Sekuat apapun Arunika menahan air mata agar tak menetes, nyatanya sia-sia. Buliran air bening mengalir deras, membasahi pipi mulusnya yang putih bersih.
"Kenapa kamu menangis? Bukankah kamu yang meminta semua ini?" cibir Abhimanyu. Sesekali dia menoleh pada sang ibu yang hanya terdiam, berharap untuk mendapatkan dukungan. Namun, Masayu malah memalingkan muka. "Aku menangis bahagia, karena Mas bersedia menuruti keinginanku." Arunika memaksakan senyum, meskipun hatinya hancur. "Aku seperti tidak mengenalimu lagi, Run. Ini seperti bukan dirimu." Abhimanyu menggeleng pelan. Tatapan yang sejak tadi tajam menghujam, kini meredup. Dia memandang sang istri dengan sorot sendu. "Manusia berubah, Mas. Bisa karena waktu, ataupun keadaan," timpal Arunika sambil mengusap pipinya berkali-kali. "Hm." Abhimanyu tersenyum sinis lalu membalikkan badan meninggalkan kamar tanpa berkata apapun lagi. Nurani Arunika memberontak. Ingin rasanya dia berlari menahan suaminya agar tak pergi. Namun, dirinya tak bisa. Arunika hanya sanggup memandang punggung lebar yang tampak gagah dan kokoh itu bergerak menjauh kemudian menghilang di balik pintu. Wanita muda berusia 25 tahun itu hanya bisa meratapi diri. Kata-kata yang sudah dia lontarkan, tak dapat ditarik kembali. Abhimanyu juga sudah menanggapinya dengan serius. Bahkan beberapa hari setelahnya, Abhimanyu tak mau berbicara dengan Arunika sama sekali. Tiap malam dia selalu tidur dalam posisi memunggungi sang istri. Puasa bicara itu berlangsung sampai seminggu lamanya. Hingga di minggu siang, Abhimanyu tiba-tiba menghampiri Arunika yang tengah asyik menata bunga-bunga di vas meja makan. "Aku sudah mengurus berkas-berkas pernikahan bersama Delia. Gedung resepsi juga sudah kupesan. Untuk keperluan teknis, aku menyewa wedding organizer. Jadi, kamu dan Mama tidak perlu repot-repot. Bulan depan, kami akan mengadakan resepsi," ujar Abhimanyu dengan raut datar. Vas yang dipegang oleh Arunika hampir saja terjatuh. Namun, wanita cantik itu segera menguasai diri dan pura-pura bersikap sewajar mungkin. "Baguslah," ucap Arunika sambil tersenyum. Dia harus bersandiwara, memasang wajah ceria. "Bagaimana kondisi perusahaan?" tanyanya. "Semua sudah bisa dikendalikan. Delia benar-benar menepati janjinya. Dalam beberapa bulan ke depan, aku yakin semuanya bisa kembali normal," jawab Abhimanyu. "Kamu puas sekarang kan, Run? Tidak usah khawatir kalau kamu dan Mama akan jatuh miskin, karena aku sudah menjual diri pada Delia," lanjutnya. "Mas! Jangan bicara seperti itu!" protes Arunika. "Kenapa? Memang ini kan, kenyataannya? Kamu menyuruhku menikahi Delia dengan imbalan dana tak terbatas. Sekarang, semua kemauanmu sudah kuturuti. Kuharap kamu lega dan bahagia." Abhimanyu tersenyum getir. Rasa kecewa terpancar semakin jelas dari sorot mata elangnya. "Terima kasih. Mas benar. Aku lega sekarang," balas Arunika seraya tersenyum lebar. "Kamu tidak cemburu? Atau marah?" tanya Abhimanyu sambil terus memperhatikan paras cantik Arunika. "Kenapa mesti cemburu? Asalkan Mas tidak menceraikanku, kurasa aku akan baik-baik saja," sahut Arunika enteng. "Oh, begitu, ya." Abhimanyu terkekeh pelan. Nyerinya hati, tidak dia rasa lagi. Abhimanyu memilih untuk memendam rasa kecewa dan sakit hatinya pada Arunika. "Mumpung madumu belum datang, kurasa sebaiknya kamu harus sering-sering melayaniku." Abhimanyu