Ponsel Arum bergetar pelan tak bernada, saat dilihat terdapat sebuah nomor kontak beserta nama lengkap, "Detektif Jean Caspiro", sedang menghubungi. Julvri diam memandang tanpa niat mengangkat telepon itu tapi ia kemudian terpikirkan sesuatu sehingga mengangkatnya. “Wah, sudah lama ya?”***Beberapa jam sebelum Jean menghubungi ponsel Arum. Ia berada di kota kecil dekat dengan pantai, tengah merenungkan diri lantaran pikirannya berkecamuk sana-sini akibat kejadian pada malam tahun baru itu. Jean menghela napas, “Ha, ini di luar dugaan. Siapa yang berpikir kalau dia akan melindunginya?” tukas Jean. Jean sebagai seorang detektif, tentu harus melaksakan tugas dengan baik. Tapi jika pelakunya sudak bertindak di luar batas maka Jean tidak punya pilihan lain. Saat itu Jean kembali berpikir apakah tindakannya cukup sembrono?“Aku menembaknya ... tidak, aku sudah menghindarinya.” Posisi duduk di kursi seraya memegangi kepala yang tengah tertunduk lesu. Pikirannya berbayang akan kejadian
“Aku sungguh bodoh,” gerutu Jean. ["Ya, kau benar-benar bodoh. Bagaimana tidak? Kau dengan mudahnya percaya apa saja perkataanku."]Perkataan Juli cukup menusuk di dada. Jean tidak menyangkal dan sekarang hanya terdiam seribu kata. Tidak berniat mengatakan apa pun lagi dan hendak mematikan telepon tapi pria itu lagi-lagi mengatakan hal yang membuat Jean semakin marah.[" .... seandainya begitu, kau tahu 'kan? Itu cukup menarik."]“Apa katamu?” Jean tidak begitu mendengar ucapannya, sehingga bertanya.["Tadinya aku berniat menuntutmu. Terkecuali dengan Arum. Jika kau benar membunuh anakku maka aku akan menuntut tapi setelah dipikir itu sedikit mustahil."]“Aku tegaskan sekali lagi. Kenapa kau seolah-olah berharap dia mati?”["Karena aku tidak butuh."]Kata-kata yang cukup sombong dilontarkan, Julvri mengatakannya tanpa ragu dan Jean begitu terkejut hingga sulit mengontrol emosi. “Dasar pembunuh! Dia i
Rumah yang sepertinya sudah ditinggal selama beberapa hari itu memperlihatkan dengan jelas akan jejak tersisa. Baik itu di dalam rumah maupun di perkarangan, namun Jean merasa ini aneh. “Kenapa rumah ini harus ditinggal? Kenapa mereka melakukan itu?”“Tentu saja karena dia sudah ketahuan olehmu. Yah, walaupun di satu sisi dia juga bermaksud melakukan sesuatu untuk membalas perbuatanmu.”Temannya menyahut. “Han, aku juga tahu tentang hal itu, tapi tetap saja ini terasa aneh.”“Kenapa begitu?” Temannya bernama Han itu bertanya. Jean melirik sinis, lalu berpaling dan mengambil beberapa langkah tuk menyusuri setiap sudut di rumah ini. Ia memberi suatu kode dengan mengangkat dagu agar Han mengikutinya. “Sebenarnya kita ini sedang berhadapan dengan siapa sih?” gumam Han. Tidak ada untungnya mengeluh, menggerutu, ataupun malas saat ini juga. Lantaran penyelidikan yang mereka lakukan sudah termasuk pelanggaran, mengingat Jea
Di rumah mertua, kamar pasutri muda yang akhirnya memiliki anak di dalam kandungan. Suasana terasa tenang sejenak namun tidak setelah Arum terbangun, mendapati Julvri ada di depan mata, secara spontan Arum langsung mengubah posisinya jadi duduk dan menjauhkan diri dari pria itu. “Kenapa takut?” Julvri bertanya bukan karena memang tidak tahu melainkan karena merasa seru rasa begitu mendapati ekspresi terkejut sang istrinya. Arum tidak menjawab, ia memalingkan wajah dan tak berniat melakukan sesuatu selain hanya terdiam di tempat. Julvri mendekatkan dirinya dan Arum semakin menjaga jarak. Setiap kali Julvri seperti itu maka Arum selalu bersiap siaga tuk menghindari kontak fisik apalagi tatapan darinya.“Ya ampun, kamu seperti sedang melihat sesuatu yang menyeramkan saja,” ucap Julvri seraya menggelengkan kepala. Selang beberapa saat pria itu sadar akan sesuatu.“Oh, benar! Kamu menganggapku menyeramkan 'kan? Kalau begitu pantas saja seja
