Terima Kasih telah mengikuti cerita ini. Yuk dukung cerita ini dengan memberikan ulasan bintang lima dan GEMS sebanyak-banyaknya.
[Tunggu aman sayang, kau urus suamimu. Setelah itu aku akan datang memuaskan mu.]Laila menarik napas, dia harus mencari cara untuk mengatasi Darma. Keinginan bersetubuh dengan Darto membuatnya gila."Pakai ini saja, aku sudah tak tau mau pakai cara apa lagi."Laila mengambil bungkusan kecil dari bawah tempat tidur. Dia tersenyum, kemudian menyembunyikan benda itu di saku bajunya. Dia keluar untuk melihat dimana Darma berada, saat lewat kamar Karin dia mendengar desahan wanita itu."Dasar kurangajar, dengan Darma saja dia seperti itu. Buat apa berebut Darto denganku."Laila berkata pelan sembari kembali menuju ke kamarnya. Untuk lebih aman dia menunggu Darma datang menemuinya. Dia mengambil air dalam gelas, lalu menuangkan serbuk putih itu ke dalam gelas."Maaf Mas, aku butuh pelampiasan dan itu aku dapatkan dari Darto. Kau hanya membuatku geli, setiap berhubungan intim denganmu."Laila berucap pelan lalu kembali membaringkan tubuhnya. Dia tersenyum melihat Darma masuk dan meneguk air
Prak ....Darma dan Laila terkejut, saat Karin meletakkan ponselnya di depan mereka dengan kasar. Entah apalagi yang membuat wanita itu marah-marah, Darma yang masih pusing kepalanya jadi naik pitam hingga membentak istri mudanya."Cukup Karin, aku sudah muak denganmu. Apa otakmu tak ada isinya, aku sedang pusing jangan tambahi pikiranku. Kalau tak senang kau di sini, silahkan pergi aku tak akan mencegahmu."Darma sudah kehabisan kesabaran. Dia tak lagi perduli meski Karin akan sakit hati mendengar ucapannya."Kau tak perlu balik marah padaku Mas, lihat ini dan buka matamu lebar-lebar. Bagaimana bisa Maya keluar negeri liburan, sedangkan gugatan harta gono-ginimu tak ada kabarnya."Darma meraih ponsel Karin dan mengaktifkan benda itu. Tak lama di layar terlihat aktifitas Maya yang dia unggah di I*******m, pantas saja Karin naik darah, rupanya dia iri pada mantan istri pertama suaminya."Sejak menikah kau hanya mengoyangku di rumah ini Mas, sedangkan Maya dia bisa keluar negeri, pasti m
Karin tersenyum sinis, ketika melihat cara Laila berjalan. Tentu saja dia tak penyebabnya, karena rintihan mereka terdengar hingga menjelang subuh.Apa gak sakit luar dalam, di tusuk senjata Darma dan di pukuli karena pria itu frustasi, tak mudah mengeluarkan cairan dalam tubuhnya."Bahagia sekali wajahmu Mbak. Apa begitu gagah Darma semalam? Aku dengar kau merintih tak habis-habisnya."Laila mengangkat wajahnya dan menatap Karin. Ingin rasanya dia melemparkan gelas berisi air minum ke wajah madunya, tapi dia tak mau kena masalah karena hal itu."Apa kau tau kenapa? Mas Darma seperti itu semalam. Dia bahkan seperti kuda yang tak puas mengauli aku.Karin tak menjawab, dia tetap asyik menikmati nasi goreng buatannya. Tak lama Darma datang, dia tersenyum menatap Laila. Wanita itu hanya diam melihat tatapan mata suaminya."Semalam kau hebat sayang, nanti malam lagi ya. Siang ini istirahat saja, Karin kerjakan pekerjaan rumah dan ibu jangan sampai tak kau rawat."Karin tak menjawab hanya me