menyeringai lalu mencengkeram kedua lengan Arunika sedikit keras. "Mas, sakit ...." Abhimanyu tak memedulikan rintihan Arunika. Dia terus mencumbu dan mengisap leher istrinya penuh nafsu. "Mas, jangan di sini!" Kali ini, Abhimanyu mendengar dan menuruti permintaan Arunika. Masih dengan sikapnya yang kasar, dia mengangkat tubuh ramping sang istri dan memanggulnya di pundak. Langkah Abhimanyu begitu cepat dan lebar sampai tiba di dalam kamar. Dia mengempaskan tubuh Arunika ke atas ranjang. "Aw!" Arunika memekik pelan. Namun, dia tak hendak melawan. Wanita cantik itu paham benar bahwa suaminya tengah diliputi amarah dan kekecewaan yang besar. Mata Arunika terpejam rapat ketika Abhimanyu menjamah tubuh dan menciuminya membabi buta. Entah sudah berapa menit terlewati, Abhimanyu seperti kesetanan saat menikmati tubuh molek istrinya. Dia begitu bernafsu, seakan percintaan itu menjadi yang terakhir kalinya. Ternyata, Abhimanyu mengulangi kenikmatan itu keesokan harinya dan sehari setelahnya. Setiap hari dia meminta pada Arunika untuk memuaskan hasratnya dan Arunika tak pernah menolak. Semua itu berakhir sebulan kemudian, saat Abhimanyu benar-benar melangsungkan pernikahan mewah di sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jakarta. Bahkan jauh lebih mewah dari pernikahannya dengan Arunika. Bagi Delia, mungkin saat itu terasa sebagai momen sakral dan syahdu. Akan tetapi, tidak bagi Arunika. Dia begitu hancur dan merana ketika menyaksikan suaminya menjabat erat tangan penghulu dan mengucapkan ijab kabul. Arunika sampai harus bersembunyi di toilet dan menangis sejadi-jadinya di sana. Rupanya, dia tak sekuat yang dikira. Arunika tak sanggup melihat sang suami bersanding di pelaminan untuk kedua kalinya dengan wanita selain dirinya. Setelah menangis sampai puas, Arunika mencuci muka. Dia tak peduli meskipun make upnya luntur. Namun, yang menjadi perhatiannya saat itu adalah matanya yang bengkak dan sembab akibat terlalu banyak menangis. Dia merasa malu jika harus menemui tamu dalam kondisi seperti itu. Setelah berpikir untuk beberapa saat, akhirnya Arunika memutuskan untuk meninggalkan hotel mewah tersebut secara diam-diam dan kembali ke kediaman Abhimanyu. Dia melanjutkan tangisnya di ranjang yang selama ini menjadi tempat peraduannya bersama sang suami. Sayangnya, malam itu Arunika harus melaluinya seorang diri. Pihak keluarga Delia memang sudah menyiapkan beberapa kamar VIP untuknya dan Masayu serta anggota keluarga yang lain. Dapat dipastikan bahwa Masayu dan Abhimanyu tak akan pulang, setidaknya sampai besok pagi. "Ah, bodohnya aku!" Arunika merutuki diri sendiri. Kini, dia menyesal karena telah menyetujui permintaan ibu mertuanya. Entah bagaimana hidupnya nanti ke depan. Arunika terus merenung hingga tak sadar bahwa waktu terus merangkak menuju dini hari. Rasa kantuk mulai menyerang, Arunika pun bersiap untuk menarik selimut dan mengistirahatkan diri. Akan tetapi, baru saja matanya terpejam, dia mendengar pintu kamar terbuka. Arunika langsung menoleh ke arah suara dan mendapati sosok Abhimanyu berdiri tegap di ambang pintu. "Mas?" ucapnya lirih."Mas?" Arunika mengucek mata untuk memastikan bahwa sosok tinggi tegap yang berjalan gagah mendekatinya adalah benar Abhimanyu. Suaminya itu masih memakai jas pengantin berwarna putih. "Kenapa kamu lari, Run? Apa kamu tidak ingin