"Sebenarnya aku masih ingin bermain banyak permainan sama Om Liam. Tapi aku harus mempersiapkan diri untuk olimpiade-ku minggu depan." Abimanyu terlihat murung saat berkata demikian kepada Liam setelah mereka selesai dengan sarapan bersama yang awalnya canggung. Beruntung kecanggungan itu tidak berlangsung lama dan bisa kembali meriah dengan celotehan Abimanyu yang mendominasi backsound-nya. "Terus kenapa sedih? Kan memang sudah tanggung jawab Abi buat mempersiapkan diri setelah berhasil terpilih sebagai kandidat peserta lomba," sahut Liam. "Kan Om Liam sudah jauh-jauh ke sini, masa mah aku tinggal belajar."Liam mengangguk paham. "Kalau belajarnya Om temenin gimana? Nanti Om bantu pilihin contoh soal yang mungkin akan keluar di olimpiade nanti." "Serius, Om Liam mah temenin Abi belajar? Gak bosan?" Liam menggelengkan kepalanya. "Om kan hobi membaca. Suka belajar juga. Jadi gak bakalan bosan kalau nemenin Abi belajar buat olimpiade. Justru Om suka kalau Abi bisa belajar sama Om."
Liam sudah hendak kembali membawa laptopnya yang baru diambil dari dalam mobil. Beberapa informasi yang disampaikan Robin padanya menyisakan tanda tanya yang belum bisa dipecahkan sendiri. 'Apa aku coba tanya ke Abi ya, kenal sama Kak Lui apa gak? Tapi aku bilangnya gimana? Terus kalau emang kenal, apa aku harus memperkenalkan diri sebagai adiknya Kak Lui juga? Ck. Kenapa aku jadi penasaran!'Liam menggelengkan kepalanya mengusir berbagai pertanyaan dan pemikiran yang tidak seharusnya dipusingkan. Liam memilih lekas kembali berkumpul dengan Abimanyu dan menemani anak itu belajar. "Om Liam kok lama?" seru Abimanyu begitu Liam kembali."Sorry, Boy! Tadi Om ada telepon, jadi sambil terima panggilan dulu di luar." "Oke deh. Aku kira tadi Om pulang," aku Abimanyu dengan wajah cemberut."Gak dong. Kan Om udah bilang mau bantuin Abi pilihin soal buat belajar." Abimanyu pun kembali fokus ke buku tebal di hadapannya, sedangkan Liam menyalakan laptop yang baru diambilnya. "Mas Liam mau min
"Makasih sudah kooperatif, Mas." Zahera tidak menyangka jika di pertemuan mediasi kedua kali ini akan mendapati Sanjaya yang lebih kooperatif. Tidak lagi memaksakan diri dengan menolak perceraian seperti sebelumnya. "Mau gimana lagi? Bukankah aku sudah gak punya pilihan selain menuruti kemauan kamu?" cecar Sanjaya dengan kalimat penuh penekanan. Zahera hanya diam dan menatap lantai berwarna putih yang ditapaki kaki-kakinya saat keluar dari ruang mediasi. "Aku hanya berharap kamu menepati janji untuk tidak menjauhkan aku dari anakku," ujarnya lagi, membuat Zahera yang awalnya menundukkan pandangan segera mengangkat wajahnya.Sejak di ruang mediasi, Sanjaya hanya menitikberatkan jika setelah perceraian nanti benar terjadi, dirinya ingin tetap dilibatkan pada proses tumbuh kembang Abimanyu. Tentu saja Zahera menyanggupinya karena itu memang menjadi hak mereka sebagai seorang ayah dan anak. "Aku gak akan menghalangi kamu buat berinteraksi dengan Abimanyu, Mas. Aku tidak akan menjauhk
Zahera bengong bukan karena tidak tertarik dengan penawaran pertukaran pelajar tersebut. Justru Zahera sangat bersyukur karena penawaran tersebut secara kebetulan sangat sesuai dengan kebutuhan mereka saat ini. Hanya saja, Zahera masih tidak habis pikir dengan kebetulan yang sangat aneh tersebut. 'Kok bisa pas banget sih? Kayak ada yang…. aneh.' Tapi pemikiran itu tidak lantas membuat Zahera ragu untuk meluluskan permintaan putranya. Apalagi Abimanyu terlihat sangat senang dan antusias. Sampai-sampai tidak malu merengek di depan gurunya untuk Zahera mau memberikan ijin kepada anaknya tersebut. "Kalau boleh tau, untuk durasi pertukaran pelajarnya berapa lama ya, Bu? Terus untuk masalah selisih biaya yang saya bayarkan ke sekolah ini dengan yang di Educa Center pasti lebih mahal yang di Educa Center kan, Bu? Itu juga bagaimana?" Sayangnya Zahera tidak bisa langsung memutuskan sebelum mendengar detail mengenai prosedur program tersebut. Perannya sebagai wali murid dibutuhkan untuk me