"Karin apa yang kau lakukan pada wanita itu!?"Karin terkejut karena teriakan Laila. Dia bergegas melihat apa yang terjadi."Ada apa sih berisik banget? Kau menganggu tidurku tau. Di luar hujan lebat kan bagus untuk tidur tapi kau ribut melulu."Karin mengomel, sedangkan Laila hanya menunjuk pada mertuanya yang kejang-kejang."A ...apa yang terjadi? Kenapa dia kejang-kejang begitu?"Karin terlihat bingung, dia hanya menatap mertuanya dan Laila bergantian."Aku tidak tau apa yang terjadi. Tadi aku bangun karena mendengar suara dari kamar ini, ternyata wanita itu sudah di lantai dan kejang-kejang. Cepat bantu aku membawanya ke rumah sakit, taksi online sudah menunggu di depan."Plak ....Karin memukul bahu Laila, mana mungkin wanita hamil bisa mengangkat beban berat itu."Minta bantuan supir taksi, bodoh. Mana mungkin kita bisa mengangkatnya."Laila berlari memanggil sopir itu. Untung dia mau di mintai bantuan, untuk mengangkat mertuanya."Kau tunggu mas Darma di rumah. Aku yang bawa ibu
Matanya melotot saat melihat seorang pria membekap mulutnya. Pria itu menghempaskan dirinya di tempat tidur dan berusaha membuka celana dalamnya.Dia tersentak, saat benda itu melesak masuk ke dalam tubuhnya. Laila belum tau siapa pria itu dan kenapa bisa masuk ke rumahnya, tapi dari caranya menghentakkan miliknya, dia tau kalau pria itu juga meminum teh di atas meja.Dengan pasrah dia menerima, perlakuan pria itu pada tubuhnya. Tamparan mulai dia terima, saat tubuh pria itu mulai bergerak liar menghujamkan senjatanya. Rasa sakit dan nikmat membuat Laila merintih, hingga pria itu jatuh terkulai dan pingsan.Laila berusaha menyingkirkan tubuh pria itu dari atas tubuhnya. Kemudian mencari ponsel Darma untuk menghubungi Diki. Dia terkejut saat mendengar nada panggil, dari tumpukan baju pria yang masih pingsan."Mas Diki?"Laila menutup mulutnya dengan tangan. Dia tak mengira kalau pria yang baru saja mengagahinya adalah Abang iparnya."Ini benar-benar luar biasa."Laila tersenyum karena d
"Datang juga kau, Binatang."Plak ....Darma terkejut saat mendapat tamparan dari Diki. Dia tak siap karena begitu membuka pintu langsung mendapatkan bogem mentah di wajahnya."Apaan sih Mas? Tentu saja aku baru datang. Apa kau tak tau kalau aku di tahan polisi?"Darma berkata dengan nada kesal. Bisa-bisanya Diki memukulnya di saat dia baru sampai untuk menjenguk ibunya."Aku tau kau di tahan polisi, apa kau tak berpikir sebelum berbuat bodoh? Sekarang jawab aku, untuk apa kau jual rumah ibu, terus uangnya mana?"Darma terdiam karena uang rumah sudah habis, untuk membayar pengacara palsu itu."Jangan bilang kau masih bermimpi untuk mendapat harta gono-gini dari Maya. Sadar diri Dar, mana ada harta bersama yang bisa di bagi. Sedangkan harta yang kau incar itu, warisan atau milik orangtua Maya."Darma terkejut saat mendengar ucapan Diki, namun dia masih berkeras kalau ada haknya di harta milik Maya."Susah kalau bicara dengan manusia berotak udang. Heran aku Dar, apa yang kau pelajari sa
Begitu sampai di mobil, Diki langsung melumat bibir Laila. Wanita itu dengan tanpa malu membalas lumayan bibir abang iparnya. Dia merintih saat tangan Diki mulai merayap di balik bajunya dan meremas benda kenyal di dadanya."Mas jangan disini, kita pulang sekarang."Dengan suara serak Laila mengajak Diki pulang. Pria itu segera melajukan mobilnya dia tak membuat Laila diam, tangannya membawa tangan wanita itu untuk membelai senjatanya yang sudah berdiri di tempatnya.Desahannya terus terdengar, sembari matanya menatap jalanan untuk menuju ke rumah Darma. Dengan gila dia menarik kepala Laila, agar bibirnya melakukan sesuatu pada senjatanya."Hisap sayang agar tetap tegak sampai rumah. Sebentar lagi kita sampai, aku sudah tak tahan lagi."Bujang lapuk itu benar-benar mengila, seiring hisapan dari mulut Laila. Tangan kirinya tak mau diam dia meremas dada adik iparnya dengan pelan."Kita sampai sayang, cepat turun rapikan dulu bajumu."Diki segera keluar, dia menutupi senjatanya dengan map