melihat kebahagiaan kami di atas pelaminan?" cecar Abhimanyu. Mata coklat terangnya menatap Arunika dengan sorot tajam. "A-aku tidak enak badan," kilah Arunika. Dia beringsut mundur seraya menarik selimut hingga menutupi dada sampai-sampai punggungnya membentur kepala ranjang. "Kamu kan yang menginginkan pernikahan ini? Seharusnya kamu mendampingi Mama terima tamu," desis Abhimanyu seraya menaiki ranjang. "Su-sudah kubilang, aku sakit." Tubuh Arunika merosot, lalu bersembunyi di balik selimut. Abhimanyu seolah tak percaya. Dia malah beringsut ke atas tubuh Arunika dan mengungkungnya. Mata elangnya menguliti paras cantik wanita yang telah menemani perjalanan hidupnya selama tiga tahun itu. Abhimanyu mengingat dengan jelas pertemuan pertamanya deng
"Siapa ini?" tanya Abhimanyu, datar dan dingin."Oh, Pak Abhimanyu Cakra rupanya. Apa kabar?" Arga malah balas menyapa, seolah tak menghiraukan pertanyaan Abhimanyu. "Sekali lagi kutanya, siapa kamu? Ada perlu apa menelepon istriku pagi-pagi?" desis pria tampan itu. Raut wajahnya tampak begitu menakutkan."Istri yang mana, Pak? Arunika atau istri baru anda?" Arga seakan menguji kesabaran Abhimanyu, membuatnya menjauhkan telepon genggam dari telinga, lalu mengakhiri panggilan begitu saja.Jemari Abhimanyu cekatan menyalin nomor telepon tersebut. Dia lalu membuka aplikasi pencari kontak. Dari aplikasi tersebut, Abhimanyu menemukan bahwa nomor tak dikenal itu ternyata adalah milik Arga Wasesa Dharmawan. "Aku seperti pernah mendengar nama itu," gumamnya.Abhimanyu terdiam. Dia mencoba menggali ingatan. Angannya berputar kembali ke beberapa tahun silam ketika Abhimanyu mendatangi kediaman Hadiwinata untuk melamar Arunika. Di sana, terdapat kedua orang tua Arunika dan seorang pria seusia d
Abhimanyu berjalan gontai menuju balkon kamar hotel sambil menggenggam sebungkus rokok. Sesampainya di luar, dia menoleh ke belakang, memperhatikan Delia yang tertidur pulas setelah mendapatkan nafkah batin darinya. Entah kehidupan macam apa yang akan Abhimanyu jalani. Dia bercinta dengan Delia, tapi benaknya penuh oleh bayangan Arunika. Seolah Arunika lah yang berada di hadapannya saat itu. "Brengsek!" Abhimanyu memukul pagar balkon yang terbuat dari besi dengan tangan kanan. "Kamu pengkhianat, Run. Kamu sudah menghancurkan kebahagiaan kita," racaunya. Abhimanyu mengacak-acak rambut, lalu mengeluarkan rokok sebatang dan menyulutnya. Saat asyik menghisap dan membuang asap rokok ke udara itulah dirinya mendengar telepon genggam berdering. Abhimanyu bergegas masuk dan meraih ponselnya, berharap panggilan itu datang dari Arunika. Akan tetapi, dia harus kecewa. Ternyata, Masayu lah yang menghubungi. "Ada apa, Ma?" tanya Abhimanyu datar. "Aku tidak melihat Arunika. Ke mana dia
Sejak mendapat telepon dari Arunika, Abhimanyu sama sekali tak bisa tidur. Padahal waktu sudah merangkak ke dini hari. Apalagi Delia terus berusaha memeluk dan menelusupkan kepalanya ke dada bidang Abhimanyu, membuatnya risi. Berkali-kali dia menjauhkan Delia dari tubuhnya, tapi wanita itu selalu kembali beringsut mendekat. Abhimanyu yang putus asa, akhirnya hanya bisa mengubah posisi, membalikkan badan memunggungi Delia. Meskipun pada akhirnya Delia melingkarkan tangan ke perutnya."Ck!" Abhimanyu tak lagi berusaha menjauhkan tangan Delia. Dia membiarkan istri keduanya itu berbuat semaunya."Arun ...." Tiba-tiba, tanpa sadar Abhimanyu menyebut nama itu. Padahal dia sedang teramat marah pada Arunika."Seharusnya aku tetap pergi memeriksa keadaanmu, Run," sesal Abhimanyu dalam hati. Semalam dia sengaja menuruti Delia, untuk memberi pelajaran pada Arunika.Namun, sekarang Abhimanyu sangat menyesali keputusan itu. Arunika memang memiliki penyakit bawaan. Wanita cantik itu kerap sakit ke