Suara keras yang berasal dari kamar lantai dua mengagetkan hampir semua orang yang berada di dalam rumah itu. Baik itu bibi atau bahkan Ibu dan Ayah mertua juga. Mereka sangat terkejut karena tidak biasanya mendengar suara bantingan sekeras itu. “Ada apa ini sebenarnya?” tanya ibu seraya melirik suaminya. Menatap heran sekaligus bingung.Ayah menggelengkan kepala, tidak mengerti jelas kenapa tapi firasatnya buruk. “Lebih baik kita segera ke sana.”Mendengarkan saran darinya, kemudian mereka bergegas pergi menuju lantai dua dan begitu terkejutnya saat membuka pintu ruangan dan melihat ruangan itu bagai kapal pecah. Di sudut dekat jendela, beberapa barang di sana tergeletak berantakan. “Arum, Julvri!” Ibunya memanggil cemas. Kursi berada jauh dari meja rias yang terlihat beberapa kosmetik dan lainnya berhamburan pecah ke mana-mana. Tidak hanya itu bahkan selimut di atas ranjang saja berantakan. Saking terkejutnya ibu
Hari demi hari telah berlalu begitu cepat, situasi di rumah mertua yang tidak ada bedanya semenjak saat itu pun tidak membuat Arum merasa jauh lebih baik. Namun entah ini karena kebiasaan atau karena paksaan, Arum mampu mengendalikan emosi dalam dirinya sehingga terlihat seolah baik-baik saja. Di minggu kedua, sebuah surat datang ke rumah mendiang ibu kandung Arum, secara kebetulan Julvri berada di sana sehingga ia lah yang menerima surat itu lalu memberikannya pada Arum langsung. “Ada surat untukmu, sepertinya ini penting.” Arum menganggukkan kepala sebelum menerima surat itu. Surat yang tergolong biasa, tidak ada yang spesial dari warna putih biasa namun jika dilihat dari siapa pengirimnya, barulah Arum merasa surat ini lebih spesial dari dugaannya.“Kakek, nenek.”Surat dari kampung halaman, tertulis nama sang nenek yang menceritakan kabar mereka di sana dan juga bertanya bagaimana kabar sekeluarga di sana. Tentu mereka tahu bahwa A
Surat yang datang berasal dari kampung halaman, karena itu Arum harus segera pulang tapi tidak sendirian justru bersama dengan Julvri yang merupakan suaminya. Di lain sisi Ayah mertua merasa begitu cemas seolah tahu apa yang akan dilakukan oleh putra mereka pada menantunya nanti. Bersama supir, mereka akhirnya berangkat menuju ke stasiun. Sepanjang waktu duduk di dalam mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka diam seolah bisu. Situasinya sangat hening sampai-sampai supir pun dibuat canggung oleh mereka.Sesampainya di stasiun tujuan, dilihat dari tiket kereta jadwalnya masih cukup lama. Mau tak mau mereka harus menunggu walau akan terasa membosankan. “Arum, aku tanya kenapa kamu tidak mau naik pesawat saja? Bukankah itu lebih cepat?” tanya Julvri. “Tidak ada apa-apa,” jawab Arum dengan dingin. Sejenak Julvri menghela napas panjang lantas menepuk pundak Arum dan kembali berkata, “Aku hanya bertanya.”“Sudah aku bilang, tidak apa-apa!” Kini Arum menjawabnya dengan sedikit be
Rencana Arum cukuplah sederhana, begitu ada kesempatan maka ia akan memanfaatkannya untuk menghubungi Jean. Memberikan informasi sedikit demi sedikit namun ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Arum tersentak kaget, matanya menatap takut pada sosok pria di kejauhan. Lantas Arum berpikir di dalam benaknya, "Gawat, aku ketahuan memegang ponsel."Nyawa berada dalam genggaman sang suami, cukup tahu baginya kalau bertindak tergesa-gesa akan mengakibatkan kekacauan luar biasa. Terlintas kata, "mati", di dalam hatinya yang terasa sesak. ["Hei, Arum! Bicaralah sesuatu padaku! Apa yang terjadi? Kamu menemukan sesuatu?"] Jean bertanya tapi Arum tetap tak bersuara.Julvri berlari kencang menghampiri dengan tatapan tajam seolah akan menyakiti dirinya di sini. Arum mulai ketakutan lagi, tapi seluruh tubuhnya enggan bergerak seolah membeku, seakan ada yang memaku setiap bagian tubuhnya ke lantai ataupun kursi. “Jul—”Sebelum selesai menyebut namanya, sang empu langsung meremas kedua pundak