"Mas, tutup mulutnya. Malu di lihat tamu, pengantin masih sore sudah ngantuk."Fandy tersenyum melihat istrinya bersemu merah, karena beberapa orang tamu melihat ulahnya."Sepertinya pengantin pria sudah tidak sabar masuk kamar. Biasanya kuat begadang mengurus kerjaan, ini duduk di pelaminan bisa mengantuk."Maya semakin tersipu malu, mendengar ucapan teman-teman Fandy. Pria itu tersenyum seolah tak masalah meski mendengar sindiran itu."Fan, bawa istrimu masuk. Sudah mulai sepi biar Maya bisa istirahat, setelah seharian di pelaminan."Fandy segera mengajak Maya masuk ke kamar, setelah mamanya memberi perintah. Dia tak mau buang-buang waktu, sebelum wanita yang melahirkan dirinya berubah pikiran."Tunggu Fan."Fandy menarik napas lalu menarik tubuh istrinya. Sang mama tertawa melihat tingkahnya."Mas, apa-apaan sih? Malu di lihat orang."Fandy tak memperdulikan ucapan Maya. Dia segera membaringkan tubuhnya di tempat tidur yang sudah di hias sedemikian rupa."Sayang, kemarilah."Fandy m
"Kalian penipu, untuk menguasai harta ibu kalian sengaja bilang bangkrut. Kalian ingin menguasai hak Aina putriku."Siti berteriak, membuat semua orang yang datang ke acara tujuh hari nenek Fandy terkejut. Mereka tak menyangka kalau wanita itu tidak memiliki sopan-santun. Membuat Hardi muak."Cukup! Hak apa yang kau maksudkan, Siti. Aina bahkan bukan darah dagingku, dia anak harammu dengan pria lain. Apa kau mau semua orang tau siapa ayah Aina? Sudah siap di hancurkan istri dan keluarga pria itu?"Siti terkejut dia tak menyangka Hardi akan semarah itu. Selama ini tak ada yang tau soal Aina selain Hardi dan orangtua Fandy, tapi sekarang Hardi siap membuka aibnya."Bagaimana?"Siti gemetar dia hanya bisa menatap Hardi tanpa berani untuk bicara. Dia tak siap berhadapan dengan keluarga kekasihnya, apalagi tanpa perlindungan Hardi."Sebaiknya kau pergi daripada hanya membuat omong kosong. Demi harta kau tak sadar sedang berada di mana, selama ini kau sudah enak hidup dari belaskasihan kami
"Ini gak mungkin, pasti akal-akalan kalian kan. Jangan mentang-mentang ibu tinggal bersama kalian lalu kalian berusaha menguasai hartanya."Sari terlihat marah saat pengacara keluarga datang sesuai permintaan Sari. Malas ribut orangtua Fandy menuruti permintaannya."Awalnya aku tak mau melibatkan kalian. Sayangnya kau terlalu serakah Sari, apa boleh buat segera kosongkan rumah yang kalian tempati, karena itu termasuk harta ibu yang di gadaikan. Bahkan rumah ini sudah bukan milik ibu lagi, hutang dan kesombongan membuat semuanya hilang."Kali ini Maya dan Fandy tak berani bersuara. Mereka lebih memilih untuk mendengarkan para orangtua yang bicara, agar tak terjadi keributan yang lebih panjang."Bagaimana Har? Apa kau siap bicara pada wanita ini? Wanita yang tak sadar siapa dirinya. Hanya mantan tapi masih merasa berkuasa, aku rasa sudah waktunya kau buang dia, daripada menyusahkan mu terus-menerus."Maya dan Fandy terkejut begitu juga dengan Sari. Wanita itu tak menyangka akan mendapat