Arunika membuka mata saat merasakan seseorang mengusap-usap punggung tangannya. "Mama?" desis Arunika lemah. Matanya sayu menatap Masayu yang berdiri di samping ranjang. "Mas Abhim mana?" "Dia masih di hotel," tutur Masayu datar. Tak ada senyum di sana, hanya pandangan mata yang lurus tertuju pada Arunika dengan sorot yang tak dapat diartikan. "Mas Abhim tahu saya dirawat di sini?" tanya Arunika. Masayu mengangguk. "Dia yang menyuruhku kemari," ujarnya. "Oh." Arunika tersenyum getir. Dia tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya. "Oh, ya. Mama juga ingin menyampaikan sesuatu. Mulai saat ini, jangan terlalu sering mengganggu Abhimanyu. Mama takut jika hal seperti ini akan membuat Delia tak suka dan akhirnya berimbas pada bantuan keuangannya untuk perusahaan," tutur Masayu panjang lebar. "Saya mengerti," ucap Arunika. Dia tak sanggup menahan setetes air mata yang lolos membasahi pipi. "Semoga masalah perusahaan bisa cepat beres." "Semoga saja." Masayu menarik napas panjan
Arunika terdiam. Dia tak tahu bagaimana menanggapi kalimat Abhimanyu. "Ke Eropa? Berapa lama?" tanyanya beberapa saat kemudian dengan mata berkaca-kaca."Terserah Delia. Bisa dua minggu atau sebulan," jawab Abhimanyu."Lama sekali, ya." Arunika tersenyum getir. Sejak menikah dengan Abhimanyu, dia tak pernah berpisah terlalu lama dari sang suami. Bahkan setiap perjalanan bisnis ke luar kota, Abhimanyu selalu mengajak Arunika."Kenapa menangis?" Abhimanyu memperhatikan wajah cantik yang tampak sedikit kurus itu lekat-lekat."Kita belum sempat jalan-jalan ke Eropa. Mungkin tidak akan sempat," sahut Arunika sambil menyeka air mata."Apa maksudmu?" Abhimanyu yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu, kini melangkah masuk dan mendekat pada Arunika."Kita tidak akan mungkin bisa seperti dulu lagi," jelas Arunika."Bukankah yang penting kamu tidak perlu hidup miskin? Asalkan kebutuhan materimu tercukupi, tak masalah jika kita tidak bisa kembali seperti dulu lagi. Iya, kan?" sindir Abhima
Arunika memaksakan diri bangkit dari ranjang. Dia merasa sudah cukup menangis dan bersembunyi di balik selimut. Apalagi saat menyadari bahwa jam digital menunjukkan pukul sepuluh malam. Dengan langkah gontai, Arunika berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Akan tetapi, rasa sedihnya kembali menyeruak tatkala melihat sikat gigi couple miliknya dan Abhimanyu. Angan Arunika melayang ke saat sebelum terjadi badai besar dalam rumah tangganya. Abhimanyu lah yang memiliki ide untuk menyamakan peralatan mandi. Pria tampan itu beralasan, supaya mereka bisa lebih bersemangat saat melakukan ritual di kamar mandi bersama-sama. Arunika tersenyum kelu. Sebuah pertanyaan besar terus bergaung di benaknya. Akankah keadaan bisa kembali seperti semula, atau dia akan kehilangan Abhimanyu selamanya. Dalam kegelisahan itu, seseorang mengetuk pintu kamar cukup kencang, membuyarkan lamunan Arunika. Sambil menyeka wajahnya yang basah menggunakan handuk, Arunika bergegas menuju pintu dan membuka k
