Delia. "Dia kenal dengan salah satu pejabat tinggi," bisiknya tepat di telinga Abhimanyu."Oh, ya?" Abhimanyu melirik ke arah pria bernama Wildan itu, dengan sorot aneh. "Aku juga sudah menyiapkan sejumlah uang untuk mengembalikan seluruh dana yang kamu investasikan ke perusahaanku. Dengan demikian, aku tidak memiliki utang sama sekali," paparnya."Apa?" Delia terbelalak tak percaya. "Ini bukan saatnya membicarakan hal itu, Bhim!""Oh, malah ini adalah saat yang paling tepat. Dengan aku mengembalikan semuanya, aku jadi tidak perlu ikut terseret dalam kasusmu," timpal Abhimanyu."Kamu tega membiarkan aku sendirian melalui ini semua, Bhim?" tanya Delia dengan nada tinggi."Kamu tidak sendiri, kok. Ada Wildan di
"Tenang saja, Bhim. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan mertuamu." Fahad Omar menepuk pundak putra kandung yang baru saja dia temukan."Baiklah, Pa. Kuserahkan semua padamu. Aku akan ke kantor polisi, menemui Delia dan menyelesaikan semua urusan," pamit Abhimanyu."Jangan lupa, tanyakan pada pihak penuntut, seberapa banyak yang mereka mau, aku akan melunasi seluruhnya," ucap Fahad.Abhimanyu sempat tertegun dan terdiam. Betapa keadaan bisa berbalik dengan begitu cepat. Kemarin dia yang membuang harga diri demi keinginan sang ibu, kini dapat tegak berdiri, menghadapi semua masalah dengan pikiran tenang, seolah kekuasaan sudah berada dalam genggamannya."Aku pergi dulu, Pa." Abhimanyu mencium punggung tangan Fahad, kemudian beralih pada Arunika. Dia mencium kening istrinya dengan penuh perasaan.Arunika dan Fahad memperhatikan langkah gagah Abhimanyu menjauh hingga menghilang di balik pintu restoran."Bagaimana? Apa kamu sudah siap?" tanya Fahad."Siap, Om." Arunika mengang
"Siapa?" tanya Arunika penasaran."Nanti kamu juga tahu sendiri." Abhimanyu tersenyum penuh arti seraya memutar kemudi. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju salah satu restoran langganan di pusat kota, yang dekat dengan kantornya.Setelah memarkir kendaraan, Abhimanyu menggandeng Arunika dan menuntunnya masuk ke restoran. Langkahnya langsung tertuju pada salah satu meja yang terletak di sudut ruangan. Dia tak ragu menghampiri seorang pria paruh baya yang duduk seorang diri. Pria itu tampak asyik menggulir gawainya."Siapa dia, Mas?" bisik Arunika."Kenapa kamu tidak bertanya langsung saja padanya?" Abhimanyu malah menantang istrinya."Jangan bercanda ah, Mas!" sungut Arunika, membuat Abhimanyu tertawa renyah.Sontak, pria asing tersebut langsung mendongak. Tatapannya langsung tertuju pada Abhimanyu. "Hei, Nak! Sudah datang?" sapanya hangat dengan bahasa Indonesia yang terdengar sangat kaku."Nak?" ulang Arunika, seolah meyakinkan diri bahwa dia tak salah dengar."Oh,
"Apa-apaan kamu, Bhim!" sentak Masayu. "Ingat, kamu juga masih punya aku!" sambung Delia. "Kamu tidak bisa seenaknya pergi dari rumah tanpa memedulikan aku!""Maafkan aku yang tidak bisa tegas, Del. Seharusnya sejak awal, aku menolak ide gila ini. Sekarang, setelah datang masalah sebesar ini, aku sadar. Semakin lama aku mempertahankan hubungan tak sehat ini, semakin buruk pengaruhnya terhadap kita berdua," jelas Abhimanyu panjang lebar."Apa maksudnya, Bhim? Apa yang akan kamu lakukan?" cecar Delia panik."Setelah permasalahan ini beres, aku akan menceraikanmu. Aku juga sudah siap mengembalikan seratus persen dana yang sudah kamu gelontorkan ke perusahaan," lanjut Abhimanyu."Bhim, jangan ngawur!" Masayu mulai histeris. Namun, Abhimanyu tetap pada pendiriannya. Dia mengangkat tangan sebagai isyarat agar ibunya berhenti berbicara."Sekali ini saja. Kumohon, supaya Mama mempercayai keputusanku. Percayalah, Ma. Tidak akan ada yang mengolok-olok kita, mencaci apalagi menghina. Dan kupas
"Tadi malam kan aku sudah berpamitan, Ma," sahut Delia ketus."Pesta macam apa yang berlangsung semalam suntuk? Arunika saja, selama menikah dengan Abhim, tidak pernah bertingkah macam-macam!" hardik Masayu."Aku bukan Arunika! Aku juga tidak sudi disamakan dengannya!" balas Delia. Dia tak memiliki keraguan sama sekali saat membentak Masayu."Ada apa ini?" seru Abhimanyu yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Delia. "Kenapa kamu berkata kasar terhadap Mama?"Delia tersentak. Dia sama sekali tak menyangka jika Abhimanyu memergoki secara langsung tindakannya yang tak terpuji."A-aku tidak bermaksud, Bhim. Ma-mama dan aku hanya saling salah paham," kilah Delia terbata."Kesalahpahaman apa yang bisa membuatmu bersikap kurang ajar pada Mama?" geram Abhimanyu dengan tangan terkepal erat."Sudah, Bhim. Delia benar. Dia tidak serius berkata seperti tadi. Mama sama sekali tak ada masalah, kok," sela Masayu, berusaha menengahi."Apa?" desis Abhimanyu. Dia tak mengira bahwa sang ibu akan bersi
Masayu berniat keluar dari kamar Delia secara diam-diam. Akan tetapi, rencananya tak berhasil. Arunika malah memergoki ulahnya. "Mama? Sedang apa di sini?" tanya Arunika curiga. "Kamu sendiri? Sedang apa di sini?" Masayu balik bertanya. Dia tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya. "Mas Abhim meminta saya untuk mengambil minyak kayu putih," jelas Arunika. "Kenapa dia?" "Sepertinya masuk angin," jawab Arunika lembut seraya menggeser tubuh, melewati Masayu. Setelah beberapa langkah, dia tiba-tiba berbalik ke arah Masayu yang masih terpaku. "Mama sedang apa di sini?" tanya Arunika. "A-aku ... ta-tadi ...." Masayu terbata, seakan kehilangan kemampuan bicara. "Mama juga melihat Delia pergi dari rumah?" terka Arunika. "I-iya. Di bawah," jawab Masayu gugup. "Mas Abhim juga melihatnya dari balkon," beber Arunika. "Lantas, kenapa dia tidak mencegah Delia? Kamu juga kenapa diam saja? Sebenarnya kamu paham tidak sih, situasi yang kita hadapi sekarang!" cerca Masayu. "Kenapa