"Setelah ibu meninggal akhirnya kalian datang juga. Begitu inginnya kalian mendapat warisan ibu."Baru saja masuk ke rumah, belum juga mendudukan bokong ke kursi. Susah terdengar ucapan pedas seorang wanita."Maksud Tante Sari apa ya? Kenapa bicara soal warisan? Saat nenek belum genap tiga hari meninggal."Fandy yang terkejut langsung menatap istri adik papanya. Mereka memang tak dekat, bahkan saat dia dan Maya menikah tak ada keluarga papanya yang datang. Sepertinya dia tau sebabnya."Heran saja, sejak ibu sakit tak ada kalian datang menjenguk tapi begitu dia meninggal cepat sekali datang pasti menginginkan harta warisan kan? Sudahlah aku bisa menebaknya dengan mudah."Fandy terlihat mengepalkan tangan, tentu dia emosi mendengar tuduhan Tantenya. Namun tidak dengan Maya, wanita itu terlihat santai sekali membuat Fandy heran dan juga bingung."Sayangnya Tante salah besar. Kami berdua tak membutuhkan warisan dari siapapun, asal tau aja kami berdua sudah memiliki dua perusahaan besar un
Fandy dan Maya duduk menghadap gundukan tanah merah yang masih basah. Di sana terbaring seorang wanita yang pernah merusak pernikahan mereka, wanita yang hingga akhir hayatnya tak sempat meminta maaf pada Fandy Maya."Sudah siang, kita pulang sekarang. Papa dan mama ingin bicara dengan kita."Fandy menautkan jari tangan pada tangan sang istri. Dia tau Maya masih belum bisa percaya pada kedua orangtuanya, setelah mereka sempat melakukan kesalahan pada wanita itu."Berapa lama kita di sini, Mas? Apa bisa aku pulang duluan? Rasanya tak nyaman berada di sini apalagi ada Hera."Maya terlihat tak nyaman tapi Fandy juga tak mungkin membawa istrinya pulang sekarang. Apa kata orang kalau mereka pulang, mereka saja datang setelah tiga hari kematian sang nenek. Jadi gak pantas kalau langsung pergi."Tenang ada aku bersamamu. Lagipula mama dan papa kan sudah meminta maaf, apa salahnya kita beri mereka kesempàtan, jangan sampai kejadian yang di alami nenek terjadi pada orangtua ku juga.""Apa kau
Kedua pasangan itu berciuman dengan panas. Mereka bahkan lupa berada di mana saat itu, Sandoro benar-benar bahagia, saat gadis yang dia cintai membalas perasaannya. Sandoro menarik tangan gadis yang baru satu jam yang lalu menerima cintanya. Mereka duduk di kursi ruangan Maya, posisi duduk mengangkang kekasihnya, membuat milik lelaki itu semakin tegang. Apalagi wanita itu justru duduk di pangkuannya, jelas membuat miliknya semakin membesar."Ah ....Pak milikmu menusuk milikku."Gadis itu terkejut hingga melepaskan ciuman di bibir kekasih barunya. Pria itu tersenyum dan meremas pantatnya."Mau buka celana dalammu? Agar dia bisa benar-benar masuk dan membuatmu merasakan nikmatnya."Gadis itu mengerjabkan matanya. Seperti berpikir antara takut dan ingin merasakan, benda besar yang menusuk miliknya. Perlahan dia bangun dari pangkuan Sandoro, menatap mata kekasihnya lalu membelai wajah pria yang tengah memejamkan mata itu, dia tau Sandoro tengah berusaha menetralkan panas di tubuhnya."Maa
"Hai ...mau kemana kau?"Sandoro dan bapak Maya terkejut, saat melihat Fandy berdiri menuju pintu kamar yang di tempati istrinya."Aku rela menerima rasa sakit yang di berikan istriku, tapi aku tak bisa tetap diam saat dia merasakan sakit, karena apa yang dia pikirkan apalagi semua itu tidak benar."Fandy membuka pintu dan menemukan sorot mata dingin dan penuh rasa kecewa. Perlahan dia mendekat dan bersiap, seandainya sang istri kembali menyerangnya."Kau bisa memukul atau menamparku jika itu membuatmu lega, Yank. Aku memang bodoh, hingga tanpa sadar terus membuatmu terluka dan kecewa. Hanya saja kau harus tau, aku mencintaimu tak ada wanita lain yang bisa menggantikan cinta itu. Lagipula apa yang kau pikirkan? Hingga jatuh pingsan sebelum Sandoro bicara. Apa mungkin itu bawaan bayi kita, yang sudah berkembang di rahimmu? Mungkin dia juga ikutan marah, karena mamanya berpikir papanya melakukan kesalahan lagi."Maya terlihat bingung dengan apa yang suaminya bilang. Mata wanita itu ber