"Aku suka dengan balkonnya yang langsung berhadapan dengan taman. Sinar matahari juga tak terhalang sama sekali," celoteh Delia. "Tidak bisa," tolak Arunika. "Run!" Masayu meraih tangan Arunika dan meremasnya. "Kalau Delia mau pindah ke ruangan itu, ya biar saja. Toh, kamu juga belum tentu hamil dalam waktu dekat ini. Aku tidak mau, perkara kecil seperti ini memicu pertengkaran." Arunika yang sedari tadi melotot ke arah Delia, langsung memusatkan perhatiannya pada Masayu. "Tapi, Ma ...." "Kalau di atas, kamar kita kan bisa berdekatan, Mbak. Mas Abhim juga bisa bolak-balik ke kamar Mbak Arun dengan leluasa. Coba seandainya kamar kami masih di lantai bawah. Pasti ribet. Ya kan, Mas?" potong Delia seraya menoleh pada suaminya. "Betul juga," celetuk Abhimanyu sambil manggut-manggut. "Ya, sudah. Aku akan menyuruh asisten rumah tangga menyiapkan semuanya." "Ah, terima kasih, Mas." Delia merentangkan kedua tangan, lalu memeluk Abhimanyu erat-erat. Melihat hal itu, suasana hati Arunika
"Ya, ampun. Mas Abhim ...." Arunika menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan. Terharu, bahagia, sekaligus malu, bercampur menjadi satu. "Yuk, Sayang." Abhimanyu mengulurkan tangan pada Arunika. Dia membawa sang istri tercinta masuk ke dalam sebuah bangunan lima lantai yang dulu pernah mereka jadikan tempat resepsi pernikahan. "Mas masih ingat dengan hotel ini?" Arunika terkikik geli. "Mana mungkin aku lupa, Run. Dulu, kita berikrar sehidup semati sekaligus mengadakan pesta di ballroom hotel ini." Abhimanyu mencolek ujung hidung istrinya gemas. "Malam pertama juga di hotel ini," ujar Arunika malu-malu. "Kamar Suite 301," timpal Abhimanyu. "Aku sudah memesannya untuk malam ini dan besok." "Yang benar saja, Mas!" Arunika terbelalak tak percaya. "Untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita yang tertunda, Sayang." Abhimanyu berbisik lirih, tepat di telinga Arunika. Getaran halus seakan bermuatan aliran listrik, merambat ke seluruh pembuluh darah, menciptakan sensasi luar b
Abhimanyu semakin mengeratkan genggaman di tangan istrinya saat mereka berjalan melintasi ruang tamu mewah kediaman Gayatri. Namun, langkahnya seketika terhenti ketika berpapasan dengan Arga yang baru saja masuk.Pria tampan itu seperti sudah biasa mendatangi rumah sang mertua. Terbukti dengan sikapnya yang bebas dan santai. Akan tetapi, bukan itu yang membuat Abhimanyu terkejut. Melainkan sosok wanita berpakaian rapi yang berdiri di samping Arga."Bi Ijah?" desis Abhimanyu dengan sorot tak percaya."P-pak Abhimanyu?" sahut Evelyn. Dia begitu salah tingkah ketika majikannya itu menatap dirinya penuh selidik."Sedang apa di sini?" tanya Abhimanyu curiga."Aku bisa menjelaskan, Mas," ujar Arunika lembut sembari mengusap lengan suaminya."Apa?" Abhimanyu mengalihkan perhatian pada sang istri, lalu menoleh pada Evelyn, kemudian kembali menatap Arunika. "Apa aku ketinggalan sesuatu? Atau kalian yang menyembunyikan sesuatu?" sindirnya."Bukan begitu." Arunika menghela napas panjang. Dapat d
