"Ma, kita pulang sama Om Liam aja ya?" pinta Abimanyu saat mereka sudah keluar bersama dari toko buku. Abimanyu menggandeng tangan Liam sejak di toko buku hingga mereka keluar. Tidak peduli dengan tatapan Sanjaya yang menyatakan ketidaksukaannya dengan kedekatan mereka. Justru Abimanyu merasa senang bisa melakukan hal itu. Seakan sengaja memperlihatkan kepada papanya jika dia bisa mendapatkan gantinya dengan mudah."Pulang sama papa, Abi!" sentak Sanjaya merasa tersinggung. Abimanyu lekas bersembunyi di belakang punggung Liam saat mendengar suara lantang dari Sanjaya. Mungkin ini pertama kalinya sang papa membentak Abimanyu. Zahera sampai melotot ke arah suaminya karena kelepasan berbicara kasar pada Abimanyu. Apalagi saat ini sedang di depan umum. "Aku masih suamimu, Za! Aku papa kandungnya, Abi!" geram Sanjaya dengan suara rendah tapi penuh penekanan. "Papa yang bikin takut anaknya sendiri?" sinis Zahera dengan wajah mengejek. Zahera menghela napas yang berat. Dia tidak takut
"Kenapa gak minta mutasi ke pusat lagi aja sih, Sayang?" rengek Sanjaya saat pagi harinya mengantar Alena ke Bandara. "Bukannya kinerja kamu bagus. Kayaknya kalau kamu minta ditugaskan di Jakarta bakalan gampang perizinannya deh," sambungnya lagi masih membujuk. "Justru karena kinerjaku dianggap bagus, makanya dari pusat aku dipindahin ke Balikpapan buat jadi salah satu pioneer di sana nanti. Tapi mas gak usah khawatir, dalam beberapa bulan ke depan, kayaknya aku bakalan sering dikirim dinas ke Jakarta. Mungkin bulan depan aku di sini lagi seminggu." "Yang benar?" "Iya. Kayaknya sih gitu. Atau kalau mas kangen kan tinggal terbang ke Balikpapan di akhir pekan," ujar Alena meyakinkan. "Iya deh. Kamu baik-baik di sana ya? Kalau di sini aku udah gak banyak urusan, aku bakalan sering-sering samperin kamu ke sana," janji Sanjaya pada Alena."Makanya cepat diberesin, Mas. Gak usah lah dilama-lamain. Sesuatu yang sudah ingin pergi, gak akan bagus kalau dipaksa untuk tinggal. Biarin aja ya
"Sebenarnya aku masih ingin bermain banyak permainan sama Om Liam. Tapi aku harus mempersiapkan diri untuk olimpiade-ku minggu depan." Abimanyu terlihat murung saat berkata demikian kepada Liam setelah mereka selesai dengan sarapan bersama yang awalnya canggung. Beruntung kecanggungan itu tidak berlangsung lama dan bisa kembali meriah dengan celotehan Abimanyu yang mendominasi backsound-nya. "Terus kenapa sedih? Kan memang sudah tanggung jawab Abi buat mempersiapkan diri setelah berhasil terpilih sebagai kandidat peserta lomba," sahut Liam. "Kan Om Liam sudah jauh-jauh ke sini, masa mah aku tinggal belajar."Liam mengangguk paham. "Kalau belajarnya Om temenin gimana? Nanti Om bantu pilihin contoh soal yang mungkin akan keluar di olimpiade nanti." "Serius, Om Liam mah temenin Abi belajar? Gak bosan?" Liam menggelengkan kepalanya. "Om kan hobi membaca. Suka belajar juga. Jadi gak bakalan bosan kalau nemenin Abi belajar buat olimpiade. Justru Om suka kalau Abi bisa belajar sama Om."