Maya mengeliat merasakan sakit di kepalanya. Rasa pusing membuatnya tak sadar apa yang sudah terjadi padanya, perlahan dia terdiam saat otaknya mulai menginggat apa yang sudah terjadi."Sayang, syukurlah kau sudah sadar."Plak ...brak ...."Pergi! Aku tak mau melihatmu lagi!"Maya berteriak setelah menampar suaminya. Dia mulai membanting barang-barang yang ada di meja, pikiran dalam kepala membuatnya marah. Raut wajah Sandoro dan tatapan pria itu membuatnya menerka, apa yang sudah di lakukan Fandy."Sialan kau Mas. Percuma aku beri kau kesempatan berulang kali, ternyata kau membuatku seperti perempuan bodoh. Keluar, aku akan menggugat ke pengadilan agama kita bercerai!""Cukup Maya!"Maya tersentak saat mendengar teriakan bapaknya dari depan pintu. Wanita itu menangis histeris, karena mengira semua orang membodohinya termasuk orangtuanya."Bapak tenang dulu, sayang tenang dan dengarkan aku.""Tidak! Semua sudah jelas. Jadi pergi kalian semua, aku tak mau mendengar atau melihat kalian
"Kau yakin wanita itu ada di tempat yang kau katakan? Bersama pak Cakra Kusuma juga."Maya menatap Sandoro, untuk memastikan kalau laporan pria itu tak salah."Yakin, aku sudah memastikannya langsung dengan sekretaris pak Cakra. Wanita itu ingin menawarkan kerjasama dengan pak Cakra."Maya mengelengkan kepala sembari menatap Sandoro. Dia heran, bagaimana pria itu bisa mendapat informasi secepat itu."Rayuan ku tak pernah gagal May. Kau mau membuktikannya?"Plak ....Maya memukul bahu Sandoro. Pria itu memang suruhan Maya tapi dia bukan pegawai Maya, jadi dia masih bisa bicara dengan santai pada wanita itu."Masih ada satu lagi kejutanku untukmu May. Kau pasti suka, tak perlu mengeluarkan tenaga untuk memberi wanita itu pelajaran, cukup dengan Vidio ini."Sandoro mengirim sebuah Vidio ke nomor Maya. Wanita itu membukanya dan terkejut, dengan wajah merah dia menatap Sandoro."Sial kau, kenapa tak mengingatkan aku soal Vidio mesum ini?"Maya mengusap wajahnya dia jadi malu pada Sandoro k
"Seorang janda yang melanjutkan usaha suaminya. Sayang isi otaknya tak terlalu bagus, jadi perusahaan tak berjalan baik justru mendekati bangkrut. Irvan menjanjikan suntikan dana dengan syarat membantu Fira menjebak suamimu."Maya mengepalkan tangan ternyata dugaannya benar. Ada yang aneh dengan wanita yang ingin bekerjasama dengan Fandy."Bagus kalau begitu terus awasi dia. Aku sendiri yang akan memberinya pelajaran, kalau dia tak boleh macam-macam dengan milikku."Sandoro adalah orang yang diminta Maya mengawasi wanita yang memasukkan obat perangsang dalam minuman Fandy. Pria itu begitu cekatan, hingga dalam waktu singkat sudah meletakkan informasi yang dia minta di atas meja kerjanya."Ngomong-ngomong, bagaimana kabar suamimu? Aku dengar dia membenturkan kepala, agar tak menyentuh wanita itu."Maya menarik napas saat mendengar pertanyaan Sandoro. Bicara soal Fandy, Maya belum menemui suaminya lagi sejak semalam. Dia masih kesal dengan kebodohan suaminya."Yah begitulah. Dia masih d