Abhimanyu berkali-kali mengusap telapak tangannya demi menghilangkan rasa gugup yang semakin mendera. Pertemuannya yang berlangsung alot dengan RImba tadi sama sekali tak ada apa-apanya dibanidingkan detik-detik memasuki gerbang besar kediaman keluarga Hadiwinata. Perjalanannya memasuki rumah paling mewah saat itu cukup lancar. Para satpam rumah terlihat begitu hormat padanya. Mereka bahkan menawarkan untuk memarkirkan mobil Abhimanyu, sehingga pria itu dapat leluasa memasuki rumah dan menemui mertuanya di ruang kerja. Sesampainya di sana, Abhimanyu sudah disambut oleh Gayatri dan putra tertua, Sagara. Mereka memandang aneh ke arahnya, membuat Abhimanyu salah tingkah. "Se-selamat siang," sapanya. Sekilas, ekor mata pria tampan itu melirik ke arah Arunika dan Fahad yang duduk di sofa. "Selamat sore," sapa Abhimanyu sedikit gugup. "Jadi, kamu adalah anak kandung Tuan Fahad Omar Al Attas?" tanya Sagara dingin, tanpa membalas sapaan Abhimanyu. "Iya, betul. Aku juga baru tahu aka
Abhimanyu melangkah gagah menuju ruangan penyidik. Di sana, Delia sudah menunggu bersama beberapa orang pengacaranya dan seorang pria yang membuat Abhimanyu langsung terpaku."Kenalkan, Bhim. Namanya Wildan. Dia yang akan membantu kita bernegosiasi dengan pihak kepolisian," tutur Delia. "Dia kenal dengan salah satu pejabat tinggi," bisiknya tepat di telinga Abhimanyu."Oh, ya?" Abhimanyu melirik ke arah pria bernama Wildan itu, dengan sorot aneh. "Aku juga sudah menyiapkan sejumlah uang untuk mengembalikan seluruh dana yang kamu investasikan ke perusahaanku. Dengan demikian, aku tidak memiliki utang sama sekali," paparnya."Apa?" Delia terbelalak tak percaya. "Ini bukan saatnya membicarakan hal itu, Bhim!""Oh, malah ini adalah saat yang paling tepat. Dengan aku mengembalikan semuanya, aku jadi tidak perlu ikut terseret dalam kasusmu," timpal Abhimanyu."Kamu tega membiarkan aku sendirian melalui ini semua, Bhim?" tanya Delia dengan nada tinggi."Kamu tidak sendiri, kok. Ada Wildan di
"Tenang saja, Bhim. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan mertuamu." Fahad Omar menepuk pundak putra kandung yang baru saja dia temukan."Baiklah, Pa. Kuserahkan semua padamu. Aku akan ke kantor polisi, menemui Delia dan menyelesaikan semua urusan," pamit Abhimanyu."Jangan lupa, tanyakan pada pihak penuntut, seberapa banyak yang mereka mau, aku akan melunasi seluruhnya," ucap Fahad.Abhimanyu sempat tertegun dan terdiam. Betapa keadaan bisa berbalik dengan begitu cepat. Kemarin dia yang membuang harga diri demi keinginan sang ibu, kini dapat tegak berdiri, menghadapi semua masalah dengan pikiran tenang, seolah kekuasaan sudah berada dalam genggamannya."Aku pergi dulu, Pa." Abhimanyu mencium punggung tangan Fahad, kemudian beralih pada Arunika. Dia mencium kening istrinya dengan penuh perasaan.Arunika dan Fahad memperhatikan langkah gagah Abhimanyu menjauh hingga menghilang di balik pintu restoran."Bagaimana? Apa kamu sudah siap?" tanya Fahad."Siap, Om." Arunika mengang
"Siapa?" tanya Arunika penasaran."Nanti kamu juga tahu sendiri." Abhimanyu tersenyum penuh arti seraya memutar kemudi. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju salah satu restoran langganan di pusat kota, yang dekat dengan kantornya.Setelah memarkir kendaraan, Abhimanyu menggandeng Arunika dan menuntunnya masuk ke restoran. Langkahnya langsung tertuju pada salah satu meja yang terletak di sudut ruangan. Dia tak ragu menghampiri seorang pria paruh baya yang duduk seorang diri. Pria itu tampak asyik menggulir gawainya."Siapa dia, Mas?" bisik Arunika."Kenapa kamu tidak bertanya langsung saja padanya?" Abhimanyu malah menantang istrinya."Jangan bercanda ah, Mas!" sungut Arunika, membuat Abhimanyu tertawa renyah.Sontak, pria asing tersebut langsung mendongak. Tatapannya langsung tertuju pada Abhimanyu. "Hei, Nak! Sudah datang?" sapanya hangat dengan bahasa Indonesia yang terdengar sangat kaku."Nak?" ulang Arunika, seolah meyakinkan diri bahwa dia tak salah dengar."Oh,