Liam duduk di ruang kerjanya mulai jam 8 pagi tepat. Sudah menjadi kebiasaannya datang tepat waktu. Bahkan tidak kurang maupun lebih barang semenit saja. Dia seakan menunjukkan jika waktunya begitu berharga setiap berada di dalam perusahaan. Robin yang saat ini merangkap tugas sekretaris sekaligus asisten turut masuk ke dalam ruangan untuk membacakan jadwal kegiatan Liam seharian ini. Baik untuk urusan pekerjaan maupun pribadi. Liam tidak banyak menanggapi selain dengan gumaman setiap Robin membacakan jadwalnya. Beruntung si asisten sudah terbiasa dengan sahutan seadanya itu, sehingga tidak mengganggu pekerjaannya sama sekali. Sampai jadwal terakhir yang dibacakan, Liam mengangguk tanda paham meski nanti Robin harus mengingatkan ulang jika sudah waktunya melakukan setiap kegiatan yang sudah tersusun rapi. "Robin, apakah semua sudah beres?" tanya Liam dengan menaikkan alisnya yang kemudian dipahami Robin dengan cepat. Ini bukan tentang pekerjaan lagi. Tapi tentang tugas lain yang
Zahera masih terpaku melihat balasan email yang diterimanya dari bagian HR Evander Grup. Panggilan interview sekaligus tes kemampuan menjadi balasan yang diterimanya dalam waktu kurang dari 24 jam setelah lamaran dikirimkan. Apalagi setelah mencari tahu lebih dalam tentang perusahaan besar tersebut. Dimana perusahaan tersebut mempunyai beberapa anak cabang perusahaan termasuk Medica Center yang bergerak di bidang kesehatan dan Educa Center yang bergerak di bidang pendidikan. "Perusahaan yang sangat bonafide," senyum Zahera mengembang. Mencatat tanggal dan persyaratan untuk menjalani interview sekaligus tes kemampuan jika memang beruntung. "Bertepatan sama olimpiadenya Abi. Jadi aku akan ke perusahaan itu setelah mengantar Abi ke sekolah."Zahera menyiapkan diri dengan sangat baik. Bukan hanya mempersiapkan berkas dan pengetahuan, tapi juga menyiapkan pakaian terbaik untuk menunjang penampilannya. "Ternyata banyak baju yang kegedean. Berat badanku turun berapa kilo sih?" gumam Zah
"Sudah siap, Son?" tanya Zahera pada Abimanyu saat hari yang ditunggu akhirnya tiba juga."Siap dong, Mama! Abi pasti keluar jadi juara," balas Abimanyu dengan percaya diri. "Good! Tapi apapun hasilnya, mama sudah pasti bangga sama kamu." "Thank you, Mama. I love you so much," kata Abimanyu sambil memeluk Zahera dengan erat. "Love you more, Baby. Doa mama selalu menyertaimu, Anak ganteng. Doain ibu juga ya, Sayang." "Pasti, Ma. Semoga mama dapat yang terbaik. Kalau rejeki kita ada di perusahaan yang sedang mama lamar semoga hasil wawancara dan tesnya bagus, tapi kalau rejeki kita bukan di sana, semoga mama dapat yang lebih baik lagi."Zahera semakin mengeratkan pelukannya setelah mendengar doa tulus nan panjang dari putra satu-satunya. Mengecup pucuk kepalanya berulang-ulang untuk menyalurkan rasa kasih dan sayangnya. Terharu sekali dengan perhatian dan ketulusan Abimanyu. "Tuhan pasti mengabulkan doamu, Sayang."Setelah puas mengekspresikan rasa sayangnya kepada satu sama lain,
Sejak mediasi kedua, Sanjaya sudah tidak pernah lagi mengganggu Zahera. Sepertinya dia sudah menerima jalan yang membawanya pada perpisahan dengan sang istri yang diakui sangat dicintai. Sayangnya cinta saja tidak cukup jika hasratnya masih menduakan. Sanjaya sendiri mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang hampir membuatnya gulung tikar. Kini perusahaan kecilnya sudah kembali stabil dan tidak ada tanda-tanda akan ada sabotase kembali. Entah saat itu sabotase dari mana, Sanjaya sama sekali tidak menemukan titik terang pelakunya. Hanya saja, karena tidak berlarut sampai membuatnya benar-benar bangkrut, akhirnya Sanjaya memilih melupakan dan lebih berhati-hati supaya kejadian ini tidak pernah terulang kembali. Di waktu luangnya, Sanjaya juga lebih sering menghabiskan waktu untuk mengambil hati Alena. Mungkin setelah meyakini tidak bisa kembali pada Zahera, Sanjaya jadi berambisi harus semakin dekat dengan Alena dan menjadikan gadis itu sebagai pengganti Zahera. Alena yang masih