Liam sudah hendak kembali membawa laptopnya yang baru diambil dari dalam mobil. Beberapa informasi yang disampaikan Robin padanya menyisakan tanda tanya yang belum bisa dipecahkan sendiri. 'Apa aku coba tanya ke Abi ya, kenal sama Kak Lui apa gak? Tapi aku bilangnya gimana? Terus kalau emang kenal, apa aku harus memperkenalkan diri sebagai adiknya Kak Lui juga? Ck. Kenapa aku jadi penasaran!'Liam menggelengkan kepalanya mengusir berbagai pertanyaan dan pemikiran yang tidak seharusnya dipusingkan. Liam memilih lekas kembali berkumpul dengan Abimanyu dan menemani anak itu belajar. "Om Liam kok lama?" seru Abimanyu begitu Liam kembali."Sorry, Boy! Tadi Om ada telepon, jadi sambil terima panggilan dulu di luar." "Oke deh. Aku kira tadi Om pulang," aku Abimanyu dengan wajah cemberut."Gak dong. Kan Om udah bilang mau bantuin Abi pilihin soal buat belajar." Abimanyu pun kembali fokus ke buku tebal di hadapannya, sedangkan Liam menyalakan laptop yang baru diambilnya. "Mas Liam mau min
"Makasih sudah kooperatif, Mas." Zahera tidak menyangka jika di pertemuan mediasi kedua kali ini akan mendapati Sanjaya yang lebih kooperatif. Tidak lagi memaksakan diri dengan menolak perceraian seperti sebelumnya. "Mau gimana lagi? Bukankah aku sudah gak punya pilihan selain menuruti kemauan kamu?" cecar Sanjaya dengan kalimat penuh penekanan. Zahera hanya diam dan menatap lantai berwarna putih yang ditapaki kaki-kakinya saat keluar dari ruang mediasi. "Aku hanya berharap kamu menepati janji untuk tidak menjauhkan aku dari anakku," ujarnya lagi, membuat Zahera yang awalnya menundukkan pandangan segera mengangkat wajahnya.Sejak di ruang mediasi, Sanjaya hanya menitikberatkan jika setelah perceraian nanti benar terjadi, dirinya ingin tetap dilibatkan pada proses tumbuh kembang Abimanyu. Tentu saja Zahera menyanggupinya karena itu memang menjadi hak mereka sebagai seorang ayah dan anak. "Aku gak akan menghalangi kamu buat berinteraksi dengan Abimanyu, Mas. Aku tidak akan menjauhk
Zahera bengong bukan karena tidak tertarik dengan penawaran pertukaran pelajar tersebut. Justru Zahera sangat bersyukur karena penawaran tersebut secara kebetulan sangat sesuai dengan kebutuhan mereka saat ini. Hanya saja, Zahera masih tidak habis pikir dengan kebetulan yang sangat aneh tersebut. 'Kok bisa pas banget sih? Kayak ada yang…. aneh.' Tapi pemikiran itu tidak lantas membuat Zahera ragu untuk meluluskan permintaan putranya. Apalagi Abimanyu terlihat sangat senang dan antusias. Sampai-sampai tidak malu merengek di depan gurunya untuk Zahera mau memberikan ijin kepada anaknya tersebut. "Kalau boleh tau, untuk durasi pertukaran pelajarnya berapa lama ya, Bu? Terus untuk masalah selisih biaya yang saya bayarkan ke sekolah ini dengan yang di Educa Center pasti lebih mahal yang di Educa Center kan, Bu? Itu juga bagaimana?" Sayangnya Zahera tidak bisa langsung memutuskan sebelum mendengar detail mengenai prosedur program tersebut. Perannya sebagai wali murid dibutuhkan untuk me
Liam duduk di ruang kerjanya mulai jam 8 pagi tepat. Sudah menjadi kebiasaannya datang tepat waktu. Bahkan tidak kurang maupun lebih barang semenit saja. Dia seakan menunjukkan jika waktunya begitu berharga setiap berada di dalam perusahaan. Robin yang saat ini merangkap tugas sekretaris sekaligus asisten turut masuk ke dalam ruangan untuk membacakan jadwal kegiatan Liam seharian ini. Baik untuk urusan pekerjaan maupun pribadi. Liam tidak banyak menanggapi selain dengan gumaman setiap Robin membacakan jadwalnya. Beruntung si asisten sudah terbiasa dengan sahutan seadanya itu, sehingga tidak mengganggu pekerjaannya sama sekali. Sampai jadwal terakhir yang dibacakan, Liam mengangguk tanda paham meski nanti Robin harus mengingatkan ulang jika sudah waktunya melakukan setiap kegiatan yang sudah tersusun rapi. "Robin, apakah semua sudah beres?" tanya Liam dengan menaikkan alisnya yang kemudian dipahami Robin dengan cepat. Ini bukan tentang pekerjaan lagi. Tapi tentang tugas lain yang
Zahera masih terpaku melihat balasan email yang diterimanya dari bagian HR Evander Grup. Panggilan interview sekaligus tes kemampuan menjadi balasan yang diterimanya dalam waktu kurang dari 24 jam setelah lamaran dikirimkan. Apalagi setelah mencari tahu lebih dalam tentang perusahaan besar tersebut. Dimana perusahaan tersebut mempunyai beberapa anak cabang perusahaan termasuk Medica Center yang bergerak di bidang kesehatan dan Educa Center yang bergerak di bidang pendidikan. "Perusahaan yang sangat bonafide," senyum Zahera mengembang. Mencatat tanggal dan persyaratan untuk menjalani interview sekaligus tes kemampuan jika memang beruntung. "Bertepatan sama olimpiadenya Abi. Jadi aku akan ke perusahaan itu setelah mengantar Abi ke sekolah."Zahera menyiapkan diri dengan sangat baik. Bukan hanya mempersiapkan berkas dan pengetahuan, tapi juga menyiapkan pakaian terbaik untuk menunjang penampilannya. "Ternyata banyak baju yang kegedean. Berat badanku turun berapa kilo sih?" gumam Zah