"Apa-apaan kamu, Bhim!" sentak Masayu. "Ingat, kamu juga masih punya aku!" sambung Delia. "Kamu tidak bisa seenaknya pergi dari rumah tanpa memedulikan aku!""Maafkan aku yang tidak bisa tegas, Del. Seharusnya sejak awal, aku menolak ide gila ini. Sekarang, setelah datang masalah sebesar ini, aku sadar. Semakin lama aku mempertahankan hubungan tak sehat ini, semakin buruk pengaruhnya terhadap kita berdua," jelas Abhimanyu panjang lebar."Apa maksudnya, Bhim? Apa yang akan kamu lakukan?" cecar Delia panik."Setelah permasalahan ini beres, aku akan menceraikanmu. Aku juga sudah siap mengembalikan seratus persen dana yang sudah kamu gelontorkan ke perusahaan," lanjut Abhimanyu."Bhim, jangan ngawur!" Masayu mulai histeris. Namun, Abhimanyu tetap pada pendiriannya. Dia mengangkat tangan sebagai isyarat agar ibunya berhenti berbicara."Sekali ini saja. Kumohon, supaya Mama mempercayai keputusanku. Percayalah, Ma. Tidak akan ada yang mengolok-olok kita, mencaci apalagi menghina. Dan kupas
"Tadi malam kan aku sudah berpamitan, Ma," sahut Delia ketus."Pesta macam apa yang berlangsung semalam suntuk? Arunika saja, selama menikah dengan Abhim, tidak pernah bertingkah macam-macam!" hardik Masayu."Aku bukan Arunika! Aku juga tidak sudi disamakan dengannya!" balas Delia. Dia tak memiliki keraguan sama sekali saat membentak Masayu."Ada apa ini?" seru Abhimanyu yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Delia. "Kenapa kamu berkata kasar terhadap Mama?"Delia tersentak. Dia sama sekali tak menyangka jika Abhimanyu memergoki secara langsung tindakannya yang tak terpuji."A-aku tidak bermaksud, Bhim. Ma-mama dan aku hanya saling salah paham," kilah Delia terbata."Kesalahpahaman apa yang bisa membuatmu bersikap kurang ajar pada Mama?" geram Abhimanyu dengan tangan terkepal erat."Sudah, Bhim. Delia benar. Dia tidak serius berkata seperti tadi. Mama sama sekali tak ada masalah, kok," sela Masayu, berusaha menengahi."Apa?" desis Abhimanyu. Dia tak mengira bahwa sang ibu akan bersi
Masayu berniat keluar dari kamar Delia secara diam-diam. Akan tetapi, rencananya tak berhasil. Arunika malah memergoki ulahnya. "Mama? Sedang apa di sini?" tanya Arunika curiga. "Kamu sendiri? Sedang apa di sini?" Masayu balik bertanya. Dia tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya. "Mas Abhim meminta saya untuk mengambil minyak kayu putih," jelas Arunika. "Kenapa dia?" "Sepertinya masuk angin," jawab Arunika lembut seraya menggeser tubuh, melewati Masayu. Setelah beberapa langkah, dia tiba-tiba berbalik ke arah Masayu yang masih terpaku. "Mama sedang apa di sini?" tanya Arunika. "A-aku ... ta-tadi ...." Masayu terbata, seakan kehilangan kemampuan bicara. "Mama juga melihat Delia pergi dari rumah?" terka Arunika. "I-iya. Di bawah," jawab Masayu gugup. "Mas Abhim juga melihatnya dari balkon," beber Arunika. "Lantas, kenapa dia tidak mencegah Delia? Kamu juga kenapa diam saja? Sebenarnya kamu paham tidak sih, situasi yang kita hadapi sekarang!" cerca Masayu. "Kenapa